Wednesday, 17 December 2025, 05:00
skynews-china-micro-dramas_7055391

gaulislam edisi 947/tahun ke-19 (24 Jumadil Akhir 1447 H/ 15 Desember 2025)

Niat awalnya sederhana. Buka HP sebentar. Cuma mau cek notifikasi. Paling lima menit, habis itu lanjut belajar, ngerjain tugas, atau minimal—niatnya begitu. Tapi anehnya, lima menit itu sering berubah bentuk. Tiba-tiba sudah satu jam, bahkan dua jam. Jempol masih setia menggeser layar ke atas, mata fokus ke video yang durasinya pendek-pendek, tapi rasanya nggak pernah benar-benar selesai. Satu video habis, muncul yang lain. Lucu, sedih, dramatis, bikin kesel, bikin senyum, lalu diulang lagi. Pas nulis tema ini, saya jadi inget obrolan dengam salah seorang kawan. Menceritakan fakta yang sama bahwa drama pendek model gitu lagi digemari banyak orang, bukan cuma Gen Z.

Hmm… di sinilah kita hidup sekarang. Di era video pendek dan micro drama. Konten yang durasinya cuma hitungan detik, tapi efeknya bisa berjam-jam. Sekilas kelihatan sepele, hanya hiburan ringan, tapi diam-diam ia mengisi kepala, memengaruhi perasaan, bahkan mengatur ritme hidup kita. Kita tertawa tanpa sadar, ikut baper dengan cerita orang asing, lalu tiba-tiba merasa capek sendiri. Aneh, kan? Nonton doang, tapi rasanya seperti habis lari jauh. Eh, itu kata yang pernah menonton lama, lho.

Micro drama dan video pendek memang dirancang untuk “kena” dengan cepat. Nggak pakai basa-basi. Langsung konflik, langsung emosi, langsung klimaks. Cocok dengan gaya hidup Gen Z yang serba cepat, serba instan, dan nggak suka menunggu lama. Tapi persoalannya, ketika semua disajikan serba cepat, kita jadi jarang memberi waktu untuk berpikir. Kita lebih sering bereaksi daripada merenung. Lebih sering merasa, tapi jarang menilai. Kamu, gitu juga nggak?

Di titik ini, pertanyaan pentingnya bukan lagi “kontennya bagus atau nggak,” tapi: kita ini sedang menikmati tontonan, atau justru sedang ditarik arusnya? Kita yang memilih apa yang kita tonton, atau algoritma yang perlahan-lahan memilihkan apa yang harus kita rasakan hari ini? Marah, sedih, iri, terhibur—semuanya bisa diatur hanya lewat layar enam inci di tangan kita.

Padahal, Islam mengajarkan hal mendasar bahwa manusia itu bukan sekadar makhluk yang hidup mengikuti arus, tapi makhluk yang diberi akal dan hati. Setiap detik waktu adalah amanah. Setiap hal yang masuk ke mata dan telinga, lambat laun akan turun ke hati. Maka wajar jika kita mulai bertanya, bukan dengan nada menghakimi, tapi dengan kesadaran bahwa di tengah derasnya video pendek dan micro drama, kita sedang membangun diri, atau sekadar menghabiskan waktu?

Tulisan ini nggak akan mengajak kamu mematikan HP, menghapus semua aplikasi, atau pura-pura hidup di zaman tanpa internet. Nggak. Itu nggak realistis. Nah, yang ingin kita lakukan adalah sesuatu yang lebih penting, yakni memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi, menilainya dengan jujur—baik sisi terang maupun sisi gelapnya—lalu mencari jalan agar kita tetap bisa menikmati media tanpa kehilangan arah sebagai remaja yang punya tujuan hidup. Begitu. Yuk, lanjut bacanya sampe kelar.

Serba instan, tapi jadi beban

Sobat gaulislam, kalo dulu umumnya orang menikmati cerita lewat novel tebal, sinetron beratus episode, atau film berdurasi dua jam, sekarang ceritanya dipadatkan. Diperas. Disajikan dalam bentuk yang jauh lebih singkat. Inilah yang disebut video pendek dan micro drama—konten berdurasi belasan detik sampai beberapa menit, tapi penuh konflik dan emosi. Nggak ada pemanasan. Nggak ada basa-basi. Begitu video dibuka, masalah langsung muncul. Tokohnya langsung berantem, langsung sedih, langsung patah hati, atau langsung bahagia berlebihan.

Format ini bukan muncul tanpa alasan. Ia lahir dari perubahan cara Gen Z mengonsumsi media. Kita tumbuh di dunia yang serba cepat. Informasi datang bertubi-tubi. Notifikasi bersahut-sahutan. Maka konten pun menyesuaikan diri: semakin singkat, semakin padat, semakin emosional. Tujuannya satu, yakni menangkap perhatian secepat mungkin sebelum jempol kita menggeser layar ke video berikutnya.

Micro drama biasanya dibangun dengan pola yang hampir sama. Ada konflik kecil tapi relate. Ada emosi yang meledak. Ada ending menggantung atau mengejutkan. Otak kita menyukainya karena terasa “puas” dalam waktu singkat. Seperti camilan. Nggak bikin kenyang, tapi bikin nagih. Sekali nonton satu, rasanya ingin lanjut lagi. Dan lagi. Dan lagi.

Dampak lain yang sering nggak disadari adalah kelelahan emosi. Terlalu banyak drama—meski hanya di layar—bisa membuat hati ikut capek. Kita menyerap konflik orang lain, ikut larut dalam kesedihan yang sebenarnya bukan milik kita, lalu bingung kenapa suasana hati tiba-tiba turun tanpa sebab yang jelas. Hari ini rasanya baik-baik saja, besok tiba-tiba kosong. Padahal nggak terjadi apa-apa di dunia nyata.

Belum lagi soal nilai. Banyak micro drama dan video pendek yang menormalisasi hal-hal yang sebenarnya bermasalah: hubungan toksik dianggap romantis, kemarahan dianggap keren, balas dendam dianggap wajar, gaya hidup serba pamer dianggap biasa. Ketika hal-hal seperti ini terus diulang, lama-lama batas antara yang sehat dan yang sakit menjadi kabur. Bener, yang seharusnya dikritisi justru diterima. Eh, yang seharusnya dijaga malah dianggap remeh. Terbalik.

Di titik tertentu, kita juga bisa terjebak pada ilusi hidup orang lain. Potongan-potongan cerita di media sosial membuat seolah hidup semua orang penuh drama, cinta, dan kejadian besar. Sementara hidup kita terasa datar. Padahal yang kita lihat hanyalah cuplikan, bukan keseluruhan. Tapi hati jarang peduli pada logika. Ia mudah membandingkan, mudah merasa kurang, mudah iri, lalu pelan-pelan kehilangan rasa syukur pada diri sendiri.

Di sinilah perubahan besar itu terjadi. Konsumsi media kita bergeser. Dari yang tadinya butuh fokus dan kesabaran, menjadi serba instan. Dari cerita yang mengajak berpikir panjang, menjadi cerita yang mengajak bereaksi cepat. Kita jadi terbiasa menerima potongan-potongan emosi tanpa sempat menyusunnya menjadi makna utuh. Sedih sebentar, lalu tertawa sebentar, lalu marah sebentar. Emosi kita seperti diaduk cepat-cepat, tapi jarang diberi waktu untuk tenang. Jadi, jangan heran kalo kebiasaan model gitu kebawa juga ketika menyaksikan video lainnya–apalagi yang kaitannya dengan urusan perseteruan politik. Duh, berantem di kolom komentar hanya karena melihat potongan video yang belum jelas sumbernya. Ngeri tapi konyol.

Belum lagi diseret ke algoritma di medsos. Ya, algoritma media sosial memperkuat semua ini. Ia belajar dari kebiasaan kita. Video apa yang ditonton sampai habis, mana yang di-skip, mana yang diulang. Lalu ia menyajikan konten serupa, bahkan lebih ekstrem, lebih emosional, lebih “kena”. Bukan karena ia peduli pada kita, tapi karena tugasnya memang menjaga kita tetap menonton. Selama kita bertahan di layar, sistem menganggap itu sukses. Nggak peduli apakah itu bermanfaat atau nggak. Mesin diperintah sama pemilik kepentingan yang ngerti cara kerja mesin itu demi guyuran cuan iklan.

Persoalan berikutnya, ketika dunia disajikan terlalu singkat dan cepat, ada harga yang harus dibayar. Kita jadi kurang terbiasa dengan proses. Kurang sabar dengan hal yang pelan. Kurang betah dengan bacaan panjang, diskusi mendalam, atau perenungan diri. Padahal, banyak hal penting dalam hidup—iman, ilmu, kedewasaan—nggak bisa tumbuh secara instan. Semuanya butuh waktu, ketekunan, dan ketenangan.

Islam sejak awal sudah mengajarkan keseimbangan. Nggak semua yang cepat itu baik, dan nggak semua yang lama itu membosankan. Ada waktu untuk bergerak, ada waktu untuk diam. Ada saatnya menikmati hiburan, ada saatnya menahan diri. Maka memahami realitas video pendek dan micro drama bukan berarti menolaknya mentah-mentah, tapi menyadari satu hal penting: dunia boleh semakin cepat, tapi kita nggak wajib kehilangan kendali.

Kreativitas untuk kebaikan

Sobat gaulislam, selama ini banyak dari kita merasa hanya sebagai penonton. Konten datang, kita tonton. Drama muncul, kita ikut emosi. Padahal, Gen Z sebenarnya punya posisi yang jauh lebih kuat: bukan sekadar konsumen, tapi juga kontributor. Dunia digital bukan panggung satu arah. Ia ruang terbuka. Siapa pun bisa ikut membentuk isinya.

Video pendek dan micro drama bisa menjadi alat kebaikan jika dipegang oleh orang yang sadar arah. Nggak harus selalu serius, apalagi sok bijak. Konten bernilai nggak selalu tentang ceramah. Kadang ia hadir lewat humor yang jujur, cerita sederhana, atau pengalaman pribadi yang relatable. Sesuatu yang membuat orang berkata, “Oh, ternyata begini juga bisa.”

Gen Z konon kabarnya punya modal besar: kepekaan. Peka terhadap isu, peka terhadap perasaan, peka terhadap keresahan zaman. Dari situlah konten bermakna lahir. Cerita tentang perjuangan belajar, tentang gagal tapi bangkit lagi, tentang bertahan di tengah tekanan, tentang memilih jujur di saat yang lain memilih jalan pintas. Semua itu bisa dikemas singkat, tapi dampaknya panjang. Manfaatnya bisa tersebar luas.

Dari sudut pandang Islam, menyebarkan kebaikan bisa melalui berbagai sarana. Satu pesan positif, satu sudut pandang yang menenangkan, satu konten yang nggak ikut memperkeruh suasana—itu sudah termasuk amal shalih. Apalagi jika dilakukan dengan niat yang lurus. Micro dakwah di era digital bukan soal banyaknya view, tapi soal kejujuran pesan.

Itu artinya, menjadi kontributor juga berarti bertanggung jawab. Nggak ikut menyebarkan hoaks, nggak memelihara drama palsu, nggak mengejar viral dengan cara merendahkan. Di sinilah kedewasaan digital diuji. Kita bebas berkarya, tapi tetap terikat nilai. Bebas berekspresi, tapi nggak bebas merusak. Seringkali saya sendiri jengah dengan konten-konten nggak bertanggung jawab di berbagai platform media sosial yang lebih ngejar views, ngejar cuan, tapi isinya nggak bermanfaat, bahkan hoaks.

Jadi, ketika semakin banyak Gen Z memilih untuk hadir sebagai pembuat arah, bukan sekadar pengikut arus, ekosistem media pun perlahan berubah. Konten nggak lagi hanya tentang siapa yang paling heboh, tapi siapa yang paling bermakna. Dan perubahan seperti ini selalu dimulai dari individu yang berani memilih jalan berbeda.

So, dunia digital akan selalu bising. Tapi kita bisa memilih: ikut menambah kebisingan, atau menghadirkan jeda yang menenangkan. Video pendek dan micro drama hanyalah alat. Sebab, yang membuatnya berharga atau berbahaya adalah siapa yang menggunakannya, dan untuk apa.

Itu artinya, manfaatkan video pendek untuk dakwah, edukasi, dan literasi yang relevan dengan remaja. Banyak konten singkat yang membahas isu kesehatan mental, motivasi belajar, nilai keluarga, bahkan pengingat-pengingat keislaman dengan bahasa ringan. Bukan ceramah panjang yang bikin kening berkerut, tapi potongan pesan yang sederhana, jujur, dan mudah diterima. Kadang cukup satu kalimat untuk membuat seseorang berhenti sejenak dan berpikir.

Micro drama juga bisa menjadi cermin sosial. Cerita-cerita pendek tentang pertemanan, tekanan hidup, konflik keluarga, atau pencarian jati diri sering terasa dekat dengan realitas remaja. Kita melihat diri kita sendiri di sana. Kita merasa, “Oh, ternyata aku nggak sendirian.” Di titik ini, konten pendek berfungsi sebagai ruang empati—tempat emosi diakui, bukan ditertawakan.

Nah, dalam kacamata Islam, kreativitas adalah anugerah. Allah Ta’ala memberi manusia akal, rasa, dan kemampuan mengekspresikan diri. Selama kreativitas itu nggak melanggar akidah dan syariat, nggak merusak akhlak, dan nggak menjerumuskan, ia justru bisa menjadi amal shalih. Konten yang menghibur tanpa merendahkan, yang menginspirasi tanpa membohongi, yang lucu tanpa melukai—semuanya bisa bernilai kebaikan. Tentu, niatnya kudu ikhlas agar dapet nilai pahala dari Allah Ta’ala.

Jadi, bukan cuma pada durasinya yang pendek, tapi pada arah dan niat di baliknya. Video pendek bisa menjadi pintu menuju hal-hal positif, atau justru jebakan yang melelahkan batin. Di sinilah peran kesadaran menjadi penting. Ketika Gen Z mampu melihat media bukan hanya sebagai hiburan, tapi juga sebagai alat untuk berkarya dan memberi makna, maka konten pendek nggak lagi sekadar tontonan—ia berubah menjadi peluang kebaikan dan manfaat.

Tujuan dan target

Sobat gaulislam, berjam-jam nonton micro drama, bisa ngabisin waktu percuma. Dalam Islam, waktu bukan sekadar angka di jam atau sisa baterai di ponsel. Waktu adalah amanah. Sesuatu yang akan ditanya, bukan hanya dirasakan. Allah sampai bersumpah dengan waktu dalam al-Quran, seolah ingin mengingatkan bahwa apa yang kita lakukan dari detik ke detik itu penting. Maka ketika satu jam habis hanya untuk scroll tanpa sadar, sebenarnya bukan cuma waktu yang berlalu—kesempatan juga ikut bablas.

Selain itu, hati juga punya peran besar. Dalam Islam, hati (qalb) adalah pusat kendali. Dari sanalah lahir niat, sikap, dan pilihan. Persoalannya, hati sangat dipengaruhi oleh apa yang sering ia terima. Jika tiap hari yang masuk adalah kegaduhan, drama, kemarahan, dan kesia-siaan, jangan heran jika hati jadi mudah gelisah. Bukan karena imannya hilang, tapi karena ia kelelahan. Terlalu banyak disentuh hal unfaedah, tapi jarang ditenangkan dengan zikir.

Islam nggak anti hiburan. Tertawa itu boleh. Menikmati cerita itu wajar. Hanya saja, yang ditekankan adalah batas dan arah. Apakah hiburan itu mendekatkan kita pada kebaikan, atau justru menjauhkan? Apakah ia sekadar selingan, atau sudah menjadi penguasa waktu? Di sinilah konsep laghwun menjadi relevan—hal-hal yang nggak memberi manfaat, yang jika terlalu banyak justru menggerogoti kualitas diri.

Selain itu, pandangan juga punya tanggung jawab. Apa yang sering kita lihat akan membentuk cara kita memandang hidup. Jika yang ditonton penuh dengan gaya hidup serba pamer, konflik tanpa solusi, dan emosi tanpa kendali, maka standar kita perlahan ikut berubah. Tanpa sadar, kita mulai menganggap yang nggak sehat sebagai hal biasa. Padahal, Islam mengajarkan menjaga pandangan bukan hanya soal moral, tapi juga soal kebersihan batin.

Nah, yang menarik, Islam selalu menempatkan manusia sebagai subjek, bukan objek. Kita bukan makhluk yang hidup sekadar mengikuti arus. Kita diberi akal untuk menilai, iman untuk mengarahkan, dan kehendak untuk memilih. Media hanyalah alat. Video pendek hanyalah sarana. Dan, yang menentukan dampaknya bukan formatnya, tapi siapa yang memegang kendali.

Maka ketika berbicara tentang konsumsi media di era video pendek dan micro drama, Islam nggak datang membawa larangan kaku, tapi kesadaran. Kesadaran bahwa setiap pilihan kecil—video apa yang kita tonton, berapa lama kita bertahan, bagaimana perasaan setelahnya—itu semua bagian dari tanggung jawab diri. Bukan untuk menjadi sempurna (karena rasa-rasanya sulit), tapi untuk terus menjaga arah agar tetap berada dalam kebaikan.

Punya kendali

Jujur saja, menyuruh Gen Z berhenti total dari video pendek dan micro drama itu seperti menyuruh ikan menjauh dari air. Nggak realistis. Dunia sudah digital, dan kita hidup di dalamnya. Maka solusi yang lebih masuk akal (setidaknya menurut saya) bukan memutus hubungan, tapi mengatur ulang peran. Bukan media yang mengendalikan kita, tapi kitalah yang memegang setir. Punya kendali atas media. Gimana implementasinya?

