Wednesday, 9 October 2024, 00:39

gaulislam edisi 720/tahun ke-14 (1 Muharram 1443 H/ 9 Agustus 2021)

Kalo ngomongin soal berantem, kayaknya anak cowok bisa berbusa-busa cerita. Entah pengalamannya bertarung satu lawan satu, atau sekadar tawuran alias rame-rame berantem nggak jelas. Kalo yang nggak pernah berantem dan nggak pernah tawuran gimana? Ya, paling bisa cerita pengalamannya nonton film silat kayaknya. Bahkan yang berantem pun, sepertinya gengsi juga kalo pengalaman kalah berantem atau pas tawuran diuber polisi mereka ceritakan. Sebisa mungkin ditutupi, kecuali terpaksa harus cerita.

Punya musuh sebenarnya hal biasa bagi manusia secara umum. Entah musuh sungguhan dalam arti lawan berantem, ada juga musuh dalam artian lawan tanding futsal atau sepakbola atau pertandingan karate. Intinya, ada lawan. Kamu senang dan bangga kalo berhasil mengalahkan musuhmu. Bisa cerita tentang kemenangan tersebut. Bahkan kadang dibumbui dengan aksi heroik segala agar terkesan luar biasa.

Pembela kebenaran dan pengusung kesalahan juga sering bertarung kok. Kita bahkan bisa jadi pelakunya. Mungkin pernah kita sebagai aktivis rohis perang dingin dengan temen-temen kita yang mau ngadain konser musik di sekolah. Awalnya sebatas perang kata-kata, lama-lama bisa berpotensi benturan fisik untuk kalangan tertentu yang kalah argumen atau mereka yang lebih mudah tersulut emosi. Selalu ada dan selalu bisa menimbulkan gesekan, kok.

 Sobat gaulislam, mumpung bulan Agustus nih, udah tanggal 9 pas buletin kesayangan kamu ini terbit. Bulan ini, selalu dan memang identik dengan perjuangan. Gimana nggak, di tanggal 17 Agustus 1945 negeri kita berhasil memproklamirkan diri sebagai negara merdeka. Lepas dan bebas dari penjajahan. Ya, penjajahan secara fisik, dalam artian militer. Ratusan tahun rakyat negeri ini berjuang melawan para penjajah, yang jelas tentu saja itu adalah musuh. Negeri kita ini pernah dijajah oleh 6 negara, lho. Masih inget kan negara mana saja? Ya, mestinya sih nggak lupa. Kalo lupa, ya udah ditulis lagi, deh.

Negara pertama yang menjajah Indonesia adalah Portugis (tahun 1509 – 1595), lumayan lama juga, sekira 86 tahun. Negara berikutnya adalah Spanyol (tahun 1521 – 1692), berarti 171 tahun lamanya. Negara ketiga yang menjajah negeri kita adalah Belanda (mulai tahun 1602 sampai tahun 1942). Paling lama ini. Ya, sekira 340 tahun. Oya, ternyata sebenarnya Perancis juga pernah lho menjajah negeri kita, walau cuma 5 tahun (1806 – 1811). Berarti ini negara keempat yang menjajah Indonesia. Setelah Perancis melemah kekuatannya, Inggris hadir untuk menggantikan menjajah walau hanya 5 tahun seperti Perancis, yakni tahun 1811 – 1816. Terakhir, alias negara yang keenam adalah Jepang (tahun 1942 – 1945). Luar biasa, negeri ini total dijajah selama 436 tahun oleh 6 negara.

Oya, tentu perlawanan selama itu terus digelorakan. Sebab, penduduk negeri kita tetap memposisikan penjajah adalah musuh. Kalah dan menang silih berganti dalam perjuangan melawan penjajah di berbagai wilayah negeri kita dari tahun ke tahun. Berganti generasi dan terus melakukan perlawanan. Nah, ini adalah perjuangan melawan musuh secara fisik.

Alhamdulillah, 76 tahun negeri kita udah merdeka dari penjajahan militer tersebut. Walau, harus diakui bahwa penjajahan dalam bentuk lain seperti ekonomi, politik, budaya, dan pemikiran masih terus berlangung hingga kini. Warisan hukum para penjajah masih digunakan di negeri kita. Perang budaya masih terus berlangsung. Bahkan sekarang harus berhadapan dengan bangsa sendiri. Banyak pula di antara mereka adalah saudara sesama muslim hanya berbeda dalam pilihan politik. Miris!

Musuh dari dalam

Musuh dalam selimut itu nggak ketahuan. Tahu-tahu kita terluka. Tiba-tiba kita binasa. Ada yang begitu? Banyak. Para pengkhianat selalu ada. Mencari celah untuk menikam. Menghunjam teman seperjuangan, dan malah merangkul musuh. Motifnya bisa beragam. Namun umumnya soal duit dan kekuasaan. Nggak tahan godaan fulus, akhirnya takut mampus. Mengabdi kepada penjajah walau harus berhadapan dengan teman seperjuangan. Mengabdi demi duit dengan jumlah yang menggiurkan.

Nah, omong-omong musuh dari dalam, sebenarnya kita sendiri adalah musuh terbesar bagi diri kita. Beneran. Dinukil dari laman rumaysho.com, dituliskan bahwa jihad melawan hawa nafsu walaupun tidak seberat jihad melawan orang kafir, namun ia bukan berarti berada di bawahnya.

Ada yang pernah berkata pada Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah Ta’ala, “Wahai Abu Sa’id, jihad apa yang paling afdhol?”

Jawab beliau, “Jihadmu melawan hawa nafsumu.”

Di laman irtaqi.net, Imam Hasan al-Bashri juga menjelaskan bahwa, “Musuh (besar)mu bukanlah orang yang jika engkau membunuhnya, maka engkau bisa beristrahat darinya. Namun musuh (besar)mu adalah  dirimu sendiri yang berada dalam tubuhmu” (Tah??bu al-???r, juz 2, hlm. 812-813)

Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah rahimahullah mengatakan bahwa beliau mendengar gurunya berkata, “Hawa nafsu adalah asal dari jihad melawan orang kafir dan orang munafik. Kita tidak mampu berjihad melawan orang kafir dan munafik sampai berjihad terlebih dahulu melawan diri sendiri. Hawa nafsu lebih pertama diperangi lalu keluar jihad melawan mereka.” (disebutkan dalam Raudhatul Muhibbin, karya Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah, terbitan Ibnu Katsir, cetakan ketiga, tahun 1429 H, hlm. 530)

Sobat gaulislam, ternyata musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri. Musuh terbesarmu adalah dirimu sendiri. Kok bisa? Selain tadi udah dijelasin pendapat Imam Hasan al-Bashri, juga secara akal bisa kita perhatikan, kok. Misalnya gini deh. Ketika rasa malas datang, apa yang akan kamu lakukan? Jika mampu melawannya dengan sungguh-sungguh, yakni nggak nurutin rasa malas yang pengennya rebahan, maka kamu menang melawan dirimu sendiri. Namun, jika ternyata memilih rebahan, nyantai dan malah memanjakan dirimu untuk kian malas, berarti kamu kalah melawan dirimu sendiri.

Betul bahwa setan pasti menggoda, pasti memberikan bisikan-bisikan jahat agar kamu bermaksiat. Namun, kalo kamu kuat maka bujuk rayu dan tippu-tipu setan nggak akan berdaya melawan keteguhan iman dan takwamu. Bisa dipahami, ya? Maka, ketika menuruti rasa malas, pada saat itulah dirimu kalah oleh dirimu sendiri. Misalnya malas belajar, maka kamu berpotensi kalah dalam persaingan dan gagal dalam  mencapai tujuanmu. Kata Imam Syafi’i, “Jika Kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan.”

Nah, itu dia. Semoga paham, ya. Jadi, musuh terbesarmu adalah dirimu sendiri. Ketika kamu egois dan sombong, maka siapa pun temanmu atau orang yang kenal denganmu bakalan menjauh. Emang ada yang tahan berteman dengan orang yang egois dan sombong? Coba kamu pikirkan, ya.

Ya, betul. Silakan dipikirkan baik-baik. Kalo kamu jujur dan amanah, pastinya banyak orang yang percaya padamu. Namun, ketika kamu melakukan sebaliknya, dijamin nggak bakalan ada lagi yang sudi untuk percaya dan menitipkan amanah kepadamu. Pikirkan banget-banget.

Pernah merasa malas dalam beribadah? Saya sih yakin di antara kita banyak yang begitu. Namun demikian, kalo kita bisa melawannya, insya Allah kita yang menang. Sebab, kalo kita nurutin keinginan diri, rasanya berat banget bangun malam hari untuk beribadah atau berangkat ke masjid bagi kamu yang cowok di setiap shalat lima waktu. Kalo tak melakukan hal tersebut, maka pada saat itulah justru kita sudah kalah. Dikalahkan oleh musuh terbesar kita, yakni diri kita sendiri, karena tertipu bujuk rayu setan. Ironi tak bertepi.

Setan memang mengajak kepada maksiat. Ketika kamu membiarkan itu terjadi pada dirimu, berarti sebenarnya dirimu adalah musuh terbesarmu. Setan  akan berlepas diri setelah menjerumuskan dirimu dalam dosa akibat maksiat.  

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan berkatalah setan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan: “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekadar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamu pun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu”. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih.” (QS Ibrahim [14]: 22)

Jadi, yang rugi siapa? Ya, semua orang yang tertipu dengan bujuk rayu setan. Kita sejatinya berhadapan dengan diri kita sendiri. Ketika setan membisiki agar melakukan ghibah atau maksiat lainnya, mestinya kita segera sadar, jangan malah mengikuti hawa nafsu. Bahaya.

Awalnya memang setan yang menipu, tetapi banyak manusia yang tertipu. Setan sebagai musuh kita. Sudah jelas, tetapi kita seringkali tertipu. Setan akan berlepas diri dari perbuatannya ketika manusia terlempar ke neraka. Sebagaimana ayat yang dijelaskan tadi. Namun, kalo kita menjadi hamba Allah Ta’ala yang mukhlas, nggak bakalan tergoda oleh Iblis dan bala tentaranya.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlas di antara mereka.” (QS al-Hijr [15]: 39-40)

Siapa mereka yang mukhlas itu? Menurut Dr Didin Hafidhuddin, “Pada ikhlas terdapat dua jenis; mukhlis dan ada mukhlas. Mukhlis merupakan orang yang sadar bahwa dia berbuat baik dan ikhlas. Ikhlas pada mukhlis itu kadang kala masih bisa ‘bocor’. Sementara itu, mukhlas ialah orang yang berbuat segalanya hanya karena dan kepada Allah.”

Oke deh, intinya memang ada pada diri kita. Melawan musuh dari luar insya Allah banyak yang bisa, tetapi melawan diri sendiri sering kali kalah telak. Itu sebabnya, yuk perbaiki niat dalam beramal dan berupaya agar menjadi orang yang mukhlas, agar bisa tahan terhadap godaan setan dan dengannya bisa melawan hawa nafsu dalam diri kita akibat tipu daya setan. Saatnya sadar diri dan waspada! [O. Solihin | IG @osolihin]