Tuesday, 30 December 2025, 15:26
muslim black man praying at home

Photo by Monstera Production on <a href="https://www.pexels.com/photo/muslim-black-man-praying-at-home-5996991/" rel="nofollow">Pexels.com</a>

gaulislam edisi 949/tahun ke-19 (9 Rajab 1447 H/ 29 Desember 2025)

Udah di akhir tahun aja, gimana kabar kamu semua? Makin happy atau malah makin beban? Semoga yang terbaik sesuai harapan, ya. Dan, di malam pergantian tahun umumnya dirayakan banyak orang. Malam tahun baru selalu punya pola yang sama. Jam mendekati angka dua belas, timeline mendadak ramai. Story berjejer. Ada angka mundur, ada emoji kembang api, ada caption reflektif yang ditulis sambil rebahan. Sebagian pakai backsound mellow, sebagian pakai lagu yang katanya “vibes new me”.

Di layar ponsel, hidup terlihat penuh harapan. Di balik layar, banyak yang sebenarnya cuma bingung. Tapi fakta yang menarik, dan jarang disadari: semakin ke sini, banyak remaja justru merasa tahun baru itu biasa aja. Nggak se-wow yang dulu. Nggak se-spesial yang dibayangkan. Bukan karena hidup mereka datar, tapi karena sekadar menjadi rutinitas digital.

Entah apa yang membuatnya berubah. Semoga sih soal cara pandang, ya. Maksudnya, udah nggak zaman deh ngerayain tahun baru masehi yang emang bukan dari ajaran Islam. Tapi juga mungkin karena sudah malas keluar rumah (tapi tetap merasa perlu merayakan), cukup memelototi layar ponsel. Ya, biasanya tahun baru identik dengan kumpul, rame, dan euforia fisik. Sekarang, cukup dengan sinyal stabil dan baterai penuh. Perayaan pindah ke layar. Countdown dilakukan lewat live streaming. Pelukan diganti reaction. Ucapan diganti template story. Kalo model gini sih, berarti masih sama cara pandangnya (belum sesuai Islam), hanya berubah cara merayakannya.

Hmm… setiap akhir tahun, tren yang muncul nyaris sama: video rekap setahun dalam 30 detik. Caption “terima kasih 2025, kamu berat tapi berharga” Resolusi yang diketik rapi, lalu disimpan di notes. Story “new year, new me” dengan font estetik.

Lucunya, di saat yang sama, banyak remaja juga menulis hal lain: “Tahun baru kok rasanya gitu-gitu aja, ya?” atau “Kayak cuma ganti angka.” atau yang lainnya, “Besok juga hidup lanjut lagi.”

Ini paradoks generasi sekarang. Timeline penuh refleksi, tapi hati belum tentu benar-benar berhenti menuruti hawa nafsu. Kalo ngelihat faktanya, menunjukkan satu hal penting. Apa? Remaja hari ini nggak kekurangan informasi tentang kehidupan, tapi sering kelelahan memahami dan memaknai hidup. Mereka tahu harus berubah. Mereka ingin jadi versi yang lebih baik. Tapi setiap berganti tahun (atau bahkan hari) mereka tetap tanpa panduan yang jelas: mau berubah ke arah mana, dan kenapa harus berubah. Bingung jawabnya.

Akhirnya, tahun baru jadi semacam ritual tahunan. Dirayakan, diunggah momennya, lalu dilewati. Resolusi ditulis banyak. Harapan ditumpuk tinggi. Tapi hidup tetap berjalan dengan pola yang sama. Seperti hari-harinya selama ini, flat tanpa ada perubaha ke arah kebaikan. Padahal, setiap hari juga hidup mestinya terus berubah jadi lebih baik.

Dan di sinilah pertanyaan penting yang layak diajukan, pelan-pelan: apakah masalahnya ada di tahunnya? Atau jangan-jangan, cara kita memaknai waktu yang keliru?

Resolusi cuma ritual

Sobat gaulislam, fakta paling mencolok dari perayaan tahun baru remaja beberapa tahun terakhir ini adalah perpindahan ruang. Bukan lagi soal di mana mereka merayakan, tapi di platform apa mereka muncul. Perayaan fisik mungkin berkurang, tapi perayaan digital justru meledak. TikTok penuh video rekap. Instagram dipenuhi story dengan font tipis dan warna senja. YouTube shorts berisi potongan hidup setahun yang diringkas jadi beberapa detik.

