Friday, 19 April 2024, 14:00

logo-gi-3 gaulislam edisi 098/tahun ke-2 (17 Ramadhan 1430 H/7 September 2009)

Kalo kamu di rumah punya televisi, paling nggak bisa deh ngamatin en nyimak acara-acaranya. Kalo pun kamu adalah tipe orang yang malas nonton acara televisi selain yang isinya baik-baik dan menambah wawasan, mungkin sedikit mah tahu deh nama-nama acaranya melalui informasi di stasiun televisi masing-masing yang sempat kamu tonton. Nah, masalahnya sekarang adalah, di bulan Ramadhan ini—yang mau nggak mau biasanya identik dengan hal-hal yang religi atau tepatnya bernuansa Islam, eh ternyata nggak juga tuh. Setidaknya acara yang tidak mencerminkan nuansa Ramadhan jauh lebih banyak. Padahal, Ramadhan adalah saat yang tepat—jika kita dalam kehidupan sehari-hari di bulan lain nggak terlalu peduli dengan ibadah.

Bro en Sis, saya nggak mau nyebut nama-nama acaranya ya, khawatir malah jadi iklan. Hehehe.. pastinya kamu bisa nunjuk sendiri dan ngeh sendiri deh. Yup, yang saya maksud adalah acara-acara yang memenuhi prime time di layar kaca. Naha, masalahnya adalah acara tersebut lebih banyak yang sifatnya hura-hura aja. Labelnya sih bernuansa Islam, khususnya yang berkenaan dengan menjelang dan setelah berbuka puasa, plus acara di waktu sahur. Kamu tahu sendirilah gimana acara itu. Yup, cuma nama acaranya aja yang identik dengan Islam. Tapi isinya? Banyak yang menjauhkan nilai-nilai Islam. Baik format acara maupun para pengisinya, yang kebanyakan adalah selebriti. Di situ, bertabur hal-hal yang sama sekali tak menjadikan Ramadhan sebagai bulan istimewa. Sayang sekali bukan?

Gimana nggak, saya sendiri dan mungkin banyak kaum muslimin lain yang merasakan bahwa kita tak bisa mendapatkan manfaat yang banyak dari program acara di televisi selama Ramadhan. Hampir semua stasiun televisi menghadirkan acara yang kesannya jauh dari keistimewaan Ramadhan. Memang, ada juga stasiun televisi yang program acaranya bagus dan bisa menambah wawasan serta ilmu bagi pemirsanya, tapi sayangnya jumlah itu sedikit dan disimpan bukan pada waktu utama (prime time). Tapi ditaro di waktu yang kemungkinannya sedikit orang yang nonton. Waduh!

Kalo gini terus, rasa-rasanya sulit mendapatkan tayangan bermutu tinggi dan menambah wawasan. Ramadhan bulan yang dalam Islam sangat istimewa, penuh barokah, dan bulan bonus pahala dari Allah Swt., ternyata kesan itu hilang di televisi. Memang, Ramadhan tidak akan luntur pamornya hanya karena tidak semarak ditayangkan di televisi dengan acara-acara yang bagus dan bermanfaat. Namun demikian, tugas kita adalah mendidik masyarakat dengan benar dan baik. Lha, gimana jadinya kalo media massa seperti televisi tidak mengemban tugas pendidikan dan informasi untuk masyarakat? Padahal, masyarakat Indonesia ini masih bergantung kepada media massa seperti televisi untuk mendapatkan informasi, pendidikan, dan juga hiburan. Buku dan jenis media cetak seperti majalah, koran, tabloid dan buletin? Ah, jangan harap.

Kita harus akui bahwa minat baca masyarakat Indonesia secara umum sangatlah rendah. Kalo membaca saja banyak yang malas, karena senangnya malah nonton televisi. Eh, pas nonton televisi yang disuguhkan juga ibarat ‘racun maut’ untuk merusak kepribadian mayarakat. Lengkap sudah penderitaan deh.

Dampak media massa

Bro en Sis, keberadaan media (saluran atau channel) dalam komunikasi massa, menurut pakar komunikasi politik AS Harold D. Laswell adalah mutlak. Saluran komunikasi atau media massa inilah yang akan menyalurkan atau menyebarkan pesan (massage) dari komunikator ke komunikan dan akan memberikan efek pada keduanya. Ada empat aktivitas pokok yang menjadi fungsi media massa antara lain: Pengawasan lingkungan; Korelasi antar bagian masyarakat dalam menanggapi lingkungan.; Transmisi warisan sosial dari suatu generasi ke generasi berikutnya.; dan Entertainmen.

Nah, di abad yang disebut Alvin Toffler sebagai abad informasi ini, media massa memiliki posisi strategis lho, dimana informasi merupakan sentral dari perhatian, pemikiran dan kegiatan manusia. Semua aktivitas manusia pasti membutuhkan informasi. Karena informasi memiliki efek yang mendalam terhadap berlangsungnya proses produksi konvensional, proses berfikir itu sendiri dan bahkan terhadap proses kehidupan kita.

Nah, fungsi televisi sama dengan fungsi media massa lainnya (surat kabar, majalah, tabloid, dan radio siaran), yakni memberi informasi, mendidik, menghibur dan membujuk. Tapi fungsi menghibur lebih dominan pada media televisi. Karakteristik televisi yang utama adalah audio-visual, yakni dapat dilihat dan sekaligus dapat didengar. Jadi dari segi pengaruh atau efek kepada masyarakat jelas sedikit lebih kuat ketimbang efek yang ditimbulkan media massa cetak. Tul nggak sih?

Sobat muda muslim, kita sebenarnya nggak ingin banget kehilangan makna Ramadhan gara-gara terpengaruh tayangan Ramadhan di televisi yang malah kian ngejauhin kita dari ketakwaan yang coba ditumbuhkan di bulan mulia ini. Tapi, nyatanya memang demikian. Kita jadi merasa santai dalam menjalani Ramadhan ini karena nggak ada tambahan ilmu. Padahal, kita lebih banyak hobi nonton televisi ketimbang baca buku atau dengerin ceramah ustad kalo kultum tarawih dan kuliah subuh atau di acara sanlat. Nah, lho. Ayo, ngaku! Hehehe.. bukan nuduh nih (tapi memvonis, lho kok?)

Ah, andai saja televisi lebih banyak menayangkan acara keilmuan tapi dibikin fun suasananya. Misalnya, ustadnya yang gaul soal remaja, ngerti masalah kehidupan remaja, ada selingan nasyid yang oke. Terus, isinya yang membekas di benak pemirsa. Meski menjelaskan “hitam-putih”, tapi nggak terkesan kaku, garing dan menggurui. Tetep asyik dan cair. Ilmu dapat, hiburan berkualitas juga kita rasakan. Asyik banget kan? Betul itu! Tapi…

Eh, yang muncul malah hiburan an sich, bahkan seringkali melanggar hukum syara, seperti di acara-acara menjelang buka puasa dan saat sahur yang lebih mengedepankan hiburannya. Dan, itu pun seringkali tidak pantas dilakukan karena banyak humor yang slapstik dan melanggar hukum syara. Gawat!

Bro en Sis, jujur aja bahwa soal ini bisa menjadi pengaruh buruk dari tayangan televisi kepada pemirsanya. Bukannya mendidik, tapi malah menjerumuskan dan memelihara kebodohan masyarakat. Masyarakat dididik untuk menikmati kebodohannya. Tragis banget kan?

Jangan kubur Ramadhan!

Yup, emang kesel, risih, gemes, sebel dan entah kosakata apalagi untuk menggambarkan keprihatinan kita tentang kondisi kaum muslimin saat ini, khususnya di bulan suci Ramadhan. Gimana nggak kesel, gimana nggak sebel, kalo Ramadhan nggak bisa membekas dalam kehidupan kita. Cuma numpang lewat dalam hidup kita. Kalo pun kita berupaya menyambutnya, tapi itu pun sekadar “dalam rangka”. Jadi ketika Ramadhan berlalu, kita balik lagi ke selera asal. Bah macam mana pula ini?

Itu sebabnya, mumpung belum kelewat, jangan kubur Ramadhan. Karena ia belum mati. Kitalah yang menjadikan Ramadhan mati. Ramadhan akan tetap hidup bersama orang-orang yang merindukannya. Mereka akan tetap bermesraan dengan Ramadhan di setiap detik yang ia lewati, di setiap menit yang ia lalui, dan di setiap malam yang selalu membuatnya terjaga untuk senantiasa mengisinya dengan ibadah. Ramadhan memang tidak akan pernah mati, ia akan hidup terus bersama orang-orang beriman yang mencintainya.

Kalo sekarang Ramadhan tampak seperti mati (karena memang nggak kerasa banget nuansanya—terutama kalo ngeliat beragam tayangan di layar kaca), maka sebenarnya kitalah yang membuatnya mati dan bahkan sudah menguburkannya dalam-dalam. Itu sebabnya jangan heran jika masih banyak kaum muslimin yang anteng aja makan dan minum di siang hari tanpa sedikit pun merasa takut kepada ancaman Allah Swt. Dan tanpa sedikit pun merasa sayang mencampakkan beragam kemuliaan di dalamnya. Padahal, itu cuma diberikan sebulan dalam setahun oleh Allah. Oya, meski demikian, bukan berarti di bulan lain nggak ada istimewanya, ada juga. Tapi di bulan Ramadhan Allah menjanjikan banyak kebaikan. Sayang banget kan kalo dilewatkan begitu saja? Kalo sampe ada yang menyia-nyiakan Ramadhan, hmm… bener-bener nggak tahu diri (maaf lho saya nyebutin begini, jika ada kata yang lebih pantas dan dahsyat lagi dari ini untuk menggambarkan orang-orang durhaka bolehlah diucapkan).

Sekali lagi, jangan kubur Ramadhan. Karena ia masih ‘hidup’. Sebaliknya, kita nyalakan semangat dan ceriakan Ramadhan dengan amal sholeh yang berlimpah. Deras mengalir dari setiap ucapan dan perbuatan kita. Agar banjir nikmatnya terasa sampe membekas dalam hidup kita selamanya.

Dalam sebuah riwayat diceritakan Rasulullah menaiki mimbar (untuk berkhutbah), menginjak anak tangga pertama beliau mengucapkan “aamin”, begitu pula pada anak tangga kedua dan ketiga. Seusai shalat para sahabat bertanya, mengapa Rasulullah mengucapkan ‘aamin’? Lalu beliau menjawab, malaikat Jibril datang dan berkata: “Kecewa dan merugi seseorang yang bila namamu disebut dan dia tidak mengucapkan shalawat atasmu, lalu aku berucap aamin”. Kemudian malaikat berkata lagi, “Kecewa dan merugi orang yang berkesempatan hidup bersama kedua orang tuanya tetapi dia tidak sampai bisa masuk surga, lalu aku mengucapkan aamin. Kemudian katanya lagi, kecewa dan merugi orang yang berkesempatan hidup pada bulan Ramadhan tetapi tidak sampai terampuni dosa-dosanya, lalu aku mengucapkan aamin.” Hadis itu diriwayatkan oleh Imam Ahmad.

Boys and Girls, memang kaum muslimin nggak salah-salah banget dalam kondisi ini. Karena kelakuannya pun lebih banyak disetir oleh sistem kehidupan saat ini. Sistem kehidupan kapitalisme-sekularisme yang udah berurat-berakar ini menjadikan kaum muslim banyak yang nggak kenal dengan ajaran agamanya sendiri. Banyak di antara kita yang lebih patuh dan ridho diatur oleh kenyataan saat ini, ketimbang mempertahankan akidah Islam kita. Itu sebabnya, nggak berlebihan dan memang pantas dan pas kalo kita mulai mencintai Islam. Ramadhan ini saat yang ideal untuk come back kepada Islam. Mempelajarinya, memahaminya, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari sambil berupaya keras agar Islam diterapkan sebagai ideologi negara dalam bingkai Negara Khilafah Islamiyah. Iya nggak?

Sobat, sumpah kita udah nyeri, sakit, dan pedih hidup dalam sistem kehidupan bobrok ini. Cuma Islam yang bisa menyelamatkan kita. Jangan cintai kapitalisme-sekularisme, jangan pula nekat berselingkuh dengan sosialisme-komunisme. Berbahaya! (dan juga berdosa)

Semoga Ramadhan kali ini (dan juga seterusnya) memberikan kekuatan yang besar dalam hidup kita untuk mengubah kebiasaan buruk kita. Berubah menjadi benar dan lebih baik. Karena Ramadhan memang belum mati. Akan tetap ‘hidup’ bersama orang-orang beriman yang taat dan ikhlas menjalankan syariatNya. Kamu juga mau kan? [osolihin: http://osolihin.com | osolihin@gaulislam.com]

5 thoughts on “Ramadhan Tak Istimewa di Layar Kaca

  1. Saya setuju dengan tulisan tersebut,karena memang acara televisi sekarang ini bukan untuk siar agama Islam walau bulan Ramadhan,tapi hanya dilihat dari segi bisnis semata,kita tidak perlu banyak berharap dari acara TV yang sesuai dengan nurani Islam.Yang penting sekarang presenternya terkenal,bisa teriak-teriak dan mencoba sambil melawak,soal yang diomongin apa nggak soal.Kalau saya sih rasanya muak dengan lihat presenter yang cuma teriak-teriak bagi-bagi hadiah dengan pertanyaan-yang bodoh atau ,membodohkam masyarakat.belbel sebel.

  2. saudaraku trimakasih atas peringatannya yang sekiranya membuka hati n fikiran saya ,memang saat ini saya merasa jauh untuk merasakan nikmatnya bulan ramadhan karna sibuk urusan dunia gak jarang pula sya asyik menyaksikan perfilman yang bernuansa islam tetapi nyatanya sebagian besar justru merusak akidah umat islam itu sendiri (berlebihan) seandainya ada perfilman yang menceritakan kisah perjuangan rasulullah dan para sahabat dalam membangun kehidupan islam dengan aturan allah dan rasulnya ,tentu saya yakin pasti umat cepat bangkit ( apalagi kalau saudara yg menyutradarainya hehehhehe…) sekali lagi trimakasih
    allahu akba…………………..r.wassalam.

Comments are closed.