Tuesday, 24 June 2025, 02:56
support_1_orig

gaulislam edisi 922/tahun ke-18 (27 Zulhijjah 1446 H/ 23 Juni 2025)

Di zaman ketika semuanya bisa viral dalam hitungan detik, cara orang menilai pun makin instan. Cukup lihat satu video pendek, lalu simpulkan: “Wah, ini orang keren, jujur, merakyat!” atau sebaliknya, “Ih, sok alim, tapi belum tentu bener.” Ironisnya, banyak orang sekarang menilai bukan dari benar-salah menurut ilmu dan syariat, tapi dari selera pribadi: siapa yang disuka, itulah yang dibela. Meskipun yang dibelanya terang-terangan melanggar aturan agama. Misalnya, ketika ada pejabat publik yang bertato sekujur tubuh (konon kabarnya kades), sering joget dan tampil nyentrik di medsos, tapi dianggap “lebih baik” hanya karena nggak korupsi (katanya). Netizen pun ramai-ramai membandingkan dengan bilang, “Mending dia meski bertato tapi nggak korupsi, daripada yang tampang alim tapi doyan nyolong.” Kalimat ini terdengar masuk akal di permukaan, tapi jika ditelisik lebih dalam, logikanya rapuh dan menyesatkan. Kita sedang diajak memilih antara dua keburukan, seolah kebaikan yang utuh itu nggak ada. Padahal ada, dan seharusnya itu yang kita dukung. Nah, inilah salah satu contoh dari kesalahan logika dalam membandingkan, yang akan kita bahas lebih lanjut di tulisan ini.

Jelas, ini kesalahan logika dalam membandingkan. Netizen zaman sekarang kadang suka ngadi-ngadi kalo lagi membela sesuatu yang dia suka. Nggak peduli salah atau benar, yang penting cocok di hati. Akhirnya muncullah logika yang absurd tapi ramai didukung, seperti bilang, “Mending dia bertato tapi jujur, daripada yang tampangnya ustaz tapi korupsi.” Atau “Mending dia nggak pakai kerudung tapi hatinya baik, daripada yang berhijab tapi hobinya ghibahin orang.”

Hadeuuh, ini mah bukan perbandingan yang sehat, tapi kayak milih antara makan mi basi atau nasi kucing kadaluarsa. Dua-duanya nggak enak, Bro!

Cara berpikir kayak gini namanya false dilemma alias dilema palsu. Logika yang sempit, seolah-olah pilihannya cuma dua: antara orang yang maksiat tapi jujur, atau yang kelihatan shalih tapi bejat. Padahal, dunia ini nggak segelap itu, Ferguso. Masih banyak kok orang yang nggak bertato, jujur, dan amanah. Masih ada kok muslimah yang berhijab, baik hati, dan nggak doyan ghibah. Tapi kenapa mereka nggak pernah dijadiin pembanding? Nah, kan. Sengaja buat ngilangin, ya?

Kenapa logikanya harus maksiat lawan maksiat, dosa lawan dosa? Ini kayak ngebandingin maling sendal sama maling mobil. Terus dibilang, “Ya mending maling sendal dong, nggak separah itu.” Lah, kok malah pembenaran terhadap dosa?

Kalo mindset kita dibangun dari perbandingan yang salah, ya kesimpulannya pasti ngaco. Kebaikan bukanlah tentang siapa yang lebih mendingan dalam keburukan, tapi siapa yang paling dekat dengan kebenaran. Dan kebenaran itu ya nggak bisa dilihat dari satu sisi doang. Harus utuh, lengkap, dan pakai ilmu, bukan perasaan. Catet, ya.

Jadi, jangan gampang kepancing sama pembenaran yang dikemas manis. Kadang yang manis itu bukan madu, tapi sirup kadaluarsa! Mau tetap minum?

Pakai ilmu, dong!

Sobat gaulislam, masalahnya, banyak orang zaman sekarang bukan nggak bisa mikir, tapi malas mikir pakai ilmu. Lebih suka yang cepet, instan, dan sesuai selera. Jadi, kalo ada orang yang kelakuannya asik, gayanya santai, terus kelihatan “nggak sok suci”, langsung dibilang, “Nah, ini nih orang bener!” Padahal, standar kebenarannya bukan di situ, Bro en Sis. Bukan itu.