Semua ingin terlihat rapi. Semua ingin terlihat bahagia. Padahal hidup aslinya belum tentu sesederhana itu. Sebab, yang penting bukan apa yang dirasakan, tapi apa yang (harus) terlihat. Aneh banget, kan?

Oya, setiap akhir tahun, resolusi selalu lahir dengan semangat yang sama. Bahasanya pun nyaris seragam: “Lebih baik.” atau “Lebih rajin.” ada juga, “Lebih produktif.” yang lainnya nulis, “Lebih religius.”

Resolusi ditulis panjang, kadang sampai sepuluh poin. Tapi persoalannya, resolusi sering berhenti di status doang. Nggak ada aksi. Sebab, fakta yang sering terjadi: resolusi nggak pernah diturunkan jadi kebiasaan, nggak ada evaluasi di tengah jalan, nggak ada pertanyaan jujur seperti, “kenapa aku mau berubah?”

Itu artinya, resolusi berubah fungsi. Bukan sebagai peta perjalanan, tapi sebagai formalitas pergantian tahun. Dan umumnya setiap tahun juga remaja (bahkan banyak orang dewasa lainnya) melakukan hal yang sama. Sekadar ritual. Miris. Buktinya, saat resolusi gagal di bulan Februari, kamu jarang marah. Kamu cuma bilang, “ya namanya juga hidup.”

Selain itu, hedonisme nggak benar-benar hilang, hanya ganti kostum. Banyak yang mengira remaja hari ini udah meninggalkan gaya hidup hura-hura. Sebagian iya, tapi bukan berarti godaannya berkurang. Godaannya berubah bentuk. Kalo dulu hedonisme itu pesta, sekarang bisa berupa flexing liburan, pamer pencapaian, membandingkan hidup sendiri dengan highlight hidup orang lain.

So, tahun baru jadi ajang pembuktian eksistensi, “Lihat, hidup gue jalan.” atau, “Lihat, gue berkembang.” yang lainnya, “Lihat, gue gak kalah.” Intinya, nunjukkin ke orang-orang alias butuh validasi. Padahal, yang dilihat cuma potongan, yang dibandingkan cuma permukaan. FOMO bekerja diam-diam. Takut ketinggalan validasi.

Ingin berubah, tapi bingung

Sobat gaulislam, ini fakta yang jarang dibicarakan, yakni remaja hari ini sebenarnya ingin berubah, tapi sering kehabisan akal untuk nyari arah yang benar. Mereka tahu hidup nggak bisa begini terus. Mereka sadar ada yang salah. Tapi perubahan terasa berat karena nggak jelas tujuannya.

Tahun baru lalu diperlakukan seperti tombol reset. Seolah-olah dengan ganti angka, hidup otomatis ikut rapi. Padahal, hidup nggak bekerja seperti aplikasi. Nggak ada fitur ‘restart’ tanpa tanggung jawab.

Jadi, satu kesimpulan mulai terlihat jelas, yakni masalahnya bukan pada kamu yang malas berubah. Masalahnya ada pada cara kamu memaknai waktu dan perubahan. Nah, pertanyaan yang lebih dalam mulai muncul. Apa? Kalo tahun bukan ukuran utama perubahan, lalu apa sebenarnya ukuran waktu yang benar?

Mungkin ada remaja yang ingin berubah, tapi takut memulainya. Di balik story resolusi dan caption reflektif, ada satu perasaan yang sering disembunyikan rapi-rapi: bingung.

Banyak remaja sebenarnya ingin berubah. Bukan karena ikut tren, tapi karena lelah dengan pola hidup yang itu-itu saja. Lelah janji ke diri sendiri. Lelah bilang “besok” tapi besoknya selalu kalah sama kebiasaan lama. Tahun baru datang membawa harapan, tapi juga tekanan. Tekanan untuk terlihat berkembang. Tekanan untuk punya cerita. Tekanan untuk nggak tertinggal. Akhirnya, perubahan sering dimaknai secara instan.

Seolah hidup punya tombol reset yang bisa ditekan setahun sekali. Belum lagi bagi mereka yang meyakini bahwa tahun baru dianggap garis start, bukan cermin. Banyak remaja memaknai tahun baru sebagai awal mutlak. Segala kesalahan kemarin dianggap hangus. Segala kebiasaan buruk dianggap bisa ditunda urusannya. Waduh, nggak bahaya tah? Bahaya banget, dong!

