Tuesday, 19 March 2024, 14:16

gaulislam edisi 297/tahun ke-6 (22 Sya’ban 1434 H/ 1 Juli 2013)


Kamu kayaknya pada tahu deh istilah yang satu ini ya? Yup, kikir (taqtîr, bakhil) adalah mencegah diri untuk menginfakkan harta dalam perkara yang wajib. Misalnya nih, seseorang tidak membayar satu dirham dari ketentuan zakat mal yang wajib dikeluarkannya, atau tidak menafkahi orang-orang yang wajib dia beri nafkah, maka ini adalah kikir. Hukumnya adalah haram, lho. Bayar zakat kudu pas dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh hukum syara (aturan Islam) mengenai masalah tersebut. Sama seperti halnya ayah kita yang posisinya adalah sebagai orang yang wajib memberi nafkah bagi keluarganya (istri dan anak-anaknya), eh ternyata ayah kita ngak mau menafkahi, berarti ayah kita masuk kategori kikir alias bakhil.

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam, harap dibedakan ya, kalo misalnya kita belum bisa ngasih shadaqah kepada teman kita itu bukan bakhil namanya. Apalagi kalo kita sendiri belum mampu, meski kondisinya mampu, tapi tetap bukan berarti bakhil (karena shadaqah hukumnya sunnah, bukan wajib). Cuma emang bisa dinilai nggak peduli aja dengan sesama. Tidak sampai haram tapi tentu aja kurang baik juga kesannya.

 

Harta kita

Sebelum membahas tentang kikir alias bakhil lebih jauh, kita kayaknya perlu membahas sedikit tentang membelanjakan harta kita. Ya, sebagaimana kita boleh mencari harta, maka tentunya boleh dong untuk membelanjakannya, mengeluarkannya atau memanfaatkannya. Sama seperti ketika mencarinya, harta yang dicari wajib dengan cara yang halal, maka membelanjakannya atau memanfaatkannya juga wajib di jalan yang halal. Termasuk dalam hal ini adalah mengelola atau mengupayakan pengembangan harta, pastikan juga di jalan yang halal. Firman Allah Swt. (yang artinya): “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”(QS al-Israa [17]: 26-27)

Juga firman Allah Swt. (yang artinya): Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS al-Furqan [25]: 67)

Mengenai kedua ayat ini, perlu kamu tahu istilah israf (berlebih-lebihan) dan tabdzir (penghambur-hamburan) nih. Arti kata saraf dan israf—menurut makna bahasa adalah melampaui batas serta i’tidal, lawan dari kata qashdu. Sedangkan kata tabdzir dipergunakan dalam kalimat: badzara al-mal tabdziran (menghambur-hamburkan harta), maknanya satu akar kata dengan israfan dan badzaratan. Keduanya, yaitu kata israf dan tabdzir, menurut makna syara’ berarti menafkahkan harta untuk perkara-perkara yang telah dilarang Allah. Sedangkan untuk perkara-perkara yang diperintahkan, baik sedikit maupun banyak, bukan termasuk israf maupun bukan tabdzir. Setiap bentuk nafkah (pengeluaran) untuk perkara yang dilarang Allah, baik sedikit maupun banyak adalah israf dan tabdzir (menurut makna syara’) (lihat Islam, Dakwah, dan Politik, Pustaka Thariqul Izzah, 2002, hlm. 198)

Kalo pengen beli barang-barang, pastikan barangnya halal dan bermanfaat. Silakan aja, gitu lho. Jadi meski itu uang kita sendiri, tapi kalo dibelanjakan untuk ngebeli narkoba atawa miras, berdosa lho walaupun jumlah harta yang dikeluarkan buat beli narkoba tuh sedikit. Itu udah termasuk israf dan tabdzir. Why? Karena kita membelanjakan atau memanfaatkan harta di jalan yang haram. Kalo pun mau usaha untuk mengembangkan harta kita, pastikan usahanya yang halal. Jangan sampe sesuka hawa nafsu kita dengan pertimbangan keuntungan secara materi. Itu sebabnya, dalam Islam dilarang banget mengembangkan harta dengan membuka usaha pelacuran, rumah judi, atau jadi bandar judi togel, membuka pabrik miras dan narkoba.

Oya, termasuk kalo kita mendermakan harta, jangan di jalur yang haram. Wajib di jalan yang halal. Itu sebabnya, nggak boleh banget ngasih sumbangan dari harta kita untuk membantu usaha judi togel atau pagelaran konser musik yang udah pasti mengandung banyak maksiat di dalamnya.

Pastikan bahwa ngasih sumbangan atau bersedekah alias berinfak tuh di jalan yang halal agar harta kita membawa berkah dan pahala bagi kita. Sebagaimana banyak dicontohkan oleh para sahabat dan salafus shalih terdahulu.

Sobat gaulislam, sekadar contoh aja nih, tentang infaknya Abdurrahman bin Auf. Imam Ahmad mengeluarkan hadis dari Anas ra yang berkata: Ketika Aisyah ra sedang berada di dalam rumahnya, ia mendengar suara (gaduh) di Madinah, sehingga bertanya: Ada apa ini? Orang-orang menjelaskan: Unta-unta Abdurrahman bin Auf baru datang dari wilayah Syam dan membawa barang (hasil) dagangannya. Dituturkan: Unta-unta itu sekitar tujuh ratus ekor. Dituturkan: Maka kota Madinah pun ramai dengan kegaduhan. Aisyah ra berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Aku melihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan cara merangkak.

Perkataannya itu sampai kepada Abdurrahman bin Auf, seraya berkata: Seandainya memungkinkan aku ingin masuk surga dengan berjalan. Setelah itu ia menginfakkan seluruh unta-unta (yang baru datang tersebut) beserta dengan hasil perdagangan yang diangkutnya di jalan Allah. (Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (juz 1/98) dari Anas ra.)

Abu Nu’aim (dalam al-Hilyah., juz 1/99) mengeluarkan hadits dari az-Zuhri yang berkata: Pada masa Rasulullah saw, Abdurrahman bin Auf pernah menginfakkan separuh dari hartanya, setelah itu menginfakkan empat ribu dirham, kemudian menginfakkan lagi empat puluh ribu dirham, lalu empat puluh ribu dinar, kemudian menyerahkan lima ratus ekor kuda perang di jalan Allah, setelah itu menyediakan seribu lima ratus hewan tunggangan di jalan Allah. Seluruh hartanya itu diperoleh dari hasil perdagangannya.

Bro en Sis rahimakumullah, kita bisa belajar dari sikap dermawannya Abdurrahman bin ‘Auf. Subhanallah, seperti nggak itungan. Pokoknya jumlah harta halal yang dikeluarkan untuk infak di jalan Allah Swt. sangatlah besar. Ini menjadi teladan kita untuk melakukan hal serupa jika kita memang memiliki kemampuan dari segi harta.

 

Bakhil alias kikir

Bro en Sis rahimakumullah, sifat bakhil ini juga bisa menjadi perusak keikhlasan kita. Niat awal kita sudah baik untuk menginfakkan harta dalam perkara yang wajib, tapi dalam kondisi tertentu karena adanya sifat bakhil dalam diri kita akhirnya nggak jadi melakukan itu. Kita mungkin berpikir, “ngapain juga menginfakkan harta untuk bayar zakat, nanti berkurang!” Atau malah kita ngakalin supaya nggak bayar zakat dengan cara membelanjakan harta kita buat keperluan lain supaya nggak masuk nishab (baik jumlah maupun waktunya) bayar zakat mal. Oya, harta yang dimilikinya itu adalah harta lebih dan di luar kebutuhan sehari-harinya (makanan, pakaian, kebutuhan belanja, kendaraan dan untuk kerluan pekerjaan). Jadi murni harta “nganggur” istilahnya deh. Ya, tabungan kita lah.

Nah, masalahnya adalah ketika kita sudah terkena kewajiban zakat maal misalnya (karena nishabnya tercapai), maka seharusnya sudah siap-siap melakukan kewajiban bayar zakat sebesar 2,5% ketika haulnya terpenuhi. Tetapi, kita malah ngakalin dengan cara sebelum batas haul itu terpenuhi, harta kita justru dibelanjakan sehingga berkurang dari nishab tersebut untuk sesuatu yang sebetulnya tidak perlu dan tidak mendesak dengan niat utuk menghindari supaya nggak bayar zakat mal. Waduh, itu namanya bakhil. Dosa euy!

Allah Swt. berfirman (yang artinya): “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Ali Imran [3]: 180)

Juga dalam Firman Allah Swt (yang artinya): “yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan.” (QS an-Nisaa’ [4]: 37)

Sobat muda muslim, sifat kikir bin bakhil ini memang konsekuensinya berat banget. Bukan hanya merusak keikhlasan kita, tapi juga bisa menjatuhkan kita ke dalam dosa. Sifat bakhil ini kalo terus bersemayam dalam pikiran dan perasaan kita, niscaya kita nggak mau menginfakkan harta kita untuk kewajiban. Kita tahan terus dengan alasan yang kita buat-buat. Itu juga udah menunjukkan bahwa kita nggak ikhlas dalam melakukan suatu kewajiban karena lebih mementingkan hawa nafsu ketimbang pahala dari Allah Swt. Seolah merasa bahwa kita memiliki harta adalah dari usaha pribadi kita semata. Padahal, Allah Swt. yang memberikan banyaknya harta tersebut kepada kita. Wah, jangan sampe deh seorang muslim memiliki sifat bakhil yang menghantarkannya kepada keharaman dan bukan hanya menodai keikhlasan kita dalam beramal. Naudzubillahi mindzalik.

Ada baiknya kita renungkan sabda Rasulullah saw. (yang artinya): “Peliharalah dirimu dari kezaliman, karena sesungguhnya kezaliman itu merupakan kegelapan-kegelapan pada Hari Kiamat. Dan peliharalah dirimu dari sifat kikir karena sifat kikir itu telah membinasakan umat-umat sebelum kamu, dan mendorong mereka melakukan pertumpahan darah serta menghalalkan semua yang diharamkan oleh Allah.” (HR Muslim dari Jabir ra.)

Rasulullah saw. pun mengajarkan kita untuk berdoa seperti ini (yang artinya): “Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari lemah hati dan bakhil.” (HR Bukhari dan Muslim)

Salman al-Farisy, salah seorang sahabat Nabi saw. berkata, “Jika orang dermawan meninggal dunia, maka bumi dan para malaikat penjaganya berkata, ‘Ya Rabbi, lepaskanlah urusan dunia dari hambaMu karena kedermawanannya’. Jika orang bakhil meninggal dunia, maka bumi berkata, ‘Ya Rabbi, halangilah orang ini dari surga, sebagaiman hambaMu ini menghalangi apa yang di tangannya dari keduniaan.” (Ibnu Qudamah, Minhajul Qashidin (terj.), hlm. 259)

Semoga kita semua terhindar dari sikap bakhil ini ya. Semoga Allah Swt. memudahkan kita untuk mengeluarkan harta yang memang sudah menjadi kewajiban kita. Semoga juga para pemimpin negeri muslim tidak kikir (bakhil) untuk memberikan harta kekayaan negara kepada rakyatnya—yang memang sudah seharusnya rakyat dapatkan. Sungguh ironi, negeri kita ini adalah negeri muslim terbesar dan kaya dengan sumber daya alamnya tetapi pemimpinnya justru memberikan kekayaan itu kepada pihak asing dan membiarkan rakyatnya miskin. Ini sih zalim dong ya. [solihin | Twitter @osolihin]