Pertama, sadar diri. Bukan asal scroll. Sebelum membuka aplikasi, tanyakan satu hal sederhana: “Aku mau apa?” Hiburan, informasi, atau sekadar mengisi jeda? Kesadaran kecil ini penting, karena sering kali kita masuk ke media sosial tanpa tujuan, lalu keluar dengan kepala penuh dan hati lelah. Dalam Islam, niat adalah fondasi. Bahkan aktivitas biasa bisa bernilai jika diniatkan dengan benar.

Kedua, menilai dan menyeleksi konten. Nggak semua yang viral perlu ditonton. Nggak semua yang lagi ramai harus diikuti. Follow akun yang menenangkan, menguatkan, atau memberi perspektif sehat. Unfollow atau mute konten yang bikin emosi naik-turun, membangkitkan iri, atau menormalisasi hal-hal yang merusak. Ini bukan soal sok suci, tapi soal menjaga diri. Seperti memilih makanan dan teman, konten juga perlu diseleksi.

Ketiga, beri batas waktu. Gunakan fitur pengingat waktu, atau tentukan jam khusus untuk hiburan. Bukan agar hidup kaku, tapi agar waktu nggak bocor tanpa jejak. Islam mengajarkan keseimbangan—antara istirahat dan ibadah, antara dunia dan akhirat. Mengatur waktu adalah bentuk menghargai diri sendiri dan tentunya sebagai wujud syukur atas karunia waktu yang Allah Ta’ala berikan.

Keempat, memberi jeda untuk hati dan pikiran. Setelah menonton banyak konten pendek, luangkan waktu untuk hal-hal yang menenangkan: membaca, menulis, ngobrol langsung, atau sekadar diam. Diam bukan berarti kosong. Kadang justru di situ hati dan pikiran kembali fresh. Nggak semua momen harus diisi layar.

Oya, yang nggak kalah penting, biasakan bertanya setelah menonton: “Apa pengaruhnya ke aku?” Apakah membuat lebih tenang, lebih semangat, atau justru lebih gelisah? Refleksi sederhana ini membantu kita mengenali pola. Jika suatu konten sering membuat hati berat, mungkin sudah waktunya dikurangi. Islam mendorong muhasabah—mengevaluasi diri secara rutin, bukan untuk menghukum, tapi untuk memperbaiki arah.

Muhasabah

Sobat gaulislam, media nggak pernah benar-benar netral. Ia membentuk kebiasaan, lalu kebiasaan membentuk karakter. Apa yang kita tonton hari ini, pelan-pelan akan memengaruhi cara kita berpikir, merasa, dan mengambil keputusan esok hari. Maka memilih konten sejatinya adalah memilih versi diri yang sedang kita bangun. Lebih tenang atau lebih gelisah. Lebih sadar dan sabar atau lebih reaktif.

Islam nggak meminta kita menjauh dari dunia, tapi hidup di dalamnya dengan kendali. Menikmati hiburan tanpa kehilangan iman. Mengikuti perkembangan tanpa meninggalkan prinsip. Dunia boleh berubah cepat, tapi kompas hidup nggak boleh goyah. Akal dan hati harus tetap waras, bukan malah mengikuti algoritma mesin.

Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Anggota badan yang tujuh, yaitu: Mata, telinga, mulut, lisan, kemaluan, tangan dan kaki: adalah kendaraan (bagi) kerusakan dan kesuksesan, Maka menjaganya adalah asas segala kebaikan dan melalaikannya adalah asas segala keburukan.” (dalam Ighatsatul Lahafan, jilid 1, hlm. 80)

Mungkin kita nggak bisa mengubah seluruh isi internet. Tapi kita selalu bisa mengubah cara kita hadir di dalamnya. Cara kita menonton. Cara kita bereaksi. Cara kita berkarya. Dari situ, perubahan kecil mulai terjadi. Dan sering kali, perubahan besar memang lahir dari pilihan-pilihan sederhana yang dilakukan secara konsisten.

Dan jika suatu hari kamu menutup aplikasi dengan hati yang lebih tenang, pikiran yang lebih jernih, dan niat yang lebih lurus—maka di situlah tanda bahwa media nggak lagi menguasaimu. Lebih keren lagi, kalo media dijadikan senjata untuk menyampaikan dakwah. [O. Solihin | Join WhatsApp Channel]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *