Friday, 4 October 2024, 21:53

gaulislam edisi 683/tahun ke-14 (8 Rabiul Akhir 1442 H/ 23 November 2020)

Seorang ustaz berpesan kepada kami, bahwa jangan puas hanya menjadi penuntut ilmu yang ilmunya hanya itu-itu saja. Beliau berpesan, jadilah ulama. Menjadi ustaz atau guru, adalah pijakan awal saja. Terus belajar dan berharap kepada Allah agar dijadikan ulama. Begitu pesan beliau menyemangati kami.

Luar biasa. Memang tak mudah menjadi ulama, tetapi bercita-cita atau menginginkan menjadi ulama adalah hal terbaik yang perlu diwujudkan sebagai seorang muslim. Semoga saja bisa ya, walau tentunya berat banget meraihnya. Insya Allah, semoga bisa terwujud atas izin-Nya.

Namun demikian, tak ada yang tak mungkin jika Allah Ta’ala berkehendak, walau susah bisa jadi mudah. Iya, kan? Itu sebabnya, yang terpenting kita berusaha sekuat tenaga dan pikiran agar bisa meraih sebanyak mungkin ilmu yang kemudian diamalkan dan disebarkan. Menjadi ulama bukan proses singkat, bahkan bisa jadi berpuluh tahun harus dijalani. Tak bosan belajar, tak gentar dengan banyaknya rintangan.

Niatkan dari sekarang bahwa belajar, yakni mencari ilmu sebagai bagian dari menghilangkan kebodohan dalam diri kita. Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, “Beritahukan kepada kami amalan apakah yang paling utama?”

Beliau menjawab: “Menuntut ilmu.”

Dia bertanya kembali: “Bagi siapa?”

Beliau menjawab: “Bagi orang yang benar niatnya.”

Dia bertanya kembali: “Apa saja yang bisa membenarkan niat itu?”

Beliau menjawab: “Dengan meniatkan dirinya agar bisa bertawadhu’ dan menghilangkan kebodohan darinya.”

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah juga berpesan bahwa, “Tidaklah seseorang akan patah semangat di dalam menuntut ilmu kecuali orang yang bodoh.”

Ya, semoga kita semua bisa serius dalam belajar dan meluruskan niat agar bisa menghilangan kebodohan dalam diri kita dan berusaha pula agar bisa menyebarkan lagi kepada yang lain. Tentu saja, agar ilmu bisa diketahui banyak orang dan kita semua menjadi hamba Allah yang saling menginspirasi kebaikan dan memberi manfaat.

Kalo kita membaca biografi para ulama, rasa bangga memenuhi dada kita. Islam memiliki ribuan ulama di berbagai bidang untuk memberikan manfaat kebaikan kepada kaum muslimin sepanjang masa. Ada dorongan kuat juga bagi kita untuk melakukan hal yang sama dengan mereka, yakni dimulai dengan belajar ilmu agama. Walau, tentu saja kita juga mafhum bahwa menjadi yang terbaik, menjadi ulama itu tidak mudah. Allah Ta’ala yang berkehendak. Namun demikian, bukan berarti kita jadi patah semangat dan down. Nggak lah, ya. Walau memang bisa mengukur kemampuan diri, layak atau nggak jadi ulama, tetapi kita tetap berusaha, minimal meneladani para ulama dalam semangat belajar, mencari ilmu agama.

Tambah ilmu, tambah takwa

Sobat gaulislam, tentu saja hal yang membahagiakan adalah ketika kita bisa mendapatkan ilmu setelah berbagai upaya kita jalani. Ilmu yang didapat, semoga menjadi bermanfaat. Diamalkan, dan kemudian disebarkan. Tambah ilmu, mestinya juga jadi tambah takwa. Iya lah. Nggak asyik banget banyak ilmu tapi malah jadi nggak taat sama Allah Ta’ala.

Lho, emang ada yang kayak gitu? Walau nggak banyak, tapi ada kok. Buktinya, kurang pinter apa orang-orang yang berpikiran liberal. Banyak baca, bahkan ada yang banyak menulis. Namun, apa yang dibaca dan apa yang ditulis malah nyinyirin kaum muslimin, atau malah menghina agama Islam. Nah, itu namanya piter tapi keblinger. Bukannya tambah takwa dengan tambah ilmu, malah tambah jauh dari Allah Ta’ala. Bahaya ini sih. Berarti ada yang salah di awal, yakni soal niat dan nggak ikhlas serta keliru tujuan dalam mencari ilmu. Waspada!

