Thursday, 28 March 2024, 15:33

Nggak cuma pake rudal, peluru atau mesiu, ternyata perang juga butuh opini. Apa yang dilakukan media massa Barat jauh lebih keji dari para serdadu mereka di medan tempur.

Pernah nonton film James Bond’s Tomorrow Never Dies ? Nah, di film itu si top agen MI6 ini kudu menghadapi salah satu teroris dunia yang intelek. Namanya Elliot Carver, raja media. Ia meneror dunia nggak cuma pake senjata, tapi dengan senjata terampuh: opini! Ceritanya si penjahat ini adalah raja media dan punya satu koran internasional yang namanya Tomorrow. Edannya, koran itu sering memuat berita-berita panas soal politik?  yang menyulut perang antar negara. Padahal, semua kejadian politik itu sudah direkayasa oleh sang pemilik media tadi. “Media adalah senjata dan berita adalah mesiu,” katanya pada Bond.

Dalam kehidupan nyata kejadian seperti itu memang ada. Pada akhir abad ke-19 seorang penerbit besar Amerika, William Randolph Hearst, pernah menyulut konflik besar antara Spanyol dengan Amerika. Pemilik harian New York Journal ini memanas-manaskan situasi politik kedua negara dengan pemberitaan yang menggambarkan seolah-olah memang berlangsung ketegangan antara kedua negara di Amerika Selatan. Bahkan diceritakan saat salah seorang wartawannya minta dipulangkan saja dari Kuba, karena memang tidak ada kejadian apa-apa di sana, Hearst justru melarangnya dengan mengatakan, “Tetaplah di sana. Kirimkan saja gambarannya, saya yang akan menggambarkan perangnya.” Berita-berita sensasional Hearst dipercaya mendorong kemarahan antarnegara yang berujung pada peperangan.

Menjelang Perang Dunia I, media Amerika dan Inggris diketahui juga menyebarkan berita bohong tentang Jerman, dengan tujuan untuk mendorong dukungan publik. Gambaran tentara Jerman diburuk-burukkan, sehingga masyarakat marah dan mendukung rencana keterlibatan negaranya untuk menyerang Jerman.

Media Massa Sebagai Gatekeeper
Dalam urusan informasi, media massa memang punya peran sebagai gatekeeper, penjaga gerbang informasi. Media massa bisa menyaring berita, tulisan, artikel yang akan dilempar pada khalayak. Ia bisa memberinya bobot tertentu dengan ruang penempatan dalam surat kabar, pemilihan jam tayang pada radio dan televisi. Media massa juga bisa memberi penonjolan tertentu dengan ukuran judul (makanya berita dengan huruf yang ‘raksasa’ dan warna mencolok lebih menarik perhatian), frekuensi pemuatan, dan lain-lain.

Secara teori, media massa seharusnya bersikap netral, tidak berpihak pada kelompok manapun. Namun pada kenyataannya setiap media massa baik cetak maupun elektronik telah memiliki sudut pandang tertentu (angle) terhadap suatu kejadian dan cara penyampaian informasi pada publik. Contohnya adalah apa yang dilakukan oleh Hearst dengan New York Journal-nya itu.

Kasus lain yang terhangat di tanah air mengenai tidak netralnya media massa adalah soal kontroversi Inul. Dibandingkan dengan pemuatan pendapat orang-orang yang anti dengan goyang Inul, media massa secara umum lebih suka mengekspose pendapat kalangan pro-Inul. Mulai sesama seniman, LSM sampai politisi. Malah sejumlah stasiun televisi justru semakin gencar menayangkan aksi seronok Inul seolah menantang kelompok anti-Inul yang didominasi umat Muslim. Tentu saja ini mengesankan seolah-olah Inul – dan kebebasan berekspresi – punya lebih banyak pendukung ketimbang yang anti.

