Thursday, 28 March 2024, 19:57

Cerita Bersambung : Bag. I

Oleh : Putra Gara

Malam belum begitu larut.

Dingin mulai menusuk.

Usai sholat isya, Sari melangkah keluar menuju pendopo. Ada lebih dari 30 anak yang tengah belajar mengaji di sana. Usianya berkisar? 5 sampai 15 tahun. Mereka? ditampung di pesantrennya Pak Haji Imron. Mereka adalah anak-anak yatim piatu yang diberi kesempatan belajar ilmu secara cuma-cuma oleh Pak Haji.

Pak Haji Imron adalah orang kaya di kampungnya. Hidupnya dari bertani. Hasil taninya dipasok? ke swalayan di kota-kota besar, dan juga pasar-pasar tradisional.? Penghasilan dari bertaninya selalu berlimpah ruah. Namun beliau adalah manusia yang penuh amanah. Sebagian rizkinya dipakai untuk beramal ibadah.

Sari tengah bertamu di sini. Di daerah terpencil di ujung Propinsi Jawa Barat. Datangnya tadi pagi. Sejak tak memiliki siapa-siapa, kini ia selalu melangkah mengikuti arah mata angin. Melihat dari dekat orang-orang kebanyakan. Belajar hidup dari alam. Dan menimba ilmu lewat pengalaman. Bukankah pengalaman adalah guru yang paling bijaksana?

Lima puluh meter dari pendopo, langkah Sari berhenti. Ia lalu duduk di bangku bambu yang disanggah pohon rambutan. Pandangannya tertuju kepada? anak-anak yang tengah mengkaji isi kandungan Al Quran. Tubuh Sari terasa bergetar mendengar suara anak-anak itu. Ia jadi ingat Riri. Ingat masa lalunya.

Ada rindu, dan perih yang menyayat kalbu bila Sari ingat masa lalunya. Masa lalu yang membuat Sari akhirnya harus melangkah dari tempat satu ke tempat lainnya. Masa lalu yang penuh kepiluan. Masa lalu yang berusaha ia tepiskan namun selalu saja seperti membuntutinya. Masa lalu yang begitu sulit untuk dilupakan.

ooOoo

Riri nangis lagi, padahal malam sudah begitu larut. Mungkin perutnya sakit karena lapar, jadi tidak bisa tidur. Sari yang tidur di bangku kayu depan pun tidak bisa pulas. Bukan karena terganggu dengan suara tangisan adiknya, tetapi karena perutnya pun lapar dari siang belum makan. Tidur dengan perut kosong keroncongan, bisakah pulas dan tenang?

Kalau saja Sari merasa belum besar, ia juga sebenarnya kepingin nangis seperti Riri. Lagi pula ia selalu teringat pesan Bapak waktu Bapak masih ada.

“Meski kamu perempuan, kamu jangan cengeng dan manja. Wanita sekarang harus tegar, dan harus dapat menghadapi masalah dengan tabah. Air mata bukan lagi senjata bagi wanita!” begitu kata Bapak, lima tahun yang lalu.

Tangisan Riri bagai alunan lagu sendu yang terdengar pilu. Malam-malam, ditemani suara jangkrik dan kodok sawah yang minta hujan.

Ke mana Emak? Tak mendengarkah Emak suara tangisan Riri? Apakah Emak dapat tidur pulas dengan perut yang kosong pula sehingga tidak mendengar suara tangis Riri yang sedang dikeloni?

“Mak…Emak?” panggil Sari, pelan. Tapi malam-malam begini, suara pelan itu agak terdengar kencang, begitupun dengan tangisan Riri.

Tidak ada sahutan, cuma suara tangis Riri yang masih terdengar.

“Mak…Emak?” Sari memanggil ulang, tapi tetap tidak ada sahutan.

Mungkin Emak tertidur? sari bangun dari tidurnya. Ia berjalan menuju kamar Emak yang pintunya hanya selembar kain usang.

Di badan pintu Sari terpaku. Riri ternyata menangis dii gendongan Emak yang tidak tertidur. Tapi Emak? diam saja. Mata Emak memandang keluar – ke gelapnya? malam – lewat jendela yang tidak ditutupnya.

Sari memandangi punggung Emak. Berat tubuh Riri yang baru berusia kira-kira enam tahun, masih dapat Emak gendong, tapi dapatkah Emak memikul beban penderitaan yang selalu datang sejak kepergian Bapak? Emak jadi cepat tua lantaran digerogoti oleh penderitaan yang begitu mendalam.

Ah, Emak….

Sari kembali ke bangku. Ia kembali tiduran. Matanya memandang langit-langit ruangan, besok saya harus mencari duit, bantu-bantu Emak? untuk membeli makanan, hatinya bergumam. Ada sesak di napasnya.

Tangisan Sari sudah tidak terdengar. Mungkin dia kecapekan lalu tertidur? Sari tidak punya niat untuk melihatnya. Emak juga sudah tertidur? Semoga.

sari menarik kain selimutnya. Bantal pengganjal kepalanya dibetulkan. Suara jangkrik tak terdengar lagi, cuma suara kodok sawah yang ramai kegirangan, karena permintaannya terkabulkan.

Hujan….

Kalau besok masih hujan, berarti Emak tidak bisa jualan es lagi. Berarti Emak tidak punya duit lagi. Berarti tidak makan lagi. Berarti lapar lagi. Berarti tidak bisa tidur lagi….Getir, Sari menelan ludah.

Ya Tuhan… berilah rezeki kepada Emak, agar saya dan Riri besok bisa makan, doa Sari dalam hati. Doa itu diucapkannya terus-menerus. Sari meniru kodok sawah yang berbunyi terus-menerus minta hujan, akhirnya dikabulkan. Dan ia berharap semoga doanya pun dikabulkan.

ooOoo

“Sari!”

Sari menoleh ke arah cowok hitam manis yang berlari di bawah gerimis. Ada senyum di bibirnya.

“Mau kemana kamu?” cowok itu mensejajari langkahnya.

“Mau ke pasar,”? Sari menjawab pendek.

“Hujan-hujan begini, ngapain? Belanja?”

“Ah, enggak!” jawab Sari cepat. “Mau main aja. Lagi pula cuma gerimis kecil, bukan hujan,” Sari tersenyum.

Cowok itu juga tersenyum.

“Kamu mau ke mana, Pul?”

“Ke pasar juga, disuruh beli bawang sama Emak. Sama-sama ya, Sar, jalannya.”

“Kalau sendiri, memangnya kenapa?” Sari menoleh ke Ipul. Ada senyum lagi di bibirnya.

Ipul sebentar balas menatap. “Ya nggak kenapa-napa,” katanya. “Saya cuma khawatir. Anak-anak pasar kan pada nakal-nakal. Mereka sering mengganggu kamu. Kalo saya berjalan sama kamu, mereka pasti enggak ngegangguin. Mereka kan pernah saya beri pelajaran waktu mereka ngegangguin kamu seminggu yang lalu.”

Sari tersenyum lagi.

Mereka terus melangkah.

Di depan penjual bawang, mereka berhenti. Kamu mau roti, Sar?” Tanya Ipul,? setelah membeli bawang pesanan ibunya.

Sari menatap Ipul.

Ipul tersenyum.

“Makasih, Pul.? Saya lagi enggak kepingin,” ujar Sari.

“Yang bener, nih?” Ipul menggoda.

Sari tersipu malu. “Sungguh,” jawabnya.

“Ya sudah, berarti duit kembalian beli bawang tetap utuh.”

“Iya, kamu simpan saja,” kata Sari.

Ipul tersenyum lagi. “Yuk, Sar, Saya pulang, ya,” ia melambaikan tangannya.

Sari membalas.

“Hati-hati, Sar! Nanti kamu diganggu anak-anak nakal!” teriak Ipul.

Saricuma mengepalkan tinjunya.

Sari memandangi kepergian anak penjual nasi itu, yang dikenalnya seminggu yang lalu, waktu Ipul menolongnya ketika Sari diganggu anak-anak pasar.

Ah, kalau saja bukan kamu, Pul, mungkin saya terima tawaran roti itu. Karena dari kemarin saya belum makan, Sari masih bisa menertawakan keadaaannya.

Gerimis masih ngericik. sari berteduh di emperan sebuah toko. Ada dua anak kecil berlari di depannya. Sambil membawa payung masing-masing satu.

Ah, kalo saja Emak punya payung, mungkin saya bisa ngojekin payung seperti mereka, hati Sari berkata.

Ada bajaj berhenti di depan Sari. Lalu dari dalam bajaj itu keluar tiga anak, yang satu laki-laki dan yang dua perempuan-berseragam putih abu-abu.

Sari menelan ludahnya melihat tiga anak yang baru turun dari bajaj itu.

Kalo saja Bapak masih ada, mungkin saya juga bisa sekolah tinggi? seperti mereka, hati Sari merintih sedih. Ia jadi sentimentil. Terlalu banyak keinginannya, tapi keberadaan hidup telah membelenggunya. Jangankan berpikir yang muluk-muluk, untuk makan saja susah.

Suara halilintar membuyarkan lamunan Sari. Terasa sesak napas yang ditariknya.

Emak tidak jualan, karena hujan dan Riri sakit. Bisa makankah saya hari ini? Sari menengadahkan kepalanya.

Orang hidup masing-masing diberi rezeki oleh Yang Kuasa. Ketika pandangan Sari menyapu jalan yang basah karena gerimis kecil-kecil, mata bulatnya melihat selembar uang di tengah jalan. Dengan tergesah-gesah Sari memungut selembar uang puluhan ribu itu. Ada kegembiraan yang tak ada duanya di hatinya karena mendapatkan uang yang entah milik siapa itu.

Sari yakin perbuatannya tadi itu tidak ada yang melihatnya. Seandainya ada pun, apa peduli mereka?

Tapi setelah uang itu ada di tangan Sari, ia jadi bingung sendiri. Duit siapa ini? Rezeki buat sayakah? Kenapa saya mendapatkannya di tengah jalan, tanpa harus bekerja? Sedangkan kata Bapak, duit boleh diterima kalo kita sudah bekerja. Saya tidak bekerja, tapi mendapatkan duit di tengah jalan. Bagaimana ini?

Tiba-tiba Sari ingat Emak yang tidak jualan es lagi karena hujan, dan Riri sakit. Emak tidak punya duit. Sari juga ingat Riri yang lapar dari semalam. Riri perlu makan. Saya juga. Dan duit ini adalah rezeki saya. Akan saya kasihkan duit ini kepada emak untuk membelikan makanan. Sari kegirangan.

ooOoo

Sari berlari ke belakang rumah. Ia menangis sesegukan. Wajahnya yang bulat dibasahi air mata.

Bukannya karena cengeng Sari menangis. Selama ini ia tak pernah mengeluarkan air mata. Apalagi ia selalu ingat kata-kata bapak, “Dalam menghadapi masalah, perempuan tidak boleh lagi mengeluarkan air mata. Air mata hanya untuk orang-orang yang lemah!” Sari selalu ingat pesan Bapak itu. Tapi kenapa sekarang ia menangis?

“Emak sudah bilang, biar kita kelaparan, asal jangan mencuri atau menerima begitu saja pemberian orang. Dari mana kamu mendapatkan duit itu?” pertanyaan marah Emak tadi melintas di depannya.

Sari menjelaskan bahwa uang itu ia temukan di jalan, tapi Emak tidak percaya? dan malah menggebuki Sari. Bukan gebukan Emak yang membuat Sari menangis, tapi karena tuduhan Emak terhadap Sari itulah yang membuat ia menangis.

“Emak enggak mau anak Emak jadi pencuri, Emak nggak rela!” kata-kata Emak yang? dibarengi dengan tangisan itu melintas lagi. Sari semakin jadi saja tangisnya, bila ingat itu semua.

Uang selembar sepuluh ribuan di tangannya dikumal-kumal. Lalu perlahan-lahan tangannya melepaskan uang kertas itu, dibiarkan jatuh. Uang itu masuk ke dalam selokan yang agak banjir karena hujan. Lalu hanyut, hanyut entah ke mana.

Sari mengusap air matanya. [bersambung]


[diambil dari Majalah PERMATA, edisi 18/Nopember/2003]