Thursday, 25 April 2024, 18:25

Kondisi umat Islam saat ini sangat memilukan. Mereka yang jumlahnya 1 milyar lebih terpecah-belah menjadi lebih dari 50 negara berdasarkan nasionalisme dalam format negara-bangsa (nation-state). Bahkan mungkin jumlah ini akan bertambah, seiring dengan upaya dan rekayasa licik Barat pimpinan AS untuk semakin mencerai-beraikan berbagai negara di dunia dengan gerakan separatisme dan prinsip “menentukan nasib sendiri� (right of self determinism) melalui legitimasi PBB yang disetir AS. Kasus lepasnya Timor Timur adalah contoh yang amat telanjang di hadapan mata kita.

Kondisi ini dengan sendirinya membuat umat menjadi lemah dan ringkih sehingga mudah untuk dikendalikan dan dijajah oleh negara-negara kafir imperialis. Prinsip “devide et imperaâ€? (farriq tasud) ternyata belum berakhir. Penjajahan yang dulu dilakukan secara langsung dengan pendudukan militer, kini telah bersalin rupa menjadi penjajahan gaya baru yang lebih halus dan canggih. Di bidang ekonomi, Barat menerapkan pemberian utang luar negeri, privatisasi, globalisasi, pengembangan pasar modal, dan sebagainya. Di bidang budaya, Barat mengekspor ide-ide kebebasan melalui film, lagu, novel, radio, musik, internet,?  dan lain-lain. Di bidang politik, Barat memaksakan ide masyarakat madani (civil society), demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, dan lain-lainnya. Bentuk-bentuk penjajahan gaya baru ini dapat berlangsung, karena kondisi umat yang terpecah-belah tadi.

Nasionalisme, dengan demikian, dapat ditunjuk sebagai salah satu biang keladi atau biang kerok perpecahan dan keterpurukan umat yang dahsyat di bawah tindasan imperialisme Barat gaya baru tersebut. Maka dari itu,?  salah besar kalau umat Islam terus mengagung-agungkan dan mensucikan ide kafir itu, atau menganggapnya sebagai ide suci yang tidak boleh ditumpas. Padahal, faktanya, nasionalisme telah menghancurleburkan persatuan umat. Umat Islam harus segera mengambil sikap tegas terhadap ide rusak ini dengan menolak dan mengikis habis ide ini dari benak mereka. Jika tidak, neo-imperialisme Barat akan terus berlangsung dan umat pun akan tetap terseok-seok menjalani pinggir-pinggir kehidupan secara nista di bawah telapak kaki para penjajah yang kafir.

Absurditas Nasionalisme
Nasionalisme merupakan suatu ikatan untuk sekelompok manusia berdasarkan kesamaan identitas sebagai sebuah “bangsaâ€?. Pengertian “bangsaâ€? ini, pada praktiknya sangat luas dan kadang malah bersifat imajiner. Kesamaan “bangsaâ€? kadang bisa berarti kesamaan ras, budaya, bahasa, sejarah, dan sebagainya. Dalam wacana ilmu politik mutakhir,?  pengertian “bangsaâ€? lebih bersifat imajinatif (Benedict Anderson, 1999). Penduduk pesisir timur Sumatera (yang berâ€?bangsaâ€? Indonesia) sebenarnya bukan hanya dekat secara fisik dengan penduduk di Semenanjung Malaysia sebelah barat (yang berâ€?bangsaâ€? Malaysia), yang hanya dipisahkan oleh Selat Malaka. Merekapun satu suku, sehingga mereka bisa saling memahami ucapan dan adat masing-masing. Tetapi, mereka “mengimajinasiâ€? sebagai bangsa yang berbeda, dan saling menganggap sebagai bangsa asing. Sebaliknya penduduk Sumatera, yang sama sekali tidak memiliki kesamaan bahasa ibu dan kesukuan dengan orang Ambon, ternyata telah “mengimajinasiâ€? sebagai satu “bangsaâ€? dengan orang Ambon. Di sinilah letak absurdnya nasionalisme. Yang “samaâ€? bisa menjadi “bangsaâ€? yang berbeda, sementara yang “tidak samaâ€? bisa menjadi satu “bangsaâ€?.

Karena itulah, nasionalisme sesungguhnya adalah ide absurd, tidak mengandung suatu hakikat pengertian yang pasti. Nasionalisme adalah ide yang kosong dari makna-makna yang konkrit. Nasionalisme lebih mengandalkan sentimen atau emosi yang semu, yang dibangkitkan sewaktu-waktu sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingan sempit penguasa. Nasionalisme tidak bertolak dari ide yang lahir melalui proses berpikir yang benar dan sadar.

Maka dari itu, nasionalisme bukan ide yang layak untuk membangkitkan umat manusia. Sebab dalam suatu kebangkitan, diperlukan suatu pemikiran yang menyeluruh (fikrah kulliyah) tentang kehidupan, alam semesta, dan manusia, serta pemikiran tertentu tentang kehidupan untuk memecahkan problem kehidupan (Taqiyuddin An Nabhani, 1953).

Pemikiran seperti inilah yang dapat membangkitkan manusia, karena dia memiliki persepsi-persepsi yang akan menentukan jatidiri mereka (secara konkrit), membentuk institusi-institusi untuk mengatur kehidupan, menetapkan orientasi dan arah hidup, menjelaskan pandangan hidup serta jenis peradaban, masyarakat, dan nilai-nilai dasar kehidupan. Ini semua diperlukan untuk sebuah kebangkitan, yang faktanya, tidak dimiliki oleh nasionalisme?  (Abdus Sami’ Hamid, 1998).

Nasionalisme : Racun!
Satu hal yang mungkin tidak disadari banyak orang, temasuk umat Islam, adalah kenyataan bahwa nasionalisme sebenarnya adalah ide yang diperalat oleh Barat untuk menjajah dan mendominasi dunia (Abdus Sami’ Hamid, 1998). Negara-negara Kapitalis seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis, telah menggariskan langkah politik untuk memperkokoh atau mempertahankan eksistensi dan pengaruhnya dengan cara memecah belah sebuah kekuatan politik dan merekayasa berbagai konflik dan kekacauan di antara kelompok-kelompok masyarakat. Bila kondisi chaos sudah tercipta, nasionalisme akan datang dengan kedok “hak menentukan nasib sendiri�, atau isu “bangsa yang berdaulat dan merdeka�, dan sebagainya. Nasionalisme dijadikan landasan untuk menuntut kemerdekaan sekaligus untuk legitimasi perpecahan dan separatisme. Contoh kontemporer yang sangat gamblang, adalah masalah Timor Timur, yang secara sukses telah diceraikan dari Indonesia oleh Barat dengan tekanan-tekanan dan senjata mematikan : jajak pendapat (baca : nasionalisme).

Contoh lain untuk fakta bahwa nasionalisme telah dimanfaatkan Barat untuk menjajah dan mendominasi dunia, adalah tercerai berainya umat Islam menjadi lebih dari 50 negara berdasarkan nasionalisme. Benih-benih perpecahan umat ini sebenarnya sudah mulai muncul sejak imperialis Barat menginfiltrasikan racun nasionalisme ke dalam tubuh umat Islam melalui kegiatan kristenisasi dan missi/zending?  yang sebagian besar berasal dari Amerika, Inggris, dan Perancis pada pertengahan abad ke-19 di Siria dan Libanon. Sejak tersebarnya ide-ide nasionalisme itu, kaum misionaris mulai menyulut sentimen kebencian terhadap negara Khilafah Utsmaniah, yang mereka sebut sebagai sebagai “negara Turkiâ€?. Mereka juga menyebarkan pikiran bahwa orang Turki telah merampas Khilafah Islam dari orang Turki serta telah melanggar ketentuan syari’ah (Shabir Ahmed & Abid Karim, 1997, Abdul Qadim Zallum, 1990).

Untuk memperkokoh embrio nasionalisme itu, Barat merekayasa partai-partai politik di Arab dan Turki untuk menentang Khilafah, seperti Partai Al Fatah?  Turki, partai Ittihad wa Taraqqi (Partai Persatuan dan Kemajuan, atau dikenal pula dengan sebutan Turki Muda),?  Partai Kemerdekaan Arab, dan Partai Perjanjian (â€?Ahd). Pada tahun 1916 meletuslah Revolusi Arab, yang bertujuan untuk memisahkan negeri-negeri Arab dari Khilafah. Puncaknya adalah tahun 1916 tatkala?  negara Khilafah dapat dikuasai secara militer. Jenderal Lord Allenby memasuki kota Yerussalem (Al Quds) dan berkata,â€?Hari ini Perang Salib telah berakhir.â€? Sejak detik itulah negeri-negeri Islam menjadi bagaikan keratan-keratan daging bangkai yang dimangsa burung-burung nasar, tercerai berai dan terpenggal-penggal sesuai dengan perjanjian rahasia Sykes-Picot (1915) di antara negara-negara imperialis untuk membagi-bagi negeri-negeri Islam.? 

Contoh-contoh di atas hanya sekelumit saja dari bahaya nasionalisme untuk umat manusia yang muncul karena adanya dominasi dan hegemoni Barat yang kafir. Bila kita buka lebih banyak lembaran-lembaran sejarah dengan cermat, akan semakin terbukti bahwa nasionalisme hakekatnya adalah racun yang mematikan ! Bukan madu yang manis seperti yang digembar gemborkan secara dusta oleh negara-negara imperialis Barat dan para penguasa kaum muslimin !? 

Nasionalisme Haram
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapatlah?  dipahami bila Islam telah menentang dan mengharamkan ide nasionalisme itu. Tak masuk akal, alias gila, bila ide yang telah membawa penderitaan dan kesengsaraan umat manusia itu dihalalkan dan diridoi oleh agama Islam yang lurus. Nasionalisme haram karena bertentangan dengan prinsip persatuan umat yang diwajibkan oleh Islam. Persatuan umat adalah wajib, sementara perpecahan umat adalah haram.

Kaum muslimin adalah satu kesatuan, yang wajib diikat oleh kesamaan aqidah (iman), bukan oleh kesamaan bangsa. Allah SWT?  berfirman :

“Sesungguhnya orang-orang beriman adalah bersaudara.� (Al Hujurat : 13)

Dalam Piagam Madinah (Watsiqoh Al Madinah) disebutkan kewajiban umat untuk menjadi satu kesatuan :

“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.?  Ini adalah kitab (perjanjian) dari Muhammad Nabi SAW antara orang-orang mu`min dan muslim dari golongan Quraisy dan Yatsrib…: â€?Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu (ummah wahidah), yang berbeda dengan orang-orang lain …â€? (Lihat Sirah Ibnu Hisyam, juz 2 hal. 119).? 

Rasulullah SAW pun telah mengharamkan ikatan ashabiyah, termasuk?  nasionalisme :

“Tidak tergolong umatku orang yang menyerukan ashabiyah (fanatisme golongan, seperti nasionalisme). (HR. Abu Dawud)

Di samping itu, Islam mewajibkan umatnya untuk hidup di bawah satu kepemimpinan (Khilafah Islamiyah). Haram bagi mereka tercerai berai di bawah pimpinan yang lebih dari satu. Rasulullah SAW bersabda :

“Jika dibai’at dua orang?  Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.â€? (HR. Muslim).

Dengan demikian, jelaslah kaum muslimin kini harus sadar dan membuang nasionalisme dan kembali kepada ajaran Islam yang murni, yakni kembali kepada ikatan (rabithah) keimanan, bukan ikatan nasionalisme. Selain itu, mereka juga wajib berusaha untuk mewujudkan satu institusi politik pemersatu umat Islam di seluruh dunia, yakni Khilafah Islamiyah. [Muhammad Shiddiq Al Jawi].

7 thoughts on “Islam dan Nasionalisme

  1. Cinta tanah air adalah sesuatu perasaan yang dikaruniakan Allah tidak pandang apakah ia bodoh atau pandai, ia dilahirkan untuk cinta terhadap bangsanya dan ini tak dilarang oleh agama. Nabi Muhammad ketika hijrah ke Madinah berkata: “Cintaku terhadap Madinah sama dengan cintaku terhadap Mekkah”. karena itu Nabi pun cinta kepada tanah air.
    Tahun 1925 HOS Cokroaminoto berpendapat bahwa Islam sekurang-kurangnya tidak merintangi munculnya nasionalisme, bahkan di satu pihak mendukungnya. Tetapi nasionalisme yang didukung Islam bukanlah nasionalisme sempit yang berbahaya bagi bangsa lain. Nasionalisme yang menuju sosialisme Islam, yaitu sosialisme yang menghubungkan monohumanisme di bawah petunjuk Allah, melalui peraturan-peraturan-Nya yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW. Nasionalisme dapat dibawa dalam 2 konteks yang berbeda, yaitu nasionalisme Islam yang disampaikan HOS Cokroaminoto tadi dan nasionalisme sekuler contohnya yang dibawa oleh Sukarno.
    Sukarno pada tahun 1930an berusaha menumbuhkan jiwa patriotisme Indonesia bangsa Indonesia dengan menyebut kekayaan dan keindahan Inddonesia telah melahirkan pahlawan-pahlawan bangsa seperti Gajah Mada dan beberapa tokoh ketika Indonesia masih Hindu. Beliau menekankan pentingnya tanah air, keikhlasan untuk mengabdi dan kesediaan untuk meninggalkan kepentingan golongan.
    Agus Salim dari Sarikat Islam mengkritik pandangan Sukarno, bahwa menempatkan tanah air di atas segala-galanya dikhawatirkan dapat menghancurkan sendi-sendi tauhid dan mengurangi ketaatan kepada Allah.Tetapi bukan berarti beliau mengingkari pentingnya persatuan dan cinta tanah air. Mengagungkan kebangsaan dapat berbahaya bagi bangsa kita atau bangsa lain seperti yang terjadi pada bangsa-bangsa Eropa. Hamka pada mulanya menentang faham kebangsaan, mengubah pendiriannya.Tahun 1939 ia menerimanya asalkan tidak berarti chauvinisme. Faham Chauvinisme ialah faham yang mengagungkan tanah air secara berlebih-lebihan.
    Nabi Muhammad SAW. bersabda “Bukan termasuk golongan kami orang yang menyeru keoada ashabiyyah, bukan termasuk golongan kami orang yang berperang atas dasar ashabiyyah dan bukan termasuk golongan kami orang yang mati karena membela ashabiyyah” (H.R. Abu Dawud). “Rasulullah SAW ditanya tentang seseorang yang berperang karena keberaniannya, berperang karena mempertahankan diri dan berperang karena riya. Manakah yang termasuk di jalan Allah? Rasulullah menjawab: Barangsiapa yang berperang untuk menjunjung tinggi kalimah Allah maka ia di jalan Allah.”
    Menurut A. Hassan pendiri PERSIS kedua hadits tersebut menunjukkan seseorang tak boleh mengorbankan jiwanya selain karena Allah, tidak boleh karena bangsa dan tanah air.
    “Dari Watsilah Ibnul Asqa’; saya bertanya kepada Rasulullah SAW. apakah seseorang yang mencintai kaumnya termasuk ashabiyyah? Rasulullah menjawab: Tidak; tapi yang termasuk ashabiyyah ialah bila ia menolong kaumnya dalam kezaliman.”
    dari hadits-hadits di atas A.Hassan berpandangan cinta bangsa (nasionalisme) tidak terbilang ashabiyyah yang secara tegas tidak diridhai Allah kecuali ada unsur-unsur kezhaliman.
    Cinta bangsa dan tanah air yang dibenarkan bagi seorang muslim adalah cinta yang diwujudkan dengan usaha dan kerja keras agar kaum muslimin (a) maju dalam pendidikan (b) maju dalam ekonomi (c) maju dalam teknologi (d) tidak di bawah derajat negara-negara lain dan (e) mengurus negerinya sendiri dengan hukum dan peraturan yang termaktub dalam Kitabullah dan Sunnah rasul. Cita-cita dari pergerakan Islam ini nanti akan bisa terwujud dengan berdirinya pemerintahan Islam. Jadi tak mesti nasionalisme tidak baik tergantung dari niat apakah ingin melaksanakan hukum Islam atau tidak. Wallahu ‘alam bishshowab.

  2. Semangat nasionalisme itu baru mempunyai ‘makna’ jika sudah diisi dengan ‘roh’-nya agama. Jadi, Islam tidak bisa disejajarkan dengan nasionalisme yang merupakan konsep duniawi semata.

  3. @Elfizon Anwar:

    Nasionalime tidak bisa diisi dengan roh agama. Nasionalisme dan Islam tidak akan bisa bersatu dan disatukan. Karena keduanya saling bertentangan dan menentang satu sama lain. Tidak akan pernah bersatu debu jihad fisabilillah dengan asap neraka jahanam!

  4. nasinalisme janga disamakan atau diadu dengan Islam itu sangat berbeda
    Nasionalisme adalah idiologi yang dibuat atas pemikiran manusia untuk sarana atas kecintaan atas tanah air sedangkan islam adalah agama ALLah SWT. yang diturunkan melalui malaikat jibril kepada Rasullah Nabi besar Muhammad Saw, dan disampaikan pada umatnya, jadi sangat lah rendah bila Nasionalisme dibanding-bandingkan dengan Islam

Comments are closed.