Ini bukan soal benci atau suka, tapi soal pakai ilmu atau cuma ikut hawa nafsu. Allah Ta’ala udah ngasih kita akal dan petunjuk lewat syariat, tapi kenapa yang dipakai justru perasaan? Kalo cuma ngikutin rasa doang, ya susah. Hari ini bilang “boleh”, besok bilang “nggak apa-apa juga sih”, lusa jadi “yaudah lah ya”, terus minggu depan malah niru! Buwahaya buwanget!

Contoh kalo soal perasaan, ya. Misalnya bilang, “Ah, yang penting hatinya baik.” atau, “Eh, yang penting nggak nyakitin orang.” Lain waktu, “Bener, yang penting nggak korupsi.”

Duh, sampai lupa, bahwa kebaikan itu bukan soal penting menurut kita, tapi soal wajib dan benar menurut Allah Ta’ala. Sebab, sebaik-baiknya hati itu harus tunduk pada wahyu, bukan cuma empati. Dan sebaik-baiknya perilaku adalah yang nyambung dengan iman, bukan cuma sopan. Atas dasar akidah dan syariat, bukan hanya menurut moral dan etika.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu manusia paling baik akhlaknya dan paling lurus akidahnya. Mestinya, kita sebagai umatnya juga ngikutin jejak beliau. Jadi, nggak ada tuh ceritanya kita ngebelain orang yang maksiat cuma karena ‘hatinya lembut’ atau ramein FYP, deh. Para sahabat Nabi pun dikenal karena mereka konsisten. Luar biasa akhlaknya dan luar biasa taatnya.

Jadi, kalo hari ini kita ngebela dosa hanya karena pelakunya asik terlihat di kamera, jangan-jangan kita bukan sedang pakai ilmu, tapi lagi dikendalikan hawa nafsu yang dibungkus simpati. Dan ingat, nafsu itu jago banget menyamar jadi kebaikan palsu. Waspada!

Jangan normalisasi maksiat

Nah, ini nih yang makin rawan dan nyeremin. Maksiat yang ditoleransi, lama-lama jadi tren. Bukan cuma dibiarin, tapi malah dirayakan. Umat jadi kehilangan rasa malu. Dosa yang dulu dianggap aib, sekarang jadi bahan konten. Aib yang dulu kudu ditutup-tutupi, sekarang dipamer-pamerin, lengkap dengan caption sok bijak dan filter aesthetic. Duh, aturan medsos udah jadi ukuran. Ngeri, ah!

Contohnya ya, pas lihat pejabat bertato, malah dibilang unik! Ada yang joget-joget di panggung pakai baju nyentrik, malah dikomen bahwa itu hiburan buat rakyat! Muslimah buka aurat? Gercep ngebusa bahwa yang penting hatinya nggak buka-bukaan. Pas ada cowok yang pacaran, pembelanya bilang, “Dia setia kok sama satu cewek doang.” Prettt!

Astagfirullah. Kita ini lagi di dunia nyata atau live action sinetron penuh pembenaran? Padahal kalo maksiat terus dibiarkan tampil di panggung publik tanpa kritikan, apalagi sampai dipuji-puji, itu sama aja kayak bilang ke generasi selanjutnya, “Nggak apa-apa, Nak, yang penting jangan terlalu jahat.” Lah, sejak kapan standar kita jadi ‘asal nggak jahat banget’? Ini tuh bukan kompetisi siapa paling kecil dosanya, tapi perlombaan siapa paling taat sama Allah Ta’ala.

Inilah yang disebut dengan normalisasi maksiat. Ketika dosa dianggap biasa, bahkan dibilang keren. Udah hilang kepekaannya, udah lenyap rasa malunya. Harusnya itu dinasihatin, jangan dibiarin, apalagi didukung. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim, no. 49)

Selain itu, orang yang maksiat berarti udah nggak punya rasa malu. Bebas melakukan kemaksiatan. Padahal itu pelanggaran. Umumnya orang yang waras akalnya, dia akan malu ketika melakukan suatu pelanggaran. Jadi, maraknya ucapan dan perbuatan yang menormalisasi kemaksiatan berarti udah nggak punya rasa malu lagi. Udah hilang. Jadi, dia bisa berbuat apa saja sesuka hatinya atas saran hawa nafsunya yang di-support iblis.

Takut sama Allah tuh ibarat rem buat hati kita. Biar nggak kebablasan jadi manusia yang rusak batinnya. Rasa malu sama orang lain itu kayak alarm biar penampilan luar kita nggak ngeluarin aksi-aksi memalukan yang nggak akhlakul karimah banget.

Itu sebabnya, kalo ada orang yang udah nggak punya malu, itu tanda imannya nggak ada tanda-tandanya, eh maksudnya, imannya lemah atau malah hilang.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di antara perkataan para Nabi terdahulu yang masih diketahui banyak orang pada saat ini adalah jika engkau tidak lagi memiliki rasa malu maka berbuatlah sesuka hatimu.” (HR Bukhari)

Artinya, rasa malu itu benteng iman. Tapi kalo maksiat udah dianggap lumrah, rasa malu itu rusak. Dan kalo malu udah rusak apalagi hilang, dosa jadi gaya hidup. Bahaya? Jelas! Ini kayak virus yang menyebar lewat likes dan views dalam mendukung kemaksiatan.

Dan jangan salah, ini bukan sekadar soal konten pribadi. Kalo yang tampil itu tokoh publik, pejabat, influencer, bahkan pemimpin, maka dampaknya bisa lebih luas. Mereka itu kayak papan iklan berjalan. Apa yang mereka lakukan bisa jadi legitimasi. Kalo salah langkah, maka satu bangsa bisa ikut sesat langkah. Bahaya bener.

Jadi, bukan soal kita benci atau iri. Tapi kita peduli. Jangan sampai yang haram jadi trendsetter, dan yang taat malah dianggap kaku, norak, dan nggak relate. Yuk, jaga standar kebaikan kita. Supaya generasi selanjutnya nggak tumbuh dengan logika “asal bukan yang terburuk”. Bahaya!

Kebenaran itu menyeluruh

Sobat gaulislam, sering banget orang bilang, “Hei, yang penting hatinya baik.” Oke, tapi kenapa harus dipisah-pisahin antara hati dan tampilan? Emangnya iman itu terpisah-pisah? Kebenaran dalam Islam itu satu paket komplit, Bro en Sis. Nggak bisa cuma modal inner beauty tapi outer-nya bebas, atau sebaliknya.

Contohnya, gini. Kalo kamu pesen es teh manis, terus dikasih teh doang tanpa gula, kamu pasti protes, kan? Misalnya bilang, “Mas, ini mana manisnya?” Terus si Mas jawab, “Nggak apa-apa, yang penting niatnya manis, kan?”

Hadeuh. Sama aja kayak bilang, “Ah, yang penting niatnya baik,” padahal yang dilakukan jauh dari ajaran Islam. Ya tetap salah, dong! Karena niat baik harus dibarengi cara yang benar. Selaras pula.

Sebab, dalam Islam tampilan dan isi harus sejalan. Nggak bisa cuma look good, tapi attitude-nya toxic. Dan nggak cukup juga cuma good vibes, sementara aurat ke mana-mana. Islam ngajarin kita untuk baik luar-dalam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan terbaik. Pakaian beliau rapi, akhlak beliau mulia, ibadah beliau luar biasa. Nggak ada yang setengah-setengah. Nggak ada oplosan.

Jadi, kalo ada di antara kita yang alim tampangnya dan juga baik akhlaknya, kenapa bukan itu yang dijadikan panutan? Kenapa harus ngebandingin yang buruk dengan yang lebih buruk, lalu bilang “yang ini mending”? Padahal ada yang memang benar-benar baik, tanpa tapi.

Itu artinya, logika “mendingan dia meski maksiat tapi nggak jahat” itu bukan logika Islam. Itu logika asal-asalan. Islam nggak ngajarin kita untuk memilih “yang lebih kecil dosanya”, tapi untuk meninggalkan dosa sama sekali dan berusaha mengikuti kebaikan yang menyeluruh.

Allah itu Mahasempurna. Dan Islam sebagai agama dari Allah Ta’ala juga sempurna. Maka jangan kita retakkan kesempurnaan itu dengan cara berpikir yang potong-potong. Kalo bisa utuh, kenapa harus setengah? Iya, kan?

Bro en Sis, yuk kita perbaiki cara pandang kita yang kadang kita tuh bukan nggak ngerti mana yang salah dan mana yang benar, tapi kita lebih milih yang enak di hati daripada yang tepat di syariat. Nah, ini nih yang harus diluruskan. Sebab, kebenaran itu bukan soal cocok-cocokan. Islam bukan kayak filter Instagram, yang bisa dipilih sesuai mood. Tapi Islam itu jalan hidup yang butuh iman, takwa, ilmu, dan ketundukan.

Kita nggak bisa, apalagi terus-menerus pakai standar dunia buat menilai surga. Kalo yang dinilai cuma dari “asik” dan “relate”, nanti lama-lama orang mabuk pun dibilang keren, asal humble dan suka traktir. Lah, gawat! Bener-bener gawat!

Itu sebabnya, penting banget buat kita untuk belajar agama yang lurus. Bukan sekadar nonton potongan ceramah viral, tapi beneran duduk, ngaji, baca, dan tanya sama ustaz yang amanah. Jangan cuma percaya sama komentar netizen. Netizen tuh kadang logikanya kayak jalan rusak, berkelok, curam, dan nggak jelas arahnya!

Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan ayat-ayat yang menjelaskan. Dan Allah menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (QS an-Nuur [24]: 46)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah menyatakan bahwa Dia telah menurunkan al-Quran berupa hukum, hikmah, permisalan yang jelas, dan itu banyak sekali. Ya, al-Quran itu bisa dipikirkan dan dipahami oleh orang yang mau berpikir. Itu sebabnya Allah Ta’ala katakan, ‘Dan Allah menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus’.” (Tafsir al-Quran al-‘Azhim, jilid 5, hlm. 557)

Kalo kita pengen jadi generasi yang kuat, maka pondasinya harus benar. Jangan cuma pinter ngomong, tapi juga paham dalil. Jangan cuma fasih bikin opini, tapi juga ngerti apa yang Allah ridhai. Dan yang paling penting: jangan bela dosa cuma karena pelakunya kita suka.

Soalnya, kalo kita ngebela orang yang salah, terus ngajarin orang lain buat toleransi sama maksiat, kita bukan cuma salah secara pribadi, tapi kita juga ikut nyumbang kerusakan masyarakat. Nah, loh.

Mulai sekarang, yuk bareng-bareng ganti cara pandang. Lihat segala sesuatu dari kacamata Islam, bukan kacamata standar medsos. Dan, jangan ragu buat belajar. Sebab, ilmu itu bukan cuma buat ustaz, tapi buat semua orang yang pengen hidup lurus dan selamat.

Sobat gaulislam, kita hidup di zaman yang serba cepat, tapi bukan berarti semuanya harus kita telan mentah-mentah. Apalagi soal kebenaran. Jangan sampai kita jadi generasi yang gampang silau sama tampilan luar, tapi buta terhadap makna. Jangan sampai kita memaklumi dosa, hanya karena pelakunya terlihat menyenangkan.

Kita ini umat terbaik. Tapi kok cara mikir kita kadang kayak nyari pembenaran, bukan kebenaran? Islam nggak ngajarin kita buat bilang “ya udah lah yang penting baik”, tapi ngajarin kita buat bilang “apa yang benar menurut Allah dan Rasul-Nya?”

Ingat, Allah Ta’ala nggak pernah salah. Ya, karena yang bisa salah itu kita, manusia yang kadang males belajar, gampang ikut arus, dan suka banget pake logika selera pribadi buat ngebela yang sebenarnya salah. Padahal kebaikan itu nggak harus dibayar dengan toleransi terhadap kemaksiatan. Dan menegakkan kebenaran itu bukan berarti kita jahat, tapi justru itu bentuk cinta. Benar. Cinta sama umat, cinta sama generasi, dan terutama cinta sama Allah Ta’ala.

So, yuk mulai dari diri sendiri. Luruskan cara pandang, bersihkan hati, dan rajin belajar. Jangan jadi generasi yang pintar cari alasan buat ngebenerin maksiat, tapi jadilah generasi yang berani berkata benar meski nggak populer. Sebab, yang kita kejar bukan tepuk tangan manusia, tapi ridha dari Allah Ta’ala.

Kita bisa kok jadi baik luar dan dalam. Kita bisa kok jadi keren tanpa harus maksiat. Dan kita bisa kok bikin perubahan, asal dimulai dari cara mikir yang bener.

Ayo bareng-bareng bangun generasi yang cerdas, tegas, dan lurus. Bukan generasi yang mudah kagum pada yang salah, tapi generasi yang teguh membela yang benar. Catet. [O. Solihin | Join WhatsApp Channel]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *