Saturday, 14 December 2024, 02:18

Privatisasi adalah pengubahan status kepemilikan pabrik-pabrik, badan-badan  usaha, dan perusahaan-perusahaan, dari kepemilikan  negara atau   kepemilikan  umum  menjadi  kepemilikan   individu. Privatisasi merupakan salah satu ide dalam ideologi Kapitalisme, yang menetapkan peran negara di bidang ekonomi hanya pada aspek pengawasan pelaku  ekonomi dan  penegakan  hukum. Privatisasi selain diterapkan di Amerika Serikat dan Eropa, juga dipropagandakan dan diterapkan di Dunia Ketiga melalui lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO,  sebagai salah satu program reformasi ekonomi untuk membayar utang luar negeri.

Privatisasi menimbulkan bahaya-bahaya antara lain : 1) Tersentralisasinya aset pada segelintir individu atau perusahaan besar, 2) Menjerumuskan negeri-negeri Islam ke dalam cengkeraman imperialisme ekonomi, 3) Menambah pengangguran akibat PHK, dan memperbanyak kemiskinan akibat pengurangan gaji pegawai, 4) Negara akan kehilangan sumber-sumber pendapatannya, 5) Membebani  konsumen dengan harga-harga yang melambung akibat pajak tinggi atas perusahaan terprivatisasi, 6) Menghambur-hamburkan kekayaan negara pada sektor non-produktif, 7) Menghalangi rakyat untuk memanfaatkan aset kepemilikan umum, 8) Privatisasi media massa akan memberi peluang masuknya serangan pemikiran kapitalis atas kaum muslimin.

Privatisasi adalah haram, karena : 1) Dalam privatisasi, negara menjual barang/aset yang bukan miliknya, 2) Privatisasi menyebabkan harta hanya beredar di kalangan orang kaya saja, 3) Privatisasi menimbulkan dominasi dan hegemoni kaum kafir atas kaum muslimin, 4) Privatisasi merupakan perantaraan (wasilah) munculnya kemudharatan bagi kaum muslimin. 

Di tengah-tengah diskusi publik tentang perpolitikan pasca SU MPR,  penyusunan kabinet “kompromi nasional”, skandal Bank Bali, dan lain-lain, masalah privatisasi seakan tenggelam dan kurang mendapat sorotan. Padahal, masalah privatisasi BUMN tak kalah dahsyatnya dengan isu skandal Bank Bali. Lihat saja nilai uang pada kedua isu ini.

Skandal Bank Bali “hanya” bernilai 546 miliar rupiah, yang merupakan fee untuk PT. EGP. Sementara dalam program privatisasi, ditargetkan  pada akhir tahun 2005 telah diperoleh dana sebesar Rp 721 triliun. Pada tahun anggaran 1998/1999 saja, sampai Agustus 1999, telah diperoleh dana US $ 1,039 miliar atau sekitar Rp 7,6 triliun lebih. Jumlah ini terkumpul dari penjualan saham PT Pelindo II sebesar US $ 215 juta dolar, PT Pelindo III sebesar US $ 173 juta, PT Telkom seharga US $ 409, 7 juta, dan PT Indofood tahap II sebesar US $ 62,5 juta (Kontan, No. 3, Th. IV, 11 Oktober 1999).

Meski demikian, sebenarnya Tanri Abeng –waktu itu Meneg Pendayagunaan BUMN– gagal mencapai target, karena pada tahun anggaran 1998/1999 ditargetkan ada 7 BUMN senilai US $ 1,5 miliar yang seharusnya dijual, yaitu PT. Semen Gresik, PT. Pelindo II, dan PT. Pelindo III, Indosat, Angkasa Pura II, PTPN IV, dan PT. Aneka Tambang (Suara Merdeka, 10 Mei 1999).

Memang skandal Bank Bank Bali belum apa-apanya bila dibanding dengan program privatisasi. Hanya saja skandal Bank Bali menjadi lebih heboh karena beraroma politis, di samping adanya penjarahan dan pengaliran dana yang dianggap ilegal. Sedang privatisasi, dianggap halal dan legal sehingga seakan tak perlu dipermasalahkan. Padahal jika dicermati, privatisasi nyata-nyata adalah sebuah program penjajahan. Ia adalah salah satu bentuk imperialisme global yang dijalankan oleh negara-negara kapitalis untuk mengeruk kekayaan berbagai negara di dunia.

