Tuesday, 23 April 2024, 22:06

gaulislam edisi 435/tahun ke-9 (13 Jumadil ‘Ula 1437 H/ 22 Februari 2016)

 

Siapa yang berani durhaka, apalagi kepada Allah ta’ala? Aduh! Nekat benar kalo sampe ada yang berani. Walah, jangan sampe deh kita bikin murka Allah Ta’ala karena kedurhakaan kita kepada-Nya. Sebab, durhaka alias ingkar terhadap perintah Allah Ta’ala tandanya kita udah nekat membangkang kepada-Nya. Plis deh. Ayo pada nyadar ngapa?

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Kalo kita udah berani durhaka, itu tandanya bukan saja kita nggak cinta kepada AllahTa’ala, tapi kita sama sekali nggak takut dengan murka-Nya. Sumpah. Nekat abis deh. Padahal, apa sih kemampuan kita? Apa yang bisa kita banggakan dengan kekuatan yang kita miliki dibandingkan kekuatan Allah Ta’ala yang Mahadahsyat?

Jujur aja nih, kalo kita durhaka kepada ortu aja, gimana murkanya ortu kita. Kita aja gondok kan kalo perintah kita nggak dituruti sama adik kita? Ortu lebih-lebih lho kesalnya sama kelakuan kita kalo kita durhaka kepada mereka. Sebab, udah dirawat dan diasuh sejak kecil, kok masih aja nggak mau kalo dimintai tolong sama ortu kita. Itu namanya membangkang dan melawan, Bro. Ati-ati deh. Jangan sampe kita begitu rupa. Soal ini, kayaknya insya Allah pada ngerti bin paham ye.

Nah, begitu juga kepada Allah Ta’ala. Bahkan Allah akan sangat murka kepada hamba-Nya yang berusaha melawan setiap perintah-Nya. Hamba yang durhaka itu jelas dimurkai sama Allah, lho. Apa kita nggak takut? Wong kalo kita diinterogasi guru killer aja sampe pipis, gimana kalo ‘diinterogasi’ sama Allah Ta’ala suatu saat nanti? Apa yang bisa kita pertanggungjawabkan? Senjata apa yang bakal kita gunakan untuk menghadapi murka-Nya? Ih, naudzubillahi min dzalik deh.

Itu sebabnya, jujur aja suka ngeri kalo ngelihat sepak terjang orang-orang saat ini. Kok sepertinya nggak memiliki rasa takut kalo ingkar terhadap perintah Allah Ta’ala. Coba deh tengok di media massa, baik cetak maupun elektronik. Banyak banget tuh kasus orang yang diciduk gara-gara ketahuan mencopet atau menjambret, ada juga yang diringkus karena membunuh, nggak sedikit yang digelandang gara-gara berzina, termasuk yang mengkampanyekan LGBT agar disahkan undang-undang, dan banyak kasus kriminalitas lainnya. Semua itu, dalam pandangan Islam adalah perbuatan maksiat, Bro. Kenapa disebut maksiat? Karena melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah Ta’ala. Waspadalah!

Emang sih, nggak semua orang yang ngelakuin maksiat tuh karena hobi, tapi ada juga yang kepepet, malah ada yang nggak ngeh kalo itu perbuatan maksiat akibat kebodohannya. Tapi, apa pun alasannya, jelas berdosa dong. Termasuk orang yang ngelakuin kemaksiatan tapi doi nggak tahu kalo itu perbuatan maksiat, tetap dihukumi berdosa karena kemalasannya mencari ilmu. Tapi dipikir-pikir, apa iya hari gini masih ada orang yang nggak tahu mana yang salah dan mana yang benar menurut aturan agama dan negara? Ulama udah banyak, dakwah Islam udah nyebar di mana-mana. Jadi rada-rada mustahil kalo doi nggak ngeh sama sekali. Okelah, nggak usah diperpanjang karena kalo mau diusut-usut jadi tambah kusut. Sebab, yang jelas perbuatan maksiat yang dilakukannya tetap akan dimintai pertanggungan jawabnya. Itu aja kok.

 

Nikmat dibalas durhaka

Sobat gaulislam, sebenarnya kita sebagai manusia bisa merenungkan bahwa segala nikmat yang kita rasakan saat ini: bisa melihat; bisa mendengar; bisa tertawa; bisa menangis; bisa berjalan; bisa berlari; bisa makan dan minum; bisa berpikir; bisa mencium bau; bisa membedakan mana makanan yang enak dan mana yang nggak enak dan lain sebagainya; adalah nikmat yang diberikan Allah Ta’ala. Itu sebabnya, keterlaluan banget kalo kita membalas nikmat yang diberikan Allah Ta’ala justru dengan perbuatan maksiat kepada-Nya.

Hadeuuh, itu sama aja dengan tak menganggap-Nya sebagai Pemberi nikmat. Kita bisa dicap mendustakan nikmat-Nya, gitu lho. Coba deh buka al-Quran surat ar-Rahman (jumlahnya 78 ayat), di situ Allah Ta’ala sampe mengulang pertanyaan: “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” sebanyak 31 kali. Berarti sekitar 40 persen isi surat tersebut isinya adalah ayat yang sama. Wallahu a’lam.

Itu sebabnya, pasti Allah Ta’ala punya tujuan untuk ngingetin manusia bahwa nikmat Allah itu banyak dan sangat banyak yang telah diberikan kepada manusia. Tapi, mengapa banyak dari kita sebagai manusia yang nggak merasakan nikmat Allah itu? Malah nikmat-Nya dibalas dengan cara mendurhakai-Nya. Naudzubillahi min dzalik banget deh!

Oya, kalo ngomongin nikmat Allah Ta’ala kepada manusia, niscaya manusia nggak bakalan bisa menghitungnya. Saking banyaknya tentu. Firman Allah Swt.: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.” (QS al-Kautsar [108]: 1)

Allah Ta’ala ngingetin kita melalui firman-Nya: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” (QS Ibrahim [14]: 7)

Bersyukur? Yup, bersyukur adalah bukti bahwa kita mengakui segala nikmat yang diberikan adalah dari Allah Ta’ala. Syukur juga merupakan tanda cinta kita kepada Allah Ta’ala. Seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bernama Abu Darda radhiallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Barangsiapa yang tidak melihat (merasakan) nikmat yang Allah berikan kepadanya kecuali hanya pada makanan dan minumannya, maka sesungguhnya ilmu (makrifatnya) sangat dangkal dan azab pun telah menantinya” (Abu Hayyân al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth fî al-Tafsîr, jilid 6, hlm. 441. Maktabah Tijâriyyah Musthafa al-Bâz)

Dalam al-Quran Allah azza wa jalla menyampaikan firman-Nya: “Katakanlah: “Dia-lah Yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (akal)”. Tetapi amat sedikit kamu bersyukur.” (QS al-Mulk [67]: 23)

So, Allah seolah-olah ‘nyindir’ ama kita-kita nih kalo sampe kita nggak bersyukur kepada-Nya. Tapi kalo dipikir-pikir emang bener juga sih. Silakan kamu tengok kanan-kiri, depan-belakang. Teman kita, tetangga kita, atau bahkan kita sendiri malah nggak bersyukur dengan nikmat ini. Duh, malu deh.

Kalo emang benar-benar bersyukur sih, kita harusnya bisa memanfaatkannya untuk kebaikan seraya memuji Sang Pemberi nikmat, yakni Allah Ta’ala. Memuji tentu bukan sekadar mengucap “alhamdulillah”, tapi juga terwujud dalam perilaku dan gaya hidup kita yang hanya mau diatur oleh Allah. Iya nggak seh? Itu arti-nya kita jangan mendurhakai-Nya. Betul?

 

Hakikat bersyukur

Ibnu Qayyim al-Jauziyah, seorang tokoh ulama terkemuka, menjelaskan bahwa hakikat syukur kepada Allah itu adalah tampaknya bekas nikmat Allah pada lisan sang hamba dalam bentuk pujian dan pengakuan, di dalam hatinya dalam bentuk kesaksian dan rasa cinta, dan pada anggota tubuhnya dalam bentuk patuh dan taat. (Ibn Qayyim al-Jauziyah, Tahdzîb Madârij al-sâlikîn oleh Abdul Mun‘im al‘Izzî, hlm. 348)

So, kita bisa ngukur diri kita dengan penjelasan dari Syaikh Ibnu Qayyim ini. Lisan kita apakah selalu mengucap pujian dan pengakuan kepada Allah Ta’ala. Sang Pemberi nikmat kepada kita? Apakah lisan kita terbiasa mengucapkan alhamdulillah? Atau malah nggak pernah sama sekali? Termasuk mengakui Allah Ta’ala. sebagai Pencipta sekaligus yang memberi nikmat kepada kita? Pertanyaan ini cuma kita sendiri yang bisa jawab. Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang bersyukur. Bukan yang durhaka.

Terus, dalam hati kita, apakah udah kita wujudkan dalam bentuk kesaksian dan rasa cinta kepada Allah Ta’ala. Bersaksi bahwa tidak ada Dzat yang wajib disembah kecuali Allah. Itu sebabnya, tumbuh rasa cinta yang paling kuat dan besar hanya kepada Allah. Sebagaimana Allah Ta’ala menjelaskan dalam firman-Nya: “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat (besar) cintanya kepada Allah.” (QS al-Baqarah [2]: 165)

Lalu, membekaskah rasa syukur kita kepada Allah dengan penampakkan anggota tubuh kita dalam bentuk patuh dan taat kepada-Nya? Mari kita mengukur diri kita. Seberapa pantas kita bersyukur yang terwujud pada patuh dan taat kepada Allah Ta’ala. Kita bisa bertanya, apakah selama ini, kita sudah patuh dan mentaati perintah-Nya? Sholat, puasa wajib Ramadhan, dan zakat pernah kita lakukan dengan sungguh-sungguh karena ketaatan dan kepatuhan kita kepada-Nya?

Bagaimana dengan kehidupan kita? Apakah dalam kehidupan sehari-hari kita sudah mematuhi perintah-Nya? Kewajiban menutup aurat misalnya, udah ditetapkan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Bagi anak cewek yang udah baligh, nggak boleh keluar rumah menampakkan auratnya. Jadi, harus ditutup tubuhnya dengan busana muslimah, yakni jilbab dan kerudung. Anak cowok yang udah baligh juga sama, meski batasan auratnya nggak seketat anak cewek, anak cowok kalo keluar rumah daerah pusar ame lutut kudu tertutup. Karena itu auratnya. Kayaknya udah pada paham deh soal ini. Yang perlu diingatkan lagi tuh pengamalannya. Ayo, nggak cuma teori, lho. Semoga kamu nyadar.

Imam Ibn Qayyim dalam kitab yang sama lebih lanjut menjelaskan bahwa syukur itu mempunyai 5 (lima) pilar pokok yang apa bila salah satunya tidak terpenuhi maka syukur menjadi batal dan dianggap belum bersyukur.

Lima pilar pokok itu adalah: Pertama, kepatuhan orang yang bersyukur kepada Pemberi nikmat. Kedua, mencintai-Nya. Ketiga, mengakui nikmat dari-Nya. Keempat, memuji-Nya atas nikmat-Nya. Dan yang kelima, tidak menggunakan nikmat yang diberikan-Nya untuk sesuatu yang tidak Dia sukai.

Sobat gaulislam, ini penting banget kita ketahui. Biar kita bisa bersyukur kepada Allah Ta’ala dan dengan cara yang benar. Khusus penjelasan terakhir dari pilar pokok bersyukur, yakni nggak menggunakan nikmat yang diberikan-Nya untuk sesuatu yang nggak Dia sukai. Jelas banget. Lha kalo ortu kita aja ngasih duit ke kita, terus duit itu kita gunakan buat hura-hura dan bahkan maksiat, pasti ortu kita marah besar. Nah, apalagi Allah Ta’ala? Tul nggak sih? [O. Solihin | Twitter @osolihin]