Sunday, 28 April 2024, 06:16

gaulislam edisi 718/tahun ke-14 (16 Dzulhijjah 1442 H/ 26 Juli 2021)

Di media sosial tak jarang kita lihat banyak orang berantem dengan kata-kata. Protes aturan pemerintah tentang ini dan itu. Ada yang sesukanya aja melontarkan kata-kata cacian dan makian dalam pro-kontra tersebut. Ironisnya, ada banyak juga yang ternyata itu masih sesama teman. Bedanya, dipisahkan oleh pilihan politik atau cara pandang lainnya.

Ya, hidup bersama selalu ada saja gesekannya, lho. Besar maupun kecil. Tapi nggak apa-apa, karena adakalanya konflik akan mendewasakan kita. Konflik pun akan membuat kita lebih bijak melihat perbedaan. Termasuk konflik dengan teman di sekolah atau di pengajian atau di asrama pondok pesantren. Itu wajar kok. Nggak usah dijadiin beban. Emang sih, ada yang berani menegur kesalahan teman, tapi nggak sedikit yang beraninya di belakang doang, dan ada pula yang pasrah dan ujungnya membiarkan kelakuan buruk teman dengan alasan menjaga persahabatan.

Sobat gaulislam, persahabatan subur dengan segala rasa, baik suka maupun duka. Kita harus siap menerima segala rasa yang bakal kita dapatkan. Adakalanya kita dipedulikan, nggak jarang pula dikecewakan. Seringkali mengajarkan kita bahagia, sering pula ngajarin kita derita. Sedih dan gembira melengkapi persahabatan kita, pun ada saatnya dibela, sekaligus dikhianati. Itu wajar aja sih. Masalahnya, seringkali kitanya yang nggak siap.

Berteman memang semestinya bisa saling percaya dan melengkapi. Ada pepatah dari Cicero bahwa, “Persahabatan yang sejati tidak dapat bertahan di mana pihak yang satu tidak mau mendengar kebenarannya, sementara pihak yang lain tidak suka menjelaskan kebenaran itu.”

Nah, gimana kalo kita menghadapi teman yang berperilaku melenceng dari kebenaran? Haruskah kita menegurnya? Atau membiarkannya demi tetap bisa bersahabat? Kalo menegur, dengan cara apa yang bisa menjamin enak dua-duanya? Kita rileks, dan dia juga nggak masalah dengan teguran kita. Bersalahkah kalo kita mendiamkan kelakuan buruknya?

Waktu SD dulu, saya termasuk orang yang ketergantungan kepada teman sangat tinggi. Saya nggak bisa hidup tanpa teman-teman satu geng. Saya masih ingat waktu itu kelas 2 SD. Ketika ada sekolah baru, sebagian murid ada yang harus rela dipindahkan ke sekolah baru. Tempatnya sih nggak jauh dan masih di desa saya. Tapi, yang membuat saya menolak pindah adalah karena saya harus pula berpisah dengan kawan-kawan yang saya senengi. Why? Ya, karena emang udah deket banget. Nggak tahu, kalo doi merasa enak apa nggak main sama saya.

Hasilnya, ada teman yang ngalah gantiin saya untuk pindah ke sekolah baru. Ternyata nggak berhenti di sini. Sikap ketergantungan saya kepada teman membuat saya seringkali menutup mata kalo dia berbuat salah. Saya takut nggak diajak main lagi kalo saya berani negur dan meluruskan kesalahan dia. Wah, tahu sendiri kan akibatnya? Saya jadi anak yang nggak berani untuk menegur kepada teman sendiri.

Kebiasaan jelek saya mulai hilang seiring dengan bertambahnya usia saya dan mulai mengenal pergaulan yang lebih luas ketika masuk SMP. Dan, kian merasa percaya diri untuk mengingatkan teman saya, yakni ketika saya sekolah di Bogor. Itu udah SMK. Meski, ini juga masih ada kekhususan. Saya lebih sering berkomunikasi dengan tulisan. Ada juga sih yang lewat obrolan. Santai aja sih cara ngingetin temen saya itu. Hal-hal kecil aja sih.

