Friday, 19 April 2024, 04:37

Nasionalisme merupakan suatu ikatan untuk sekelompok manusia berdasarkan kesamaan identitas sebagai sebuah “bangsa”. Pengertian “bangsa” ini, pada praktiknya sangat luas dan kadang malah bersifat imajiner. Kesamaan “bangsa” kadang bisa berarti kesamaan ras, budaya, bahasa, sejarah, dan sebagainya. Dalam wacana ilmu politik mutakhir,  pengertian “bangsa” lebih bersifat imajinatif (Benedict Anderson, 1999). Penduduk pesisir timur Sumatera (yang ber”bangsa” Indonesia) sebenarnya bukan hanya dekat secara fisik dengan penduduk di Semenanjung Malaysia sebelah barat (yang ber”bangsa” Malaysia), yang hanya dipisahkan oleh Selat Malaka. Merekapun satu suku, sehingga mereka bisa saling memahami ucapan dan adat masing-masing. Tetapi, mereka “mengimajinasi” sebagai bangsa yang berbeda, dan saling menganggap sebagai bangsa asing. Sebaliknya penduduk Sumatera, yang sama sekali tidak memiliki kesamaan bahasa ibu dan kesukuan dengan orang Ambon, ternyata telah “mengimajinasi” sebagai satu “bangsa” dengan orang Ambon. Di sinilah letak absurdnya nasionalisme. Yang “sama” bisa menjadi “bangsa” yang berbeda, sementara yang “tidak sama” bisa menjadi satu “bangsa”.

Karena itulah, nasionalisme sesungguhnya tidak mengandung suatu hakikat pengertian yang pasti. Nasionalisme adalah ide yang kosong dari makna-makna yang konkrit. Nasionalisme lebih mengandalkan sentimen atau emosi yang semu. Tidak bertolak dari ide yang lahir melalui proses berpikir yang benar dan sadar.

Maka dari itu, nasionalisme bukan ide yang layak untuk membangkitkan umat manusia. Sebab dalam suatu kebangkitan, diperlukan suatu pemikiran yang menyeluruh (fikrah kulliyah) tentang kehidupan, alam semesta, dan manusia, serta pemikiran tertentu tentang kehidupan untuk memecahkan problem kehidupan.

Pemikiran seperti inilah yang dapat membangkitkan manusia, karena dia memiliki persepsi-persepsi yang akan menentukan jatidiri mereka (secara konkrit), membentuk institusi-institusi untuk mengatur kehidupan, menetapkan orientasi dan arah hidup, menjelaskan pandangan hidup serta jenis peradaban, masyarakat, dan nilai-nilai dasar kehidupan. Ini semua diperlukan untuk sebuah kebangkitan, yang faktanya, tidak dimiliki oleh nasionalisme  (Abdus Sami’ Hamid, 1998).

Satu hal yang mungkin tidak disadari banyak orang, temasuk umat Islam, adalah kenyataan bahwa nasionalisme sebenarnya adalah ide yang diperalat oleh Barat untuk menjajah dan mendominasi dunia (Abdus Sami’ Hamid, 1998). Negara-negara Kapitalis seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis, telah menggariskan langkah politik untuk memperkokoh atau mempertahankan eksistensi dan pengaruhnya dengan cara memecah belah sebuah kekuatan politik dan merekayasa berbagai konflik dan kekacauan di antara kelompok-kelompok masyarakat. Bila kondisi chaos sudah tercipta, nasionalisme akan datang dengan kedok “hak menentukan nasib sendiri”, atau isu “bangsa yang berdaulat dan merdeka”, dan sebagainya. Nasionalisme dijadikan landasan untuk menuntut kemerdekaan sekaligus untuk legitimasi perpecahan dan separatisme. Contoh kontemporer yang sangat gamblang, adalah masalah Timor Timur, yang secara sukses telah diceraikan dari Indonesia oleh Barat dengan tekanan-tekanan dan senjata mematikan : jajak pendapat (baca : nasionalisme).

Contoh lain untuk fakta bahwa nasionalisme telah dimanfaatkan Barat untuk menjajah dan mendominasi dunia, adalah tercerai berainya umat Islam menjadi lebih dari 50 negara berdasarkan nasionalisme. Benih-benih perpecahan umat ini sebenarnya sudah mulai muncul sejak imperialis Barat menginfiltrasikan racun nasionalisme ke dalam tubuh umat Islam melalui kegiatan kristenisasi dan missi/zending  –yang sebagian besar berasal dari Amerika, Inggris, dan Perancis– pada pertengahan abad ke-19 di Siria dan Libanon. Sejak tersebarnya ide-ide nasionalisme itu, kaum misionaris mulai menyulut sentimen kebencian terhadap negara Khilafah Utsmaniah, yang mereka sebut sebagai sebagai “negara Turki”. Mereka juga menyebarkan pikiran bahwa orang Turki telah merampas Khilafah Islam dari orang Turki serta telah melanggar ketentuan syari’ah (Shabir Ahmed & Abid Karim, 1997).

Untuk memperkokoh embrio nasionalisme itu, Barat merekayasa partai-partai politik di Arab dan Turki untuk menentang Khilafah, seperti Partai Al Fatah  Turki, partai Ittihad wa Taraqqi (Partai Persatuan dan Kemajuan, atau dikenal pula dengan sebutan Turki Muda),  Partai Kemerdekaan Arab, dan Partai Perjanjian (‘Ahd). Pada tahun 1916 meletuslah Revolusi Arab, yang bertujuan untuk memisahkan negeri-negeri Arab dari Khilafah. Puncaknya adalah tahun 1916 tatkala  negara Khilafah dapat dikuasai secara militer. Jenderal Lord Allenby memasuki kota Yerussalem (Al Quds) dan berkata,”Hari ini Perang Salib telah berakhir.” Sejak detik itulah negeri-negeri Islam menjadi bagaikan keratan-keratan daging bangkai yang dimangsa burung-burung nasar, tercerai berai dan terpenggal-penggal sesuai dengan perjanjian rahasia Sykes-Picot (1915) di antara negara-negara imperialis untuk membagi-bagi negeri-negeri Islam.

Contoh-contoh di atas hanya sekelumit saja dari bahaya nasionalisme untuk umat manusia yang muncul karena adanya dominasi dan hegemoni Barat yang kafir. Bila kita buka lebih banyak lembaran-lembaran sejarah dengan cermat, akan semakin terbukti bahwa nasionalisme hakekatnya adalah racun yang mematikan.

Maka dari itulah, sungguh tak mengherankan bila Islam telah menentang dan mengharamkan ide nasionalisme itu. Tak masuk akal, bila ide yang telah membawa penderitaan umat manusia itu dihalalkan dan diridoi oleh agama Islam yang lurus.

Kaum muslimin adalah satu kesatuan, yang diikat oleh kesamaan aqidah (iman), bukan kesamaan bangsa. Allah SWT  berfirman :

Sesungguhnya orang-orang beriman adalah bersaudara.” (Al Hujurat : 13)

Rasulullah SAW bersabda :

Tidak tergolong umatku orang yang menyerukan ashabiyah (fanatisme golongan, seperti nasionalisme). (HR. Abu Dawud)

Islam mewajibkan umatnya untuk hidup di bawah satu kepemimpinan (Khilafah). Haram bagi mereka tercerai berai di bawah pimpinan yang lebih dari satu. Rasulullah SAW bersabda :

Jika dibai’at dua orang  Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR. Muslim).
 
Kaum muslim kini sudah saatnya sadar dan membuang nasionalisme dan kembali kepada ajaran Islam yang murni, yakni kembali kepada ikatan (rabithah) keimanan, bukan kebangsaan, serta berusaha untuk mewujudkan satu institusi politik pemersatu umat Islam, yakni Khilafah Islamiyah.

Ya Allah kami sudah menyampaikan, saksikanlah. [Muhammad Shiddiq Al Jawi]

3 thoughts on “Nasionalisme dan Islam

  1. sekarang mari qta tunjukin bahwa islam adalah agama yang kuat dan rahmatan lilaalamin!!!!Allah Akbar……Allah Akbar…..Allah Akbar……bagi kaum nasarani n yahudi tunggu ja kehancuran anda.

  2. Ijin share akhi…
    Sedikit mengoreksi, “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara” ada di ayat 10. Ayat 13 menerangkan mengenai penciptaan manusia yg berpasang-pasangan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa dan derajat yg sama di sisi Allah kecuali orang yang bertakwa (lebih tinggi kedudukannya).

    Syukran, Jazakumullahu Khairan… ^_^

Comments are closed.