Masyarakat nampaknya kurang menyadari hal ini, lantaran privatisasi telah dipropagandakan sebagai sesuatu yang apik dan menarik (serta membius!). Dikatakan misalnya, kalau kita berhasil menjual 40 – 50 % saja aset BUMN, semua utang luar negeri –yang hingga Pebruari 1999 lalu tercatat US $ 67 miliar– akan terbayar tuntas. Dalam acara Dialog RCTI Senin 10 Mei 1999, Tanri Abeng –yang tampil bersama Pande Radja Silalahi—menyebut-nyebut beberapa keuntungan privatisasi, seperti adanya transfer teknologi, manajemen, modal, dan pangsa pasar dari “strategic partner”.

Namun ada satu hal prinsip yang dilupakan. Karena privatisasi adalah penjajahan, maka tentu ia akan selalu menguntungkan sang penjajah dan merugikan si terjajah. Pihak asing akan untung, rakyat akan buntung. Sebagai contoh, belum setengah tahun pihak asing menguasai PT Pelindo II –di mana 65 % arus ekspor impor Indonesia berjalan melaluinya– para pengguna angkutan laut sudah menjerit. Pasalnya, ada rencana kenaikan tarif angkutan laut sebesar 20 %. Padahal, biaya transportasi laut di Indonesia termasuk tinggi, yakni 10,6 % dari biaya perdagangan. Angka ini dua kali lebih mahal daripada rata-rata dunia, yang hanya 5,3 % dari total nilai perdagangan. Penyebab utamanya, karena 50 – 60 % biaya angkutan harus dibayarkan untuk jasa pelabuhan. Bayangkan, bila beban ini harus ditambah dengan kenaikan tarif angkutan laut sebesar 20 %!

Melihat contoh sekelumit ini, tak ayal privatisasi memang menjadi satu fenomena yang patut dicermati dan diawasi. Rakyat Indonesia yang mayoritas muslim, tak boleh lengah dengan imperialisme gaya baru yang sesungguhnya sangat merugikan mereka ini.  
     
Sekilas Fakta Privatisasi
Privatisasi adalah pengubahan status kepemilikan pabrik-pabrik, badan-badan  usaha, dan perusahaan-perusahaan, dari kepemilikan  negara atau   kepemilikan  umum  menjadi  kepemilikan   individu. Privatisasi adalah sebuah  pemikiran  dalam ideologi Kapitalisme, yang menetapkan peran negara di bidang ekonomi hanya terbatas pada pengawasan pelaku  ekonomi dan  penegakan  hukum. Pemikiran ini menetapkan pula jika sektor  publik dibebaskan dalam melakukan usaha,  investasi,  dan inovasi,  maka pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat akan meningkat.

Privatisasi  yang  dikenal pula dengan  sebutan  Liberalisme Baru (New Liberalism), mulai muncul pada era 80-an. Pemikiran ini dicetuskan  oleh Milton Freedman, penasehat ekonomi Presiden  AS saat itu, Ronald  Reagan, dan Frederick High, penasehat ekonomi PM Inggris waktu itu, Margaret Thatcher. Pemikiran  ini telah tersebar luas di negara-negara  kapitalis,  khususnya  Amerika Serikat dan Eropa Barat. Di  sana  pun telah berlangsung proses pengubahan status kepemilikan banyak pabrik, badan  usaha,  dan  perusahaan dari  kepemilikan  negara  menjadi kepemilikan  individu. Akibatnya, aset  dan  perekonomian negara-negara  tersebut tersentralisasi pada beberapa gelintir  individu atau perusahaan tertentu.

Negara-negara kapitalis lalu mempropagandakan pemikiran tersebut ke seluruh dunia, terutama kepada negara-negara Dunia Ketiga.  Mereka mengimplementasikannya melalui IMF, sebagai sebuah program reformasi ekonomi yang dipaksakan atas negara-negara debitor. Melalui program ini, privatisasi telah melicinkan jalan bagi hadirnya penanaman modal asing. Betapa tidak, penawaran pabrik, badan usaha, dan perusahaan milik negara  atau milik  umum,  tentu menggoda para  investor asing. Apalagi jika yang ditawarkan  berkaitan dengan pengelolaan bahan  mentah, atau menyangkut hajat hidup orang  banyak  –yang  menjadi tulang punggung perekonomian negara–  seperti sektor energi (minyak,  gas, dan sebagainya), air minum, pertambangan, sarana  transportasi  laut (seperti pelabuhan), dan sebagainya.

Jadi, sebagai salah satu program reformasi IMF, privatisasi senantiasa dibarengi dengan program lainnya, yaitu penanaman modal asing untuk investasi langsung ataupun tidak langsung. Dengan kata lain, kebijakan negara-negara berkembang untuk melepaskan sektor ekonomi publik menjadi sektor privat,  sebenarnya bukan demi kepentingan rakyat. Memang digembar gemborkan bahwa privatisasi akan menguntungkan rakyat, karena akan meningkatkan produktivitas dan efisiensi, akan meningkatkan kualitas barang dan jasa dengan biaya seminimal mungkin, dan seterusnya. Tetapi privatisasi hakikatnya bukan itu, melainkan semata-mata merupakan sikap tunduk dan pasrah kepada arahan-arahan dan tekanan-tekanan lembaga-lembaga keuangan internasional, terutama IMF yang bereputasi jelek itu.

Memang benar, bahwa perorangan bisa jadi lebih mampu daripada negara dalam berusaha, berinvestasi, dan berinovasi, serta melakukan kegiatan-kegiatan lainnya yang berhubungan dengan proyek-proyek ekonomi. Namun perlu disadari, bahwa perspektif negara umumnya tidak seperti perspektif individu. Sebuah negara kadang-kadang mempunyai beberapa tujuan di balik suatu proyek ekonomi di mana laba bukanlah tujuan utama. Sementara di sisi lain, memperoleh laba merupakan tujuan usaha individu, sekaligus menjadi standar untuk keberhasilan atau kegagalan usahanya.

Tetapi fakta tersebut yaitu bahwa individu tertentu lebih mampu berbisnis daripada negara tidak berlaku umum untuk seluruh individu. Sebab toh kegagalan dan kebangkrutan usaha individu juga banyak terjadi. Di samping itu, apa yang dikelola oleh berbagai badan usaha milik negara sebenarnya tidak terbayang untuk dapat dimiliki secara perorangan, seperti sungai, hutan, sarana transportasi air, pelabuhan-pelabuhan, tambang-tambang  dengan kapasitas produksi besar, dan sebagainya.

Adapun penyebab kegagalan proyek-proyek ekonomi atau kebangkrutan ekonomi di banyak negara Dunia Ketiga, berpangkal pada kelemahan atau kegagalan sistem ekonomi yang diterapkan, serta adanya kekeliruan pada asas yang mendasari sistem tersebut. Jadi, kegagalan yang terjadi bukan semata karena satu aset  merupakan kepemilikan negara atau kepemilikan individu.

Oleh sebab itu, siapa saja yang hendak mengatasi kegagalan tersebut, dia harus memulai dengan membangun aqidah yang mendasari sistem ekonomi yang akan diterapkan, kemudian menerapkan sistem ekonominya secara sempurna, dengan memperhatikan 3 (tiga) pilar utama untuk tegaknya suatu sistem, yaitu : 1) kualitas dan integritas individu, 2) kontrol dan koreksi masyarakat, dan 3) penegakan hukum dan peraturan secara konsisten oleh negara.

Bahaya-Bahaya Privatisasi
Meskipun diiklankan bahwa privatisasi akan menghasilkan keuntungan-keuntungan, namun privatisasi sebenarnya menimbulkan ekses-ekses berbahaya yang akhirnya menafikan dan menghapus keuntungan yang diperoleh. Bahaya atau kerugian yang paling menonjol adalah:

1. Tersentralisasinya aset suatu negeri –di sektor pertanian, industri, dan perdagangan– pada segelintir individu atau perusahaan yang memiliki modal besar dan kecanggihan manajemen, teknologi, dan strategi. Artinya, mayoritas rakyat tercegah untuk mendapatkan dan memanfaatkan aset tersebut. Aset tersebut akhirnya hanya beredar di antara orang-orang kaya saja. Dengan demikian, privatisasi akan memperparah buruknya distribusi kekayaan. Hal ini telah terbukti di negeri-negeri kapitalis, khususnya Amerika Serikat dan Eropa.

