Saturday, 27 April 2024, 05:28

gaulislam edisi 808/tahun ke-16 (26 Ramadhan 1444 H/ 17 April 2023)

Kalo masih ada di antara kamu yang modelnya begini: disuruh puasa ogah, eh giliran lebaran pengen banget. Ih, apa nggak malu? Idulfitri itu artinya hari berbuka, tentu bagi yang berpuasa sebulan lamanya. Saat 1 Syawal ya nggak boleh puasa, artinya harus buka. Boleh makan dan minum di siang hari. Jangan sampe puasanya kagak, lebaran pengen ngikut juga. Malu, dong. Eh, ini bukan ngata-ngatain, ya. Tapi emang gimana lagi harus disebutinnya. Kalo anak kecil sih ya biarin aja karena belum baligh. Mereka nggak puasa Ramadhan karena emang belum mukallaf alias terbebani hukum. Kalo kamu sih, udah jelas wajib puasa. Maka kalo ogah puasa, jelas berdosa. Paham, ya.

Bukan cuma kamu sih, ada banyak orang dewasa yang gagah tanpa uzur syar’i malah ogah puasa. Tempat makan di pinggir jalan aja masih tetap buka walau pakai hijab. Mungkin supaya yang makan di warung tersebut nggak malu kalo dilihatin orang lain yang lewat situ. Tapi, kenapa sama Allah Ta’ala nggak malu, ya? Nggak malu melanggar syariat, dalam hal ini nggak puasa Ramadhan. Ini tentu konteksnya kaum muslimin, ya. Kalo orang kafir nggak kita bahas di sini.

Jadi teringat salah satu ceramah Syaikh Muhammad Mutawalli asy-Syarawi, yang akhir-akhir ini videonya banyak di-share di reels instagram. Terkait pembahasan kita, ada kutipan ceramah yang menarik dari beliau, “bayangkan jika Allah Ta’ala berkata, ‘Wahai anak Adam, jika kalian meyakini bahwa Aku tidak melihat kalian, maka permasalahan berada di iman kalian. Dan jika kalian meyakini bahwa Aku melihat kalian, lantas mengapa kalian menjadikan Aku sebagai yang terendah di antara yang melihatmu?’”

Malu dilihat sama manusia ketika kamu berbuat salah, wajar. Namun, malu dilihat Allah Ta’ala saat kamu berbuat maksiat, itu lebih bagus lagi. Jangan cuma malu sama manusia, tetapi Allah Ta’ala seolah dianggap nggak ada. Bahaya kalo gitu, sih.

Lebaran tinggal menghitung hari. Saat buletin ini terbit udah tanggal 26 Ramadhan. Artinya, ya tinggal 3 hari lagi atau 4 hari lagi. Bisa dilihat saat ini, pasar padat, jalanan macet, suasana mudik mulai terasa. Lebaran sebentar lagi. Bagi yang berpuasa tentu bakalan senang banget menyambut hari kemenangan tersebut. Idulfitri. Setiap hari puasa sebagai bukti ketaatan kita kepada Allah Ta’ala. Ibadah wajib dan sunnah dijaga dan diupayakan. Masjid ramai di malam hari tersebab kaum muslimin semangat menghidupkan malam-malam Ramadhan dengan tarawih, tilawah al-Quran, dan juga kegiatan itikaf. Maka, pantas bagi orang-orang yang beriman yang berpuasa untuk menyambut lebaran. Cuma, kira-kira pantas nggak sih kalo orang yang ngakunya muslim tetapi saban hari ogah puasa, tetapi pas giliran lebaran pengen ikutan?

