
gaulislam edisi 918/tahun ke-18 (28 Dzulqa’dah 1446 H/ 26 Mei 2025)
Di zaman serba digital, di mana segala bisa dicek cuma modal jempol dan kuota, aneh nggak sih kalo ada hal sederhana kayak ijazah aja bisa jadi misteri nasional? Nggak kayak sinetron, ini nyata. Bikin rakyat bertanya-tanya: ini negara atau escape room, yang harus cari-cari clue biar tahu kebenarannya? Dan ironisnya, yang lagi dicari ini bukan siapa maling ayam di kampung sebelah, tapi dokumen pendidikan mantan orang nomor satu di negeri ini. Parah, ya? Negara kita udah punya satelit, tapi ngelacak ‘keaslian’ ijazah doang kok susahnya ngalahin nyari sinyal di pelosok.
Ya, akhir-akhir ini, scroll-scroll medsos tuh rasanya kayak main roller coaster di mode hardcore. Kepala muter, mata pedih, hati makin panas. Apalagi kalo kamu termasuk tim yang doyan ngetem di linimasa X (iya, Twitter yang udah ganti nama itu). Isinya? “Perang Dunia Komentar”. Serius. Gara-garanya satu: ijazah Pak Jokowi.
Yap, ijazah. Dokumen yang biasanya cuma kita lihat pas mau daftar sekolah en kuliah atau cari kerja. Tapi kali ini, ijazah itu jadi semacam artefak negara yang keberadaannya misterius, kayak harta karun One Piece. Bedanya, ini nggak lucu. Ini serius bikin sebagian besar rakyat tegang.
Ada yang bilang ijazahnya palsu. Ada juga yang pasang badan bilang asli. Mereka yang kontra punya segudang alasan. Mereka yang pro juga sama. Tapi, masa’ iya dua-duanya bener? Kok kayak debat anak kecil rebutan mainan? Ya, pasti ada satu yang ngaco dong. Tapi yang mana? Polisi aja katanya sampe beda pendapat. Rakyat? Udah kayak orkestra gonjang-ganjing. Ribut di mana-mana. Bahkan netizen+62 saling jegal di kolom komentar. Kasar-kasaran udah kayak arena UFC.
Dan pertanyaannya, sampai kapan begini, Kak? (hehe… jadi inget sapaan sales di platform e-commerce). Padahal solusinya nggak ribet. Tinggal tunjukin ijazahnya, bikin siaran pers, undang media, semua beres. Tapi itu nggak pernah kejadian. Malah makin muter-muter kayak sinetron 3.000 episode. Netizen jadi kayak detektif dadakan. Nyari clue, analisis video, ngulik sejarah. Tapi makin dicari, makin absurd.
Muncul spekulasi-spekulasi liar. Jangan-jangan ini semua sengaja? Biar publik fokus ke satu isu, sementara isu-isu besar lainnya disumpel ke bawah karpet? Lha iya, kasus pagar laut? Hilang kayak diambil Doraemon. Korupsi triliunan? Sepi kayak ojek pangkalan abis maghrib. Padahal rakyat tuh butuh kejelasan, bukan drama.
Nah, sekarang kita tanya balik, “Apa yang bisa kita ambil dari semua ini? Terutama kamu, anak muda yang katanya generasi harapan bangsa?”
Jawabannya bukan cuma soal politik. Ini soal nilai. Soal kejujuran. Soal amanah. Soal integritas. Bener banget. Kalo benar seorang pemimpin bisa bohong soal ijazah, bisa bohong soal mobil Esemka, bisa ngomong “nggak akan cawe-cawe” tapi malah ikut main di pilpres dengan ngedorong anak sendiri naik panggung, kita ini mau dibawa ke mana? Masa depan negara bukan tempat magang, Bro en Sis. Apalagi kalo yang naik itu bukan karena kompetensi, tapi karena koneksi. Parah.
Sebagai remaja, jangan cuma jadi penonton pasif yang scroll-scroll sambil ngemil ciki. Kita harus belajar satu hal penting: jujur itu mahal. Tapi bohong lebih mahal, maksudnya mahal akibatnya.
Artinya, kalo kita mau hidup berkah, jalanin semuanya dengan jujur. Nggak usah sibuk pencitraan kalo nggak punya bukti. Nggak usah bilang “demi rakyat” kalo ternyata niatnya buat keluarga. Dan jangan pernah remehkan kebohongan kecil–karena dari situ bisa lahir kebohongan besar yang nyakitin satu bangsa.
Oya, ini bukan soal siapa yang kamu dukung. Tapi soal apa yang kamu perjuangkan. Kita butuh pemimpin yang jujur, bukan yang malah jago ngeles. Kita butuh pemimpin yang bisa jadi contoh, bukan pemimpin yang malah jadi teka-teki segala tindak-tanduknya. Mengapa? Karena masa depan negeri ini, nggak bisa dibangun dari ijazah yang entah di mana. Tapi dari generasi yang berani jujur dan berani berpikir kritis.
Tetap memanas
Sobat gaulislam, warganet masih banyak yang ragu meski ijazah Jokowi udah diuji sama Labfor Bareskrim dan dinyatakan identik asli. Tapi mayoritas netizen meragukan alias kagak percaya. Sebagaimana dikutip dalam laman rmol.id, Lisa Noviani, praktisi marketing research yang juga paham dunia statistik dan programming (iya, katanya dia bisa coding pakai Python), mengungkap fakta mengejutkan: 94,2% warganet nggak setuju sama hasil uji ijazah versi Bareskrim Polri. Netizen emang galak ya kalo urusan fakta dan transparansi. Tapi bagus, sih.
“Data ini diambil dari komentar netizen di Twitter, Facebook, dan platform lain. Komennya bunyak! Totalnya sekitar 1-2 juta,” ujar Lisa, dikutip pada Minggu, 25 Mei 2025.
Riset ini dilakukan tepat sehari setelah pengumuman hasil uji ijazah, yakni 23 Mei 2025. Lisa dan tim ngumpulin data di tiga waktu berbeda: pagi (jam 9), sore (jam 18), dan pagi lagi keesokan harinya (jam 10). Analisisnya simpel: tinggal lihat komentar dengan kata “setuju” dan “tidak setuju”. Tapi hasilnya? Wah, miring banget.
Pada 23 Mei jam 9 pagi, yang bilang “nggak setuju” udah 88,2%. Mereka yang setuju? Cuma 11,8%. Sore harinya, angka ketidaksetujuan naik drastis ke 93,9%. Dan hari ini, 25 Mei jam 10 pagi, netizen yang tetap kukuh nggak percaya makin nambah: 94,2%! Mereka yang setuju makin ciut jadi 5,8%. Singkatnya, opini netizen udah kayak suara paduan suara satu nada: “Kami ragu!”
Menurut Lisa, yang setuju sih nganggap Bareskrim udah kerja sesuai SOP. Tapi yang nggak setuju merasa hasilnya kurang meyakinkan dan terkesan… yah, subjektif aja gitu, Bro en Sis. Mereka pengen uji ulang yang lebih transparan dan terbuka, biar publik nggak terus-terusan jadi korban PHP (Pemberi Harapan Palsu).
Jadi, kita gimana? Nah, ini bukan cuma soal ijazah. Ini soal kepercayaan publik yang makin tipis, setipis tisu. Warganet, khususnya Gen Z, mereka bukan cuma pengamat. Mereka umumnya cerdas, kritis, dan males diboongin. Kalo transparansi itu penting, maka keterbukaan harus jadi budaya, bukan sekadar wacana. Mengapa? Karena zaman sekarang, satu klik bisa nyebarin fakta atau malah fitnah. Dan kita butuh lebih banyak pemimpin yang berani jujur, bukan cuma jago klarifikasi di akhir cerita. Itu pun seringkali ngawur dan ngeles. Catet.
Jangan bohong!
