Saturday, 27 April 2024, 06:39

Orang bilang, aku terlalu muda untuk menjadi ‘orangtua’. Tapi, ada juga orang yang bilang kalau aku anak muda seperti ‘orangtua’. Orang juga bilang kalau aku seorang pemimpi berat, tidak realistis dan mengada-ada. Tapi aku pikir, andai Thomas Alfa Edisson tak berpikir untuk menerangi dunia, tentu sampai sekarang kita tidak akan bertemu dengan lampu.

Aku lahir dari keluarga yang keras. Orangtuaku tidak hanya menerapkan disiplin yang ketat, tapi berbagai sanksi yang tergolong kasar dan sadis. Maka terkadang aku jadi berpikir, jadilah aku seperti ini sekarang. Terkadang kasar, angkuh dan arogan.

Perkenalanku dengan Islam memang belum lama, paling baru lima tahun ini. Namun jauh sebelumnya, berbagai pemikiran yang tergolong berat bagi anak-anak seumuranku sudah kental di kepala. Sosialisme-Komunisme, Anarkisme, sampai Kapitalisme dan Zionisme. Maka tak aral lagi, saat SMP dengan sadar aku sudah memproklamirkan diri sebagai seorang atheis.

Keputusan inilah yang dikemudian hari sering membuat aku dan orangtua terutama bapakku terlibat dalam adu mulut, bahkan pertengkaran fisik. Sesuatu yang mungkin nggak pernah terbayangkan oleh teman sekalian. Saat itu, yang terpikir olehku memang seperti membenturkan batu dengan batu, api dengan api. Maka sering kali bapakku ‘menantangku’ untuk pergi dari rumah.

Tapi itu nggak pernah jadi. Prestasiku di sekolah dan di masyarakat selalu bisa mengurungkan niat mereka. Saat SD, NEM dan nilai akhirku terbesar se-Kabupaten. Saat SMP, aku lulus dengan predikat lulusan terbaik se-kecamatan dan urutan 2 se-Kabupaten. Belum lagi masyarakat di RWku menggelari “Pak Sekretaris” karena menjadi sekretaris RW yang sering jadi wakil RW untuk rapat di Kelurahan. Ya, itulah aku. Bagus di luar, tapi bobrok di dalam.

Anarki tulen

Pemikiran-pemikiran bejad yang bercokol di kepala memang sangat mempengaruhiku. Apalagi ide kontroversialnya Bakunin. Saat SMA aku sering kena skorsing dari sekolah karena menentang kebijakan sekolah ditambah lagi dengan cara-cara dan propaganda-propaganda yang mengesalkan mereka. Bahkan, beberapa kali aku terlibat pertengkaran mulut dengan Kepala Sekolah, wakilnya di urusan kesiswaan, guru PPKN dan Agama. Termasuk juga sekali menghajar guru Sosiologi. Ya Tuhan, bejad sekali aku. Sebuah aksiku yang mungkin masih dikenang warga SMAku adalah saat aku menggembok gerbang sekolah, menyiramkannya dengan darah anjing di sekelilingnya dan memprovokasi para siswa untuk berdemo menolak kenaikan SPP.

Itu baru sebagian. Yang terjadi di sekolah, juga terjadi di masyarakatku. Seperti biasa, di masyarakatku juga ada 3 golongan. Orang-orang alim, awam dan tentu saja, orang-orang bejad. Saat itu aku sangat dekat dengan mereka semua. Tapi sedikit, aku lebih dekat dengan orang-orang bejad terutama yang sebaya. Dari sekadar nongkrong-nongkrong, begadang sambil nyanyi-nyanyi di pinggir jalan, sampai ikut berjudi, meminum minuman keras dan pakai narkoba. Itu semua benar-benar kemauanku dan tanpa ajakan apalagi paksaan dari orang lain. Itu semua juga bukan sekadar membebek pada tren, tapi benar-benar berakar dari akalku yang rusak parah.

Saat SMA, aku dua kali masuk penjara. Sekali karena mabok dan terjaring operasi petugas, dan sekali lagi karena karena terlibat tawuran dengan sebuah STM di Cianjur. Padahal Cianjur itu jauhnya bukan main. Tapi tetap saja, aku masih bisa eksis di sekolah karena prestasiku yang terpengaruh dengan segala kebejadanku.

Bertemu dengan Islam dan berjuang untuk Kaffah

Saat liburan kenaikan kelas 3 SMA, aku berkesempatan mengikuti sebuah holiday camp. di sebuah universitas di Jerman atas sponsor perusahaan tempatku bekerja. 5 orang yang besertaku dari Indonesia. Tampang mereka pun imut-imut dan ‘alim-alim’. 180 derajat berbeda denganku. Aku tambah menertawakan mereka. Saat aku belajar dengan serius, sibuk berkeliling perpustakaan dan silau dengan kelengkapannya, serta mengunjungi tempat-tempat cool kaya’ museum Karl Marx, Karl May dll, mereka cuma belajar, main-main, mencoba kebruntungan menggaet cewek bule. Aku jadi berpikir, “apa mereka datang ke sini cuma untuk main? Bodoh banget!”

Perbedaan itulah yang agaknya menarik perhatian seorang peserta camp. lokal. Ternyata dia seorang muslim, lho. Jujur, walaupun aku saat itu sangat tidak setuju dengan isi batok kepalanya, aku sangat mengaguminya, “Dia memiliki sebuah bangunan pemikiran yang tak pernah kubayangkan. Bangunan konkrit sebuah ideologi Islam.” Namanya Sayful. Di satu sesi hari libur, dia menantangku untuk ikut ke sebuah auditorium masjid di belahan Utara Jerman. Aku menerima tantangannya. Dan subhanallah, sebuah auditorium yang penuh dengan ‘pemuda-pemuda berjenggot’ dan ‘pemudi-pemudi yang di mumi’. Setelah acara itu selesai, aku diperkenalkan dengan beberapa orang. Aku ingat, ‘Ammar Zalloum salah satunya.

Hampir 4 jam aku berdiskusi dengan orang-orang itu. Soal Islam, pemikiran-pemikiran, dan kehidupan. Fair aku mengatakan, “Ini adalah sesuatu yang baru, tapi lama. Ini sesuatu komprehensif, tapi logis! Aku akan mempelajarinya.”

Tiga minggu pun berlalu. Aku kembali ke negeri ini dengan beberapa hadiah buku dari mereka. Aku mempelajari buku itu perlahan-lahan. Tapi lama-lama aku boring juga. Aku pun kembali ke masa laluku. Berjuang dengan ide dan cara lama. Hingga aku lulus SMA, aku terus seperti dulu. Bejad, bejad, dan bejad.

Mei tahun 2000, aku melihat sebuah flyer. Ada sesuatu yang menarik dari flyer itu yang membuat aku ingat pada perkataan temanku di Jerman sana. “aku juga punya teman di Indonesia. Mereka orang-orang Islam yang memegang bendera hitam dan putih bertuliskan syhadat. Hanya syahadat.” Saat itu aku berniat untuk hadir di acara yang ditunjukkan pada flyer tersebut. Tapi saat itu bulan Mei, bung! Bulan ujian. Aku tak jadi berangkat.

Sebuah pukulan keras menrpaku. Aku tidak lulus UMPTN! Padahal sebelumnya aku sudah menolak undangan SPMB dari sebuah universitas negeri. Beberapa saat aku down. Tapi itu nggak lama. Akhirnya aku berpikir untuk ikut kursus 1 tahun sambil menunggu UMPTN tahun depan. Di tempat kursus itulah aku bertemu lagi dengan bendera hitam-putih bersyahadat. Aku pun mencari orang yang bisa membawaku pada ‘bendera’ itu dan akhirnya usahaku berhasil. Lewat beberapa kali kesempatan diskusi akhirnya aku pun memutuskan untuk intensif belajar Islam. Dari nol besar! Karena saat itu aku nggak kenal huruf hijaiyah. Aktifitas ini pun berlanjut terus hingga beberapa waktu yang lalu, kemudian terputus, dan sekarang baru mau mulai lagi.

Saat aku intensif belajar Islam, aku pikir hidupku akan berubah total. Tapi salah besar. Ujian hidup pun silih berganti datang dan menggoyang komitmenku. Ditambah lagi dengan goyahnya hubungan di antara teman-teman pengajian, dan organisasi yang kuikuti. Emosiku memuncak, semua orang kucerca habis-habisan. Tak peduli itu teman, guru ngajiku, atau orangtua sendiri. Aku sangat panik dan benar kehilangan kontrol. Apalagi ditambah dengan rasa kesendirian tanpa teman. Aku langsung jadi manusia bangkrut.

Ujian itu terus saja terjadi seolah tak ada akhir. Namun dalam sebuah perenungan aku menemukan bahwa semuanya kembali padaku. Allah tengah mengujiku dan mengingatkanku atas kesalahan dan dosa-dosaku dulu. Aku pun beristighfar seraya memohon ampun padaNya. Setelah itu, aku pun mulai mendekati teman-teman, guru-guruku dan semua orang yang kukenal untuk meminta maaf. Ternyata mereka semua orang baik. Mereka tidak hanya memaafkanku, tapi mensupportku dengan berbagai cara. Kini, masalah yang kuhadapi memang belum selesai. Tapi aku tak mau seperti dulu, aku tak mau kehilangan apa yang telah? kuraih. Sesuatu yang benar tanpa ada yang benar selainnya. Ujian ini pun membesarkan hatiku. Masih banyak orang yang lebih menderita dariku. Kini ku ingin bangkit. Meskipun aku sedang sulit, aku tak akan membiarkan orang lain tenggelam kesulitannya seorang diri. Dan andaikan satu hari aku bangkit, aku tak akan sendirian dengan anggur di tangan. Life and death together coz we’re one body… with Islam coz Islam is the only solution…

Kini, terima kasih semua… [seperti dituturkan seorang ikhwan pada SoDa]

[pernah dimuat di Majalah SOBAT Muda, edisi Maret 2006]

4 thoughts on “Terima Kasih Semua…

Comments are closed.