Monday, 4 November 2024, 21:17

Di tengah carut-marutnya dunia hukum dan kepemimpinan di negeri kita, ada baiknya kita menengok kembali kisah kehidupan Imam Abu Hanifah atau Imam Hanafy, seorang ulama besar, yang sangat terkenal ketinggian ilmu dan akhlaknya. Imam Abu Hanifah lahir di Kufah pada 80 Hijriah (699 M) dan wafat pada tahun 150 Hijriah (767 M), tepat saat Imam al-Syafii lahir. Sering dikatakan, Imam yang satu pergi, datang Imam yang lain. Nama asli beliau sejak kecil adalah Nu’man bin Tsabit bin Zautha bin Mah.

Sejak kecil, Imam Abu Hanifah hidup di tengah keluarga pedagang. Setelah dikenal sebagai seorang yang alim sekali pun, dia juga menjalankan perniagaan. Kehidupan Imam Hanafy pada masa hidupnya mengetahui peristiwa pergantian Kepala Negara dari tangan banu Umayyah ke tangan banu Abbasiyah. Beliau dilahirkan pada  masa pemerintahan Abdul-Malik bin Marwan; kemudian ketika tahun 127 Hijriah, Kepala Negara jatuh di tangan Marwan bin Muhammad Al-Ja’dy (dari Banu Umayyah yang ke 14). Dan inilah akhir pemerintahan Banu Umayyah.

Ketika itu, Gubernur di Iraq selaku wakil Kepala Negara dijabat oleh Yazid bin Amr bin Hurairah Al Fazzary. Selaku Gubernur, ia berhak mengangkat seseorang yang di pilihya untuk menjabat suatu jabatan tinggi di bawah kekuasaannya.  Pada suatu saat Imam Hanafy telah dipilih dan ditunjuk menjadi Kepala Urusan Perbendaharaan Negara (Baiitul-Mal). Tetapi pengangkatan itu ditolak oleh Abu Hanifah. Sampai berulang-kali Gubernur Yazid menawarkan pangkat yang tinggi itu kepada beliau, namun tetap ditolak.

Pada lain saat, Gubernur Yazid menawarkan lagi pangkat Qadli (penghulu negara) kepada Imam Hanafy. Tetapi beliau bersikap menolak tawaran itu. Melihat sikap Imam Hanafy, Gubernur mulai tidak senang.  Mulailah muncul kecurigaan terhadap Sang Imam. Gerak-geriknya mulai diamati. Kemudian pada suatu hari, Sang Imam mulai diancam hukum cambuk dan penjara oleh penguasa.  Tetapi sewaktu mendengar ancaman tersebut,

Sang Imam hanya menjawab: “Demi Allah, aku tidak akan mengerjakan jabatan yang ditawarkan kepadaku, sekali pun–andai kata-aku sampai di bunuh olehnya.”

Suatu hari,  Gubernur Yazid memanggil para alim ulama ahli fiqih yang terkemuka di Iraq dan dikumpulkan di muka istananya. Di antara yang datang, ada Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubramah, Dawud bin Abi Hind dan lain-lainnya. Mereka masing-masing lalu di beri pangkat (kedudukan) resmi oleh Gubernur. Tapi,  Imam Hanafy  tidak datang. Padahal, Sang Imam diberi jabatan tinggi, sebagai kepala “Tata Usaha” Gubernuran yang bertugas menandatangani semua surat-surat resmi yang keluar dan yang bertanggung jawab atas uang perbendaharaan negara yang di keluarkan dari Gubernuran. Semua surat resmi tidak akan dapat dilangsungkan keluar jika belum distempel (cap) dari tanda tangan beliau, dan uang dari perbendaharaan Negara (Baitul-Mal) tidak akan mungkin dikeluarkan sepeser pun, jika belum di tanda tangani (distempel) oleh beliau. Tetapi jabatan yang sepenting dan setinggi itu, tidak diterima oleh Imam Abu Hanifah.

Gubernur Yazid bersumpah:  “Jika Abu Hanifah tidak sudi menerima angkatan ini, niscaya akan dipukul dia.”   Para ulama yang mendengar sumpah Gubernur itu, lalu datang berduyun-duyun kepada Imam Hanafy untuk menyampaikan harapan mereka,  supaya beliau bersedia menerima jabatan yang diberikan itu. Tapi, Sang Imam tetap kokoh dengan pendiriannya. Beliau tetap bersikeras menolak pengangkatan dari Gubernur itu.  Akhirnya, sang Imam ditangkap dan dipenjara oleh polisi negara selama dua Jumat (dua minggu) dengan tidak dipukul. Kemudian – sesudah dua Jumat –baru dipukul/ di dera empat belas kali. Sesudah itu baru dibebaskan.  Dalam riwayat lain dikatakan, suatu saat  Imam Hanafy diangkat lagi oleh Gubernur Yazid bin Hurairah menjadi Qadli (Hakim) negeri di kota Kufah. Ttetapi dengan bersikeras ia tetap menolak. Karena itulah, ia ditangkap lagi dan dijebloskan ke dalam penjara.

