Friday, 26 April 2024, 07:26

gaulislam edisi 536/tahun ke-11 (12 Jumadil Awal 1439 H/ 29 Januari 2018)

 

Jangan ngegombal en ngerasa paling romantis dengan bilang ke pacarmu bahwa rindu itu berat. Lihat tuh, sopir truk juga biasa ngegombal dengan menuliskan curahan hatinya secara kocak di bagian belakang papan bak terbuka atau bak tertutup truknya dengan tulisan seperti pada judul ini. Eh, ngomongin rindu berat, jadi inget lagunya Camelia Malik (hadeuuh, ketahuan deh kalo yang nulis kids zaman old). Ini penggalan lirik lagu tersebut, “Kau suka ku cinta/jadinya sama-sama/Kau rindu ku kangen/jadinya satu sama/Kalo sudah begini, sayang/berpisah ku tak kuat/Jangankan satu minggu, sayang/Sehari ku rindu beraaat.” Duh, sama-sama ngobral gombalan.

Gara-gara Dilan, banyak orang mendadak romantis dan mengenang masa lalu. Bertebaran di media sosial konten bernuansa nostalgia (khususnya tahun 90-an). Bukan hanya masa pacaran yang dikenang, tetapi ada yang soal alat-alat tertentu, mainan, film, buku, tempat kos, warung makan, dan banyak hal lain. Hmm.. jadi banyak yang baper ya? Tapi baper dalam hal apa ya? Nggak begitu penting kelihatannya, karena fokusnya pada nostalgia.

Eh, sebenarnya pro-kontra soal Dilan justru jadi iklan gratis ya buat filmnya yang lagi tayang di bioskop. Saya sih pernah baca aja novelnya. Secara teknik penceritaan memang lugas, khas anak muda. Bahasanya mudah dipahami. Isinya cerita seputar perasaan dan pemikiran remaja. Tentang pacaran, tentang kebandelan anak cowok, tentang gang motor dan sejenisnya. Pilihan kata dan dialognya menurut saya cukup unik. Celetukannya juga. Lucu iya, konyolnya juga ada.

Rasa-rasanya kalo saya waktu baca masih remaja, bisa baper juga. Tetapi, berhubung kedua novel yang saya baca itu ditulis 4 dan 3 tahun lalu (2014 dan 2015), jadinya pas baca ya udah segede gini dan setua ini. Sekadar mengenang masa lalu saja. Itu pun selintasan. Maka, ketika ada filmnya di awal tahun ini, saya sih merasa itu wajar jika dilihat dari sisi bisnis bagi mereka yang terlibat di dalamnya. Tema cinta tetap menjual. Sebagaimana tema cinta pada umumnya dari para penulis lainnya, termasuk penulis muslim dengan setting cerita islami.

Cuma, memang tema pacaran itu selalu kontroversial, khususnya kalo dipandang dari dua kubu yang berbeda prinsip. Nah, kalo di filmnya sih saya nggak tahu ya, belum lihat. Tapi sepertinya tak akan jauh berbeda dengan isi di novelnya, dan tentu kalo sudah difilmkan ada unsur bisnis yang jauh lebih banyak ketimbang pada buku.

 

Sebabnya pacaran

Sobat gaulislam, penilaian saya terhadap novel Dilan (bagian kesatu dan kedua) yang pernah saya baca seperti yang sudah disebutkan di awal. Hanya saja pembahasan saya menyempit pada soal pacaran. Bukan hanya seperti yang Dilan lakukan dengan Milea di novel tersebut. Tapi ini memang fenomena pergaulan remaja di hampir semua generasi. Mungkin dari zaman buyut kita sampe kids zaman now budaya ini selalu ada. Jadi, saya akan bahas secara umum tentang pacaran. Momennya dipas-pasin aja dengan viralnya Dilan dan menjelang Valentine’s Day. Sekalian nyadarin remaja juga soal ini.

Nah, ngomongin soal pacaran, sepertinya banyak di antara kamu yang doyan pacaran kayak makan obat. Sehari minimal tiga kali ketemu pacar. Setiap minggu juga ada jadwal khusus ketemuan. Tiap bulannya juga punya agenda jalan-jalan. Itu sih pacarannya udah pol banget. Tetapi apa benar komitmenmu juga pol? Ternyata, cuma nol! *bukan nuduh lho, tetapi banyak yang model begini. Ini bukan soal galak-galakkan. Sebab, adakalanya kamu kudu dipecut dulu baru nyadar. Hehehe…

Bagi remaja, mencoba sesuatu yang diinginkannya adalah bagian dari petualangan. Apalagi jika ada contohnya melalui bacaan dan tontonan, pastinya lebih bernafsu untuk segera melakukannya. Nah, karena pacaran sudah jadi tradisi di tengah kehidupan remaja saat ini, maka tak sulit bagi remaja pada umumnya untuk menconteknya. Mulailah mereka pacaran dan bahkan merayakannya dengan sangat meriah.

Padahal, ketika pacaran nggak selamanya asyik-asyik aja walau menurut versi pelakunya, lho. Ada aja kasus nyebelin (yang juga dirasakan pelakunya). Maksud hati pengen merindukan seseorang, eh nggak tahunya bertemu tipe pacar yang doyan ngibul. Pantesan rindu itu berat, apalagi kalo merindukan tukang ngibul sambil berharap hal-hal indah yang diimpikan, pasti lebih berat, kesalnya.

Gimana rasanya dikibulin pacar? Sakit? Sudah pasti. Nyeri? Tentu saja. Tetapi, kenapa ada yang senang berharap meski kemungkinannya di-PHP-in? Itulah mereka yang pacaran. Padahal, sejatinya mereka yang pacaran lebih berpotensi menjadi korban pemberi harapan palsu atau menjadi pelaku pemberi harapan palsu. Waspada!

Kalo saya sih sudah menduga kuat kalo pacaran cuma upaya tipu-tipu para cowok (mungkin juga ada para cewek yang begitu). Iya. Itu sebabnya, saya lebih empati kepada para muslimah nih, supaya mewaspadai para cowok sok pemberi harapan, padahal yang ditebar cuma pesona doang, sementara janjinya kosong belaka. Itu namanya pemberi harapan palsu. Janji mau nikahin kalo udah merengek-rengek minta “begituan”, giliran ceweknya udah bertekuk lutut dan menyerahkan kehormatannya, tuh cowok malah kabur dan nggak mau bertanggung jawab. Maka, buat para muslimah, berhentilah berharap kebaikan dari pacaran. Nggak ada manfaatnya. Jauhi! *ini galak banget kesannya. Iya, sebab sudah kesal kuadrat dengan para pelaku pacaran. Anehnya kok pada masih mau pacaran ya? Padahal, potensi dikibulin lebih besar, kehormatan sudah pasti ternoda karena ibarat barang tanpa segel, boleh dicoba sesuka calon pembeli yang belum tentu jadi membeli. Bener nggak?

Sobat gaulislam, karena pacaran itu hubungan tanpa ikatan, maka sudah tentu rawan dengan tipu-tipu dan bohong. Beneran. Buktinya, istilah PHP (walau teman saya yang programer komputer merasa risih dengan istilah ini karena itu bagian dari bahasa pemrograman untuk website) itu muncul bagi yang pacaran. Umumnya digunakan di area hubungan tanpa ikatan itu, walau kalo mau spektrumnya diperluas ya bisa juga dalam berbagai kondisi. Namun, karena kita lagi ngobrolin seputar pacaran, ya inilah yang kita bahas.

