Friday, 29 March 2024, 14:54

gaulislam edisi 758/tahun ke-15 (1 Syawal 1443 H/ 2 Mei 2022)

Siapa sih yang nggak senang di hari lebaran? Idulfitri adalah hari raya kita, umat Islam. Bergembira sudah pasti, mestinya. Walau, tentu ada kesedihan juga harus berpisah dengan Ramadhan. Bulan mulia, penuh barokah dan limpahan pahala. Waktu memang terus berjalan dan tak kembali lagi. Kitalah yang semestinya tahu diri, bagaimana cara memanfaakan waktu agar ketika waktu berlalu kita tinggalkan jejak indah amal shalih kita yang insya Allah akan dibalas pahala oleh Allah Ta’ala.

Sobat gaulislam, sebulan itu terasa begitu cepat. Waktu berjalan seperti kilatan cahaya. Rasanya baru kemarin awal Ramadhan kita mulai, lalu menapaki hari-harinya dengan penuh semangat padat beribadah, kini Ramadhan telah pergi. Berganti Idulfitri, lebaran dalam bahasa umum di negeri ini. Kita bahagia campur sedih. Terharu sih, tepatnya. Semoga amal shalih yang sudah kita semai di bulan Ramadhan berbuah pahala dan ketakwaan kita kian meningkat. Semangat beribadahnya terus berlanjut di bulan-bulan berikutnya. Insya Allah. Kita saling menyemangati, ya. Sebab, saya juga meski nulis kayak gini, tetap masih jauh dari sempurna dalam banyak hal. Kita saling mendoakan untuk kebaikan kita semua.

Gema takbir bersahut-sahutan terdengar dari pengeras suara masjid dan mushola. Saling berkirim salam dan ucapan merayakan Idulfitri. Ada yang menelepon, kirim pesan via aplikasi WhatsApp dan Telegram, dan tak sedikit yang menyampaikannya di akun media sosial masing-masing lengkap dengan foto diri atau keluarganya yang dianggap paling menarik untuk dilihat, Ekspresi kegembiraan yang memang wajar, semestinya begitu sebagai seorang muslim.

Meski sempat ada perbedaan penentuan awal dan akhir Ramadhan, sesuai dengan pemahaman ilmu agama terkait hal itu, tetapi semoga tetap bersatu dalam akidah Islam. Muslim yang satu kan bersaudara dengan muslim yang lain. Sesama mukmin adalah bersaudara. So, ngapain juga berantem hanya karena perbedaan pendapat yang memang akan memungkinkan terjadi perbedaan yang bukan pokok. Nggak perlu juga gaduh di medsos secara berlebihan. Sewajarnya saja. Pendapat lawan dengan pendapat. Jangan sampe dibumbui dengan celaan dan makian. Malu.

Oya, perbedaan penentuan dan pengambilan keputusan untuk menetapkan awal dan akhir Ramadhan itu hampir selalu terjadi setiap tahun, lho. Saya sendiri malah udah merasakannya sejak awal tahun 1990-an. Ya, udah lebih dari 30 tahun. Itu zaman saya SMK.

Ada yang mengambil pendapat hisab ada yang harus rukyat (melihat) bulan sabit (hilal) untuk penentuan akhir dan awal bulan dalam kalender qomariah. Selain itu, ada lagi perbedaan antara rukyat global dan rukyat lokal. Rukyatul hilal global, karena jarak antara tempat di muka bumi ini kurang dari 24 jam (sehari). Sehingga secara fakta seluruh kawasan di bumi ini harinya sama, hanya berbeda memulai dan mengakhirinya. Artinya, jika ada yang sudah melihat hilal awal bulan di suatu negeri, dengan pengamatan yang benar (terlatih atau terbiasa) dan dilakukan seorang muslim (apalagi dikuatkan dengan sumpah), berarti kesaksiannya bisa diterima.

Begitu juga dengan yang rukyat lokal. Hanya berbeda wilayah saja. Sehingga memungkinkan di beberapa kawasan jadinya berbeda mengawali dan mengakhirinya. Potensi konflik selalu ada. Itu sebabnya, di masa sekarang, meskipun secara teknologi komunikasi dan informasi sudah canggih, tetap membutuhkan pengambil dan penentu keputusan yang sifatnya memiliki otoritas penuh dan mengikat luas, yakni pemimpin negara.

Lho, bukannya di negara masing-masing kaum muslimin memiliki pemimpinnya? Secara fakta betul. Namun, yang dimaksud pemimpin di sini adalah khalifah dalam negara Islam yang mengatur urusan dalam negeri dan luar negeri kaum muslimin, yang wilayahnya membentang luas hampir di seluruh dunia, tanpa disekat oleh kepingan-kepingan negeri dalam bingkai nasionalisme.

Ya, khalifah dalam pemerintah Islam (Khilafah Islamiyah), yang akan mengambil keputusan untuk menentukan pendapat atau kesaksian siapa yang berhasil melihat hilal, lalu diputuskan dan ditetapkan untuk seluruh warga negara khilafah. Diharapkan ini akan menjadi solusi supaya tidak gaduh terus saling mengklaim pendapat masing-masing bahwa pendapatnya yang benar. Giliran orang awam yang bingung. Kok jadi ribet banget rasa-rasanya. Iya, memang ribet kalo nggak punya ilmunya dan nggak memahami fakta serta nggak berdasar pada hukum syara. Belajar ada solusi agar menjadi tahu.

Berharap ketakwaan kian meningkat

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Masih ingat firman Allah Ta’ala yang sering disampaikan dalam ceramah-ceramah di bulan Ramadhan kemarin? Ya, surah al-Baqarah ayat yang ke-183, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Jadi, kita diwajibkan berpuasa Ramadhan itu, agar kita mendapat predikat takwa sesuai kriteria yang dikehendaki Allah Ta’ala. Para ulama sudah menjelaskan terkait hal ini. Menurut Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Takwa adalah seseorang beramal ketaatan pada Allah atas cahaya (petunjuk) dari Allah karena mengharap rahmat-Nya dan ia meninggalkan maksiat karena cahaya (petunjuk) dari Allah karena takut akan siksa-Nya. Tidaklah seseorang dikatakan mendekatkan  diri pada Allah selain dengan menjalankan kewajiban yang Allah tetapkan dan menunaikan hal-hal yang sunnah.”

Itu artinya, kalo ada orang yang nggak menjalankan perintah Allah Ta’ala, doyan maksiat tetapi ogah bertaubat, maka yang model gini sih nggak terkategori orang yang bertakwa. Nah, gimana dengan kita usai Ramadhan kemarin? Semoga saja ya, semoga ketakwaan kita meningkat. Walau secara fakta mungkin meningkatnya ada yang sedikit dan ada yang banyak. Intinya meningkat ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala.

Kayak gimana sih? Begini deh. Di bulan Ramadhan kita terbiasa disiplin, kan ya. Melakukan rutinitas makan sahur, di awal-awal kan berat pas dibangunin. Tetapi berbekal keyakinan ingin menjadi lebih baik, hari-hari berikutnya kita mudah bangun sahur dan mengambil keberkahan dalam makan di waktu sahur.

Shalat juga kita rajin dan tepat waktu, bahkan yang cowok jadi semangat banget shalatnya berjamaah di masjid atau mushola. Termasuk melakukan shalat sunnah tarawih. Padahal sebelum Ramadhan jarang menyempatkan pergi ke masjid atau mushola untuk shalat lima waktu secara berjamaah. Bahkan shalat sunnah tahajud dan dhuha juga susah menyempatkan. Ini, alhamdulillah. Semoga usai Ramadhan nih, shalatnya jadi tambah getol dan dilakukan dengan sebaik-baiknya. Shalat fardhu di awal waktu dan berjamaah di masjid atau mushola. Shalat tahajud dan dhuha juga dikerjakan dengan penuh kesadaran. Semoga, ya. Kita saling support, deh.

Mengutip dari laman rumaysho.com, dijelaskan bahwa bentuk takwa dalam puasa dapat kita lihat dalam berbagai hal berikut.

Pertama, orang yang berpuasa akan meninggalkan setiap yang Allah Ta’ala larang ketika itu yaitu dia meninggalkan makan, minum, berjima’ dengan istri dan sebagainya yang sebenarnya hati sangat condong dan ingin melakukannya. Ini semua dilakukan dalam rangka taqorrub atau mendekatkan diri pada Allah dan meraih pahala dari-Nya. Inilah bentuk takwa.

Kedua, orang yang berpuasa sebenarnya mampu untuk melakukan kesenangan-kesenangan duniawi yang ada. Namun dia mengetahui bahwa Allah Ta’ala selalu mengawasi diri-Nya. Ini juga salah satu bentuk takwa yaitu merasa selalu diawasi oleh Allah.

Ketiga, ketika berpuasa setiap orang akan semangat melakukan amalan-amalan ketaatan. Dan ketaatan merupakan jalan untuk menggapai takwa (dalam Taisir Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 86, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H).

Inilah sebagian di antara bentuk takwa dalam amalan puasa. Nah, dengan ukuran seperti ini. Kira-kira usai Ramadhan ini kita masih menerapkan poin-poin tersebut nggak? Semoga saja masih dan terus ditingkatkan, ya. Walau kalo di luar Ramadhan pasti akan terasa lebih berat, maka harus diupayakan lebih kuat. Kalo di bulan Ramadhan sih, semua orang muslim berpuasa (yang puasa mah) dan gemar beramail shalih. Jadi, ada suasana yang mendukung untuk melakukan berbagai ketaatan.

Namun, jangan khawatir. Kalo kamu bisa makin takwa usai Ramadhan, tandanya kamu dimudahkan oleh Allah Ta’ala agar terus berbuat baik, yang latihannya itu pas kamu puasa Ramadhan kemarin, ya. Insya Allah. Semoga terus berlanjut hingga ajal menjemput. Dimudahkan untuk tetap dalam iman dan takwa yang terus meningkat sampai akhir hayat.

Masih ingat nggak waktu puasa Ramadhan kemarin? Kita bisa mulai mengendalikan jiwa. Banyak makan dan mengumbar syahwat itu bikin lupa diri dan bahkan lupa bersyukur atas nikmat yang diberikan. Ketika berpuasa, kita jadi mudah mengendalikan jiwa kita, dan mengarahkannya pada kebaikan semata.

Selain itu, hal-hal duniawi juga coba kita jauhi dan bukan menjadi tujuan utama. Puasa mencegah hal itu. Sebaliknya kita disibukkan dengan beragam amaliah Ramadhan, seperti shalat tarawih dan tilawah al-Quran, banyak berzikir dan berdoa, juga kebaikan lainnya. Luar biasa hikmah puasa, ya.

Di bulan Ramadhan banyak kaum muslimin yang jadi gemar bersedekah. Sadar diri bahwa puasa itu berat, lalu merenung bahwa ada saudara kita yang bahkan terpaksa tidak makan dan minum di luar bulan puasa karena tak punya uang untuk membeli makanan dan minuman. Akhirnya, menumbuhkan sikap dermawan. Mau berbagi dengan sesama. Alhamdulillah.

Semoga, kesadaran beramal shalih bukan sekadar tumbuh dan mekar di bulan Ramadhan saja. Namun, terus berlanjut di bulan-bulan berikutnya. Jangan musiman, ya. Menurut Bisyr al-Haafi rahimahullah, “Seburuk-buruk kaum (adalah yang) tidak mengetahui hak Allah (untuk disembah) kecuali di bulan Ramadhan (saja). Sesungguhnya orang shalih (adalah yang) menghamba (kepada Allah) dan bersungguh-sungguh (dalam ketaatan kepada-Nya) sepanjang tahun.” (dalam Lathaiful-Ma’arif li Ibni Rajab, hlm. 222)

Alhamdulillah, hari ini sudah lebaran. Ramadhan sudah meninggalkan kita. Kenangannya masih membekas dalam ingatan. Semoga pula menjadi pemicu agar kita terus beramal shalih. Pahala sudah ditetapkan, dan semoga itu yang terbaik bagi kita. Saya bukan orang yang sempurna walau mampu menulis panjang lebar di buletin ini. Jadi, yuk kita saling support dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Dekatlah dengan orang-orang baik agar tumbuh kecintaan kepada kebaikan dan mau mengerjakannya sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Ta’ala.

Mengakhiri tulisan ini, apalagi sesuai judulnya, maka saya dan seluruh kru gaulislam mengucapkan: “Selamat Idulfitri 1443 H. Taqabbalallahu minna wa minkum. Taqabbal ya kariim. Mohon maaf lahir dan batin. Semoga shaum kita dan amal ibadah lainnya diberikan ganjaran pahala yang berlipat-lipat oleh Allah Ta’ala. Semoga kita kian takwa setelahnya dan tahun depan Allah berikan kesempatan kepada kita untuk berjumpa lagi dengan Ramadhan.” [O. Solihin | IG @osolihin]