Seolah mereka bilang, “Tenang, nanti mulai lagi.” atau “Sekarang nikmati dulu.” atau juga ada yang komen, “Masih ada waktu.” Padahal, hidup nggak mengenal kalender sebagai pembatas tanggung jawab. Kesalahan nggak ikut libur. Kebiasaan buruk nggak ikut cuti.

Tahun baru dijadikan garis start, padahal yang lebih dibutuhkan justru cermin. Cermin untuk melihat apa yang salah, bukan sekadar berlari lagi dengan arah yang sama. Itu namanya nggak belajar dari kesalahan.

Itu sebabnya, resolusi yang dibuat lebih sering jadi pernyataan belaka, bukan keputusan. Padahal, ada perbedaan besar antara ingin dan memutuskan. Remaja sering berhenti di posisi: ingin. Bisa karena ingin lebih baik, ingin lebih dekat dengan Allah Ta’ala, ingin hidup lebih teratur.

Cukup aneh sebenarnya, karena punya ingin tapi nggak selalu diikuti langkah or aksinya. Mereka merasa bahwa keputusan menuntut konsekuensi, dan konsekuensi sering bikin takut. Ini sih salah cara memahami dan memandangnya, ya. Akibatnya, resolusi berubah fungsi. Bukan komitmen, tapi pernyataan identitas. Bukan peta jalan, tapi pengumuman niat. Itu pun pengen dilihat sama orang. Ya, begitu memamg. Biasanya ditulis, diposting, lalu ditunggu keajaibannya. Hadeuuh…

Ditunda karena merasa berat

Sobat gaulislam, ada satu alasan kenapa banyak remaja menunda perubahan (tentu ke arah kebaikan, ya), yakni karena perubahan terasa terlalu besar. Berhenti dari satu kebiasaan buruk terasa berat. Memulai satu ibadah terasa ribet. Menjaga konsistensi terasa capek.

Maka muncullah logika aman tapi ngawur, “Nanti aja kalo udah siap.” atau “Nanti kalo hidup udah tenang.” bisa juga lainnya, “Nanti kalo iman lagi naik.” Padahal “nanti” jarang punya tanggal. Dan, belum tentu juga umurnya sampe ke sana. Niatnya kurang serius, ah.

Oya, banyak orang udah kadung mengukur hidup dengan target tahunan. Tanpa sadar, banyak remaja mengukur hidup dengan satuan tahun. Umur sekian harus sudah ini. Tahun ini harus punya itu. Tahun depan harus lebih dari sekarang.

Tapi persoalannya, ukuran ini bikin perubahan terasa jauh. Padahal hidup dijalani per hari, bukan per tahun. Ketika perubahan diletakkan di ujung tahun, hari-hari jadi dibiarkan lewat begitu aja. Sebab, merasa bahwa yang penting nanti terlihat berubah. Soal hari ini, urusan belakangan. Duh, jangan sampe begitu dong.

Itu artinya, terlihat jelas satu penyebab lainnya, yakni bukan karena remaja nggak mau berubah, tapi karena waktu dimaknai terlalu besar, terlalu jauh, dan terlalu abstrak. Jadinya bingung mau mulai dari mana dan buat apa.

Jadi, renungan penting mulai layak diajukan, yakni bagaimana kalo waktu nggak diukur dengan tahun, tapi dengan hari ke hari? Rasanya ini lebih masuk akal dan bisa kita kerjakan. Walau secara fakta, tetap sulit bagi mereka yang nggak punya niat untuk berubah menjadi lebih baik dari hari ke hari.

Kesempatan yang terus berkurang

Ya, setelah semua euforia mereda, setelah countdown selesai, dan setelah layar kembali gelap, ada satu hal yang sering luput kita pikirkan. Apa? Waktu nggak pernah benar-benar menunggu tahun baru. Ia berjalan terus. Diam-diam. Tanpa notifikasi.

Banyak orang terbiasa memberi makna besar pada pergantian tahun, seolah waktu hanya bisa dinilai saat angka di kalender berubah (sebenarnya tiap hari di kalender juga berubah angka, ya). Padahal dalam hidup yang nyata, perubahan nggak terjadi per 1 Januari. Ia terjadi setiap pagi ketika mata dibuka, dan setiap malam ketika kita memilih apa yang dibawa tidur.

Dalam Islam, waktu bukan hiasan kalender. Ia adalah amanah. Tahun hanyalah penamaan. Ia membantu kita mengingat, mencatat, dan mengukur umur. Tapi ia nggak pernah menjamin perubahan apalagi mengambil amanah. Sebab, bisa aja seseorang berganti tahun berkali-kali, tapi tetap berada di titik yang sama. Dosa yang sama. Kebiasaan yang sama. Alasan yang sama. Itu artinya, masalahnya bukan pada tahunnya, tapi pada cara kita memperlakukan waktu itu sendiri. Iya, kan?

Begini. Kita perlu introspeksi, bukan bertanya, “aku sudah umur berapa?” Tapi, “apa yang aku lakukan dengan waktu yang aku punya?”

So, kalo hidup diukur dengan tahun, perubahan terasa berat. Tapi kalo diukur dengan hari, perubahan terasa mungkin. Hari ini bisa lebih baik dari kemarin. Besok bisa lebih rapi dari hari ini. Sedikit, tapi nyata.

Islam mengajarkan perbaikan yang bertahap, bukan instan (kecuali dalam akidah, ya, harus totalitas). Bukan lonjakan besar yang cepat padam, tapi langkah kecil yang konsisten. Boleh dibilang, karena iman nggak tumbuh dengan resolusi panjang, tapi dengan kebiasaan yang dijaga.

Perbaiki arahnya

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Setiap detik yang lewat nggak akan kembali. Tapi setiap detik berikutnya masih bisa dipilih. Ini yang semestinya jadi renungan kita. Bukan perkara pergantian tahun aja, tapi juga pergantian jam dan pergantian hari. Diharapkan mulai jadi kesadaran. Dan, bukan soal berapa banyak target yang ditulis, tapi seberapa peduli kita menilai hari-hari yang sudah dilewati.

Ya, mestinya direnungkan: Apakah hari ini lebih taat? Apakah hari ini lebih bersih dari kemarin? Apakah hari ini kita meninggalkan satu kebiasaan buruk, meski kecil?

Perlu kita catat, bahwa Islam nggak membebani manusia dengan standar yang mustahil. Tapi yang diminta bukan langsung atau harus sempurna, tapi berproses. Bukan langsung berubah total, tapi yang penting nggak diam di tempat. Bukan lompat jauh, tapi terus melangkah. Sebab, setiap langkah yang diayunkan menunjukkan progres bahwa kita terus berubah dan berbenah. Sebab, orang yang rugi bukan yang jatuh, melainkan yang hari ini sama persis dengan kemarin. Kalo yang jatuh sih, namanya celaka. Artinya, hari ini lebih buruk dari hari kemarin, ya jatuh alias celaka namanya. Ngeri. Semoga nggak demikian.

Jadi bagaimana? Begini, pergantian tahun bukan momen untuk terlihat berubah secara fisik seperti yang udah dijelasin di awal tulisan ini, tapi kesempatan untuk benar-benar memperbaiki arah hidup. Memperbaiki tujuan hidup, baik di dunia maupun untuk bekal di kehidupan akhirat kelak.

Dan pertanyaannya kini bukan lagi, “resolusi apa tahun ini?”, melainkan, “hari ini mau jadi sedikit lebih baik atau tetap menunda?”

Selain itu, hidup nggak butuh terlalu banyak resolusi. Sebab, yang sering kurang justru keberanian untuk memulai dan bertahan dalam kebaikan.

Bro en Sis, kita terlalu sering menargetkan perubahan besar, lalu kecewa karena nggak sanggup menjaganya. Padahal, perubahan yang paling jujur justru sering datang dari hal kecil yang dilakukan terus-menerus. Nggak ada yang bisa langsung bagus banget, tapi proses lebih penting walau bertahap dan pelan. Dan jelas arahnya, yakni menuju kepada kebaikan.

So, terkait resolusi yang sering orang tulis di akhir tahun untuk menapaki awal tahun, nggak perlu banyak resolusi yang ditulis. Ya, daripada menulis daftar panjang yang akhirnya jadi arsip digital yang bahka nggak ditengok lagi, lebih baik satu niat yang benar-benar diusahakan. Satu dosa yang ditinggalkan. Satu kebiasaan buruk yang dikurangi (bahkan niatkan dan upayakan untuk dihentikan). Satu ibadah yang dijaga, meski sederhana. Sebab, di hadapan Allah Ta’ala, yang dinilai bukan seberapa heboh rencana kita, tapi seberapa ikhlas niat dan ikhtiar kita untuk berubah menjadi lebih baik dalam hidup kita.

Tobatnya kapan?

Nah, ini poin yang sering banyak di antara kita tunda: tobat jangan menunggu tahun berganti. Tobat nggak butuh countdown. Nggak menunggu kalender habis. Nggak menanti momen spesial. Tobat adalah keputusan hari ini. Sekarang. Di detik ini juga.

Ada perkataan dari Hatim al-Asham yang patut direnungkan. Beliau berkata, “Ketergesa-gesaan biasa dikatakan dari setan kecuali dalam lima perkara: menyajikan makanan ketika ada tamu; mengurus mayit ketika ia mati; menikahkan seorang gadis jika sudah bertemu jodohnya; melunasi utang ketika sudah jatuh tempo; segera bertaubat jika berbuat dosa.” (dalam Hilyah al-Auliya’ karya Abu Nu’aim al-Ashbahani, jilid 8, hlm. 78)

Itu sebabnya pertanyaan dalam judul tulisan ini, “Resolusi Banyak, Tobat Kapan?”, sebenarnya jawabannya sederhana tapi menghunjam (mestinya sih, ya): tobat dilakukan ketika sadar udah berbuat dosa. Langsung. Jangan ditunda dan ditambah dosa lainnya. Setiap hari bisa istighfar, mohon ampunan kepada Allah Ta’ala.

Oya, banyak orang yang menunggu kesiapan sempurna untuk bisa berbuat taat. Padahal, nggak gitu konsepnya. Intinya, jangan tunggu hidup kita rapi dan nyaman untuk bisa taat. Ya, banyak dari kita menunda kebaikan karena merasa belum siap (tapi dosa dilakuin terus tiap hari). Padahal hidup jarang sekali benar-benar rapi. Lagian, kalo ngomongin soal ajal, nggak ada yang tahu kan kapan datangnya. Kalo udah waktunya, ya kita lagi taat atau lagi maksiat ajal pasti datang. Rugi kalo sampe kita lagi berbuat buruk. Semoga kita dijauhkan dari keburukan selama hidup kita.

Abdul Haq al-Isybili rahimahullah menerangkan, “Ketauhilah, su’ul khatimah tidak akan menimpa seorang yang istiqamah secara lahirnya dan bagus batinnya. Tidak pernah terdengar ataupun diketahui yang demikian, walillahil hamdu. Umumnya, su’ul khatimah akan menimpa seorang yang rusak akidahnya atau terbiasa dengan dosa besar. Dia akan terus demikian sampai maut menjemput sebelum taubat. Kematian datang sebelum dia memperbaiki keadaannya. Ajal menghampiri sebelum dia kembali (kepada Allah). Setan berhasil memerdayanya pada waktu yang genting dan menyambarnya dalam keadaan yang mencekam. Hanya kepada Allah kita berlindung.” (dalam al-Jawabul Kafi, hlm. 391)

Beneran. Kalo mau tobat, ya buruan. Nggak menunggu kita lebih baik untuk mendekat. Justru ketaatanlah yang membersihkan dan mendekatkannya kepada Allah Ta’ala. Langkah pelan dan sedikit demi sedikit tapi ikhlas dan jujur lebih dicintai daripada perubahan besar yang cuma bertahan seminggu atau bahkan cuma bertahan sehari.

Coba kamu pikir, tahun baru akan datang lagi (kalo belum kiamat), tapi waktu kita nggak balik lagi. Nggak bisa diulang. Nggak ada jaminan juga bagi mereka yang biasa merayakannya akan selalu ikut menyambutnya, karena bisa jadi umurnya nggak sampe di akhir (atau malah di awal) tahun depan.

Itu sebabnya, mending memanfaatkan waktu kita setiap hari untuk kebaikan, jangan malah menyia-nyiakannya. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Menyia-nyiakan waktu itu lebih parah daripada kematian. Karena menyia-nyiakan waktu memutus dirimu dari Allah dan negeri akhirat, sementara kematian itu  memutus dirimu dari dunia dan penghuninya.” (dalam Kitab al-Fawaid hlm. 44)

Maka pertanyaannya bukan berapa kali kita bertemu dengan tahun baru, melainkan apa yang berubah dalam diri setiap kali waktu berlalu. Kalo tahun ini nggak banyak yang berubah, jangan putus asa. Mulailah dari hari ini. Bukan dari tahun depan. Sebab dalam ajaran Islam, orang yang beruntung bukan yang hidupnya tanpa salah, tetapi yang hari ini lebih baik dari kemarin, dan besok berusaha lebih baik lagi.  Yuk! [O. Solihin | Join WhatsApp Channel]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *