Wednesday, 24 April 2024, 01:44

Assalaamu’alaikum wr wb

Hari ini media massa menjejali headline-nya dengan aksi Densus 88 dalam upayanya melakukan pengepungan di sebuah rumah di Solo yang konon kabarnya ditempati oleh mereka yang diduga teroris. Aksi yang dimulai sejak kemarin malam itu berakhir tadi pagi dengan hasil 4 tewas dan 3 hidup. Inilah satu berita yang saya baca. Namun terlepas dari masalah pemberitaan, kita dan masyarakat lainnya pasti membutuhkan sebuah “kebenaran”. Masyarakat perlu tahu  dan harus bisa membedakan antara berita dan kebenaran. Sebab, itu berbeda. Bagaimana pun juga media massa harus mendidik masyarakat sekaligus memberikan hak-hak mereka untuk mendapatkan kebenaran dari masalah yang diberitakan.

Selain itu, labelling atau penjulukkan kerap dilakukan media massa tertentu. Terutama dalam masalah terorisme ini. Seperti contoh satu situs berita di internet menulis lead: “Pengepungan teroris di Solo. Lead itu ditulis sejak dinihari, tapi belakangan sekitar jam 10-an WIB, entah karena kesadarannya atau ada protes dari pihak lain, akhirnya diubah dengan cukup menuliskan “Penggerebekan di Solo”. Meski agak telat, tapi citra media itu cukup memberikan kesan bahwa mereka (yang belum tentu citra-dirinya yang asli) sudah diberi label sebagai teroris oleh media massa tersebut.

Kita seharusnya bisa bertanya-tanya (jika tidak mau menggunakan istilah “menggugat”): mengapa, misalnya sebuah media selalu–untuk tidak mengatakan terus-menerus–menggunakan frase, kalimat, istilah, atau frame tertentu manakala menggambarkan seseorang atau sekelompok orang? Apa yang menjadi sebab, alasan, pertimbangan, latar belakang, dan tujuan media tersebut mengambil langkah seperti itu?

Deddy Mulyana dalam Nuansa-Nuansa Komunikasi, menuliskan: Jika kita merujuk pada pendapat Pierce, maka metoda semiosis yang paling mudah tampaknya adalah menganalisis penjulukkan (labelling) yang dilakukan oleh media. Teori penjulukkan (labelling theory) menyatakan bahwa proses penjulukkan dapat sedemikian hebat sehingga korban-korban misinterpretasi ini tidak dapat menahan pengaruhnya. Karena berondongan julukan yang bertentangan dengan pandangan mereka sendiri, citra-diri asli mereka sirna, digantikan citra-diri baru yang diberikan orang lain.

Lebih lanjut Deddy Mulyana menuliskan: “Dampak penjulukkan itu jauh lebih hebat dan tidak berhubungan dengan kebenaran penjulukan tersebut, terutama bagi orang dalam posisi lemah, rakyat jelata misalnya. Benar atau salah, penjulukan itu dan reaksi yang diberikan objek yang dijuluki terhadap orang lain “membenarkan” penjulukan tersebut. Maka nubuat itu telah dipenuhinya sendiri, dan dalam kasus ini menjadli realitas bagi si penjuluk dan orang yang dijuluki.

Sudah tentu tanggung jawab media itu sendiri yang telah menyebarkan labelling terhadap seseorang atau kelompok tertentu, sehingga juga memancing pendapat yang sudah pasti beragam dari pembaca, karena informasinya sudah digiring sedemikian rupa. Seperti pada komentar-komentar dari pembaca atas berita yang diturunkan sebuah media massa di sini

Media massa yang ‘ceroboh’
Sikap yang kerap timbul di redaksi adalah menyepelekan intelegensia pembaca; dan inilah sikap arogan. Pembaca media massa terdiri dari orang-orang paling terdidik dan kita harus berusaha menjadi sekurang-kurangnya secerdas mereka. Kesalahan akan pasti terjadi, walaupun kita berusaha sebaik-baiknya, dan sebagian besar pembaca akan memaafkan kekeliruan yang sekali-kali terjadi yang secara jujur segera diperbaiki. Kesalahan-kesalahan yang sulit dimaafkan pembaca dan akhirnya menghancurkan kepercayaan mereka terhadap kita adalah karena kita tidak tahu atau tidak mau peduli (Paula LaRocque, “Language and Lost Credibility. Poor Writing Skills Can Jeopardize Reader Trust)

Itulah nasihat bagi wartawan dan pengelola media massa yang saya kutip dari buku “Catatan-catatan Jurnalisme Dasar” karya Luwi Ishwara.

Unsur kredibilitas memang harus menjadi pegangan bagi apa yang diucapkan, dilakukan, dan ditulis oleh wartawan. Karena itu wartawan dituntut untuk teliti–accurate. Akurasi harus bukan hanya menjadi suatu isi editorial (editoral issue). Akurasi adalah suatu nilai dasar (fundamental value) yang harus selalu diterapkan tanpa syarat, baik oleh wartawan maupun editor: Dick Smyser, editor surat kabar Oak Ridger (Tennessee) di Amerika, sengaja menempelkan sebuah peringatan bagi wartawannya di ruang redaksi: Accuracy, accuracy, accuracy! Tiga kata ini diambil dari tuntutan Joseph Pulitzer kepada wartawannya ketika memimpin koran World di New York.

Seharusnya para wartawan dan medianya menerapkan prinsip: “Get It First, But First Get It Right” Jadilah yang pertama untuk mendapatkan berita, tetapi yang utama berita itu harus benar. Sebaiknya para pengelola media massa merenungkan pendapatnya William G. Moll dari WKRC-TV berkata bahwa kewajiban media adalah “mendapatkan yang benar dulu, bukan menjadi yang pertama. prioritas utama kita adalah mendapatkan yang benar.”

Sejalan dengan prinsip ini, Karen Baker dari The News Tribune-Tocana menyampaikan bahwa, “pembaca tidak akan mengkritik bila kita terlambat satu hari. Tetapi mereka akan ingat terus bila kita salah”.

Hal lain yang menyulitkan dalam akurasi adalah menyangkut harapan akan kebenaran. Kebanyakan orang di luar jurnalisme, dan malah banyak wartawan, percaya jurnalisme menghasilkan “kebenaran”. Mereka lupa akan apa yang pernah disampaikan oleh Walter Lippmann: “berita dan kebenaran bukanlah hal yang sama”.

Joseph Pulitzer pernah berkata bahwa surat kabar tidak akan pernah bisa menjadi besar dengan hanya sekadar mencetak selebaran-selebaran yang disiarkan oleh pengusaha maupun tokoh-tokoh politik dan meringkas apa yang terjadi setiap hari. wartawan harus terjun ke lapangan, berjuang, dan menggali hal-hal yang eksklusif. Ketidaktahuan membuka kesempatan korup, sedangkan pengungkapan mendorong perubahan. Masyarakat yang mendapat informasi yang lengkap, akan menuntut perbaikan dan reformasi.

Saat ini, kita sering menemukan berita yang ditulis media massa, terutama isu tentang terorisme, cenderung ceroboh dalam pemberitaan karena hanya sekadar ‘copy-paste’ dari sumber tertentu tanpa melakukan verifikasi dengan benar. Ini mengherankan memang.

Selain itu, dalam kasus “Penggerebekan di Solo” ini, saya mencermati ada upaya pengalihan opini. Kisruh Bank Century dan ‘perseteruan’ Polri-KPK belum rampung, masyarakat sudah disuguhi ‘sinetron’ baru ala Densus 88. Padahal, kasus Bank Century jika diusut tuntas akan menyeret banyak pejabat publik, termasuk presiden sendiri. Sementara ‘perseteruan’ Polri-KPK lebih kearah gagalnya menemukan bukti kasus suap pimpinan KPK. Inilah mengapa, saya sendiri, cenderung melihat kasus ini sebagai pengalihan opini. Entah, siapa memanfaatkan siapa, atau siapa bekerja untuk siapa. Wallahu’alam.

Saya setuju penumpasan teroris, tetapi bukan dengan begini caranya. Bukan dengan melakukan ‘pembantaian’ terhadap orang-orang atau pihak tertentu yang belum terbukti identitasnya. Apakah tidak ada cara untuk menangkap mereka “hidup-hidup”? Sebab, kita akan sulit melakukan verifikasi kepada mayat. Jika ditangkap hidup-hidup, meski belum ada jaminan apakah mereka akan steril dari tuduhan dan paksaan untuk mengakui perbuatannya, tapi setidaknya bisa menjadi ‘obyek’ penelitian dan penyelidikan serta penyidikan untuk menangkap gembong teroris yang sesungguhnya. Kenapa ini tidak dilakukan oleh Densus 88 Antiteror?

Saya setuju terorisme harus diberantas. Tapi BUKAN dengan memberikan “julukan” sebagai teroris kepada pihak tertentu (khususnya kaum muslimin) yang belum tentu sebagai teroris. Masyarakat pembaca secara umum (yang tidak berada di tempat penggerebekan tersebut) pasti tidak tahu fakta aslinya. Jangan sampai masyarakat dijejali dengan berita yang belum tentu kebenarannya. Media massa harus mendidik masyarakat, tapi bukan dengan begitu caranya.

Dan, sebagai catatan terakhir, saya terus terang menyangsikan kinerja Densus 88 karena lembaga ini menurut beberapa pengamat yang pernah saya baca ulasannya, memang mendapat aliran dana dari pemerintah Amerika dan Australia. itu sebabnya, pastinya akan sarat dengan konflik kepentingan dengan kebijakan kedua negara tersebut. Jika demikian adanya, perang melawan teror ini agenda siapa?

Salam,
O. Solihin

3 thoughts on “Media Massa, “labelling”, dan Pengalihan Opini

  1. kita seharusnya bisa bertanya-tanya (jika tidak mau menggunakan istilah “menggugat”)

    siapa \’kita\” yang anda maksud?

    tidak ada teroris dalam prinsip ajaran islam. membunuh musuh dalam perang pun, islam mengajarkan lakukan dengan cara yang baik. orang islam semakin tidak memiliki sikap. menelan ludah sendiri di halaman-2 semacam ini. kalau anda mendengar berita tentang saudara (muslim) anda ditangkap dengan tuduhan teroris, seberapa cepat dan beranikah anda membantu saudara anda dan \’menggugat\’ densus 88?

    ada seorang anggota partai islam terbesar dibuat repot selama 2 bulan karena \’diduga\’ terlibat kasus teror marriott cartlon, pernahkah partainya menghubunginya, bertanya, dan melakukan pembelaan? tidak.

    kang sholihin, anda memang jago di kandang sendiri, anda bukan singa yang tidak butuh kandang.

    “kita” di sini adalah kaum muslimin yang mau sadar dan mau menyadari serta berpikiran normal.
    Saya sendiri sedari awal tidak mau peduli apakah Noordin M Top itu benar-benar ada atau rekaan semata. Yang saya kritisi adalah “cerita” di balik penjulukan terhadap kelompok yang dituduh teroris dan pemberitaannya yang tidak berimbang dan cenderung merusak frame berpikir tentang Islam dan kaum muslimin. Seperti kasus WTC 8 tahun silam yang pada akhirnya terbukti bahwa kejadian itu adalah konspirasi. Tapi yang kena dampaknya sampai sekarang adalah umat Islam di seluruh dunia. Sementara Amerika Serikat dan sekutunya nyaris luput dari perhatian kaum muslimin dan jarang sekali kaum muslimin yang meneriakkan bahwa Amerika Serikat adalah teroris sejati yang sudah melakukan penjajahan dan bumi hangus di Afghanistan, dan Irak. Juga mendukung Israel menjajah Palestina. Bahkan Presiden Obama sampai saat ini tidak berani (dan kelihatannya tidak akan) menghukum penjahat perang terbesar abad ini, George W Bush. Jadi, perang melawan terorisme lebih bersifat agenda perang secara ideologi, khususnya jika melibatkan Amerika Serikat. Sebab, setelah Soviet bubar, AS mengalihkan kewaspadaannya kepada Islam. Para pengamat politik di AS sendiri meyakini bahwa pemerintah AS ‘termakan’ opini Samuel Popkin Huntington bahwa ancaman bagi Amerika setelah Soviet runtuh adalah ISLAM. Percaya atau tidak, perang sudah terlanjur terjadi dan ini membuktikan semua prasangka yang pernah ada.