Ya, pemberi dan penerima harapan palsu yang paling rawan adalah pada aktivitas pacaran. Coba deh kamu yang pernah pacaran atau sekarang lagi pacaran, pikir-pikir deh, apa sering kamu jadi korban para pembeli harapan palsu? Misalnya nih, janji tuh cowok nggak akan pindah ke lain hati, eh, baru sebulan pacaran udah kepergok jalan bareng ama cewek lain. Sakit? Bisa jadi. Baru aja berjanji bakalan mengikat jalinan cinta sehidup-semati, baru 3 bulan udah pindah ke lain hati dengan cara mencampakkan kamu ke lembah penderitaan sebagai mantan pacar tuh cowok. Perih? So pasti. Kapok? Kayaknya belum tentu deh. Buktinya masih ada juga yang ngarep jadian lagi ama cowoknya, meski pernah nyakitin. Kok bisa ya? Mungkin karena menganggap hubungan yang pertama dirasa belum maksimal. Idih, maksimal apanya? Maksiatnya sudah jelas terus ditumpuk, mau terus nambah maksiat? *sekali-kali pake gaya Cak Lontong: “Mikir!”

Hati-hati itu penting. Tetapi bagi yang memutuskan pacaran, justru sudah melabrak kehati-hatian dan siap-siap dapetin peluang lebih besar untuk diberi harapan palsu. Gimana nggak, jalannya udah kamu buat sendiri. Misalnya nih, buat yang memutuskan pengen pacaran, biasanya gerasuk-gerusuk nggak jelas. Ada cowok atau cewek yang merhatiin kamu, langsung pikiran dan perasaan kamu konek dan menyimpulkan kalo tuh cowok or cewek suka sama kamu. Itu namanya ge-er. Siapa tahu dianya malah biasa aja. Nggak punya pikiran macem-macem. Tapi karena tahu gelagatnya kamu kayak gitu, bisa saja dia jadi pengen ngerjain kamu. Bahaya.

Oya, seringkali nih kita suka lumer di hadapan orang yang ramah dan baik. Perlu waspada sobat, siapa tahu ramah dan baik yang dilakukannya bukan dari niat tulus (lagian gimana bisa tulus kalo dilakukan dengan cara pacaran?). Tetapi yang sering kejadian adalah keramahan dan kebaikan yang dilakukannya karena ada maunya. Setelah kamu merasa nyaman dengan semua kebaikan, kasih sayang, kepedulian yang diberikannya, sehingga kamu terlena dan memiliki harapan berlebih kepadanya, dia sudah menyiapkan jurus berikutnya untuk menipu kamu. Hati-hati ya!

Sobat gaulislam, para pemberi harapan palsu pada pinter bikin kamu kecanduan perhatian dan kasih sayang. Kudu diwaspadai kalo ngelihat model gini. Ya, namanya juga pacaran. Udah mah hubungan tanpa ikatan, maka pacaran berpotensi menebar ancaman. Parahnya, kalo kamu udah ketagihan kasih sayangnya, ketagihan perhatiannya, udah enak menjadikan dirinya sebagai tempat curhat yang nyaman, di situlah para pemberi harapan palsu menebar jebakan supaya kamu nggak ngerasa dibohongi. Bahkan kalo pun kemudian putus, kamu tetap ngarepin dia balikkan lagi sama kamu. Aneh ya? Bener-bener deh!

Bagi para aktivis pacaran, pastilah sering ngalami kondisi kalo pacarnya suka ngegombal dan sering plin-plan. Iya kan? Nah, itu sudah jelas dugaan kuat sebagai pemberi harapan palsu. Sering merayu justru kudu diwaspadai. Sebab, sangat boleh jadi sebenarnya dia sedang mempermainkanmu. Begitu kamu lengah atau meleng, dia bisa saja kabur dan pindah ke lain hati. Kalo sejak awal sudah tahu dia sering plin-plan alias nggak sinkron antara ucapan dan perilaku, itu artinya kamu sudah siap-siap diberi harapan palsu. Ngenes banget, sih!

Inilah persoalan utamanya, yakni pacaran. Ayo, pada ngaku aja deh, bahwa pacaran itu sebenarnya cuma dapet capek doang, potensi diberi harapan palsu juga besar, sekaligus terus nabung dosa tuh. Hadeuh, nabung duit masih mending, gimana nabung dosa? Pikirkan lebih bijak untuk segera akhiri petualanganmu dalam pacaran. Beneran!

 

Pacaran itu maksiat

Sobat gaulislam, pacaran adalah bagian dari maksiat. Berbahaya dan jahat. Ia akan mengundang maksiat lainnya. Menurut Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah, “Jika seorang hamba melakukan kebaikan, maka hal tersebut akan mendorongnya untuk melakukan kebaikan yang lain dan seterusnya. Dan jika seorang hamba melakukan keburukan, maka dia pun akan cenderung untuk melakukan keburukan yang lain sehingga keburukan itu menjadi kebiasaan bagi pelakunya.”

Menurut saya sih, “Jangan pacaran. Ini berat. Kau tak akan kuat balasan dosanya.”

Zaman saya SMA, mungkin seumuran dengan tokoh fiksi bernama Dilan. Hanya beda gaya. Saya tahun 1990 sudah ikut-ikutan jadi anak rohis, bukan anak gang motor. Saya tidak pernah pacaran. Rasa suka terhadap lawan jenis? Tentu saja saya juga punya rasa itu. Tapi pacaran tak pernah saya lakukan meski banyak teman saya yang melakukannya. Sebab, budaya pacaran generasi 90-an hanya melanjutkan generasi sebelumnya. Hanya berbeda gaya tapi yang sudah pasti dosanya.

Oya, apa benar cewek tahun 90-an suka dengan cowok tipe badboy tapi romantis? Bisa jadi zaman now juga ada. Itu soal cara pandang. Tentu saja, cara pandang dipengaruhi cara berpikir. Dilan (tokoh fiksi di novel dan filmnya), menurut Milea memang bukan anak baik-baik, tapi tidak kasar. Berarti kebalikannya, bisa saja ada anak baik-baik namun kasar. Memang keduanya memungkinkan. Tetapi sebenarnya kita bisa mengupayakan untuk mencari anak baik-baik dan tidak kasar. Bukankah kita umumnya selalu ingin yang ideal, apalagi ideal menurut pandangan ajaran agama? Termasuk dalam menilai seseorang yang dijadikan pasangan hidup dalam pernikahan (bukan dalam pacaran).

Pacaran zaman now tak jauh berbeda. Ada pelakunya, ada kontennya, ada medianya, dan ada imbal balik di antara para pelakunya. Sebenarnya bagi generasi saya, masa remaja sudah tertinggal jauh di belakang. Nostalgia mungkin sekali-kali diperlukan, tetapi mengungkit kemaksiatan dan mengenangnya sebagai sesuatu yang istimewa, itu salah niat. Memprovokasi remaja untuk pacaran, itu perbuatan jahat dan berbahaya.

Hal yang perlu diingat oleh para pelaku pacaran adalah, “Sekarang mungkin kau berpacaran, nanti belum tentu menikahinya.” Banyak banget kan yang pacaran bertahun-tahun eh nikahnya sama orang lain. Sudah dicobain “luar-dalam” mirip ngepasin mau beli sepatu tanpa segel. Cocok dibeli, nggak cocok ditinggal. Lha, itu sepatu, gimana dengan kehormatanmu?

So, pikir lagi ya, “Cinta itu indah, jika kemudian diwujudkan dengan pacaran, berarti kamu salah milih jalan hidup.”

“Rindu itu memang berat. Kamu nggak akan kuat, apalagi tanggung jawab merindukan seseorang yang belum halal bagimu, tambah berat hisabnya kelak. Lebih berat dari sekadar muatan seperti tertulis di bak belakang truk: rindumu tak seberat muatanku.” [O. Solihin | IG @osolihin]