Friday, 26 April 2024, 07:42

gaulislam edisi 765/tahun ke-15 (21 Dzulqa’dah 1443 H/ 20 Juni 2022)

Rasa penasaran manusia itu adalah ketika disuguhi sesuatu (kata-kata, video, ilustrasi) yang aneh atau unik, bombastis, misterius, lebay. Intinya memancing rasa ingin tahu. Jika secara fakta memang demikian, orang masih menganggap wajar. Namun, ketika kemasan tak sesuai isi, ini yang bikin jengkel. Kategorinya udah berbohong, bahkan menipu. Judul beda jauh dengan isinya. Kamu pernah nemuin kayak gitu? Gondok banget, kan? Atau, malah pernah bikin konten begitu hanya karena ingin banyak yang lihat? Duh, sadar deh. Jangan sampe bikin jengkol, eh, jengkel orang banyak.

Selain model begitu, akhir-akhir ini juga marak berseliweran konten yang isinya “daleman kamar”. Maksudnya, judulnya dibuat bikin penasaran urusan suami-istri, isinya juga ya yang ada urusannya dengan suami-istri di dalam kamar pribadi mereka. Ngeri. Kalo yang lihat masih lajang atau anak-anak, gimana coba? Bisa berbahaya. Walau bisa jadi isinya tidak sevulgar judulnya, tetapi kesan yang muncul adalah hal-hal yang menjurus ke arah sana. Demi mengejar agar videonya viral, konten ngasal juga dijabanin. Aduh, nggak segitunya juga, kali Bro en Sis.

Pernah juga beberapa waktu lalu seorang teman setengah marah dan misuh-misuh di media sosial gegara maraknya aplikasi novel online, yang isinya menggambarkan atau mendeskripsikan “adegan suami-istri”. Celakanya, itu ada juga di aplikasi yang katanya mengusung konten islami. Kono kabarnya, kalo banyak yang baca maka mengalirlah cuan ke rekeningnya. Duh, kenapa bisa begitu? Heran, deh! Gimana status duit hasil bikin konten begituan, ya?

Dan, masih banyak konten-konten norak, aneh, lebay, bohong, hoax, bahkan tipu-tipu marak di media sosial. Parahnya, konten begituan justru yang melihat atau mengunjungi banyak, kategorinya jadi viral. Siapa yang salah? Mereka yang bikin konten begituan, atau para penonton dan pembacanya? Coba, menurut kamu siapa yang salah?

Kalo ditunjuk satu-satu nggak mau juga jadi posisi yang disalahkan. Akhirnya, saling menyalahkan. Silakan aja debat sampe berbusa-busa antara yang bikin konten dan yang menikmati kontennya. Kalo dituduh semuanya salah biasanya nggak mau juga, kan? Okelah kalo begitu. Sebenarnya sederhana aja sih. Kedua pihak punya andil. Sama berpengaruhnya. Sama-sama salah dalam kasus ini. Kayak orang yang jualan dan yang beli. Saling membutuhkan. Beneran.

Nah, berarti yang perlu diedukasi kedua belah pihak. Pihak pertama, pembuat konten. Kudu bener. Jangan ngasal bin ngawur. Kudu membuat konten yang isinya bermanfaat dan mendidik. Pihak kedua, penikmat konten. Kudu tahu aturan dan batasan. Harus tahu mana konten sampah dan mana konten berharga. Bisa pilih dan pilah. Alangkah bagusnya kedua belah pihak sadar diri. Kudu membuat konten mendidik, dan pihak penikmat kudu tahu mana yang harus ditonton untuk ambil manfaatnya, dan mana yang kudu langsung skip atau malah di-delete. Aman kalo gitu. Namun, kenyataannya kan nggak semudah itu, Fergusso!

Jangan nyebarin keburukan

Sobat gaulislam, sebelum bikin konten, pikirkan dampaknya. Apa yang akan kita share. Prinsipnya kalo itu kebaikan, maka akan menambah kebaikan bagi kita dan sesama. Sebaliknya, kalo itu isinya keburukan atau ngasal bin ngawur hanya karena ingin viral lalu dapat cuan, berarti tahu risikonya, yakni menabung dosa. Ngeri!