2. Privatisasi di negeri-negeri Islam yang dibarengi dengan dibukanya pintu untuk para investor asing –baik perorangan maupun perusahaan— berarti menjerumuskan negeri-negeri Islam dalam cengkeraman imperialisme ekonomi. Sebab, individu atau perusahaan kapitalis itulah yang nantinya akan menguasai dan mengendalikan negeri-negeri Islam. Selanjutnya, akan terjadi perampokan kekayaan negeri-negeri Islam dan sekaligus pengokohan dominasi politik atas penguasa dan rakyat negeri-negeri Islam tersebut. Para investor asing itu jelas hanya akan mencari laba sebesar-besarnya dalam tempo sesingkat-singkatnya, tanpa mempedulikan kebutuhan rakyat terhadap barang dan jasa. Mereka juga tak akan mempedulikan upaya membangkitkan industri negeri-negeri Islam. Ironisnya, beberapa negeri Islam yang tunduk pada ketentuan privatisasi memberikan sebutan “strategic partner” (mitra strategis) kepada para investor asing tersebut. Tentu, maksudnya adalah untuk memberikan image bahwa mereka itu “baik”, seraya menyembunyikan hakikat yang sebenarnya.

3. Pengalihan kepemilikan –khususnya di sektor industri dan pertanian– dari kepemilikan negara/umum menjadi kepemilikan individu, umumnya akan mengakitbatkan PHK, atau paling tidak pengurangan gaji pegawai. Sebab investor dalam sistem ekonomi kapitalis cenderung beranggapan bahwa PHK atau pengurangan gaji pegawai adalah jalan termudah dan tercepat untuk mengurangi biaya produksi dan meningkatkan kualitas produk. Pada gilirannya, jumlah pengangguran dan orang miskin akan bertambah. Padahal sudah diketahui bahwa pengangguran dan kemiskinan sangat berpengaruh terhadap kondisi masyarakat, tingkat produksi, dan pertumbuhan ekonomi.

4. Menghapuskan kepemilikan umum atau kepemilikan negara artinya adalah negara melepaskan diri dari kewajiban-kewajibannya terhadap rakyat. Negara tidak akan sanggup melaksanakan banyak tanggung jawab yang seharusnya dipikulnya, karena negara telah kehilangan sumber-sumber pendapatannya. Negara tak akan mampu lagi memenuhi secara sempurna kebutuhan pokok bagi rakyat yang miskin. Negara juga tak akan dapat lagi memenuhi kebutuhan rakyat dalam bidang kesehatan dan pendidikan secara layak, dan lain-lain.

5. Negara akan disibukkan untuk mencari sumber-sumber pendapatan baru untuk menggantikan sumber-sumber pendapatan yang telah dijualnya. Dan negara tak akan mendapatkan sumber lain yang layak, selain memaksakan pajak yang tinggi atas berbagai pabrik, sektor, dan badan-badan usaha yang telah dijualnya maupun yang memang dimiliki oleh individu. Jelas ini akan melambungkan harga-harga dan tarif-tarif yang membebani masyarakat. Dengan kata lain,  konsumen sendirilah yang akan membayar pajak itu kepada negara, bukan para investor. Jika negara sudah tidak bertanggung jawab lagi terhadap rakyatnya, serta pengangguran terus meningkat, maka akan tercipta kondisi sosial yang rawan dan sangat membahayakan.

6. Dana yang diperoleh negara dari penjualan kepemilikan umum atau negara, umumnya tidak dikelola dalam sektor-sektor produktif. Sebagian besarnya akan habis –sesuai dikte dari lembaga-lembaga internasional seperti IMF—untuk dibelanjakan pada apa yang disebut dengan “pembangunan infrastruktur”, “pelestarian lingkungan”, “pengembangan sumber daya manusia”, dan sebagainya. Semua ini jelas merupakan pintu-pintu untuk menyerap modal asing dari luar. Ini merupakan tindakan menghambur-hamburkan kekayaan umat, dengan jalan membelanjakan harta umat  untuk kepentingan investor asing.

7. Menghalangi masyarakat umumnya untuk memperoleh hak mereka, yaitu memanfaatkan aset kepemilikan umum, seperti air, minyak, sarana transportasi air, dan pelabuhan-pelabuhan. Dengan demikian, privatisasi merupakan kezhaliman yang merusak penghidupan rakyat.

8. Privatisasi media massa –khususnya televisi dan radio—akan memberi peluang masuknya serangan pemikiran dan budaya kapitalis. Ini menimbulkan bahaya peradaban bagi umat, karena umat akan dicekoki pola pikir dan pola jiwa kufur, dengan standar moral dan perilaku ala Barat yang bejat dan rendah.

Inilah beberapa dampak privatisasi yang akan menimpa umat Islam, bila program privatisasi terus dijalankan oleh negara. Dan tentunya, ini baru sebagian saja, sebab masih ada berbagai bahaya dan kemudharatan lain akibat privatisasi.   

Hukum Privatisasi
Apa yang dlakukan pemerintah dengan menjual perusahaan-perusahaan, dan badan usaha milik negara kepada pihak-pihak perorangan atau kepada investor asing, adalah tindakan yang HARAM menurut syara’, karena alasan-alasan berikut :

Pertama, negara tidak berhak menjual aset-aset kepemilikan umum, karena aset ini bukan miliknya, tetapi milik umum. Islam telah melarang menjual suatu barang yang tidak dimiliki oleh penjual. Jika jual beli seperti ini terjadi, maka jual belinya batil alias tidak sah.

Islam telah menjelaskan bahwa kepemilikan umum adalah,”Izin dari Asy Syari’ (Allah) kepada masyarakat umum untuk berserikat dalam memanfaatkan barang.”  Islam telah menentukan tiga jenis kepemilikan umum:

1. Barang yang menjadi kebutuhan orang banyak, yang jika tidak ada maka masyarakat akan berpencar-pencar mencarinya, seperti air, padang gembalaan, dan sumber-sumber energi. Nabi SAW bersabda,”Kaum muslimin berserikat dalam tiga barang; air, padang gembalaan, dan api.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ada riwayat bahwa Rasulullah SAW membolehkan perorangan untuk memiliki air yang tidak dibutuhkan orang banyak. Dari hadits-hadits ini, diistimbath bahwa segala sesuatu yang menjadi kebutuhan orang banyak, yakni yang jika tidak ada maka orang-orang akan berpencar-pencar mencarinya, dipandang sebagai kepemilikan umum, baik itu termasuk dalam tiga jenis barang seperti yang disebut hadits maupun yang lain yang tidak disebut.

2. Tambang yang berkapasitas produksi besar. Telah diriwayatkan dari Abyadl bin Jamal, bahwa dia pernah datang kepada Rasulullah SAW lalu dia meminta Rasulullah agar memberinya tambang garam, dan Rasululullah pun memberinya. Ketika Abyadl pergi, seorang shahabat di majelis berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya Anda telah memberikan kepadanya sesuatu (yang bagaikan ) air mengalir.” Rasulullah kemudian menarik kembali pemberian tersebut.Orang tersebut menyerupakan tambang garam dengan air mengalir, karena banyaknya produksi pada tambang garam tersebut. Ini mencakup pula setiap tambang dengan produksi dalam kuantitas yang banyak atau menguntungkan secara ekonomis, seperti tambang minyak, gas, fosfat, tembaga, dan sebagainya.

3. Barang-barang yang dilihat dari tabiat bentuknya tidak mungkin dimiliki oleh individu, seperti laut, sungai, atmosfer udara, dan sebagainya.

Inilah ketiga jenis barang yang merupakan kepemilikan umum yang dapat dimanfaatkan secara bersama oleh seluruh individu rakyat. Dalam hal ini, peran negara hanya pengelola dan pengontrol pemanfaatannya, bukan pemilik.

Maka dari itu, negara tidak boleh menjual atau memberikan kepada pihak siapa pun, sebab ketiga jenis barang itu adalah milik umum, bukan milik negara. Andaikata negara meminta persetujuan rakyat (melalui lembaga legislatif) untuk menjualnya, dan rakyat menyetujuinya, negara tetap tidak boleh menjualnya. Sebab, status kepemilikan umum didasarkan fakta barangnya, bukan didasarkan pada faktor yang lain, seperti persetujuan, perjanjian, dan sebagainya. Jika faktanya adalah tambang minyak, misalnya, maka statusnya adalah tetap kepemilikan umum, meskipun kita mencoba mengubah statusnya menjadi kepemilikan individu.

Jika aset yang dijual adalah milik negara, bolehkah negara menjual atau memberikannya?
Perlu dipahami lebih dulu, bahwa di samping membenarkan keberadaan kepemilikan individu dan kepemilikan umum, Islam juga membenarkan kepemilikan negara. Definisinya adalah,”Setiap harta atau aset yang di dalamnya ada hak untuk seluruh kaum muslimin dan pengaturannya berada di tangan Khalifah.” Dengan demikian, pada asalnya, kepemilikan negara dimungkinkan untuk berubah statusnya menjadi kepemilikan individu. Negara boleh menjual atau memberikannya kepada individu. Namun perlu diingat, bahwa kepemilikan negara berkaitan dengan hak kaum muslimin dimana pengaturan Khalifah terhadapnya tidak boleh menimbulkan mudharat kepada kaum muslimin. Maka dari itu, meskipun hukum asalnya mubah, tetapi penjualan negara terhadap aset miliknya –sebagaimana terjadi dalam program privatisasi– hukumnya menjadi haram, karena privatisasi telah menimbulkan berbagai kemudharatan, seperti yang telah diterangkan. Kaidah syara’ menetapkan :

Al Wasilah ilal haram haram

Segala sarana kepada keharaman, hukumnya haram pula.”

Kedua, privatisasi menyebabkan harta hanya beredar di kalangan orang kaya saja, baik perorangan maupun perusahaan. Dengan demikian, orang banyak tidak dapat memanfaatakan harta tersebut dan pada gilirannya distribusi kekayaan akan semakin timpang. Hal ini tidak dibenarkan menurut Islam, sesuai firman Allah SWT :

“…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS Al Hasyr : 7)

Memang, ayat di atas mengharamkan beredarnya harta hanya di kalangan orang kaya di antara umat Islam (aghniya’i minkum). Namun demikian, ayat itu juga berlaku untuk orang kaya di kalangan kaum kafir. Sebab, bila harta tak boleh hanya beredar di antara orang kaya muslim, maka kalau hanya beredar di antara orang kaya kafir jelas lebih tidak boleh lagi, sesuai dengan pengamalan mafhum muwafaqah dalam ilmu ushul fiqih.

Ketiga, privatisasi menimbulkan dominasi dan hegemoni kaum kafir atas kaum muslimin. Dengan privatisasi, individu atau perusahaan kapitalislah yang nantinya akan menguasai dan mengendalikan negeri-negeri Islam, baik di bidang ekonomi maupun politik. Negeri-negeri Islam akan terjerumus dalam cengkeraman imperialisme ekonomi. Hal ini diharamkan oleh Islam, Allah SWT berfirman :

“…dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mu`min.” (QS An Nisaa` : 141)

Keempat, Privatisasi merupakan perantaraan (wasilah) munculnya kemudharatan bagi kaum muslimin. Sebagaimana telah diuraikan, privatisasi akan menimbulkan pengangguran akibat PHK, memperbanyak kemiskinan akibat pengurangan gaji pegawai, menghilangkan sumber-sumber pendapatan negara, membebani  konsumen dengan harga-harga atau tarif-tarif yang melambung akibat pajak tinggi atas perusahaan terprivatisasi, menghambur-hamburkan kekayaan negara pada sektor non-produktif, menghalangi rakyat untuk memanfaatkan aset kepemilikan umum, serta memberi peluang masuknya serangan pemikiran dan budaya kapitalis atas kaum muslimin. Semua ini merupakan kemudharatan yang diharamkan keberadaannya atas kaum muslimin. Dan privatisasi yang menjadi jalan ke arah itu, haram pula hukumnya. Kaidah syara’ menetapkan :

Al Wasilah ilal haram haram

Segala sarana kepada keharaman, hukumnya haram pula.”

Penutup
Dengan uraian di atas, nyatalah bahwa privatisasi sebenarnya adalah program imperialis yang sangat jahat, yang dijalankan oleh negara-negara kapitalis untuk merampas harta kekayaan kaum muslimin dan menghancurkan perekonomian mereka.

Karena itu kaum muslimin hendaknya sadar, bahwa negara dan pemerintah kita yang mengimplementasikan program tersebut, hakikatnya berbuat hanya untuk memuaskan kaum penjajah yang kafir.  Bukan untuk memelihara dan menjaga kepentingan rakyat dan umat.

Dengan demikian, sudah sepatutnya rezim yang berkhianat seperti ini harus secepat-cepatnya ditumbangkan dan diganti dengan rezim baru yang benar-benar menjalankan fungsinya sebagai pemelihara urusan rakyat yang selalu memperhatikan, mempedulikan, dan mengedepankan kepentingan umat dan rakyat. [Ir. Sigit Purnawan Jati]
 
[Diolah dari berbagai sumber, terutama tulisan berjudul Al Khaskhashah oleh Muhammad ‘Alaan, dalam majalah Al Wa’ie (Beirut), hal.10-12, edisi no. 141, tahun ke-12, Dzulhijjah 1418 H/April 1998 M.]