Wednesday, 9 October 2024, 00:41
jilbab

gaulislam edisi 859/tahun ke-17 (29 Ramadhan 1445 H/ 8 April 2024)

Nggak terasa, sudah di hari ke-29 Ramadhan 1445 Hijriah. Lusa insya Allah Idulfitri. Kerasa cepat, ya? Konon kabarnya karena kita menikmati hidup. Iya, coba kalo kita menderita atau sedang kesulitan, rasa-rasanya sehari jadi lebih lama. Kalo lagi ngobrol ngumpul sama teman dalam kondisi sedang suka cita dan bercanda, waktu satu jam terasa sangat singkat. Beda banget kalo lagi susah. Satu jam terasa setengah hari. Padahal, sejatinya ya segitu-segitu juga. Berarti soal perasaan, ya. Semoga kita semua diberikan kemudahan oleh Allah Ta’ala. Semoga shaum Ramadhan kita diterima dan diganjar pahala oleh Allah Ta’ala. Semoga pula dosa-dosa kita diampuni oleh Allah Ta’ala.

Sobat gaulislam, edisi pekan ini mau ikutan bahas soal busana muslimah, khususnya jilbab, ya. Maklum, lagi jadi obrolan di media sosial ada gadis yang memutuskan melepas hijabnya (kerudungnya). Rasa-rasanya kamu juga udah tahu siapa dia dan mengapa alasan dia melepas hijabnya. Jadi, di pembahasan ini fokus pada aturan dan batasan dalam syariat Islam, khususnya terkait dengan aurat. Semoga tulisan ini menjadi bahan untuk berdakwah. Menyampaikan kebenaran.

Dalam unggahan di akun Instagramnya, gadis tersebut menyampaikan bahwa keputusannya untuk melepas hijab adalah hasil dari proses berpikir yang panjang, termasuk dengan kedua orang tua dan keluarganya. “Hi semuanya, setelah banyak pertimbangan dan diskusi yang sangat amat panjang dan keluarga aku. Aku memutuskan untuk melepas kerudungku,” tulis Zara di akun Instagramnya.

Menurutnya, seorang Muslim yang baik, hal utama adalah melaksanakan ajaran agama dengan tulus dari dalam hati, bukan hanya sekadar tampilan dari luarnya saja.

“Karena bagi aku secara personal, seorang Muslim yang baik adalah mereka yang melakukan syariat ajaran agama dari hati. Bukan soal penampilan tapi soal hati yang bersih,” tambahnya.

Ia mengaku bahwa tidak ingin hidup dalam kebohongan dan mengatakan bahwa ini adalah cara baginya untuk menjadi jujur dengan diri sendiri. “Aku tidak suka membohongi orang lain karena aku pun tidak suka dibohongi maka dari itu ini adalah cara aku untuk jujur. Jadi jangan berekspektasi terlalu tinggi terhadap aku,” tambahnya.

Begitu kira-kira alasan dia. Tak dijelaskan detil, sih. Jadi, dia ambil keputusan setelah diskusi dengan ortunya, bicara soal pelaksanaan syariat yang harus dari hati dulu bukan sekadar penampilan dan nggak mau bohong soal perasaannya.

Pengaruh lingkungan dan persepsi

Sobat gaulislam, sebelum bahas soal pengaruh lingkungan dan persepsi atau tanggapan langsung dari sesuatu, kita coba bahas tentang iman. Mengapa? Sebab, iman itu bisa tetap kokoh meski ada pengaruh lingkungan dan pendapat orang lain yang memiliki persepsi berbeda terhadap apa yang kita lakukan. Jadi, faktor keimanan ini yang menjadi pembeda di setiap orang.

Itu artinya kalo iman kita udah mantap dan ajeg, insya Allah godaan dan rintangan itu bisa kita redam, atau bahkan kita halau. Meski berada di lingkungan yang berbeda dengan cara pandang kita, atau ada orang lain yang menilai perilaku kita atau cara pandang kita, kita akan tetap mempertahankan cara pandang dan perilaku kita tersebab iman kita. Jadi nggak mudah terpengaruh, bahkan bisa jadi ada upaya untuk melawan pihak yang berusaha ngerecokin apa yang menjadi pendapat dan keyakinan kita.

Maka, ketika seorang muslimah mengenakan kerudung (apalagi kalo lengkap dengan jilbab, yakni pakaian seperti gamis yang tebal, panjang, dan longgar), maka dia akan tetap nyaman dan mempertahankan prinsipnya meski berada di lingkungan yang sekular atau mungkin ada cemoohan dari orang-orang dari lingkungan tersebut. Sering banget kan ada yang suka nyinyir. Dikatain begini dan begitu. Malah jurus setan dipake juga dengan kata-kata semisal, “yang penting itu hati, soal penampilan mah nggak menjamin sesuai dengan isi hatinya.”

