Friday, 26 April 2024, 21:53

Stasiun teve kita saat ini kebanjiran realty show. Ada yang impor macam The Apprentice, The Next American Top Model, Fear Factor dan lain-lain. Produk impor itu sebagian besar disadur menjadi versi Indonesianya –meski tak seheboh aslinya– misal Joe Millionaire Indonesia, Tantangan atau The Apprentice Indonesia.

Produk (orisinil?) lokal yang nggak kalah seru adalah realty show yang bersifat sosial. Ada Uang Kaget, Rejeki Nomplok, Toloong!, Terima Kasih, Lunas, Bedah Rumah dan Sekolahku Sahabatku. Sebagian besar program acara tersebut dibidani oleh sang kreator Helmi Yahya. Kreatif memang.

Tayangan tersebut cukup menyentuh emosional penonton, cukup bagus, menghibur dan ‘membumi’. Ini jika dibandingkan dengan realty show yang kebarat-baratan abis dan cenderung melecehkan kaum hawa seperti Joe Millionaire.

Tayangan realty show yang memasang orang-orang miskin sebagai bintang utamanya itu tak jarang mampu menguras air mata pemirsa. Bagaimana ekspresi histeris seorang pedagang kaki lima misalnya, yang tiba-tiba  mendapatkan uang 10 juta rupiah. Atau sebuah keluarga miskin yang rumahnya reyot tak kuasa menahan isak ketika didatangi tim bedah rumah. Bikin haru, sedih, trenyuh, dan akhirnya ikut gembira.

Kita berhusnuzhon, kehadiran orang-orang tak punya dalam tayangan tersebut, mudah-mudahan bukan diniatkan untuk mengekploitasi mereka. Lebih sebagai bentuk kepedulian stasiun teve (baca: sponsor) yang selama ini sarat dengan tayangan hura-hura. Mudah-mudahan memang diniatkan untuk mengangkat harkat dan martabat mereka yang kurang beruntung.

Yang perlu dijaga adalah jangan sampai gara-gara tayangan tersebut masyarakat miskin kita –yang jumlahnya puluhan juta– akhirnya terbuai mimpi dan angan-angan. ‘Kapan ya akan ketiban keberuntungan menjadi bintang teve dadakan dalam realty show tersebut?’. Mental seperti ini yang harus dijaga.

Nah, salah satu realty show yang paling menarik menurut saya adalah program  Sekolahku Sahabatku. Pada acara yang digeber tiap Selasa pukul 18.30 di stasiun SCTV ini, pembawa acaranya mengunjungi sebuah sekolah elit yang memiliki fasilitas serba ada. Lalu di hadapan siswa-siswi sekolah tersebut diputarlah ‘film’ tentang kondisi sebuah sekolah yang sangat memprihatinkan yang membutuhkan uluran tangan. Dalam sebuah episode digambarkan bagaimana sekolah tersebut temboknya sudah pada retak, atapnya pada bocor, jika hujan kebanjiran, lantai tak berauran, bangku patah dan minimnya fasilitas seperti peta, buku dan sebagainya.

Untuk lebih mendramatisir keadaan, seorang siswa dari sekolah rusak tersebut menceritakan bagaimana proses belajar mengajar dan kondisi sekolahnya itu. Setelah itu, pembawa acara menggugah siswa-siswi dari sekolah elit tersebut untuk memberikan bantuan. Secara spontan mereka pun mengumpulkan apa saja untuk disumbangkan kepada sekolah rusak dan teman-teman barunya di sekolah rusak itu. Ada yang merelakan bukunya, tempat pensil, atau bahkan uang jajan. Maklum, anak-anak orang kaya.

Selanjutnya, dengan naik bus mereka pun berkunjung langsung ke sekolah tersebut. Di sana mereka menyerahkan sumbangan, berbincang akrab dengan teman-teman barunya yang kurang beruntung itu dan bahkan membantu membereskan renovasi sekolah. Ya, sekolah rusak tersebut –dengan bantuan siswa-siswi sekolah elit maupun sponsor tentunya— lantas direnovasi dalam waktu 24 jam. Yang lebih greget, program ini juga melibatkan orang tua siswa sekolah elit serta guru-gurunya untuk ikut berpartisipasi. Jadilah setelah direnovasi sekolah rusak tersebut kini menjadi layak untuk digunakan sebagai sarana belajar mengajar.

Program ini sangat positif, sangat konkret dan menggugah kepedulian terhadap sesama. Manfaat yang dirasakan bukan hanya bagi satu-dua individual, tapi bagi kelangsungan proses belajar mengajar calon penerus generasi bangsa.

Mudah-mudahan acara ini dapat menanamkan jiwa sosial pada anak-anak yang kebetulan dilahirkan dari keluarga the have, membuka mata mereka setelah menyaksikan realitas betapa banyak anak-anak sebaya mereka yang tidak beruntung. Mudah-mudahan dengan begitu muncul rasa syukur dan kepedulian sosial yang berkelanjutan. Bukan hanya sesaat karena disyuting dan masuk teve.

Bagi pelaku bisnis, pengusaha atau siapapun yang peduli,  mudah-mudahan juga terpacu untuk memberikan kontribusi dalam program ini. Misalnya sebagai sponsor. Yang nggak kalah penting, semoga acara ini mampu menjadi ‘tamparan’ bagi penguasa. Ya, di manakah mereka saat ini hingga membuat orang-orang miskin merana dan  membiarkan sektor pendidikan terlunta-lunta? Wahai penguasa, sekali-kali tontonlah acara ini (promosi dikit GPP kan?!) [Oleh: Asri Supatmiati – Wartawati Harian RADAR BOGOR]

[Pernah dimuat di Majalah SOBAT Muda]