Monday, 9 December 2024, 01:42

 gaulislam edisi 584/tahun ke-12 (24 Rabiul Akhir 1440 H/ 31 Desember 2018)

Assalaamu’alaikum, Bro en Sis! Apa kabar semuanya? InsyaaAllah senantiasa dalam kasih sayang Allah, ya. Nggak terasa, nih, kita udah sampai lagi di penghujung tahun. Bener, deh. Tahun 2018 tiba-tiba udah mau habis aja. Siap-siap #2019GantiKalender ya, hihihi…

Pertama-tama, tentu saja kita harus mengucapkan syukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla sebagai Pencipta dan Yang Memberi Rizki kepada kita. Alhamdulillah. Karena tentu saja segala nikmat yang kita dapatkan setiap harinya, termasuk nikmat umur, itu tidak lain datangnya adalah atas kasih sayang Allah Ta’ala. Itu sebabnya, alangkah baiknya jika kita mengingatkan diri untuk selalu bersyukur.

Sampai saat ini, ada satu momen yang sejak lama selalu menjadi acara tahunan yang diramaikan oleh masyarakat seluruh dunia. Yup! Betul sekali, Bro en Sis. Perayaan: Tahun Baru. Tahu kan, yang ada kembang api, jagung bakar, terompet, hitung mundur, dan kemeriahan-kemeriahan lainnya itu, loh. Di waktu-waktu ini nih, biasanya tempat-tempat wisata penuh, dan juga jalan-jalan ramai dipadati manusia. Semua orang dari berbagai kalangan, baik remaja, orang tua, anak-anak, laki-laki dan perempuan, semua terlibat bersama-sama meramaikan momen pergantian tahun ini.

Tetapi perlu kita cermati juga, nih, Bro en Sis. Setiap tahunnya juga, selalu diingatkan tentang bagaimana hukum merayakan tahun baru ini. Hayoo… ada yang pernah dapet informasi tentang hukum ini, nggak? Buletin ini sih insya Allah udah langganan ngasih tahu terus setiap tahun (termasuk edisi kali ini). Kita review dulu, ya.. Let’s go!

Tahun baru masehi, bukan budaya Islam

Sobat gaulislam yang InsyaaAllah selalu dirahmati Allah, hari raya umat Islam ada berapa, hayoo? Yup! Nggak salah lagi, deh. Hari raya umat Islam itu cuma ada dua, yaitu Idul Fitri di bulan Syawwal dan Idul Adha di bulan Dzulhijjah. Percaya, nggak? Ada haditsnya, loh.

“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau berkata, “Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya Idul Fithri dan Idul Adha (hari Nahr).” (HR an-Nasai no. 1556 dan Ahmad 3: 178, sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim sebagaimana kata Syaikh Syu’aib al-Arnauth)

Jadi begitu, Bro en Sis. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa hanya ada dua hari dalam setahun yang disyariatkan menjadi hari raya kaum muslim. Nah, kalau begitu, perayaan-perayaan lain seperti tahun baru itu apakah termasuk dari kedua hari raya tersebut? Jawabannya tentu bukan, kan? Lalu dari mana asal-usul perayaan ini?

Bro en Sis, perayaan tahun baru Masehi, atau yang biasa dikenal dengan istilah the new year’s day, awalnya adalah perayaan hari rayanya kaum pagan (penyembah berhala). Perayaan ini dilaksanakan pada 1 Januari yang diperingati sebagai tahun baru yang pertama kali diresmikan oleh Kaisar Romawi Julius Caesar pada tahun 46 SM. Kemudian ketika agama Kristen masuk ke Romawi (dan dijadikan agama resmi negara), perayaan ini diresmikan ulang oleh Paus Gregorius XII, sebagai pemimpin tertinggi Katolik, pada tahun 1582. Yang selanjutnya hingga saat ini, seluruh dunia merayakannya sebagai perayaan 1 Januari. Dan sebenarnya, Bro en Sis, tradisi tahun baru di barat lebih meritualkan penyembahan kepada dewa-dewa. Seperti orang Brazil kepada Dewa Laut Lemanja, atau orang Romawi Kuno kepada Dewa Janus.

Intinya nih, Bro en Sis, perayaan tahun baru ini bukan berasal dari Islam, tapi justru berasal dari budaya orang-orang kafir (dari ahli kitab dan kaum musyrikin). Wah, ternyata, oh, ternyata…

Haram merayakan tahun baru

Nah, kita masuk deh ke kesimpulannya. Tentang bagaimana hukum merayakan tahun baru. Selain karena hadits sebelumnya yang menjelaskan bahwa hari raya umat Islam itu hanya Idul Fitri dan Idul Adha, ternyata ada satu hadits lagi yang menguatkan keyakinan kita tentang keharamannya ini.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR Ahmad, 5/20; Abu Dawud no 403)

Bro en Sis, “mereka” yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam maksud ini, bukanlah golongan yang akan Allah masukkan ke Surga-Nya. Na’udzubillahi mindzalik. Bisa jadi kita memang tidak menyamakan diri kita dengan kaum yang merayakan perayaan ini, tetapi kata-kata ‘menyerupai’ rasanya sudah pasti menjadi penjelasan yang terkuat tentang larangan terhadap hal tersebut. Gimana, Bro en Sis? InsyaaAllah sudah jelas, ya.

Tapi, ada yang bikin greget, deh, Bro en Sis. Apa tuh? Sebenernya udah sering banget sih, penjelasan-penjelasan tentang keharaman merayakan tahun baru ini. Bisa dibilang, setiap tahun pasti ada aja yang membuat konten-konten seputar larangan merayakan tahu baru dengan landasan meniru budaya kafir. Tapi kenyataannya masih ada, dan nggak sedikit, muslim yang masih merayakannya. Ya, bisa jadi sih, masih ada juga yang belum mengetahui tentang keharaman merayakan tahun baru ini. Tapi ada juga nih, yang sudah mengetahui tetapi tidak mau meninggalkannya. Hmm… kesannya itu seperti nggak mau tahu. Bahkan yang lebih bikin greget lagi, ada yang merasa bahwa tahun baru itu memang harus dirayakan dan agama tidak boleh melarang. Wah… kalau ini sih, udah bertentangan banget—bahkan menentang, ya.

Oya, ada juga sih acara merayakan tahun baru yang tidak diisi dengan perayaan hura-hura, dan lain-lainnya. Tetapi diperingati dengan doa bersama. Lalu apakah yang seperti itu juga dilarang dalam Islam? Sebenernya gini nih, Bro en Sis. Bagaimana pun bentuk perayaannya, itu tidak diajarkan di dalam Islam. Intinya sih, ketika berdoa bersama berarti tetap menjadikan momen tersebut menjadi spesial, walaupun tidak merayakannya dengan hura-hura. Artinya, tetap tidak boleh dirayakan dengan cara apapun.

Tapi perlu digarisbawahi nih, Bro en Sis. Bukan berarti Islam tidak mensyariatkan berdoa, dzikir, dan muhasabah. Namun, yang tidak disyariatkan adalah ketika mengerjakan amal tersebut untuk memperingati hari-hari tertentu, misalnya tahun baru atau hari ulang tahun. Kita tetap harus berdoa, berdzikir, dan bermuhasabah setiap harinya dalam satu tahun.

Sekadar tambahan wawasan, dalam ibadah itu ada tiga hal yang harus ada (sesuai tuntunan syariat): waktu, tempat, dan cara. Contoh, ibadah haji jelas waktunya tertentu yakni di bulan Dzhulhijjah, tempatnya di Baitullah (di Makkah), dan tatacaranya jelas diatur yang berbeda dengan ibadah lainnya. Nggak sembarangan sesuai hawa nafsu kita. Bagaimana dengan shalat tahajud? Jelas dilakukan di malam hari, di sepertiga malam waktunya, tempat di rumah atau di masjid, caranya ditentukan juga sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam.

Itu sebabnya, doa bersama di malam tahun baru masehi jelas menyalahi tuntunan Islam. Mungkin itu sekadar mengalihkan saja dari kegiatan yang haram model pesta kembang api, dangdutan, dan sejenisnya. Boleh dibilang kalo ritual doa bersama di malam tahun baru terkategori jadi bikin bid’ah baru deh.

Lalu harus bagaimana? Tidur aja di rumah. Nggak usah keluar rumah. Nggak usah juga nonton tivi ngeliat perayaan pergantian tahun di berbagai tempat. Nggak ada gunanya. InsyaaAllah bisa dipahami, ya, Bro en Sis.

Nah, doa bersama aja nggak boleh, apalagi merayakan tahun baru dengan pesta hura-hura. Ada yang menyalakan petasan, meniup terompet saat pergantian tahun, hitung mundur, berjaga dan pesta semalaman, jelas diharamkan. Pokoknya, hal-hal yang sudah jelas tidak ada pahalanya dan bahkan menimbulkan dosa ketika dilakukan, yang jangan kita lakukan. Simpel. Khawatirnya juga nih, ketika sedang merayakan tahun baru, eh, ajal malah datang. Lagi niup terompet sambil hura-hura bareng pacarnya (plus nyekik botol miras), pas lagi begituan ajalnya datang. Itu artinya, kegiatan terakhir yang dilakukan adalah sesuatu yang tidak menjadi ciri penghuni surga. Su’ul khatimah. Na’udzubillahi mindzalik. Ngeri!

Itu sebabnya, sesuai judul edisi kali ini: “hari gini masih rayain tahun baru?” Ah, nggak banget!

Remaja muslim, ayo sadar!

Sobat gaulislam, akhir-akhir ini kita bisa menyaksikan dan mendengar kabar seputar banyaknya bencana yang terjadi di berbagai tempat di bumi ini. Bisa kita simpulkan juga bahwa tidak ada satu hal pun yang bisa melindungi diri kita kecuali Allah ‘Azza wa Jalla. Satu-satunya upaya kita untuk menjaga diri kita itu hanyalah dengan semakin mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Jangan sampai, setelah kita melihat tanda-tanda dan peringatan-peringatan tersebut, kita malah menjadi lupa diri dan justru melakukan kemaksiatan. Sekali lagi, jangan sampai, ya.

Bro en Sis, sebagai remaja penerus kehidupan Islam, kita punya kewajiban untuk memperbaiki rusaknya kehidupan manusia. Nah, termasuk permasalahan yang ada di sekitar kita ini. Kita perlu menjawab, kenapa sih, masih ada kaum muslim yang merayakan perayaan budaya orang-orang kafir? Padahal momen tahun baru ini sebenarnya masih dalam rangkaian acara keagamaan kaum Kristen, yakni natal. Ya, bisa jadi karena tipisnya ilmu dan iman dari banyak kaum muslimin, sehingga masih merayakannya.

Itu artinya, bener banget nasihat bahwa kita wajib untuk selalu menuntut ilmu untuk meningkatkan iman. Ngaji tetep jadi prioritas terpenting. Belajar Islam dan berusaha mendapatkan ilmu untuk menjaga diri dan keluarga. Tidak lupa juga supaya kita bisa mendakwahkannya kepada orang lain. Mengajak kepada kebaikan dan melarang dari kemunkaran. Khususnya nih, dalam ajakan agar tidak merayakan tahun baru. Karena apa? Allah juga akan menimpakan siksaan kepada suatu daerah yang orang beriman di dalamnya hanya diam ketika kemaksiatan itu ada di sana.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS al-Anfaal [8]: 25)

So, jangan diam aja. Yuk, jadikan tempat tinggal kita ini selalu dalam ketaatan kepada Allah, yaitu dengan penduduknya yang banyak ibadah, banyak melakukan ketaataan kepada Allah Ta’ala, dan tentu saja tidak meninggalkan dakwah. Siap? InsyaaAllah! [Fathimah NJL | IG @FathimahNJL]