Wah, ini bisa bahaya, lho. Mengapa? Bisa bikin ragu yang lemah iman. Jadi, sepertinya ingin mengatakan bahwa nggak perlu deh tuh pake kerudung, kalo hatinya belum bener. Kira-kira gitu. Ini cara pandang yang salah. Seharusnya, tetap kenakan kerudung atau busana muslimah yang lebih sempurna lagi, lalu menata hati agar tetap terikat keimanan. Hatinya diguyur dengan ilmu dan adab, pakaiannya tetap dikenakan. Menjadi baik nggak bisa langsung jadi. Ada prosesnya. Butuh kesabaran juga. Ilmu, tentu saja kudu punya bekalnya juga.

Kalo cara pandangnya kayak tadi, yang penting hati dulu, kalo soal penampilan (dalam berbusana) itu nggak menjamin sesuai isi hati, bisa bikin ribet. Sebab, itu sama artinya, “yang penting hati saya baik, nggak pake pakaian juga nggak apa-apa, kan penampilan nggak menjamin sesuai isi hati.” Duh, kalo keluar rumah ada yang nggak berpakaian, bisa dibilang gila meski kamu berusaha sekuat tenaga bilang kalo hatimu tetap bersih dan pikiranmu waras. Gimana kalo kayak gitu? Tapi rasa-rasanya perumpamaan ini terlalu ekstrem karena yang berprinsip kayak gitu juga nggak mau kalo sampe nggak pake pakaian ke luar rumah. Iya, kan?

Kewajiban, bukan pilihan

Sobat gaulislam, dalam Islam itu ada pelaksanaan syariat, yang urutannya mulai dari wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Singkatnya, wajib itu mutlak kudu dikerjakan kayak shalat fardhu, puasa Ramadhan dan lainnya. Sunnah itu diupayakan untuk dikerjakan karena akan mendapatkan pahala. Kalo nggak dikerjakan nggak dapat pahala dan nggak berdosa. Maka, orang beriman dan imannya kuat pasti akan berusaha mengupayakan mengerjakan yang sunnah (shalat, sedekah, puasa dan lainnya yang terkategori sunnah).

Nah, kalo mubah, itu semacam pilihan. Bisa dikerjakan bisa juga ditinggalkan. Nggak ada pahala dan dosa. Namun demikian, kaum muslimin tetap didorong untuk mempertimbangkan bahwa yang mubah pun harus dipilih dan dicari prioritasnya, yakni yang bisa menguatkan agama ketika dikerjakan, kalo yang cuma untuk kepuasan diri, lebih baik ditinggalkan. Tidur misalnya, itu mubah. Tapi kalo tidur mulu sehingga tidak bisa mengerjakan amalan yang sunnah apalagi yang wajib, maka ini jadi bikin rugi. Harus diatur supaya nggak merugikan karena tidak bisa mengerjakan amal shalih.

Kamu udah tahu kan arti makruh? Betul, makruh itu kalo dikerjakan nggak dapat apa-apa, pahala nggak dosa nggak. Tapi kalo ditinggalkan alias nggak dikerjakan, justru mendapat pahala. Contoh, ada larangan makan dan minum menggunakan tangan kiri. Kita hindari tuh, dengan menggunakan tangan kanan, maka kita akan mendapatkan pahala. Kalo soal haram, ini tegas larangannya. Mutlak. Jangan. Kalo dikerjakan berdosa. Harus dihindari. Misalnya diharamkan makan bangkai, daging babi, minum darah, daging hewan yang disembelih bukan atas nama Allah, atau daging hewan untuk sesembahan kepada berhala, dan bentuk keharaman lainnya.

Berbusana muslimah, bagi muslimah yang baligh dan berakal adalah kewajiban. Mengenakannya ketika hendak ke luar rumah atau jika di rumah tapi ada lelaki yang bukan mahram. Tujuannya untuk menutup aurat yang memang sudah diperintahkan dalam syariat Islam. Nggak ada pilihan, karena ini kategorinya wajib.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS an-Nuur [24]: 31)

Firman Allah Ta’ala di ayat lain (yang artinya), “Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS al-Ahzab [33]: 59)

Identitas muslimah

Sobat gaulislam, ada sedikit penjelasan nih tentang definisi jilbab (kali aja ada yang belum jelas, ya). Jadi, jilbab bermakna milhâfah (baju kurung atau semacam abaya yang longgar dan tidak tipis), kain (kisâ’) apa saja yang dapat menutupi, atau pakaian (tsawb) yang dapat menutupi seluruh bagian tubuh. Di dalam kamus al-Muhîth dinyatakan demikian: Jilbab itu laksana sirdâb (terowongan) atau sinmâr (lorong), yakni baju atau pakaian yang longgar bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutupi pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung.

Itu sebabnya, untuk bisa disebut mengenakan busana muslimah, maka seorang muslimah harus mengenakan jilbab lengkap dengan kerudungnya. Begitu deh, secara singkatnya.

Terus, biar nggak ada peluang orang yang nggak suka dengan jilbab untuk melecehkan kamu. Kamu kudu bisa menjaga diri sebagai jilbaber. Identitas kamu kudu jelas sebagai muslimah sejati. Bukan cuma ditampilkan dalam bentuk simbol busana aja. Tapi juga perilaku dan cara berpikir. Sehingga khas banget identitasmu sebagai muslimah. Itu sebabnya belajar memperdalam Islam adalah sebuah kewajiban untuk memoles inner beauty-mu.

Nah, ngomongin soal identitas, berarti kita kudu bicara konsep diri. Nah apa sih konsep diri? Menurut Anita Taylor, “Konsep diri adalah semua yang Anda pikirkan dan Anda rasakan tentang diri Anda, seluruh kompleks kepercayaan dan sikap tentang Anda, yang Anda pegang teguh.”

Jadi, ketika kamu sudah mengenakan jilbab dengan benar dan baik, itu artinya kamu udah jelas konsep diri kamu sebagai muslimah sejati. Maka, untuk memoles dan mencocokkan dengan tuntunan syariat, ucapan dan perilaku juga kudu jelas mencerminkan Islam. Jangan sampe deh kamu udah berjilbab tapi pergaulan kamu masih bebas. Atau kalo ngomong masih suka nyakitin ati orang lain. Semoga itu sedikit demi sedikit bisa kamu ubah kalo merasa masih belum sempurna. Oke?

Sebaliknya, jilbab harus menjadikan pemakainya sebagai orang-orang yang tidak saja cantik tetapi juga paling berani menjalani hidup ini. Seperti dalam sebuah puisi karya Bung Emha Ainun Najib, berjudul “Lautan Jilbab”: “Jilbab adalah keberanian di tengah hari-hari sangat menakutkan, Jilbab adalah percikan cahaya di tengah-tengah kegelapan, Jilbab adalah kejujuran di tengah kelicikan, Jilbab adalah kelembutan di tengah kekasaran dan kebrutalan, Jilbab adalah kebersahajaan di tengah kemunafikan, Jilbab adalah perlindungan di tengah sergapan-sergapan.”

Mari menghargai wanita

Siapa yang kita ajak untuk menghargai wanita? Menurut saya, wanita itu sendiri dan laki-laki. Kepada para wanita, mohon untuk menghargai diri sendiri. Bagaimana mungkin orang lain (laki-laki akan menghargai wanita) jika wanitanya sendiri udah berani untuk kehilangan harga diri. Memang nggak semuanya, tapi kebanyakan.

Lihat aja aksi para wanita di panggung iklan dan hiburan. Mereka jadi etalase yang bisa dipandang dengan beragam tatapan dari kaum lelaki dan juga wanita lainnya. Kaum lelaki bisa memelototi sepuasnya gambar-gambar sensual para waita yang jadi model iklan. Kalangan wanita lain berdecak kagum ingin mengikuti jejaknya. Wah, bisa tambah runyam kan? Itu sebabnya, sebaiknya kaum wanita yang terjebak di sana sadar diri, bahwa apa yang dilakukannya bisa menambah masalah. Bukan saja bagi orang lain, tapi juga bagi dirinya sendiri.

Nah, himbauan untuk para wanita tentunya adalah mengkampanyekan untuk sadar diri. Mulai sekarang juga kudu ninggalin anggapan yang menyebutkan bahwa cantik dan menarik itu jika memamerkan bagian-bagian tubuhnya kepada khalayak ramai. Atau yang merasa harus membersihkan hatinya tetapi mengabaikan tuntunan berbusana yang diatur syariat. Karena apa? Karena manusia yang mulia tidak dilihat dari sekadar cara berpikir dan berperilakunya serta apa yang dikenakannya. Namun dinilai dari ketakwaannya. Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.” (QS al-Hujurat [49]: 13)

Jadi, kalo ada yang memutuskan membuka auratnya, melepas hijabnya, itu artinya udah nggak menghargai dirinya sendiri. Selain itu, melanggar syariat agamanya. Apa pun alasannya, itu jelas lebih mengikuti hawa nafsunya, ketimbang tunduk patuh pada tuntunan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.

Apalagi setelah yang bersangkutan memutuskan lepas hijab, ada juga ternyata perempuan lain yang malah mendukungnya dan bilang bahwa itu cara berpikir dan bersikap dewasa. Duh, aneh ya. Orang yang dewasa itu justru tahun mana yang benar dan mana yang salah. Apalagi orang yang beriman. Kecuali, ya dewasa cuma fisiknya ditambah imannya lemah. Bahaya.

Jadi, muslimah itu kudu taat, wajib tutup aurat, sebab itu tuntunan syariat. [O. Solihin | IG @osolihin]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *