Friday, 26 April 2024, 04:41

Cerita Bersambung : Bag. III

Oleh : Putra Gara

Ini adalah untuk yang pertama kalinya cerpen Sari dimuat di salah satu majalah remaja yang banyak bertebaran di Jakarta. Betapa bahagianya. Setiap waktu, Sari baca cerpennya yang sudah dimuat itu. Tidak ada bosannya. Adiknya, Riri, Sari suruh baca juga – meskipun Riri, si bungsu yang belum sekolah itu tidak bisa membaca.

Teman-temannya Sari, seperti Ita, Wiwi dan Ipul ia beritahu juga. Mereka tampaknya turut bangga. Meskipun tidak sedikit ada juga yang sirik. Tidak apa-apa, itu biasa. Karena kata Emak, ada orang yang senang dengan kebahagiaan orang lain, ada juga yang tidak. Yang terpenting, mesin ketik tua yang Sari beli, yang uangnya ia peroleh dari hasil jualan koran, tidak akan jadi sia-sia. Ah, akankah saya jadi pengarang besar? Gumam hati Sari. Mimpi kayaknya, memang. Tapi itu adalah cita-cita Sari. Orang hidup harus punya cita-cita, karena cita-cita itu adalah tujuan. Tanpa cita-cita, kita hidup untuk apa?

“Kamu sudah lahir. Teruskan. Jangan langsung berjalan, tapi merangkaklah perlahan-lahan,” kata Emak turut bahagia. Emak yang tadinya tidak suka dengan aktivitas Sari dalam hal mengarang, akhirnya mendukung juga. Bahkan Emak menceritakan kepada teman-temannya di pasar tentang dimuatnya karangan Sari di majalah itu.

Memang, dengan dimuatnya cerpen Sari, berarti ia telah lahir sebagai pengarang. Untuk bisa berjalan seperti pengarang-pengarang yang sudah ternama, Sari harus merangkak perlahan-lahan. Tidak mungkin langsung jalan, bukan?

Untuk bisa dimuat cerpen Sari itu pun, ia butuh perjuangan. Pertama-tama, Sari kirim cerpennya itu ke salah satu majalah remaja yang banyak memuat cerita-cerita. Tapi cerpennya ditolak. Kata redaksi, cerpen Sari terlalu fulgar dan tidak romantis.

Okelah. Sari memang tidak bisa menulis cerita cinta-cintaan yang romantis dan cengeng. Ia menulis cerpen apa adanya. Apa yang ia lihat dan ia rasa. Tapi, redaksi juga tidak bisa disalahkan. Mereka ingin majalahnya laku. Karena itulah, selera pasar mereka harus tahu. Dan cerpen-cerpen yang romantislah yang laku. Sedangkan cerpen-cerpen Sari, yang kebanyakan mengangkat masalah-masalah sosial, keagamaan, tidak masuk perhitungan.

“Dunia makin kacau. Kita butuh cerita-cerita hiburan. Jangan malah disodorkan cerita orang-orang kebanyakan. Itu malah memuakkan,” kata redaktur itu lagi.

Sari cuma garuk-garuk kepala mendengar itu semua. Benar juga sih, apa yang dikatakannya. Tapi bukankah kita hidup di alam nyata? Kenapa harus menutupi keberadaan yang sudah ada.?

Ah, biarkanlah.

Selanjutnya, cerpen Sari yang ditolak itu ia kirim ke majalah remaja yang lain. Itu pun ditolak juga. Cuma agak mending, ada harapan untuk diperbaiki. Karena kata redaksi, Sari menulis cerpennya – si tokoh tidak masuk dalam cerita. Hanya jadi penonton saja.

“Coba deh, kamu perbaiki, dan si tokohnya turut berperan. Kalau cuma menonton dan menceritakan, itu sih kayak tugas wartawan,” redaksi memberi saran.

Sari mengoreksi cerpen-cerpennya. Benar juga. Selama ini, Sari menulis ceritanya hanya sebagai si penontonnya saja. Tidak turut berperan.

Maka, cerpen-cerpen Sari pun diperbaikinya. Setelah itu, ia kirim kembali ke redaksi. Hasilnya, salah satu cerpen Sari lolos seleksi dan dimuat. Tidak sia-sia, perjuangan saya, ujar hati Sari, bersyukur.

Cerpen sudah dimuat, dan tentu ada honornya. Tiga hari setelah pemuatan, Sari pun datang ke redaksi.

Setelah honor cerpen Sari terima, ia hampir tidak percaya menghitung beberapa lembar uang duapuluh ribuan di tangannya. Pantas saja, pengarang-pengarang yang sudah punya nama hidupnya banyak yang lumayan. Lha wong satu cerita saja diberi honor sebanyak ini, pikir Sari, sambil mengantongi uang tersebut.

Mampir Blok? M, Sari bingung sendiri. Mau beli apa ia? Lagaknya kayak bos besar saja. Tiba-tiba langkah Isari berhenti, begitu melihat tempat makan yang banyak dikunjungi remaja-remaja seusianya.

Ah, apakah saya makan di sana saja? Kepingin juga sih merasakan nikmatnya es krim, makan fried chicken, atau hamburger. Yah, lebih baik saya ke sana saja. Saya belum pernah makan makanan seperti itu, pikir Sari. Selama ini ia hanya jadi penonton saja kalau ia main ke pasar swalayan. Makanya, selagi ada uang, Sari kepingin merasakan nikmatnya makan hamburger, es krim, atau makan fried chicken. Tapi… bagaimana cara membelinya?

Terus terang, Sari memang orangnya cuekan. Sambil diam-diam, ia perhatikan terlebih dulu orang yang membeli. Ah, ternyata tidak susah. Pesan makanan, dibayar, lalu dibawa ke meja makan.

Wih, dua potong ayam dan sekantong kentang sudah ada di hadapan Sari. Betapa lezatnya. Ditambah, segelas minuman bersoda dingin pun turut melengkapi hidangannya. Inikah makanan sorga dunia?

Selama ini, di rumah Sari makan ala kadarnya. Makan dengan ayam goreng pun, paling cuma Lebaran saja. Itu juga tentu tidak senikmat ayam goreng yang sekarang berada di hadapannya.

Daging ayam, Sari nikmati. Benar, betapa lezatnya! Lalu kentang yang dicoleki sambal pun Sari makan. Sama, begitu lezat. Tidak seperti kentang yang juga suka dimasak Emak.

Emak! Sedang apa Emak di rumah sekarang? Ah, paling lagi membuat campuran es yang akan dijualnya besok, sambil direcoki Riri, pikir Sari.

Sari?! Tiba-tiba saja Sari ingat adiknya. Benarkah Riri sedang merecoki Emak yang mungkin lagi membuat campuran es? Kalau tidak, sedang apa ia? Mungkinkah sedang makan kentang atau ayam seperti saya? pikir Sari. Ah, makanan lezat di hadapan Sari pun jadi tidak nikmat begitu ia ingat Emak dan adiknya. Yang sudah Sari makan pun jadi mual. Kepalanya langsung pening. Sari minum minumannya, tapi minuman bersoda? itu malah bikin Sari tambah mual dan makin pening saja. Orang-orang yang ia lihat jadi berputar. Ia pun? pegangan meja, menahan tubuhnya yang goyang karena mual dan pusing yang datang dengan tiba-tiba.

ooOoo

“Dipanggang?” tanya Emak, heran.

“Iya, saya ingin makan ayam panggang, Mak.”

“Uh, ada-ada saja kamu, Sar,” Emak ngedumel, tapi akhirnya memanggang juga ayam potong yang dibeli Sari di pasar.

“Kentang ini Riri kupasi ya, Kak?” Sari mengambil kentang yang masih di dalam plastik hitam itu.

Sari tersenyum. “Iya. Setelah dikupasi kulitnya, diiris-iris panjang, ya,” ia memberi tahu.

“Baik, Kak,” kata Riri.

“Eeeh. Hati-hati, Riri. Pegang pisaunya jangan sembarangan. Nanti kamu luka,” Sari memberi contoh kepada Riri. “Nih, begini megangnya.”

“Iya, Riri juga bisa,” si bungsu itu mengambil kembali pisau di tangan Sari. Lalu mengupasi kentang yang dibeli Sari.

Sari bercerita sama Emak bahwa ia baru saja mengambil honor cerpennya. Emak amat senang mendengarnya. Lalu Sari pun memberikan sebagian honornya itu kepada Emak. Emak terharu menerima beberapa lembar dua puluh ribuan itu. Ia peluk Sari.

“Emak nggak sangka kalau kamu akhirnya bisa juga jadi pengarang, Sar,” kata Emak sambil mengusap kepala Sari.

Sari bahagia mendapat perhatian dan kasih sayang Emak.

“Kalau Bapak kamu masih ada, ia pasti bangga melihat kamu bisa menulis. Meski Bapak tidak lulus SD, tetapi ia senang membaca. Dan tulisan kamu itu, pasti Bapak baca.” Emak menghembuskan napasnya.

Sari tersenyum saja mendengar kata-kata Emak. Lalu ia masuk ke kamar. Sambil menunggu masakan yang Emak masak, ia menulis cerita. Peristiwa makan di swalayan melintas di depannya. Dan pengalaman makan itu pun, mengilhami cerpen Sari. selanjutnya.

“Sar, jangan lupa, dua setengah persen rezeki kamu itu disisihkan untuk orang yang memerlukannya,” pesan emak, yang masuk ke kamar Sari sambil membawa segelas teh manis untuk anaknya.

Sari mengangguk dan tersenyum.[]

[diambil dari Majalah PERMATA, edisi 20/Januari 2004]