    Untuk yang berkaitan dengan “pemahaman yang salah tentang JIHAD” oleh beberapa kalangan Islam, menurut saya tdk berdiri sendiri. Maksudnya, ada kemungkinan mereka adalah korban (minimal tertipu) oleh propaganda oknum tertentu untuk melakukan aksi kekerasan. Di tahun 70-an operasi intelijen merekayasa “teknik pancing-jaring” untuk memancing kelompok yang ditengarai antipemerintah, disusupkan intelijen yang bertugas memanas-manasi anggota kelompok tsb untuk berlaku radikal dan setelah terprovokasi aparat dengan mudah menangkapnya dan menjadi pembenaran atas aksi penangkan tsb karena kelompok tsb sudah melakukan aksi kekerasan. Jadi, intinya tidak berdiri sendiri. Apalagi dalam perang melawan terorisme ini, baik sejak dimunculkannya nama NMT atau Dr Azhari publik tak pernah tahu wujud fisik kedua orang yang dituduh teroris itu. Kecuali dari KLAIM polisi. Ya, tiba2 muncul dan tiba2 hilang. Polisi yang memulai, polisi pula yang mengakhiri (dangdut mode “on”). 🙂

    Khusus ttg NMT, mengapa NMT tidak ditangkap hidup-hidup, lalu diproses pengadilan, ditunjukkan pada publik yang terlanjur bertahun-tahun di”hantui” tokoh NMT, dan membuktikan bahwa segala cerita polisi benar adanya? Bukankah polisi amat memerlukan pembuktian bahwa mereka benar? Bukankah salah satu caranya dengan menghadirkan NMT hidup-hidup? Jangan salahkan orang yang skeptis ketika cuma disodori mayat, setelah bertahun-tahun disodori potret yang berubah-ubah. Jujur saja, kita semua tidak pernah tahu the real, living, NMT. Bahkan video live-nya saja nggak pernah ada. Gambar yang menunjukkan dia a living being, bergerak, berbicara, Tidak ada. Yang disodorkan ke kita cuma potret-potret yang berubah, yang tentu saja digambar oleh polisi.

    Jika pun ada kelompok yang salah memaknai JIHAD spt yang dituduhkan polisi kepada NMT dkk, menurut saya jika tidak dipanas-panasi tidak akan muncul. Mereka biasanya lebih memilih ‘underground’. Dampaknya tidak terlalu besar. Setahu saya, pihak MUI dan tokoh2 Islam setempat biasanya sudah melakukan upaya pencegahan sehingga masyarakat lain tidak mudah tertipu. Tapi apa daya jika kemudian media massa dan polisi terlanjur ‘menakut-nakuti’ masyarakat ttg hal itu. Cukup banyak masyarakat yang melarang anak2 dan keluarganya ngaji, tapi bersamaan dengan itu mereka seolah ‘membiarkan’ seks bebas dan narkoba merajalela. Yang lebih parah adalah, jika ada ungkapan atau pernyataan, “biarlah anak saya mengkonsumsi narkoba dan seks bebas, asal jangan jadi teroris” Haduh! Ini memang upaya menghancurkan Islam secara terencana dan sitematis yang dilakukan oleh musuh2 Islam.

    Untuk Jamaah Islamiyah yang sering disebut-sebut sebagai jaringan teroris ternyata banyak pengamat intelijen meragukan aksi terakhir pada 17 Juli 2009 dilakukan oleh JI karena secara fakta gerakan tsb sudah bubar dan melemah sejak tahun 2000. Jadi siapa pelaku sebenarnya? Beberapa pengamat intelijen malah menduga ada upaya campur tangan dari intelijen asing. Di berbagai diskusi di internet menduga itu adalah persaingan bisnis (karena bertepatan dengan momen kedatangan klub sepakbola MU, dan sedang ada pertemuan bos-bos migas di kedua hotel tsb.)

    Okelah, terlepas dari perdebatan itu. Seharusnya tangkap NMT dan anggotanya (jika memang ada) secara hidup2 dan interogasi semaksimal mungkin sehingga kita tahu siapa mereka, bekerja untuk siapa, dan mengapa melakukan itu. Tapi, ternyata kebijakan yang dilakukan polisi adalah “tembak di tempat”. Jadi, wajar jika saya dan mungkin teman lain punya sikap skeptis terhadap fakta ini. Banyak wartawan sendiri yang masih memegang prinsip jurnalisme meragukan semua KLAIM polisi selama ini. Jika memang polisi dan pemerintah tidak mau dituduh melakukan rekayasa, seharusnya mereka bisa membuktikan kepada masyarakat semua tuduhannya terhadap kelompok yang dianggap teroris itu. Dan, bukti itu bisa diverifikasi dengan mudah oleh semua pihak. Sehingga jadi tahu masalahnya dengan jelas. Minimal pekerja media yang akan memberikan hasil investigasinya kepada masyarakat. Tapi, sampai saat ini tidak. Tapi yang terjadi sekarang, kita selamanya dicekoki informasi KLAIM polisi dan media mengamininya. Masyarakat? Banyak yang tertipu dan merasa minder dengan keislamannya. Contoh paling aktual adalah, kakaknya si Bagus harus “berbohong” kepada polisi bahwa adiknya itu tidak rajin shalat dan tidak ikut pengajian. Itu dilakukannya agar polisi mau membebaskan sang adik dari kantor polisi karena polisi ingin memintai keterangan Bagus yang memajang di blognya sebuah pesan dari seseorang yang mengaku Noordin M Top dalam mengomentari kasus JW Marriott dan Ritz Carlton Juli lalu. Parah kan?

    Itu saja dari saya, maaf kalo terlalu panjang komentarnya. BTW, terserah Anda mau dikatakan jago kandang atau tandang. Hal itu tidak penting bagi saya. Terima kasih.

    Salam,
    O. Solihin

  2. 1. Dalam liputan terorisme di Indonesia, wartawan/media telah melupakan hampir semua elemen dasar jurnalistik (Lihat Bill Kovach: http://monitoringmedia.wordpress.com/jurnalisme/ ).

    2. Wartawan/media melompat serampangan, menganggap KLAIM POLISI sebagai FAKTA. Bahkan ketika ada banyak kejanggalan mengemuka, wartawan/media kehilangan daya kritis untuk mempertanyakan hal-hal elementer. Elemen utama yang dilupakan adalah “disiplin verifikasi”.

    3. Wartawan/media melupakan elemen lain, yakni perannya sebagai pemantau kekuasaan (polisi, Densus 88, badan intelijen negara).

    4. Perselingkuhan polisi/media makin menjadi-jadi di tengah dahaga media akan rating/oplah, serta efisiensi (cara termurah dan termudah untuk menyajikan berita). Wartawan/media potensial terjatuh menjadi alat propaganda pemerintah/polisi, manufacturing consent.

    5. Wartawan/media mendukung dengan antusias pelanggaran hak-hak sipil masyarakat, yang akan bermuara pada otoritarianisme cepat atau lambat, pada akhirnya akan merugikan pers sendiri.

    6. Cara kerja wartawan/media seperti ini tidak pernah akan membantu memecahkan masalah terorisme di Indonesia (kecuali hanya membantu polisi untuk nyaman dengan semua perilakunya).

  3. @ eila:
    tidak ada teroris dalam prinsip ajaran islam. membunuh musuh dalam perang pun, islam mengajarkan lakukan dengan cara yang baik. orang islam semakin tidak memiliki sikap. menelan ludah sendiri di halaman-2 semacam ini. kalau anda mendengar berita tentang saudara (muslim) anda ditangkap dengan tuduhan teroris, seberapa cepat dan beranikah anda membantu saudara anda dan \’menggugat\’ densus 88?

    ==
    Densus 88 sudah sering digugat banyak pihak. Jika ada yang membela tersangka teroris, pasti ada dikenakan pasal membela mereka. Sama spt Amerika yang teriak bahwa yang berada bersamanya adalah pejuang HAM, dan yang berseberangan dengannya berarti melindungi. Itulah pesan Bush setelah tragedi WTC

Comments are closed.