Sobat gaulislam, dulu waktu pelajaran PKN (yang sering kamu pakai buat tidur siang), mungkin kamu pernah denger nama Mohammad Hatta. Bukan selebgram, bukan content creator, tapi beliau wakil presiden pertama Indonesia, sekaligus ikon integritas sejati. Dan satu quote-nya yang udah tersebar di berbagai platform medsos, dan itu menginspirasi banget, bunyinya begini, “Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman, namun tidak jujur itu sulit diperbaiki.”
Bener banget. Setuju. Kalo bodoh? Bisa les alias belajar tambahan. Nggak jago? Bisa latihan. Tapi bohong? Nah, itu udah kayak pecah telur di lantai. Bisa sih dibersihin, tapi baunya tetap menyengat. Apalagi kalo udah langganan bohong, wah itu auto dapat kartu member “Penipu Gold”.
So, IQ rendah bisa di-upgrade, tapi hati curang? Susah di-repair. Kenyataannya, orang pintar tuh banyak. Tapi orang jujur? Nah, itu yang mulai langka. Kayak sinyal 5G di desa: mungin saja ada, tapi harus naik bukit dulu buat nyari peluang bisa nemuin. Kenapa? Karena jujur itu nggak instan dan nggak selalu langsung dapet pujian.
Kadang orang jujur malah dibilang “nggak tahu aturan main”, “nggak fleksibel”, atau “kurang pintar ambil peluang”. Padahal sebenernya mereka lagi jaga satu hal penting, yakni dignity, alias harga diri yang bersih dari drama tipu-tipu.
Oya, dalam Islam, jujur itu bukan cuma soal etika. Tapi memang ada perintahnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan akan membawa ke surga.” (HR Bukhari dan Muslim)
Jadi, kalo kamu pengen dapet pahala dari Allah Ta’ala di akhirat nanti, ya mulailah dengan jujur. Karena Allah tuh Maha Tahu, bahkan sebelum kamu buka mulut. Dan kalo kamu bohong? Sebelum orang lain tahu, Allah Ta’ala udah catat duluan.
Kalo nggak jujur, kita jadi apa? Esok lusa kamu daftar kerja, bawa CV penuh prestasi palsu. Diterima. Gaji gede. Tapi tiap hari kamu hidup dalam cemas (ini kalo yang nyadar, kalo yang bebal, ya cuek aja kayaknya). Iya, normanya cemas. “Kalo ketauan gimana, ya?”; “Kalo disuruh ngerjain yang aku bohongin, aku bisa nggak ya?”; “Kalo hidup penuh ketakutan gini terus, worth it nggak sih gaji UMR + tunjangan pencitraan?”
See? Bohong itu bikin gelisah, jujur itu bikin tenang. Bahkan kalo seandainya jujur bikin kamu rugi sekarang (karena nggak disukai orang yang suka bohong), yakin deh bahwa Allah Ta’ala lagi nyiapin reward besar nanti. Insya Allah.
Setidaknya, jujur sama diri sendiri dulu. Kalo kamu capek, bilang. Kalo kamu salah, ngaku. Nggak usah pakai topeng, hidup udah berat tanpa itu. Nggak usah lebay di CV. Mending ngaku belum bisa, daripada nanti kelabakan. Belajar tuh proses, bukan pamer.
Jadi, jujur bukan bakat, tapi pilihan. Kata Bung Hatta, bohong itu susah diperbaiki. Beliau bener. Soalnya bohong itu bukan kesalahan teknis, tapi keretakan karakter. Karakter itu terbentuk dari pilihan kecil setiap hari: milih jujur atau ngeles bin bohong? Ngaku salah atau cari kambing hitam?
Jadi, mumpung masih muda, mumpung dosa belum menumpuk (semoga, ya), yuk biasakan jujur. Sebab, mereka yang jujur mungkin nggak cepet naik. Tapi begitu naik, dia nggak gampang jatuh. Mungkin pernah ngerasa hati kamu kayak lagi rame banget? Kayak ada dua suara yang berantem. Suara satu bilang, “Udah jujur aja, tenang hidup kamu.” Suara satu lagi bisik-bisik, “Eh, bohong dikit aja nggak ketahuan kok, aman.”
Nah, ternyata kamu nggak halu, bro. Malik bin Dinar rahimahullah, ulama keren zaman dulu, udah nyebutin fenomena ini sejak lama banget. Beliau berkata, “Kejujuran dan kedustaan saling bergulat di dalam hati, sampai salah satu dari keduanya bisa mengusir yang lain.” (dalam as-Shamt, Ibnu Abid Dunya, hlm. 250, no. 512)
Ibaratnya, di dalam hati kita itu lagi ada pertarungan epik: Jujur vs Bohong. Kayak UFC tapi spiritual. Siapa yang kuat, dia yang bertahan. Dan yang kalah? Harus angkat kaki dari arena: HATI KITA.
Oya, banyak di antara kamu mungkin sering mikir, “Ah, bohong dikit doang ini. Nggak dosa-dosa amat.” Padahal, bohong itu kayak utang. Nggak keliatan di awal, tapi makin lama makin berat ditanggung. Satu bohong harus ditutupin sama bohong berikutnya. Ujung-ujungnya? Lupa mana yang bener. Dan hati pun mulai beku. Bukan karena dingin AC, tapi karena terlalu sering main-main sama dosa kecil yang akhirnya numpuk kayak cucian akhir pekan.
Kata orang, “Jujur itu mahal”. Iya, karena kejujuran itu punya harga. Berani rugi sekarang demi tenang selamanya. Berani nggak keliatan keren (tersebab pencitraan) demi nggak dibakar di akhirat nanti. Berani bilang “aku salah” daripada pura-pura bener terus demi citra diri.
Allah Ta’ala tuh sayang banget sama orang jujur. Dalam al-Quran, Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS at-Taubah [9]: 119)
Artinya, kejujuran bukan cuma sikap keren, tapi jalan menuju surga. Dan kalo kamu mau deket sama Allah Ta’ala? Ya, deketin deh kejujuran. Kita harus jujur. Nggak bisa hidup tenang kalo dua hal ini masih ada bareng di hati: jujur dan bohong. Salah satu harus pergi. Dan pilihan ada di tangan kamu. Mau hati yang damai, ringan, plong, kayak abis minum es teh manis pas buka puasa? Atau hati yang gelisah, sesak, dan penuh drama kayak sinetron yang nggak jelas sampai kapan ujungnya?
Sedikit tips
Langsung aja, ya. Supaya bisa kita bisa jujur, latih jujur dari hal kecil. Ya, kayak ngaku lupa ngerjain PR daripada alasan modem meledak (karena ini jelas akal-akalannya, plus ngeles). Kemudian, jangan cari pembenaran, tapi dukunglah kebenaran. Ya, kebenaran itu jelas, walau kadang pahit. Tapi pahitnya obat itu lebih baik dari manisnya racun. Selain itu, untuk melatih kejujuran, cobalah berteman sama orang yang jujur. Mengapa? Tentu, biar kebawa baiknya, bukan kebawa busuknya.
Oya, perlu diingat bahwa Allah Maha Tahu, bahkan sebelum kamu bohong, Dia udah tahu kamu bakal bohong. Jadi, ngapain coba? Takutlah kepada Allah Ta’ala.
Akhir kata, kalo hidup itu perjalanan, maka jujur itu kompasnya. Bohong? Itu GPS rusak. Bisa sih nyampe, tapi nyasar dulu entah ke mana, atau malah lenyap. Yuk, bersihin hati. Pilih yang bener, buang yang ngibul. Sebab, jujur nggak bikin hancur. Tapi bohong bisa bikin kamu hancur lebur.Itu sebabnya, sesuai judul tulisan ini: jangan sampe soal ijazah aja bikin resah seluruh negeri. [O. Solihin | Join WhatsApp Channel]