Beneran. Kalo kamu sengaja bikin konten tanpa memperhatikan dampaknya, itu berbahaya buat kamu dan juga orang lain, jika isinya ngasal alias sembarangan. Nggak pake etika, karena hanya fokus ngejar viral dan berharap kucuran cuan. Bikin konten sesuai selera pasar atau yang lagi rame konten model gimana, lalu ikutan bikin yang sejenis. Ada stimulusnya, ada perangsangnya. Nggak peduli etika dan nggak mau tahu apakah boleh atau nggak menurut syariat Islam, sehingga akhirnya konten yang dibikin sekadar memuaskan nafsu dan kesenangan pribadi karena banyak yang lihat. Ada sensasi tersendiri. Padahal, nggak ada manfaatnya, bahkan menyebar mudharat. Waspadalah!

Contohnya ya, ibu-ibu berkerudung yang joget-joget di aplikasi Tiktok atau Instagram. Gimana suaminya kalo tahu istrinya begitu (atau malah suaminya senang)? Atau kalo masih gadis, gimana tuh tanggung jawab ayahnya terhadap anak gadis yang demi konten dan menganggap itu bagian dari ekspresi kebahagiaan dan menghibur diri. Tanggung jawab suami mendidik istrinya, tanggung jawab ayah menjaga anak gadisnya. Tapi kalo abai, jadinya pembiaran aja tuh. Mungkin karena nggak tahu, atau mungkin karena menganggap biasa. Ngeri, deh.

Beneran kudu waspada. Sebab, perilaku buruk yang kamu sebarkan akan menginspirasi orang lain berbuat sama. Duh, jangan sampe sesat dan menyesatkan, deh.

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Siapa saja yang mencontohkan perbuatan yang baik kemudian beramal dengannya, maka ia mendapat balasannya (pahala) dan balasan serupa dari orang yang beramal dengannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan siapa saja yang mencontohkan perbuatan yang buruk kemudian ia berbuat dengannya, maka ia mendapat balasannya dan balasan orang yang mengikutinya tanpa mengurangi balasan mereka sedikitpun.” (HR Ibnu Majah)

Dalam riwayat lain, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Barang siapa menjadi pelopor suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barang siapa menjadi pelopor suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikit pun.” (HR Muslim, no. 1017)

Mestinya kedua hadits ini menjadi pengingat kita semua. Jangan asal bikin atau nyebar konten. Teliti dulu sebelum di-share. Saring sebelum sharing. Pikirkan juga dampaknya sebelum bikin konten. Jangan sampe sekadar ngejar viral lalu bikin konten ngasal alias sembarangan dengan prinsip yang penting viral, dan kalo udah viral berarti cuan siap ditambang. Kalo pun bukan karena cuan, biasanya karena ingin eksis aja sih, bangga bisa dikenal banyak orang meski untuk hal yang nggak baik. Duh, kok urusan duniawi aja sih, nggak peduli urusan di akhirat kelak atas apa yang kamu perbuat. 

Oya, perlu dikasih catatan juga adalah terkait maraknya konten yang terkategori urusan ranjang (hubungan suami-istri). Nggak boleh diumbar ke orang lain (apalagi nggak kenal). Jangan bikin konten model gitu. Ada larangannya, lho. Buat apa sih ngejar viral? Lalu menghalalkan segala cara dalam berkreasi atau bikin konten. Pribadi seorang muslim nggak begitu perilaku dan karakternya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat ialah seseorang yang menyetubuhi istrinya dan istri bersetubuh dengan suaminya, kemudian suami menyebarkan rahasia istrinya.” (HR Muslim, no. 1437)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata ketika menjelaskan hadits riwayat Muslim di atas, “Dalam hadits ini, terdapat larangan bagi suami untuk menyebar-nyebarkan apa yang terjadi antara dia dan istrinya dalam perkara istimta’ (bersenang-senang, yaitu hubungan biologis), menggambarkan detil yang terjadi di antara keduanya, dan apa yang dilakukan oleh pihak wanita (istri), baik berupa ucapan, perbuatan, dan semacamnya. Adapun semata-mata menceritakan adanya hubungan suami istri (tanpa menyebutkan detilnya, pent.), jika hal itu tidak ada faidah dan tidak ada kebutuhan, maka hukumnya makruh, karena hal ini dinilai menyelisihi (menurunkan) muru’ah (kehormatan seseorang).” (Syarh Shahih Muslim, 5: 162)

Bikin pinter, jangan bikin bodoh

Sobat gaulislam, sori ya bahasa yang ditulis di subjudulnya rada gimana gitu. Jengkel aja sih. Soalnya udah banyak yang bikin konten tetapi nggak mendidik. Padahal, tujuan kita menyampaikan sesuatu itu mestinya yang baik-baik, yang bermanfaat atau dibutuhkan banyak orang. Jangan asal bikin alias sembarangan alias ngawur dengan tujuan agar viral. Ngasal yang dimaksud bukan apa adanya, tetapi dalam pengertian sembarangan karena tidak memedulikan etika dan prinsip menyampaikan kebenaran. Ngasalnya itu isinya bohong, tipu-tipu, settingan, narasi yang mengarah kepada pornografi atau caci maki dan sejenisnya, termasuk kekonyolan serta nggak menjaga adab. Nah, gimana tuh yang udah bikin? Mestinya nggak bisa tidur karena harus bertanggung jawab kepada banyak orang gara-gara konten ngasalnya tersebut.

Bisa jadi konten yang ngasal tersebut kemudian viral. Namun, buat apa tersebar luas tetapi isinya nggak mendidik, isinya tipu-tipu, isinya mengarah kepada hal-hal tabu dan pornografi serta lost adab. Duh, jangan sampe deh bikin dosa berjamaah, ya. Bahayanya lagi, selain dosa, juga membodohi masyarakat karena membuat konten yang sekadar hiburan belaka, nggak ada isinya yang bermanfaat dan nggak nambah pengetahuan, apalagi nggak ada inspirasi kebaikan.

Oya, yang perlu diperhatikan bagi para pembuat konten yang disebar via media sosial adalah para pengunjungnya yang bisa jadi beragam. Ada yang berpendidikan tinggi, ada yang sedang, ada yang rendah. Usianya juga beragam. Ada yang sepuh, ada yang muda, ada anak-anak. Selain itu, nggak semua orang tua juga paham teknologi dan dampak buruknya, akhirnya anak balita atau prabaligh terbiasa menggenggam smartphone dan dilepas gitu aja. Nggak tahu mereka buka kanal Youtube jenis apa. Bahaya kalo konten yang ngasal (karena viral), lalu bertebaran mampir di beranda aplikasi tersebut. Mudah untuk diklik dan gimana kalo yang diklik itu konten ngasal yang isinya sampah. Celaka kuadrat!

Kalo berurusan dengan anak-anak, kata Imam al-Ghazali “anak adalah suatu amanat Tuhan kepada kedua orang tuanya, hatinya suci bagaikan juhar yang indah sederhana dan bersih dari segala goresan dan bentuk. Ia masih menerima segala apa yang digoreskan kepadanya dan cenderung kepada setiap hal yang ditunjuk kepadanya”. Jadi, kudu hati-hati nih buat para orang tua dalam menjaga dan mendidik anaknya. Pesan yang sama juga kepada siapa aja yang bikin konten kudu memperhatikan hal seperti ini. Ortu rugi kalo nggak peduli, mereka yang bikin konten negatif ikut andil dalam merusak generasi masa depan.

Yuk, kita bikin konten yang kreatif yang bermodalkan pengetahuan dan adab. Konten yang bikin masyarakat jadi pinter. Jangan asal bikin tapi isinya membodohi. Sudah saatnya media sosial kita isi dengan hal-hal positif, termasuk di dalamnya untuk edukasi kebaikan dan dakwah. Ayo, tugas kita yang ngerti untuk membanjiri Instagram, Tiktok, Twitter, Youtube, Facebook, dan sejenisnya dengan konten bermanfaat dan membawa maslahat (kebaikan). Siap, ya! [O. Solihin | IG @osolihin]