Di dalam penjara — karena ia tetap menolak pengangkatan itu – maka ia dijatuhi hukuman 110 kali cambuk. Hukuman itu dicicil, tiap hari 10 kali cambukan. Akhirnya, sang Imam dilepaskan kembali dari penjara sesudah merasakan 110 kali cambuk. Seketika keluar dari penjara, tampak kelihatan mukanya bengkak-bengkak, akibat bekas cambukan. Mengalami semua hukuman itu, Imam Hanafy hanya berucap: “Hukuman dunia dengan cemeti itu lebih baik dan lebih ringan bagiku daripada cemeti di akhirat nanti.”

Ujian kedua kepada Sang Imam datang pada tahun 136 Hijriah, dimasa Kepala Negara dijabat oleh Abu Ja’far Al-Manshur, saudara muda dari Abul Abbas As-Saffah, pendiri Bani Abbasiyah. Ketika itu Imam Hanafy berumur sekitar 56 tahun. Beliau dikenal sebagai orang besar yang gagah berani, ahli fikir yang hebat dalam memecahkan soal-soal yang bertalian dengan hukum-hukum agama.

Menurut riwayat,  pada suatu hari Imam Hanafy mendapat panggilan dari baginda Al-Manshur di Baghdad. Sesampai di sana, ternyata sang Imam diangkat menjadi Hakim (Qadli) Kerajaan di Baghdad. Tawaran jabatan yang setinggi itu oleh beliau ditolak. Maka, Al-Manshur bersumpah dengan keras, bahwa ia harus menerima jabatan itu. Imam Hanafy pun juga bersumpah,  tidak akan sanggup memegang jabatan itu. Sumpah itu terjadi berulang kali, sehingga seorang pegawai kerajaan mendekati Sang Imam dan berujar: “Apakah guru tetap menolak kehendak baginda, padahal baginda telah bersumpah akan memberikan kedudukan kepada guru?.”

Imam Hanafy dengan tegas menyatakan : “Amirul mu’minin lebih kuat membayar kifarat sumpahnya daripada saya membayar kifarat sumpah saya.”

Oleh karena Imam Hanafy tetap menolak jabatan dari Kepala Negara, maka ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara di Baghdad, sampai masa yang telah ditentukan oleh Kepala Negara.     Perlu dijelaskan, bahwa pada masa itu ulama yang terkemuka di Kufah, ada tiga orang dan antara mereka itu ialah Imam Ibnu Abi Laila.

Menurut riwayat, pada suatu hari Imam Hanafy dikeluarkan dari penjara, karena mendapat  panggilan dari baginda Al-Manshur. Baginda menyerahkan jabatan Qadli (Hakim) negara kepada Abu Hanifah. Tetapi, lagi-lagi  ia tetap menolaknya. Baginda lalu kepada: “Adakah engkau telah suka dalam keadaan seperti ini?.”

Sang Imam menjawab:  “Semoga Allah memperbaiki Amirul Mu’minin! Wahai Amirul Mu’minin, takutlah engkau kepada Allah, dan janganlah engkau bersekutu dalam kepercayaan engkau dengan orang yang tidak takut kepada Allah! Demi Allah, saya bukanlah orang yang boleh dipercaya di waktu tenang, maka bagaimana saya tidak sepatutnya diberi jabatan yang sedemikian itu!.”

Baginda berkata: “Kamu berdusta, karena kamu patut memegang jabatan itu!.”

Imam  menjawab: “Ya Amirul mu’minin! Sesungguhnya baginda telah menetapkan sendiri, jika saya benar, saya telah menyatakan bahwa saya tidak patut menjabat itu, dan jika saya berdusta, maka bagaimana baginda akan mengangkat seorang Hakim yang pendusta? Di samping itu, saya ini adalah seorang maula yang dipandang rendah oleh bangsa Arab, dan bangsa Arab tidak akan rela  diadili oleh seorang golongan maula seperti saya ini.” Karena tetap menolak, sang Imam dijebloskan kembali ke dalam penjara.

Ada riwayat yang menyebutkan, Abu Ja’far Al Manshur memanggil  Imam Abu  Hanifah, Imam Sufyan Ats Tsauri dan Imam Syarik An Nakha’y untuk datang menghadap di hadapan baginda.

Setelah mereka bertiga menghadap, masing-masing diberi   kedudukan dan diberi surat pengangkatan.

Kepada Imam Sufyan baginda berkata : “Ini penetapan engkau untuk menduduki Qadli di kota Bashrah maka itu berangkatlah ke sana!” , dan kepada Imam Syarik baginda berkata : “ Ini penetapan engkat untuk menduduki Qadli ibu kota saya dan sekitarnya, maka itu laksanakanlah !”  Adapun Imam Abu Hanifah tidak mau menerima jabatan apapun. Baginda memerintahkan kepada pengawalnya, agar mengantarkan mereka ke tempat masing-masing, dan berkata pula kepada pengawalnya : “Barangsiapa menolak jabatan yang telah saya berikan ini, maka pukullah dia seratus kali pukul dengan cemeti.”

Imam Syarik menerima jabatan itu, dan Imam Sufyan lalu melarikan diri ke Yaman, dan Imam Abu Hanifah tidak mau menerima jabatan dan tidak pula melarikan diri. Sebab itu ia tetap dimasukkan ke dalam penjara dan dijatuhi hukuman seperti yang telah diperintahkan oleh baginda Al Manshur. Yakni, setiap pagi, di dalam penjara, ia dicambuk dan leher sang Imam dikalungi dengan rantai besi yang berat.

Ada riwayat yang menyebutkan, al-Manshur pun pernah menggunakan jasa Ibu Abu Hanifah yang berusia lanjut untuk membujuk anaknya, agar bersedia menerima tawaran jabatan yang diberikan Kepala Negara.  Pada setiap pagi, sang Ibu datang membujuk anaknya.  Tetapi segala macam bujukan dan daya upaya sang ibu tadi senantiasa ditolak dengan keterangan yang baik.

Pada suatu hari sang ibu pernah berkata kepada anaknya: “Wahai Nu’man! Anakku yang kucintai! Buanglah dan lemparlah jauh-jauh pengetahuan yang telah engkau punyai itu. Karena tidak ada lain yang kau dapati selama ini, melainkan penjara, pukulan, cambuk dan rantai besi itu.!”

Perkataan sang Ibu yang sedemikian itu, hanya dijawaboleh sang Imam dengan lemah lembut dan senyuman manis: “Oo, ibu! Jika saya menghendaki akan keridhaan Allah SWT seemata-mata dan memelihara ilmu pengetahuan yang telah saya dapati, saya tidak akan memalingkan pengetahuan yang selama ini saya pelihara kepada kebinasaan yang dimurkai oleh Allah SWT.

Demikianlah, sang Imam tetap gigih dalam pendiriannya, meskipun harus menghadapi hukuman yang sangat memilukan. Setiap pagi, ia selalu menerima hukuman seberat itu. Tapi, al-Manshur tidak puas dengan hukuman yang dibjatuhkannya. Maka, suatu ketika, Imam Hanafy dipanggil oleh baginda supaya menghadapnya. Kemudian ia ia datang menghadap. Ketika itulah sang Imam disuguhi segelas minuman beracun. Tak lama, sesudah kembali ke dalam penjara, sang Imam menghadap kepada Allah SWT. “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un!.”

Beliau wafat di usia 70 tahun. Wafat di penjara, dalam kehidupan yang ia pi8lih sendiri, karena menolak jabatan yang ditawarkan kepadanya.

Hasan bin Imarah, yang memimpin prosesi pemandian jenazah sang Imam, berkata: “Mudah-mudahan Allah mengasihani engkau dan mengampuni semua kesalahan engkau, wahai orang yang senantiasa merasakan lapar selama tiga puluh tahun! Demi Allah, sesungguhnya engkau seorang yang menyusahkan orang banyak di masa kemudian engkau!.”

Tentu, sikap sang Imam memamg sangat luar biasa. Ia  tidak tergoda oleh kekuasaan. Bahkan rela menerima hukuman ketimbang memegang jabatan tinggi yang ditawarkan padanya. Ia  tidak gila jabatan. Sang Imam bersyukur dan bangga dengan kedudukannya sebagai seorang berilmu. Beliau tidak mengharamkan jabatan itu. Tetapi, beliau enggan menerima jabatan itu untuk dirinya.

Sepanjang riwayat yang boleh dipercaya, bahwa ketika telah merasa bahwa dirinya akan sampai ke ajalnya, sang Imam  bersujud kepada Allah. Seketika itu wafatlah beliau dalam bersujud dengan khusyu’nya. Jenazahnya kemudian dimakamkan di pemakaman Al-Khaizaran, Baghdad.

Semoga kita dapat mengambil hikmah dan teladan dari Kisah Sang Imam Abu Hanifah!  Islam tidak mengharamkan jabatan dan harta. Tetapi, Imam Abu Hanifah memberikan keteladanan, bahwa dunia adalah hal ”remeh” di matanya.   Akhirat adalah kehidupan dan tujuan yang hakiki.  (Disarikan dari buku Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab karya K.H. Moenawar Cholil (Jakarta: Bulan Bintang, cet. kesembilan, 1994)). [Depok, 7 Desember 2009/INSISTS]