Saturday, 27 April 2024, 06:19

“Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan kami untuk membebaskan manusia dari memperhambakan diri kepada selain Allah dan melepaskan belenggu duniawi menuju dunia bebas, dan dari agama yang sesat menuju keadilan Islam,” tegas Ruba’i lantang menjawab pertanyaan Panglima Rustum, pemimpin pasukan Persia dalam perang al-Qadhisiyah, tentang mengapa pasukan Islam masuk ke tanah Persia.

Dialog di atas terjadi menjelang perang al-Qadhisiyah. Adalah Ruba’i bin Amir, yang memang dikirim oleh panglima tentara Islam ketika itu, Saad bin Abi Waqqash, untuk menghadap panglima tentara Persia, Rustum. Saat itu Ruba’i bin Amir masuk tanpa menghiraukan keadaan mewah sekelilingnya. Ruba’i terus masuk dan membiarkan kaki kudanya mengotori hamparan permadani mewah itu. Segera ia menghadap panglima, dengan tetap menyandang senjata dan perisainya.

Melihat itu, para pembesar Persia segera berseru, “Letakkan senjata itu!” Dengan tenang, Ruba’i menjawab, “Aku kemari hanyalah atas undangan kalian. Jika kalian senang biarkan aku dalam keadaanku seperti ini, atau kalau tidak aku akan pulang”. Panglima Rustum menengahi,”Biarkan ia menghadap”

Akhirnya, Ruba’i menghadap panglima, dan terjadilah dialog seperti tersebut di atas.

Misi Islam
Pernyataan Ruba’i itu menegaskan bahwa dorongan “ekspansi” Islam bukan bersifat material, sebagaimana yang dilakukan kaum imperialis-kolonialis dari Barat-Nashrani beberapa abad silam ketika mereka merangsek ke wilayah-wilayah jajahan di Timur Tengah, Asia Selatan atau Asia Tenggara. Barat berusaha keras menemukan daerah baru untuk dijajah dan dieksploitasi hasil buminya tanpa sisa. Inilah semangat ekspansi demi “Gold, Glory and Gospel” (emas, kekuasaan dan agama). Hal itu terbukti, dengan tidak satu pun daerah bekas jajahan mereka -–termasuk Indonesia-– sepeninggal penjajah yang berubah menjadi maju, makmur dan sejahtera. Sebaliknya, yang bersisa adalah derita, duka, dan nestapa.

Berbeda dengan semua itu, Ruba’i justru memberikan perspektif baru tentang dorongan �ekspansi Islam’, yaitu Tauhid. Semangat dakwah yang berintikan seruan tauhid itulah satu-satunya dorongan ketika Islam berusaha meluaskan daerah kekuasaannya, yaitu semangat membebaskan manusia dari perbudakan kepada penghambaan kepada Allah semata.

Tauhid adalah iman akan wujud (keberadaan) Allah berikut asma’ (nama-nama) dan sifat-sifatnya. Tauhid yang benar bukan hanya sekedar percaya kepada wujud Allah, melainkan juga disertai ketundukan pada otoritas (kedaulatan) Allah dalam pengaturan kehidupan manusia di dunia, karena memang untuk demikianlah manusia diciptakan (QS. al-Dzariaat [51] ayat 56).

Tauhid itulah landasan penyebaran Islam. Benar, misi Islam sejak awal adalah menyeru manusia di seluruh dunia kepada Tauhid, dengan jalan dakwah dan jihad. Melalui dakwah berarti terdapat gerakan terus menerus untuk merubah manusia dari pikiran, perasaan dan tingkah lakunya yang sesat dan kufur menjadi pikiran, perasaan dan perilaku yang diatur oleh syari’at Islam, serta mewujudkan pola hubungan antar manusia berdasarkan hukum Allah SWT.

Sejarah menunjukkan hal ini. Setelah berjuang selama 13 tahun di Makkah, Rasulullah berhasil mewujudkan masyarakat Islam yang dicita-citakan di Madinah. Rasulullah memimpin dan mengatur masyarakat Madinah dengan syariat Allah SWT, dan menyebarkan Islam ke seluruh wilayah di sekitarnya. Makkah yang semula sangat memusuhinya, tak lama kemudian dapat ditaklukkan dan berbalik menjadi pembelanya, kemudian Syam dan Mesir. Dalam berdakwah, Rasul menyeru kepada para pemimpin wilayah-wilayah yang menjadi objek dakwah untuk masuk Islam. Misalnya, beliau menyeru kepada Heraclius, “Aslim taslam – berIslamlah agar kau selamat”. Bila ditolak, Rasul tidak memaksa, tapi mereka diminta tunduk kepada pemerintah Islam dan membayar jizyah dengan tetap memeluk agama mereka masing-masing. Allah berfirman:

Perangilah oleh kalian orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar, yaitu orang-orang yang diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah sedang mereka dalam keadaan tunduk (kepada hukum-hukum Islam) (QS. At-Taubah 29).

Bila terhadap tawaran ini pun mereka tetap juga menolak bahkan melawan, mereka diperangi. Sebab, saat itu berarti mereka tengah menghalang-halangi manusia menerima cahaya kebenaran Islam, serta menentang Allah SWT dan Rasul-Nya. Inilah yang dapat dimengerti dari hadits beliau yang disampaikan oleh Ibnu Abbas dan Farwah Ibnu Musaik, “Janganlah kalian memerangi suatu kaum sebelum kalian mengajaknya kepada Islam”.

Jelas sekali, semangat penyebaran Islam berbeda sama sekali dengan yang dilakukan oleh Barat. Kolonialisme Barat selamanya menyebarkan kejahiliyahan dan kerusakan. Semuanya itu menyebabkan manusia hidup di dalam kegelapan tanpa petunjuk dari Penciptanya. Sebab itu, Al-Qur’an menyebutnya dzulumat (kegelapan).

Di bidang aqidah, Barat menyebarkan filsafat materialisme; di bidang ekonomi menyebarkan tatanan ekonomi kapitalisme yang eksploitatif; di bidang budaya menyebarkan amoralisme; di bidang pemikiran menyebarkan sekularisme, di bidang militer dan politik menyebarkan peperangan, adu domba dan pertentangan demi kepentingan sesaat serta melegalkan kedustaan.

Sementara Islam, menyebarkan tauhid dan rahmat berupa kebaikan, kemuliaan dan kesejahteraan serta pembebasan yang semua bertolak belakang dengan kejahiliahan, kekafiran, kemusyrikan, dan kerusakan yang disebarkan Barat. Al-Qur’an menyebut Islam akan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Maka, tidak ada negeri yang dikuasai Islam berubah kusam, sengsara, mundur dan terbelakang. Spanyol dan beberapa negeri Eropa lain, justru mencapai kemajuan ketika berada di bawah kekuasaan Islam, saat belahan lain sedang mengalami masa kegelapan.

Jadi, jelaslah misi Islam adalah menyeru manusia kepada tauhid dan memerdekakan manusia dimana saja ia berada, dari pengaruh thagut. Tegas sekali firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah [2] ayat 257 :

Allah adalah Pelindung orang-orang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah para thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”

Pada masa Rasulullah, thagut adalah berhala-berhala yang disembah di seputar Ka’bah. Kini, thagut telah berubah wajah —tapi hakikatnya sama— menjadi ideologi-ideologi yang bersumber pada filsafat materialisme yang mengingkari kedaulatan Allah SWT, beserta segenap turunannya berupa sistem hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Islam memerdekakan manusia pula dari penghambaan kepada materi, kepada ambisi pribadi dan kepada hal-hal duniawi menuju kepada penghambaan Allah. Inilah kemerdekaan hakiki dalam pandangan Islam. Jadi, seseorang dan suatu masyarakat baru bisa dikatakan telah benar-benar merdeka, ketika ia bisa tunduk sepenuhnya kepada seluruh perintah dan larangan Allah SWT serta melepaskan diri dari pembelengguan sistem yang bertentangan dengan nilai-nilai tauhid seraya menegakkan syari’at Islam. Kemerdekaan hakiki ada dalam penerapan sistem hukum Islam secara total.

Tafakkur
Indonesia memang secara fisik militer telah merdeka. Tapi, setelah lima puluh lima tahun berlalu, apakah kita telah benar-benar merdeka secara hakiki?

Menurut Syekh Taqiyyuddin al-Nabhani dalam kitab Mafahim Siyasiyah, kapitalisme sebagaii sebuah ideologi akan selalu berupaya menyebarkan paham dan mempertahankan pengaruhnya ke seluruh penjuru dunia. Metode atau thariqahnya, menurut Nabhani, adalah melalui penjajahan (isti’mar), yakni berupa penguasaan (pengendalian) dan dominansi di bidang politik, ekonomi, sosial pendidikan, budaya dan hankam.

Di masa sebelum dan seputar Perang Dunia I dan II, persisnya setelah payung dunia Islam, Khilafah Utsmani runtuh pada tahun 1924, yang dilakukan Barat adalah penjajahan militer. Negeri Islam yang semula utuh bersatu menjadi terpecah-pecah. Sebagiannya lama sebelum itu malah sudah diduduki oleh penjajah. Diantaranya, Aljazair oleh Perancis, Irak, India, Palestina, Yordania, Mesir dan kawasan Teluk dikuasai Inggris dan sebagainya.

Kini setelah wilayah-wilayah itu merdeka, negera-negara Barat tetap berusaha menjajah dengan dengan cara yang baru. Di bidang ekonomi, penjajahan dilakukan melalui ketergantungan terhadap hutang luar negeri. Dengan dalih membantu negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, mereka meminjamkan uang dalam jumlah besar. Belakangan terbukti hutang tersebut bukan mengentaskan kemiskinan, melainkan malah menambah miskin. Dan yang paling gawat adalah memunculkan ketergantungan ekonomi. Dengan ketergantungan ekonomi yang demikian besar, negara Barat lewat berbagai institusi-institusi yang dibentuknya seperti IMF, World Bank dan sebagainya, dapat memaksakan kemauan politiknya atas suatu negara, baik secara langsung maupun tidak. Maka, negeri-negeri itu menjadi tidak merdeka secara politik. Indonesia mengalami itu. Kini kita tidak lagi bisa secara leluasa mengatur negeri kita sendiri. Semua, bahkan termasuk penyusunan kabinet dan program-progam pemulihan ekonomi, harus dimintakan persetujuannya melalui apa yang disebut letter of inten (L0I). Untuk hal seperti itu saja harus meminta persetujuan mereka, maka jangan berharap mereka akan membiarkan kita, misalnya, menetapkan pemberlakuan hukum syariat Islam seperti yang sekarang sedang diusulkan oleh FPPP di sidang MPR. Penjajahan ekonomi juga dilakukan dengan berbagai aturan yang mereka paksakan, seperti ide pasar bebas dengan WTO-nya atau isue globalisasi, privartisasi dsb. Maka, sekalipun secara fisik merdeka, secara politik dan ekonomi terjajah.

Di bidang kebudayaan, globalisasi informasi yang ditimbulkan oleh kemajuan luar biasa di bidang teknologi informasi bak pisau bermata dua. Satu sisi menguntungkan karena dengan demikian peristiwa-peristiwa dari berbagai belahan dunia dengan cepat dapat kita ketahui, tapi di sisi lain terjadi pula gelombang arus budaya Barat (westernisasi) ke negeri-negeri Islam. Munculnya TV swasta di negeri ini mempercepat berkembangnya budaya Barat. Saban hari keluarga-keluarga muslim dicekoki dengan gaya hidup, perilaku dan cara berfikir Barat. TV telah menjadi agen pembaratan yang tangguh. Tak heran bila kemudian anak-anak muslim lebih mengenal tokoh-tokoh rekaan di TV ketimbang tokoh-tokoh Islam. Maka, sadar atau tidak mereka telah terbaratkan dan kehilangan identitas kepribadian Islamnya. Itu semua sedikit banyak berpengaruh kepada cara berfikir, pemihakan, keprihatinan dan perilaku kaum muslimin. Apa yang dari Barat dinilai baik dan modern, serta apa yang dilakukan juga mesti benar. Inilah penjajahan di bidang budaya.

Di bidang hukum, tak terhitung jumlahnya hukum dan perundang-undangan negeri muslim, termasuk Indonesia, yang masih bersumber dari Barat. Kita bangga terbebas dari penjajahan Barat, tapi mengapa tidak merasa risih menggunakan undang-undang bikinan Belanda? Itu berarti, secara tidak langsung kita menyelesaikan berbagai masalah di negeri yang mayoritas muslim ini dengan cara penjajah. Penjajah telah lama pergi, tapi mereka masih bercokol dalam wajah yang berbeda.

Khatimah
Sudah benar-benar merdekakah kita? Jawabannya jelas, belum! Maka, menjadi kewajiban kaum muslimin secara bersama, sebagai umat mayoritas di negeri ini untuk bertafakur menyertai rasa syukur, dengan melihat realitas yang ada di negeri kita di segala bidang. Kemudian kita menilai secara jujur, sudahkah hakekat dan prinsip-prinsip kemerdekaan hakiki menurut ajaran Islam seperti yang dikemukakan oleh Ruba’i bin Amir tadi telah kita dapatkan? Tafakur juga dapat dilakukan dengan jalan melihat, sudahkah semua sistem yang mengatur kehidupan umat di segala bidang ditegakkan di atas prinsip tauhid? Bila belum, menjadi tugas kita bersama untuk mewujudkan kemerdekaan hakiki itu. Bila perjuangan dulu bertujuan untuk merebut kemerdekaan dari penjajahan fisik, maka kini diperlukan perjuangan baru untuk membebaskan umat dari penjajahan ideologi sekuler, hukum jahiliah, ekonomi kapitalis, budaya barat dan segenap tatanan yang tidak Islami. Bila itu tidak dilakukan, maka selamanya kita akan terus terjajah dan tenggelam dalam lumpur kehinaan. Tidak ada lagi kemuliaan Islam dan ummatnya (izzul Islam wal muslimin). Predikat khaira ummat tidak ada lagi dalam kenyataan. Lalu kita ini telah merdeka dari apa ?

Wallahua’lam bi al-shawa [Buletin Al-Islam – Edisi 20]