Iman itu menggerakkan

Sobat gaulislam, orang yang beriman pastinya akan taat. Akan melakukan perbuatan yang diperintahkan sebagai bentuk ketaatan kepada yang memerintahkan. Jadi, sebagaimana dalam al-Quran, orang yang beriman itu pasti beramal shalih. Nggak mungkin orang yang ngakunya beriman tetapi malas beramal shalih.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS al-‘Ashr [103]: 1-3)

Jadi, iman itu adalah keyakinan, ucapan, dan amalan. Itu artinya, keimanan itu membutuhkan keyakinan, ucapan, dan amalan. Maksudnya, tentu amal shalih. Ketika diperintahkan untuk berpuasa di bulan Ramadhan, orang-orang yang beriman pasti akan melakukannya sebagai bentuk keyakinan, ucapan, dan amalannya. Ngaku mukmin tapi nggak mau puasa, ya belum dikatakan mukmin sejati. Sebab, orang yang beriman (mukmin) pasti tunduk patuh pada syariat yang Allah Ta’ala tetapkan. Membenarkan, meyakini, dan melakukan amalan.

Ibnu Taimiyah menjelaskan mengenai masalah iman yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam kitab beliau al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, “Di antara pokok akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bahwa agama dan iman terdiri dari: perkataan dan amalan, perkataan hati dan lisan, amalan hati, lisan dan anggota badan. Iman itu bisa bertambah dengan melakukan ketaatan dan bisa berkurang karena maksiat.”

Perkataan di atas menunjukkan bahwa iman itu terdiri dari tiga komponen yaitu: (1) i’tiqad (keyakinan), (2) perkataan, (3) amalan.

Di antara dalil yang menunjukkan bahwa iman terdiri dari tiga rukun di atas disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Iman itu ada 70 atau 60 sekian cabang. Yang paling tinggi adalah perkataan ‘laa ilaha illallah’ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah), yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, dan sifat malu merupakan bagian dari iman.” (HR Bukhari no. 9 dan Muslim no. 35)

Perkataan ‘laa ilaha illallah’ menunjukkan bahwa iman harus dengan ucapan di lisan. Menyingkirkan duri dari jalanan menunjukkan bahwa iman harus dengan amalan anggota badan. Sedangkan sifat malu menunjukkan bahwa iman harus dengan keyakinan dalam hati, karena sifat malu itu di hati. Inilah dalil yang menunjukkan keyakinan ahlu sunnah di atas. Sehingga iman yang benar jika terdapat tiga komponen di dalamnya yaitu (1) keyakinan dalam hati, (2) ucapan di lisan, dan (3) amalan dengan anggota badan. (dalam rumaysho.com, pembahasan amalan bagian dari iman)

Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah menerangkan, “Iman yang hakiki merupakan rangkaian dari memahami syariat yang diajarkan oleh Rasul shallallahu alaihi wa sallam mempercayainya dengan penuh keyakinan, mengikrarkannya dengan lisan, tunduk patuh kepadanya dengan kecintaan dan kerendahan diri, mengamalkannya lahir dan batin, menghayatinya serta mendakwahkannya dengan semaksimal mungkin. Iman menjadi sempurna dengan cinta dan benci karena Allah, memberi dan menahan atas dasar perintah Allah, dan menjadikan-Nya sebagai satu-satunya sembahan. Adapun jalan menuju Allah adalah dengan totalitas mengikuti Sunnah Rasul-Nya lahir batin dan menjaga kalbunya agar tidak berpaling kepada selain Allah dan Rasul-Nya.” (dalam al-Fawaid, hlm. 103)

Al-Faidh bin Ishaq berkata bahwa beliau mendengar al-Fudhail bin Iyadh berkata, “Seorang hamba tidak akan menggapai hakikat iman kecuali setelah menganggap musibah sebagai nikmat, nikmat sebagai musibah, tidak peduli dengan dunia yang dinikmati dan sama sekali tidak ingin mendapatkan pujian karena ibadah kepada Allah Ta’ala yang ia kerjakan.” (dalam Hilyatul Auliya’, jilid 8, hlm. 94)

Kalo kamu nggak tergerak untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala, istighfarlah. Mohon ampun kepada-Nya. Iman itu lezat, ketaatan itu nikmat. Itu sebabnya, kalo sampe nggak merasakan lezat dan nikmatnya beriman dan bertakwa, kamu perlu berhati-hati. Barangkali hatimu ada penghalang.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Siapa yang merasa dadanya tidak lapang, tidak mendapatkan kelezatan iman dan cahaya hidayah, maka hendaklah dia memperbanyak taubat dan istighfar.” (dalam Majmu’ul-Fatawa, jilid 5, hlm. 62)

Jadi, iman itu mestinya menggerakkan. Ya, menggerakkan kita untuk beramal shalih dengan ikhlas kepada-Nya dan sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Gembira sambut lebaran

Sobat gaulislam, Idulfitri adalah hari raya kita, kaum muslimin. Kita pantas bergembira menyambutnya. Istilah kita di sini, menyebutnya lebaran. Siapa yang pantas bergembira? Tentu saja, adalah mereka yang ketaatannya bertambah, takwanya meningkat. Muslim yang berpuasa di bulan Ramadhan, tentu itu yang layak atau pantas merayakan lebaran. Sementara yang ogah puasa bahkan membencinya, ya nggak pantes aja sih kalo ikut lebaran. Namun demikian, tetap kita doakan ya, semoga di tahun depan saudara muslim kita yang sekarang ogah puasa, bisa melaksanakan dengan ikhlas dan getol. Supaya bisa kian bertambah ketaatannya usai melaksanakan puasa di bulan Ramadhan.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hari ‘Ied bukanlah bagi orang yang berpakaian baru, akan tetapi hari ‘Ied adalah bagi orang yang ketaataannya bertambah. Hari ‘Ied bukanlah bagi orang yang memperindah pakaian dan kendaraannya, akan tetapi hari ‘Ied adalah bagi mereka yang telah diampuni dosa dan kesalahannya.” (dalam Lathaaiful Ma’aarif, hlm. 277)

Pakaian yang baru untuk menyambut lebaran, boleh-boleh saja. Namun, itu bukan tujuan utama dalam merayakan Idulfitri. Sebab, hari raya itu kita peringati sebagai bentuk ketaatan kepada-Nya. Imannya bertambah, takwanya meningkat. Puasa juga udah menggembleng kita jadi pribadi yang bertakwa kepada Allah Ta’ala.

Itu sebabnya, puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga saja, tetapi harus bisa menahan diri dari syahwat dan godaan hawa nafsu. Ini insya Allah udah pada paham, ya.

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Puasa adalah ibadah yang dipersembahkan kepada Rabb semesta alam di antara amal-amal lainnya. Sebab, orang yang berpuasa tidak melakukan apa-apa. Dia hanya meninggalkan syahwat, makan, dan minum karena Allah, Dzat yang dia ibadahi. Puasa adalah meninggalkan segala kelezatan yang dicintai jiwa dalam rangka mendahulukan cinta dan ridha-Nya.

Puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Allah, tidak ada yang mengetahui kecuali Dia. Orang lain terkadang mengetahui secara lahir bahwa dia tidak melakukan pembatal-pembatal puasa. Namun, keadaannya meninggalkan makan, minum, dan syahwat karena Dzat yang dia ibadahi, maka ini adalah perkara yang tidak bisa diketahui oleh seorang pun. Inilah hakikat puasa.” (dalam Zadul Ma’ad, juz 2, hlm. 34)

Tuh, yang melaksanakan ibadah puasa saja, selama sebulan penuh, belum tentu melakukannya dengan ikhlas. Beneran. Apalagi kalo yang nggak puasa, terang-terangan pula makan dan minum di siang hari bulan Ramadhan. Sudah jelas melakukan kemaksiatan. Kalo yang melakukan puasa, masih ada harapan diterima amalan puasanya. Melaksanakan saja sudah bagian dari ketaatan kepada Allah Ta’ala, apalagi jika disertai keikhlasan.

Jadi, gimana nih bagi yang puasanya ogah, tetapi lebarannya pengen? Duh, mestinya sih malu, ya. Itu sebabnya, mumpung tersisa beberapa hari lagi di bulan Ramadhan, bertaubat dan lakukan puasa dengan ikhlas dan benar. Ikhlas karena Allah Ta’ala, benar sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semangat! [O. Solihin | IG @osolihin]