Selain itu, media massa lebih memiliki pengaruh dalam menanamkan citra dan mempengaruhi persepsi orang. Dengan kemampuan yang disebut oleh seorang pakar komunikasi Marshall MacLuhan sebagai “realitas tangan kedua” (second hand reality), media massa bisa mempengaruhi aspek kognitif pada khalayak. Citra negatif atau positif yang digambarkan oleh media massa bisa begitu kuatnya sampai dipercaya begitu saja oleh khalayak dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Hingga kini kebencian orang-orang Barat pada Islam dan Arab tidak punah. Ini yang dinamakan sebagai warisan ketakutan (legacy of fear).

Kasus Perang Teluk II
Pada Perang Teluk lalu, disadari atau tidak olehmu perang opini di media massa juga telah berlangsung. Bahkan tidak kalah dahsyat dengan perang sesungguhnya di medan pertempuran Irak. Stasiun televisi Al Jazeera yang terbilang ‘berani’ menayangkan berita-berita sesungguhnya dari Irak tidak saja mengundang decak kagum dari publik, tapi juga kebencian bahkan ancaman fisik dari negara-negara pro sekutu, termasuk sejumlah negara-negara Arab. Sebut saja Arab Saudi dan Kuwait melarang semua stasiun televisi di negara mereka merelay siaran Al Jazeera. Maklum dua negara itulah yang mengundang AS hadir ke kawasan Teluk.

Hal serupa juga terjadi di AS. Negara yang terkenal mengkampanyekan ‘kebebasan pers’ justru kehilangan akal sehatnya; selain melarang relay stasiun televisi Al Jazeera di seluruh Amerika, dua orang wartawan Al Jazeera juga diusir dari bursa New York Stock Exchange (NYSE) dengan alasan keterbatasan tempat dan keamanan.

Itu saja tidak cukup. Saking khawatirnya dengan pemberitaan riil dari Irak oleh Al Jazeera, pasukan AS sampai harus memburu dan membombardir stasiun televisi itu di Irak. Bahkan pasukan koalisi juga menembaki Hotel Palestina dengan sejumlah rudal untuk membungkam para jurnalis. Pada insiden tersebut sejumlah jurnalis tewas. Pasukan koalisi berdalih mereka menembaki para sniper (penembak gelap) yang bersembunyi di gedung hotel tersebut. Tapi tidak banyak orang yang percaya. “Mereka ingin membungkam kami,” kata seorang reporter dari LBC, sebuah jaringan berita Lebanon yang beroperasi di Baghdad. “Mereka ingin membantai Irak dan tidak menginginkan ada seorang pun yang hidup untuk menceritakan kejadian tersebut.”

Sebaliknya, media massa Amerika terus menerus memanipulasi berita dari Irak; baik mengenai kekalahan pasukan mereka di berbagai daerah, ataupun jumlah korban, kesalahan tembak dan serangan brutal pasukan koalisi pada warga sipil dan jurnalis.

Seorang?  analis pertahanan Francis Tusa berbicara kepada Sky News, “Hari ini tiga kali kita mendengar berita bahwa Nassiriyah telah diambil alih. Berapa kali lagi kita bakal mendengar berita yang sama?”

Informasi ngawur lainnya soal rudal Patriot AS yang sukses menerjang Scud milik Irak. Padahal Irak belum pernah meluncurkan satu biji pun rudal Scudnya. Belakangan diketahui malah rudal AS itu menghantam pesawat Tornado Inggris.

Stasiun-stasiun televisi AS juga memanipulasi berita kejatuhan Baghdad ke tangan sekutu pada tanggal 9 Maret 2003. Kamera-kamera kru seluruh stasiun televisi itu terlihat hanya menayangkan segelintir orang – hanya puluhan – orang-orang Irak yang nampak bersuka cita dengan kejatuhan rezim Saddam Husain. Padahal diberitakan bahwa seluruh rakyat Irak bergembira dengan kedatangan pasukan AS dan tergulingnya Saddam.

Membangun Kekuatan Media
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.“(TQS. Al Hujuraat [49]:6).

Dalam ayat ini dengan amat jelas Allah SWT. telah memberikan perintah kepada kaum muslimin untuk senantiasa waspada terhadap berita?  yang dibawa oleh orang-orang fasik. Mereka diperintahkan untuk melakukan check & recheck (tabayyun) atas berita-berita tersebut. Sayangnya karena demikian kuatnya jaringan media Barat umat seperti nyaris tidak memiliki alternatif selain itu. Merekapun telah termakan opini bahwa berita yang disodorkan media asing tersebut pasti akurat. Sehingga kemauan untuk melakukan cross check hampir-hampir tidak pernah dilakukan.

Sementara itu mayoritas media massa Barat justru berada di tangan kalangan Yahudi. Sebut saja Rupert Murdoch, seorang Yahudi Australia menguasai puluhan penerbitan di seluruh dunia. Ada nama Julius Reuter, seorang pembangun kantor berita terkemuka di Inggris, Reuters. Termasuk kantor berita lain seperti Associated Press, The United Press International, dan International News Service.

Jew Watch, sebuah lembaga pengawas bagi komunitas Yahudi Amerika (Keeping a Close Watch on Jewish Communities & Organizations) dalam edisi Website mengungkapkan beberapa media berpegaruh di Amerika di bawah kontrol komunitas Yahudi.

Dalam artikelnya yang berjudul; “Jewish Controlled Press: Newspapers in USA (Pers di Bawah Kontrol Yahudi: Koran-koran di Amerika Serikat)�, Jew Watch mengelompokkan beberapa raja media di bawah kontrol Yahudi.

Tiga koran paling prestisius dan berpengaruh di Amerika; The New York Times, The Wall Street Journal, dan The Washington Post. Ketiga media berpengaruh di AS ini juga di bawah kontrol Yahudi.

Selain di Amerika Serikat, orang-orang Yahudi juga mendominasi industri pers di berbagai negara. The Times (Inggris) dikuasai juga oleh orang Yahudi dan menjadi semakin terkenal setelah diambil alih Yahudi asal Australia, Rupert Murdoch. Ada juga The Daily Express, The News Chronicle, The Daily Mail, The Observer yang disetir kelompok Zionis.

Keempat media besar tersebut berada di Inggris. Ada juga The Mirror grup misalnya, sempat dikuasai oleh Robert Maxwell yang terkenal mempunyai koneksi erat dengan Mossad. Koran The Sun dan The Times yang dimiliki Rupert Murdoch, mantan warga Australia yang pernah mendapat hadiah Bintang David, sebuah penghargaan tertinggi yang disampaikan oleh warga Yahudi-Israel.

Selain itu ada juga Majalah Time, Newsweek, U.S. News & World Report. Di bawah payung perusahaan Time Warner Communication yang dipimpin seorang Yahudi bernama Gerald Levin, Majalah mingguan Time, mencapai sirkulasi hampir 4,1 juta. Newsweek, di bawah orang Yahudi bernama Katherine Meyer Graham telah memiliki sirkulasi mencapai hampir 3,2 juta eksemplar.

Apa yang bisa kita lakukan sekarang? Ya, paling aman yang bisa kita lakukan adalah selalu melakukan proses tabayyun terhadap berbagai berita yang bersliweran di tengah-tengah kita. Carilah berita dari sumber-sumber yang menurut dugaan kita bisa dipercaya. Mungkin kamu bisa cek di sejumlah situs Islam atau majalah-majalah Islam.

Selan itu adalah tugas kaum muslimin untuk membangun kekuatan media Islam. Media yang dapat membangun opini yang jujur dan senantiasa membela kehormatan Islam dan kaum muslimin. Meski demikian perang opini terhadap Barat sebenarnya baru akan berjalan seimbang jika kaum muslimin memiliki sebuah institusi politik yang bisa menaungi umat. Institusi itu tidak lain adalah khilafah Islamiyyah. Disanalah kelak seluruh kekuatan umat akan dibangun untuk menciptakan rahmat bagi seluruh alam. [Iwan Januar, dari berbagai sumber]

1 thought on “Perang Opini Melawan Islam

Comments are closed.