Thursday, 28 March 2024, 23:46

gaulislam edisi 480/tahun ke-10 (3 Rabiul Akhir 1438 H/ 2 Januari 2017)

 

Hehehe bukan mau nge-buly or ngeledekin kamu, lho. Ini sekadar menyindir. Ih, sama aja dong? Emang! Tapi kamu udah tahu kan istilah “sehat” ini? Iya. Sebagian besar pastinya tahu, yakni lawan dari sakit. Lebih lengkapnya, menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), se·hat /séhat/ a 1 baik seluruh badan serta bagian-bagiannya (bebas dr sakit); waras; 2 (yg) mendatangkan kebaikan pd badan; 3 sembuh dr sakit; 4 ki baik dan normal (tt pikiran); dan lainnya. Nah, kira-kira apa nih yang sesuai dengan judul gaulislam edisi ke-480 ini? Yes, setidaknya pengertian nomor 1 dan nomor 4 yang cocok. Sebab, saya mau membahas terkait dengan cara pandang dan pikiran serta pendapat seseorang yang sakit dan yang sehat. Siap ya. Ayo, kencangkan sabuk pengaman!

Sobat gaulislam, silakan renungkan sendiri tentang diri kamu masing-masing ya. Apakah kamu merasa sehat dengan apa yang sudah kamu lakukan. Misalnya nih, malam tahun baru masehi kemarin apakah kamu masih merasa senang bin gembira ketika nyundut petasan dan kembang api untuk merayakan pergantian tahun bersama teman kamu? Kalo masih merasa senang dan memang niatnya udah pengen merayakan tahun baru tersebut, berarti kamu belum waras alias nggak sehat. Waduh, kok bisa?

Begini. Sebagai muslim seharusnya hal itu nggak kamu lakukan. Hanya orang yang nggak sehat secara akidah saja yang tega melakukan perbuatan busuk seperti itu. Beneran lho. Perbuatan tersebut dilarang dalam ajaran Islam. Maka tentu saja nggak pantas dilakukan oleh seorang yang mengaku muslim. Kalo masih melakukan juga? Itu namanya kamu sakit. Perlu diobati. Beneran! Tentu saja, yang sakit adalah akidahmu, yang koyak adalah keimananmu. Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR Ahmad 2:50 dan Abu Daud no. 4031)

Tuh, hadits tersebut jelas melarang menyerupai gaya hidup, kebiasaan, adat istiadat, cara pandang orang-orang selain Islam. Merayakan tahun baru? Jelas bukan ajaran Islam. Itu masalahnya. Maka, jika ada orang yang ngakunya muslim tapi gembira dan berniat banget merayakan tahun baru masehi berarti meniru gaya hidup orang selain Islam. Bahaya! Jelas itu sakit secara akidah.

 

Hati-hati mengikuti jejak orang kafir

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?” (HR Bukhari no. 7319)

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR Muslim no. 2669)

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Termyata dari kedua hadits ini, sudah dikabarkan bahwa kaum muslimin akan mengikuti gaya hidup orang-orang kafir. Tentu saja, mereka yang mengikuti adalah yang keimanannya nggak sehat. Itu sebabnya, memang harus mengokohkan keimanan kita. Belajar adalah salah satu cara agar kita bisa meningkatkan kualitas keimanan kita dan merawatnya supaya tidak ternoda dengan kesyirikan. Sebab, akidah itu ibarat fondasi bangunan. Harus kokoh (bahkan sejak awal dibuat). Bangunan yang fondasinya kokoh, apalagi bangunan itu menjulang tinggi seperti hendak mencakar langit, harus yang tak mudah goyah oleh hempasan angin. Maka, akidah yang kokoh akan berdampak pada pelaksanaan syariat yang kuat.