Menegur bukan berarti benci

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Menegur teman, bukan berarti kita benci, tetapi sebaliknya adalah sayang (atau kasihan, ya?). Itu sebabnya, teguran adalah sebuah bentuk kepedulian dan kasih sayang kita kepada teman kita. Bayangin aja kalo kita nggak berani menegur teman kita, baik lewat lisan maupun tulisan, teman kita nggak akan tahu kalo kita “protes” bahwa kita nggak suka kelakuan salahnya. Akibatnya, jangan salahkan dia seratus persen kalo berbuat salah terus menerus. Sebab, bisa jadi adalah andil kita juga yang ikut ‘menjerumuskan’ dia berbuat demikian. Meski tentunya teman yang berbuat salah juga kudu mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Mengapa? Ya, karena kesalahan dia adalah nggak mau belajar dari kesalahan.

Oke deh, kita nggak bisa saling membela diri atau saling menyalahkan. Ini artinya, kita kudu kerjasama satu sama lain. Ya, seperti kata Cicero yang saya kutip tadi, bahwa persahabatan nggak bisa dipertahankan hanya dengan kita nggak mau mendengarkan kebenaran dan nggak mau menyampaikan kebenaran. Tapi, kita kudu rela menerima teguran demi mengedepankan kebenaran, dan berani menyampaikan kebenaran untuk meluruskan jalan hidup kita dalam persahabatan kita. Inilah kenapa dalam Islam, Allah Ta’ala sampe memberikan cap jelek buat manusia sebagai orang yang merugi, kecuali mereka yang beriman, beramal shalih, dan saling menasihati dalam kebenaran di antara mereka.

Firman Allah Ta’ala: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling menasihati supaya mentaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS al-‘Ashr [103]: 1-3)

Dari Abi Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu telah berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; maka bila ia tidak mampu, maka dengan lidahnya, dan kalau tidak mampu maka dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” (HR Muslim)

Jadi, kita nggak perlu takut dianggap turut campur, justru tindakan kita menegur teman kita adalah sebagai bentuk kepedulian. Pernah ada teman istri saya yang curhat ke istri saya setelah ia menegur temannya lewat SMS (ini kejadian zaman dulu banget, belum ada WhatsApp) agar sang teman jangan melakukan perbuatan melanggar hukum Allah. Kasusnya adalah temannya teman istri saya itu nekat pacaran. Khawatir kebablasan, teman istri saya menegurnya lewat SMS ke salah satu pasangan yang sedang dimabuk asmara itu.

Nah, setiap apa yang kita lakukan memang mengandung risiko. Salah satunya, teman istri saya itu dikirimi SMS  sama temannya dengan kata-kata yang redaksinya begini: “Lo kalo mo marah, or neror jangan ke … (nama dirahasiakan), ke gw aja langsung!! lebih baik lo ga usah ikut campur urusan gw!! mungkin neraka lebih enak buat gw”. Astaghfirullah, nekat banget, ya?

Itu risiko nasihatin teman. Termasuk dekat padahal. Tapi kalo udah beda prinsip emang akan lain jalan hidupnya. Tapi, apa yang dilakukan teman istri saya sudah benar. Artinya berani menegur temannya yang berbuat seperti itu. Perkara hasilnya? Serahkan saja kepada Allah, karena tugas kita hanyalah menyampaikan kebenaran.

Bagusnya, ia juga membalas dengan SMS kepada temannya itu dengan kalimat: “Aq teroris?? “Maka, jgnlah ucapan mrk menyedihkan kamu. Sesungguhnya Kami mengetahui apa yg mrk rahasiakan & apa yg mrk nyatakan” (TQS 36:76). “Akan ttp aku hny menyampaikan peringatan dr Allah dan risalah-Nya” (TQS 72:23). “Sesungguhnya kamu tdk akan dpt mberi petrunjuk kpd org yg kamu kasihi,ttp Allah mberi petunjuk kpd org yg dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui org2 yg mau menerima petunjuk” (TQS 28:56). Insya Allah suatu saat kamu n … (nama dirahasiakan) akan menerima kbnaran ini. Amin.”

Oya, itu sengaja tulisannya disingkat-singkat supaya sesuai teks aslinya. Nulis SMS, gitu lho. Hehehe…  

Gimana cara negurnya?

Ada beberapa tips, nih. Semoga bisa menjadi inspirasimu. Pertama, bicara empat mata saja. Ini perlu kamu lakukan. Sebab, kayaknya nggak ada deh orang yang suka ditegur di depan umum. Akan muncul gharizah al-Baqa (naluri mempertahankan dirinya) tuh. Kayak orang ditampar mukanya di depan banyak orang, sakit fisik mungkin bisa ditahan, tapi sakit hati karena malu, bisa tertanam sampe lama di hati dia.

Dulu, apabila para salaf hendak memberikan nasihat kepada seseorang, maka mereka menasihatinya secara rahasia. Barangsiapa yang menasihati saudaranya berduaan saja maka itulah nasihat. Dan barangsiapa yang menasihatinya di depan orang banyak maka sebenarnya dia mempermalukannya. (dalam Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hlm. 77)

Kalo nggak memungkinkan bicara empat mata, semisal kita lihat teman kita yang ngawur itu ngelakuinnya di depan umum, banyak orang. Oke, bisa aja sih ditegur langsung. Tetapi teguran di awal sekadar kita nunjukkin ke orang-orang yang lihat bahwa kita nggak setuju dengan kelakuannya. Selebihnya sih, dilanjutkan dengan bicara berdua dengan dia untuk nasihatinnya.

Kedua, bicara dari hati ke hati. Supaya nggak muncul kesan bahwa kamu menginterogasi atau menggurui dia, lakukan dengan rileks saja. Bila perlu ajak dia ke suatu tempat, yang menyenangkan. Bisa di tempat kosnya, di kamar asrama, bisa di rumahnya, bisa juga di taman. Boleh juga di café atau tempat angkringan kalo kamu punya duit buat traktir dia. Pokoknya di mana aja yang bisa membuat dia senang dan rileks. Terus, kita sampaikan pertanyaan-pertanyaan tentang masalah yang sedang dihadapinya, dan yakinkan dia bahwa kamu bisa menjadi penolongnya. Dulu, saya pernah melakukannya di warung makan, negur dan nasihatin teman saya. Kan, kalo dia udah kenyang, insya Allah nggak protes kalo kita tegur dan nasihatin. Modus, hehehe…

Ketiga, gunakan bahasa yang baik. Tahan diri supaya nggak ngomong dengan nada tinggi dan berkata kasar. Meski kamu nepsong setengah hidup, pastikan kamu gunakan bahasa lisan maupun tulisan yang baik. Nggak menghujat dan melecehkan. Tegaskan bahwa ini sebagai bentuk kepedulian kamu kepadanya.

Keempat, meminta bantuan pihak ketiga. Dalam kondisi darurat, di mana kamu nggak bisa menegur teman kamu karena berbagai hal, cobalah minta bantuan pihak ketiga. Utamanya orang yang dihormati oleh teman kamu, bisa guru, atau mungkin kakak kelas, atau kakak pembina pengajian, atau bahkan ortu kamu dan ortu teman kamu itu.

Kelima, mendoakannya. Jika empat upaya sebelumnya udah ditempuh, berdoalah. Semoga teman kamu bisa sadar diri. Nggak ngawur lagi. Gimana pun juga, perubahan itu nggak selalu seketika. Adakalanya butuh waktu lama. Itu sebabnya, tetaplah menemani kawanmu meski dia sering ngawur, dan selama itu pula kamu bisa negur dan nasihati. Semoga suatu saat akan sadar. Mungkin temanmu punya prinsip KANSSAS (Kami Anak Nakal Suatu Saat Akan Sadar). Tapi kalo dibiarin nggak ditegur dan nggak dinasihati, ya sadarnya bisa jadi lama banget.

Sobat gaulislam, emang gondok juga kalo kita nggak berhasil nasihatin teman. Tapi, jangan khawatir, jangan berkeluh kesah. Setidaknya, kalo udah negur baik lewat lisan maupun tulisan, kita udah nunjukkin kepedulian dan sayang kita kepada teman kita.

Imam Hasan al-Bashri rahimahullah seperti dikutip Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah dalam kitab Jami’ al- ‘Ulum wa al-Hikam mengatakan, “Sesungguhnya hamba yang dicintai di sisi Allah adalah yang mencintai Allah melalui hamba-Nya, dan mencintai hamba Allah karena Allah. Di muka bumi, ia pun memberi nasihat kepada orang lain.”

Jadi, tetep semangat ya untuk terus memberi nasihat! [O. Solihin | IG @osolihin]