Ya, mestinya tambah ilmu itu jadi tambah takwa. Tambah taat kepada Allah Ta’ala. Makin zuhud dan tawadhu. Tidak sombong. Makin bagus akhlak dan adabnya. Mestinya sih begitu. Ideal banget, ya? Iya sih, memang. Namun, boleh aja kan kita berkeinginan setinggi itu. Insya Allah, ya. Semoga bisa.

Prof. Dr. Wahbah Zuhaily dalam kitabnya, Tafsir Munir, mengungkapkan beliau mengutip beberapa pendapat para mufasir, banyak sekali pendapat yang dikemukakan. Intinya, beliau mengatakan bahwa al-Furqon yaitu sifat atau sikap yang jadi karakter, dengan itu seseorang bisa membedakan antara yang hak dan yang batil. Bisa membedakan yang maslahah dan mafsadah. Karena sebenarnya orang yang bertakwa kepada Allah dengan sungguh, adalah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dia akan diberikan taufiq, pertolongan, dan kemampuan mengetahui yang hak dan yang batil. Hal itu merupakan sebab wasilah keselamatan dia di dunia, dan juga akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat yaitu akan dimasukkan ke surga Allah Ta’ala.

Orang yang ilmunya banyak, punya tanggung jawab yang lebih dibanding saudaranya yang berilmu sedikit. Tanggung jawab menyampaikan nasihat lebih besar di pundak orang yang berilmu banyak. Meski demikian, untuk saling menasihati, memang tak harus menjadi sempurna alias tak ada cela. Kita bisa saling menasihati sesuai kemampuan kita. Sesuai apa yang kita tahu dan yakini. Walau, mungkin saja kita belum sempurna ibadahnya, atau belum banyak amal shalih lainnya.

Ada baiknya kita renungkan nasihat dari al-Imam  Hasan al-Bashri rahimahullah, “Wahai manusia, sesungguhnya aku tengah menasihati kalian, bukan berarti aku orang yang terbaik di antara kalian, bukan pula orang yang paling shalih di antara kalian. Sungguh, aku pun telah banyak melampaui batas terhadap diriku. Aku tidak sanggup mengekangnya dengan sempurna, tidak pula membawanya sesuai dengan kewajiban dalam menaati Rabb-nya.

Andaikata seorang muslim tidak memberi nasihat kepada saudaranya kecuali setelah dirinya menjadi orang yang sempurna, niscaya tidak akan ada para pemberi nasihat.

Akan menjadi sedikit jumlah orang yang mau memberi peringatan dan tidak akan ada orang-orang yang berdakwah di jalan Allah ‘Azza wa Jalla, tidak ada yang mengajak untuk mentaati-Nya, tidak pula melarang dari bermaksiat kepada-Nya.

Namun dengan berkumpulnya ulama dan kaum mukminin, sebagian memperingatkan kepada sebagian yang lain, niscaya hati-hati orang-orang yang bertakwa akan hidup dan mendapat peringatan dari kelalaian serta rasa aman dari lupa dan kekhilafan.

Maka terus meneruslah–semoga Allah Ta’ala mengampuni kalian–engkau berada pada majelis-majelis dzikir (majelis ilmu), bisa jadi satu kata yang terdengar merendahkan diri kita sangat bermanfaat bagi kita. Bertakwalah kalian semua kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan sebenar-benarnya takwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim.” (Mawai’zh lil Imam al-Hasan al-Bashri, hlm. 185)

Tuh, ada pesan takwanya juga. Jadi, memang kita mesti sadar bahwa ketakwaan itu ada korelasi alias hubungannya dengan ilmu. Jika benar ilmunya, maka semakin tinggi ilmunya akan semakin kuat takwanya. Itu sebabnya, para ulama adalah orang yang selain ilmunya tinggi, juga takwanya kokoh. Insya Allah.

Ulama dan perjuangan

Sobat gaulislam, umat Islam adalah umat yang rindu perjuangan. Maka, orang yang ilmu, yakni para ulama, adalah orang terdepan dalam memimpin umat untuk berjuang. Umat akan tunduk dan patuh pada para ulama. Bahkan, jika pun rakyat tidak berani ambil risiko dalam perjuangan, maka ulama tetap tampil dalam perjuangan membela agama.

Bagi negeri ini, tentu nggak bisa melupakan jasa seorang ulama bernama KH Hasyim Asy’ari. Beliau bukan saja ulama yang memimpin Pesantren Tebuireng, tetapi juga adalah pejuang kemerdekaan, khususnya dengan fatwanya yang terkenal, yakni Resolusi Jihad yang kemudian menyulut semangat perjuangan rakyat pada 10 November 1945 di Surabaya.

Mengutip dari laman insists.id, dituliskan bahwa menurut catatan Direktur Museum NU Achmad Muhibbin Zuhri (2012), terdapat dua naskah Resolusi Jihad. Pertama, naskah “Resolusi Djihad fi Sabilillah, salinannya dikoleksi oleh Museum NU. Naskah tersebut berisi pandangan-pandangan dan pertimbangan yang berkembang pada rapat besar wakil-wakil daerah (konsul 2: Jawa-Madura) pada tanggal 21-22 Oktober 1945. Kedua, naskah “Resoloesi Moe’tamar Nahdlatoel Oelama’ ke-XVI” di Purwokerto tanggal 26-29 Maret 1946.

Ada tiga poin penting dalam kedua naskah Resolusi Jihad itu. Pertama, Hukum membela negara dan melawan penjajah adalah fardlu ‘ain bagi setiap mukallaf yang berada dalam radius masafat al-safar; kedua, perang melawan penjajah adalah jihad fi sabilillah, dan oleh karena itu umat Islam yang mati dalam peperangan itu adalah syahid; ketiga, mereka yang mengkhianati perjuangan umat Islam dengan memecah-belah persatuan dan menjadi kaki tangan penjajah, wajib hukumnya dibunuh.

Perlu diketahui, bahwa sebelum Resolusi Jihad ini keluar, ada “fatwa jihad” yang dikeluarkan sebelumnya oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Fatwa dimaksud disampaikan pada pertemuan terbatas para ulama di Pesantren Tebuireng pada tanggal 14 September 1945. Poin-poin dari fatwa ini sama dengan poin-poin dalam Resolusi Jihad.

Fatwa jihad yang kemudian dirumuskan secara tertulis dalam Resolusi Jihad tersebut keluar diawali dengan kegalauan Presiden Soekarno demi menghadapi kedatangan enam ribu tentara Inggris di bawah komando Brigadir Jenderal Mallaby, Panglima Brigade ke-49 (India) yang akan segera tiba di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Dan bahkan penjajah Belanda dengan tentara NICA-nya (Netherlands Indies Civil Administration) yang sudah terusir pun ikut membonceng tentara Sekutu tersebut. Kedatangan pasukan Sekutu dan Belanda tersebut hendak merongrong kemerdekaan Indonesia.

Umat Islam sebagai kekuatan terbesar di negeri ini, tentu saja menjadi senjata untuk melawan penjajah. Di bawah komando para ulama, mereka menyambut ajakan jihad tersebut. Luar biasa.

Di masa lalu dan di berbagai negeri Islam, kaum muslimin adalah umat yang cinta perjuangan dan tunduk patuh pada ulama. Sebab, ulama adalah pewaris nabi. Jadi, nggak main-main dalam soal hormat dan takzim kepada para ulama. Jadi, memang dibutuhkan ulama pejuang untuk membawa kemaslahatan bagi umat dan negeri kaum muslimin.

Saat ini tentu saja dibutuhkan juga ulama pejuang. Bukan saja untuk mengusir penjajah, tetapi saat ini adalah untuk melawan kezaliman, ketidakadilan penguasa, dan antek-antek penjajah dalam memberikan stigma (cap negatif) kepada Islam dan kaum muslimin. Perlu ada ulama tampil memimpin umat untuk menggelorakan perlawanan terhadap penguasa yang zalim.

Semoga saja, Habib Rizieq Shihab yang akhir-akhir ini menjadi pembicaraan di berbagai media massa dan juga media sosial, mampu menjadi triger kebangkitan umat Islam di negeri ini dalam melawan kezaliman. Para ulama lainnya juga insya Allah siap membantu dalam perjuangan ini. Kami merindukan para ulama pejuang keadilan, pejuang dalam melawan kezaliman.

Oya, selain merindukan dan menantikan ulama pejuang, tentu saja kita juga harus menyiapkan diri untuk menjadi pejuang, agar kelak bisa ikut berjuang, bukan sebagai penonton orang yang berjuang.

Itu sebabnya, sebagai remaja, bekali diri kamu dengan ilmu agama dan kecintaan kepada agama ini dengan cara membela dan memperjuangkannya. Ngaji dan dakwah menjadi bagian yang nggak boleh dipisahkan dalam memulai memupuk semangat perjuangan dan jihad. Allahu Akbar! [O. Solihin | IG @osolihin]