Oya, mengikuti jejak orang kafir dalam keyakinan dan perbuatan itu berbahaya. Bahaya banget, malah. Contohnya kalo di kalangan remaja seusia kamu adalah budaya pacaran. Nah! Siapa sih yang nggak tahu istilah ini? Jangan-jangan banyak sudah yang melakukannya. Pacaran itu membahayakan diri sendiri dan juga orang lain. Hanya akan dilakukan oleh mereka yang tipis iman alias akidahnya belum kokoh. Iya. Bener. Sebab, pacaran dilarang dalam ajaran Islam. Jika ada muslim yang nekat menjalani aktivitas pacaran, itu namanya pembangkangan. Dosa sudah pasti. Mengapa melakukan kemaksiatan tersebut? Sudah pasti karena akidahnya nggak kuat, keimanannya nggak kokoh. Orang yang beriman takut kepada Allah Ta’ala. Iman yang kuat akan lahirkan ketakwaan. Takwa itu melakukan perintah Allah Ta’ala dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. Sungguh!

Gaya hidup kaum muslimin (seharusnya) memang berbeda dengan gaya hidup orang-orang kafir. Sebab, akarnya yang berbeda akan menyebabkan perbedaan pada dahan, cabang, ranting, daun, dan buah. Beda banget. Seorang muslim melakukan perintah dan menjauhi larangan dari Allah Ta’ala berdasarkan keyakinan terhadap akidah dan syariat Islam. Sementara orang kafir ya sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Jelas berbeda dasarnya.

Oya, bagi orang-orang liberal (ngaku muslim tapi pikiran dan perilakunya liberal) juga bisa dikatakan nggak waras alias sakit. Why? Sebab, seharusnya nggak mungkin ada orang yang waras memaki dan mencaci dirinya sendiri. Kalo benar ngaku muslim, kan seharusnya mencintai Islam. Tapi apa yang dilakukan orang-orang liberal yang ngaku muslim? Mereka melecehkan Islam dan kaum muslimin. Selalu begitu. Artinya, mereka kalo nggak waras ya sakit (eh, sama ya?). Sakit akidahnya. Kalo sakit badan nggak sampe membuat kita jadi kufur, lha kalo sakit akidah, besar kemungkinan jadi kufur, minimal munafik. Sama bahayanya. Waspadalah!

 

Tentang hidayah

Sobat gaulislam, inti dan hakikat hidayah adalah taufiq dari Allah Ta’ala. Maka, berdoa dan memohon hidayah kepada Allah Ta’ala merupakan sebab yang paling utama untuk mendapatkan hidayah-Nya. Dalam hadits Qudsi yang shahih, Allah Ta’ala berfirman: “Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua tersesat kecuali orang yang Aku beri petunjuk, maka mintalah petunjuk kepada-Ku niscaya Aku akan berikan petunjuk kepada kalian” (HR Muslim, no. 2577)

Itu sebabnya, Allah Ta’ala yang maha sempurna rahmat dan kebaikannya, memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk selalu berdoa memohon hidayah taufiq kepada-Nya, yaitu dalam surah al-Fatihah: “Berikanlah kepada kami hidayah ke jalan yang lurus”.

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Doa (dalam ayat ini) termasuk doa yang paling menyeluruh dan bermanfaat bagi manusia, oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk berdoa kepada-Nya dengan doa ini di setiap rakaat dalam shalatnya, karena kebutuhannya yang sangat besar terhadap hal tersebut”.

Dalam banyak hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam mengajarkan kepada kita doa memohon hidayah kepada Allah Ta’ala. Misalnya doa yang dibaca dalam qunut shalat witir: “Ya Allah, berikanlah hidayah kepadaku di dalam golongan orang-orang yang Engkau berikan hidayah” (HR Abu Dawud (no. 1425), at-Tirmidzi (no. 464) dan an-Nasa-i (3/248), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani)

Ada juga doa beliau Shallallahu ’alaihi Wasallam: “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, penjagaan diri (dari segala keburukan) dan kekayaan hati (selalu merasa cukup dengan pemberian-Mu)” (HR Muslim, no. 2721)

Sobat gaulislam, ada baiknya nih menyimak pemaparan Imam Ibnul Qayyim berikut ini: “Kunci pokok segala kebaikan adalah dengan kita mengetahui (meyakini) bahwa apa yang Allah kehendaki (pasti) akan terjadi dan apa yang Dia tidak kehendaki maka tidak akan terjadi. Karena pada saat itulah kita yakin bahwa semua kebaikan (amal shaleh yang kita lakukan) adalah termasuk nikmat Allah (karena Dia-lah yang memberi kemudahan kepada kita untuk bisa melakukannya), sehingga kita akan selalu mensyukuri nikmat tersebut dan bersungguh-sungguh merendahkan diri serta memohon kepada Allah agar Dia tidak memutuskan nikmat tersebut dari diri kita. Sebagaimana (kita yakin) bahwa semua keburukan (amal jelek yang kita lakukan) adalah karena hukuman dan berpalingnya Allah dari kita, sehingga kita akan memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah agar menghindarkan diri kita dari semua perbuatan buruk tersebut, dan agar Dia tidak menyandarkan (urusan) kita dalam melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan kepada diri kita sendiri.

Telah bersepakat Al ‘Aarifun (orang-orang yang memiliki pengetahuan yang dalam tentang Allah dan sifat-sifat-Nya) bahwa asal semua kebaikan adalah taufik dari Allah Ta’ala kepada hamba-Nya, sebagaimana asal semua keburukan adalah khidzlaan (berpalingnya) Allah Ta’ala dari hamba-Nya. Mereka juga bersepakat bahwa (makna) taufik itu adalah dengan Allah tidak menyandarkan (urusan kebaikan/keburukan) kita kepada diri kita sendiri, dan (sebaliknya arti) al khidzlaan (berpalingnya Allah Ta’ala dari hamba) adalah dengan Allah membiarkan diri kita (bersandar) kepada diri kita sendiri (tidak bersandar kepada Allah Ta’ala) (Kitab “al-Fawa-id” (hal. 133- cet. Muassasah ummil Qura, Mesir 1424 H)

Nah, kalo kita ingin disebut sehat akidahnya, sehat pikirannya, dan sehat amalannya, maka memang harus senantiasa mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Imam Ibnul Qayyim berkata: “Kalau semua kebaikan asalnya (dengan) taufik yang itu adanya di tangan Allah (semata) dan bukan di tangan manusia, maka kunci (untuk membuka pintu) taufik adalah (selalu) berdoa, menampakkan rasa butuh, sungguh-sungguh dalam bersandar, (selalu) berharap dan takut (kepada-Nya). Maka ketika Allah telah memberikan kunci (taufik) ini kepada seorang hamba, berarti Dia ingin membukakan (pintu taufik) kepadanya. Dan ketika Allah memalingkan kunci (taufik) ini dari seorang hamba, berarti pintu kebaikan (taufik) akan selalu tertutup baginya”

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Maka jika datang kepadamu (wahai manusia) petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, maka dia tidak akan tersesat dan tidak akan sengsara (dalam hidupnya)” (QS Thaahaa [20]: 123)

Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa orang yang mengikuti dan berpegang teguh dengan petunjuk Allah Ta’ala yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya, dengan mengikuti semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, maka dia tidak akan tersesat dan sengsara di dunia dan akhirat, bahkan dia selalu mendapat bimbingan petunjuk-Nya, kebahagiaan dan ketentraman di dunia dan akhirat.

Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang selalu mengikuti petunjuk (agama Allah Ta’ala) maka Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketaqwaannya” (QS Muhammad [47]: 17)

Sobat gaulislam, semoga kita semua mendapat hidayah-Nya. Sehingga akidah kita dan amalan kita, semuanya sehat. Iman kita kokoh, pelaksanaan syariat juga kuat. Nggak gampang tergoda. Kalo pun goyah dikit tersebab kelemahan kita sebagai manusia, semoga kita mudah untuk segera istighfar mohon ampunan dan tentunya dilanjut dengan bertaubat kepada Allah Ta’ala. Sip! [O. Solihin | Twitter @osolihin]