Saturday, 14 December 2024, 01:30

Upaya pengadudombaan antar kaum muslimin seperti disinyalir ini bukanlah fenomena baru. Dulu Belanda terkenal dengan politik devide et impera. Tulisan ini akan menelaah persoalan politik adu domba tersebut dengan perpektif Islam.

Adu Domba, Cara Imperialis
Setelah runtuhnya ideologi komunisme internasional, kalangan elite politik negara-negara Barat dan para pengikut mereka di negeri-negeri Islam tampak meyakini tesis Samuel Huntington (1996) yang menyatakan bahwa era berikutnya yang harus dihadapi Barat adalah era perbenturan budaya dengan Timur. Kekuatan Timur yang sangat ditakuti adalah Islam. Ini tampak jelas dalam implementasi kebijakan politik dan ekonomi oleh para elite politik, termasuk di negeri muslim seperti Indonesia.

Implementasi demikian dapat dilihat dalam bentuk upaya melemahkan segala bentuk kekuatan yang mungkin muncul dari negara atau ideologi Islam. Fenomena politik dan ekonomi di Indonesia akhir-akhir ini —seperti tekanan IMF, peremehan makna jihad, penangan kasus-kasus kezhaliman yang menimpa kaum muslimin Tanjung Priok, Maluku, Lampung, dan Aceh yang tak kunjung selesai, tekanan terhadap isu negara Islam, dan benturan antar elite politik muslim— merupakan bukti.

Upaya untuk menekan munculnya Islam ideologis atau untuk melemahkan kekuatannya pun terus-menerus dilakukan. Dengan demikian tidaklah mengherankan apa yang menjadi kebijakan Amerika dan NATO menekan Irak dan terus berada di belakang kasus Kurdi untuk melepaskan diri dari Irak. Di sana dibenturkan antara muslim Kurdi dengan muslim non Kurdi. Demikian pula di Iran. Dalam kasus pemilu yang baru lalu, dipertentangkan antara kelompok muslim yang disebut konservatif dengan kelompok muslim modernis yang sangat pro Barat dibawah pimpinan Khattami. Di Indonesia hal serupa terjadi. Kaum muslimin yang berjuang untuk menegakkan hukum Islam dihadapi oleh kaum muslimin yang hanya mengambil Islam “substansinya” saja, kelompok muslim tradisional dibenturkan dengan mereka yang disebut modernis.

Sayang, masih banyak kaum muslimin yang sadar atau tidak mau diadu domba dengan sesamanya hanya lantaran membela pemimpin yang berasal dari kelompoknya atau semata untuk membela partainya. Tanpa lagi memandang apakah pembelannya tersebut memang sesuai dengan ajaran Islam sehingga layak dan benar dilakukan ataukah tidak. Akhirnya, umat Islam dengan mudah diadu domba, dibayar, dan diprovokasi sehingga seolah yang bertarung adalah Islam dengan Islam. Kesatuan umat, persaudaraan, ghirah, kesetiakawanan, solidaritas, dan penghargaan pada nilai Islam nyaris hilang.

Melihat fenomena demikian, pendapat Ziauddin Sardar (1999) ada benarnya. Umat kita saat ini, menurutnya, adalah hasil gemblengan pemimpin yang masih mewarisi budaya kolonial yang terus menerapkan politik adu domba baik halus maupun kasar. Pemimpin di dunia Islam sekarang ini hanya komparador Barat. Hegemoni politik Barat terus-menerus menguasai pemimpin ini dan menerapkan standar ganda serta adu domba umat untuk tetap menguasai umat Islam yang memang berpotensi menjadi rival peradaban Barat. Bahkan dengan tegas Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani dalam buku At Takattul Hizbiy (1953) menyatakan bahwa musuh umat sebenarnya adalah imperialis Barat. Sedangkan, para penguasa kaum muslimin, para cendekiawan yang terbaratkan, dan kalangan zhallamiyyin yang membebek kepada ideologi mereka hanyalah merupakan pion-pion imperialis Barat yang sengaja dipasang untuk menghadang perjuangan menegakkan hukum Islam.

Jelaslah, upaya membenturkan antar umat hanyalah untuk menghambat lajunya kemenangan Islam dan melanggengkan cengkraman ideologi kapitalisme pimpinan Amerika.

Persoalan tadi mengingatkan kaum muslimin pada sabda Nabi SAW empat belas abad yang lalu :

Sungguh aku meminta kepada Rabb-ku bagi umatku agar umatku itu tidak binasa karena wabah kelaparan dan musuh selain dari kalangan mereka sendiri tidak dapat menguasai mereka hingga masyarakat mereka terjaga. Dan sungguh Rabb-ku berfirman : Wahai Muhammad, sesungguhnya bila Aku telah menetapkan suatu putusan maka putusan itu tidak dapat ditolak. Sungguh Aku telah memberimu bagi umatmu bahwa mereka tidak dibinasakan oleh wabah kelaparan dan musuh selain dari kalangan mereka sendiri tidak dapat menguasai mereka hingga masyarakat mereka terjaga sekalipun dikepung dari berbagai penjuru, hingga mereka saling menghancurkan satu sama lain dan saling menawan satu sama lain.” (HR. Muslim)

Hadits ini dengan jelas menyatakan bahwa umat Islam tidak akan hancur luluh lantaran dikepung bangsa-bangsa di dunia yang bersekutu melawan umat Islam. Kecuali bila mereka mendorong sebagian putra-putra umat ini melawan sesamanya. Umat Islam akan hancur lewat politik imperialis : adu domba !

Umat Islam, Bersatulah !
Allah SWT berfirman:

Sesungguhnya kaum mukminin itu bersaudara,” (Al Quran Al Hujurat 10). Imam Qurthubi di dalam tafsirnya menyebutkan bahwa persaudaraan antar kaum mukminin adalah dalam hal dien dan kehormatan, bukan dalam nasab. Dan oleh karenanya, menurut beliau, persaudaraan dalam dien lebih kokoh dibandingkan dengan persaudaraan nasab. Namun, sayang sikap dan perasaan ini tidak sepenuhnya diaplikasikan oleh kebanyakan kaum muslimin masa sekarang.

Lebih jauh lagi, Allah SWT memerintahkan kepada kaum muslimin untuk bersatu melalui firman-Nya :

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk” (QS. Ali Imran 103).

Ayat ini turun mengenai kaum anshar yang mengalami sedikit konflik. Bermula dari melintasnya seorang yahudi pada kerumunan sekelompok kaum anshar yang merupakan penduduk pribumi kota Madinah. Kaum anshar yang berasal dari dua suku, yakni Al Aus dan Al Khazraj, ini pada masa jahiliyah saling berperang selama ratusan tahun. Setelah Islam datang, mereka masuk Islam dan dengan nikmat Allah SWT mereka bersaudara.

Pemandangan yang indah penuh ceria dalam kehidupan muslim itu menimbulakan iri hati Yahudi tersebut dan mendorong niat jahatnya untuk melakukan tindakan memecah-belah kaum muslimin, maka dengan tangkasnya Yahudi itu melakukan politik adu domba dengan mengisahkan kembali perang Bu’ats di masa jahiliyah dan menyebut-nyebut kejantanan, keperwiraan serta kemuliaan masing-masing suku sehingga hati mereka masing-masing menjadi panas bahkan masing-masing mulai mengambil senjatanya. Kabar tentang krisis itu segera sampai kepada Rasulullah SAW. Beliau pun segera datang untuk melerai. Dengan tegas beliau saw berkata pada mereka: “Apakah kalian hendak membangga-banggakan dan menonjol-nonjolkan semangat jahiliyah padahal aku ada diantara kalian ?” Para sahabat anshar dari kedua suku itupun menyesal dan meletakkan senjatanya masing-masing. Demikianlah asbabun nuzul ayat tersebut.

Imam Ibnu Katsir (Tafsirul Quranil â€?Azhim, I, hal. 477) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan habl Allah (tali Allah) bisa juga berarti habl Allah adalah Alqur’an sebagaimana disebut dalam hadits marfu’ dari Ali r.a.: “Dia (Al Quran) adalah habl Allah yang teguh dan jalanNya yang lurus”.

Dan Alqur’an yang merupakan petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa adalah satu-satunya kitabullah atau kitab samawi yang menjadi pedoman kaum muslimin. Dengan berpegang kepada kitab yang sama —yang merupakan wahyu Allah SWT baik lafazh maupun maknanya— kaum muslimin di manapun ia berada akan dapat bersatu padu dan berjuang bersama menegakkan agama Allah. Dengan pegangan yang sama, kaum muslimin akan muncul menjadi umat yang sukses dan selamat dunia akhirat. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah SAW bersabda:”Sesungguhnya Alqur’an ini adalah habl Allah yang teguh. Dia adalah obat penyembuh yang bermanfaat. Dia menjadi pelindung (â€?ishmah) bagi orang yang berpegang teguh kepadanya. Dan dia menjadi penyelamat orang yang mengikutinya”. (HR. Ibnu Mardawaih dari Abdullah r.a.)

Imam Az Zamakhsyari (Tafsir Al Kasysyaf, I, hal. 386) memaknai firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 103 tersebut dengan nada sama. Beliau menyatakan arti ayat tadi adalah bersatulah kalian atas permohonan kalian kepada Allah, dan kepercayaan kalian kepadaNya, dan janganlah kalian berpecah belah. Bersatulah kalian atas berpegang teguh kepada janjiNya kepada para hambaNya, yaitu iman dan taat, serta bersatulah kalian dengan kitabNya.

Adapun kalimat “Walaa tafarraquu : Janganlah kalian bercerai berai!” disebutkan Imam Ibnu Katsir (ibid) bahwa dalam ayat ini Allah SWT menyuruh kaum muslimin untuk berjamaah dan melarang mereka bercerai berai. Sedang Az Zamakhsyari (ibid) menafsirkannya dengan : Janganlah kalian bercerai-berai dari kebenaran lantaran jatuh dalam perbedaan yang luar biasa sebagaimana pada bangsa Yahudi dan Nashrani. Atau perpecahan dan permusuhan yang kalian alami dulu di masa jahiliyah. Kembalilah kepada yang mempersatukan kalian, yaitu mengikuti kebenaran dan berpegang teguh pada Islam.

Tegas sekali, ayat ini memerintahkan kaum mukminin untuk bersatu atas dasar Islam dan untuk menegakkan Islam dengan hukum syara sebagai tolok ukurnya. Bukan bersatu demi pimpinan kelompok, partai, figuritas, ataupun fanatisme masing-ma-sing. Sebab, Al Quran sebagai tali kemenangan memang diturunkan Allah SWT sebagai metode kehidupan untuk membangkitkan umat dari kelemahan, kehinaan, keterbelakangan, dan keterpecahbelahan. Rasulullah saw, seperti dikutip Imam Ibnu Katsir, menegaskan hal ini :

” Sesungguhnya Allah SWT meridlai kalian tiga perkara dan memurkai kalian tiga perkara , Allah swt meridlai kalian jika kalian (1) menyembahNya dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatupun (2) berpegang kepada tali Allah dan tidak bercerai berai (3) kalian sering menasihati orang yang diserahi Allah kekuasaan/wewenang untuk urusan pemerintahan kalian ….”.

Khatimah
Jelaslah bahwa Islam merupakan penyatu kaum muslimin. Sementara, semangat golonganisme, kesukuan dan kebangsaan adalah semangat jahiliyah yang kuno dan tidak layak dijadikan penyatu kaum muslimin. Apalagi hal itu dilakukan untuk berseteru dengan sesama muslim. Untuk itu, setiap muslim harus segera meninggalkan segala bentuk pemikiran dan ikatan kufur beralih pada ikatan Islam. Dengan demikian, setiap upaya untuk menjadikan sesama muslim saling berhadapan dalam bentrokan fisik wajib dihindarkan.

Namun, tidak berhenti sampai langkah cepat dan praktis ini saja. Langkah mendasar dan menyeluruh pun perlu segera dan terus dilakukan. Caranya, pertama, kembali kepada pemahaman-pemahaman (mafahim) Islam yang memang membuang jauh ego golongan, kesukuan, ataupun nasionalisme sebab sesama muslim adalah saudara yang harus saling membahu dalam menegakkan hukum Islam. Kedua, mengusir bisikan dan tipuan syaithan-syaithan dari kalangan imperialis kufur dan para pengikutnya yang justru melanggengkan umat dalam rasa golonganisme, kesukuan, dan nasionalisme. Dan ketiga, terus berupaya bersatu untuk menyatukan umat Islam di sini dengan negeri-negeri Islam lainnya dalam naungan Daulah Khilafah Rasyidah. Dengan ketiga langkah tersebut insyaalah umat terbebas dari perangkap adu domba! Insyaallah! [Buletin Al-Islam – Edisi 4]