Friday, 29 March 2024, 06:13

gaulislam edisi 755/tahun ke-15 (10 Ramadhan 1443 H/ 11 April 2022)

Sedekah itu kudu ikhlas. Tanpa ada maksud tersembunyi, apalagi demi keuntungan pribadi. Ikhlas tanpa pamrih. Nggak boleh juga seseorang dipaksa kudu sedekah. Itu sebabnya, edukasi agar orang mau sedekah jelas diperlukan. Namun, jangan juga kemudian ‘menghipnotis’ atau bikin malu orang yang diminta sedekah. Jangan sampe merasa ‘ditodong’. Nggak baik. Eh, ini kok tiba-tiba nulis beginian? Nggak tiba-tiba sih, udah direncanain beberapa saat sebelum bikin tulisan ini.

Masih rame nih, ada ustaz yang biasa ‘minta sedekah’ kepada jamaah. Eh, kok minta? Iya. Sebab, caranya mirip nodong dan terkesan sedekah untuk dirinya atau usaha yang dikembangkannya. Udah viral sih, jadi nggak perlu disebutin atau ditulis namanya, kamu insya Allah pada tahu (kalo ngikutin berita atau info di medsos). Nah, pembahasan di edisi kali ini, fokus pada urusan sedekahnya secara umum, dan bagaimana mencontoh teladan dari sahabat nabi dalam bersedekah.

Sobat gaulislam, ngomongin urusan sedekah, seringkali ada anggapan bahwa ketika seseorang sedekah maka berlaku “matematik sedekah” yang kemudian dimaknai sebagai hitungan yang pasti yang sifatnya keuntungan duniawi semata. Contoh, ada yang memaknai bahwa kalo sedekah 1 motor berharap bakalan datang 10 motor. Sebab dijanjikannya demikian. Ada yang diminta sedekah 1 cincin, terus berharap bahwa nanti akan diganti dengan 10 cincin. Ada yang sedekah 1 juta rupiah, lalu berharap dapet sepuluh juta rupiah. Sehingga niatnya jadi ‘ternodai’, karena ada pamrih. Urusannya dunia semata. Padahal, itu amal shalih yang mestinya diniatkan karena Allah Ta’ala dan berharap keridhaan-Nya.

Namun, udah kadung dipahami bahwa demikianlah seharusnya. Sehingga jadi salah kaprah alias kesalahan yang udah dianggap biasa terkait sedekah ini.

Sedekah yang sesungguhnya

Perlu kita pahami bahwa dalam Islam, ada sedekah yang sifatnya wajib dan sunnah. Zakat dan kafarat (denda atas pelanggaran larangan) adalah sedekah yang sifatnya wajib. Selain yang disebutkan tadi, maka sedekah kategorinya sunnah yang paling afdhal (utama). Catat dulu sampe di sini.

Sedekah juga tidak terbatas pada harta, bisa dalam bentuk lain. Senyum terhadap muslim lainnya adalah juga dikategorikan sedekah, membantu dengan tenaga dan pikiran untuk kebaikan orang lain, juga dikategorikan sedekah. Jumlahnya pun tidak ditentukan. Bisa dari yang mungkin kita anggap remeh atau sedikit. Misal sedekah dengan sebiji gorengan, atau segelas air minum, atau yang disebutkan dalam hadis, dengan sebutir kurma.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang bersedekah dengan sebutir kurma hasil dari usahanya sendiri yang baik, sedangkan Allah tidak menerima kecuali yang baik saja, maka sungguh Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya lalu mengembangkannya untuk pemiliknya sebagaimana seseorang merawat anak kudanya hingga ia menjadi seperti gunung yang besar.” (HR Bukhari no. 1410 dan Muslim no. 1014)

Ini baru sedekah yang kita anggap enteng, sedikit atau kecil. Apalagi jika sedekah yang berjumlah banyak seperti untuk membangun dan memakmurkan masjid, membangun pondok pesantren, mendirikan sekolah, memberikan bantuan untuk menyelamatkan kaum muslimin di daerah bencana, atau untuk jihad di jalan Allah. Oya, perlu dicatat pula bahwa sedekah yang utama adalah kepada keluarga jika dalam hal ketaatan kepada Allah Ta’ala.

Firman-Nya (yang artinya), “Perumpamaan sedekah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan ganjaran bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Baqarah [2]: 261)

Seorang suami yang menafkahi istrinya, anak-anaknya, dan juga keluarganya pahalanya sangat besar. Dari Salman bin ‘Amir adh-Dhabbi, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sedekah kepada orang miskin hanyalah sedekah, sedangkan sedekah kepada kerabat akan mendapatkan dua ganjaran, yaitu ganjaran sedekah dan ganjaran silaturahim.” (HR Tirmidzi no. 658, Ibnu Majah no. 1844, Ibnu Khuzaimah no. 2067, 2385, Ahmad no. 17, 18, dan Ad-Darimi no. 1687, 1688. Dinilai shahih oleh al-Albani di Shahih al-Jami’ no. 3858)

Jangan berharap balasan dunia

Sobat gaulislam, perlu juga nih untuk dipahami, ya. Jangan sampai kita beramal shalih, tetapi tujuannya untuk dunia. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Celakalah hamba dinar, dirham, qathifah dan khamishah. Jika diberi, dia pun ridha. Namun jika tidak diberi, dia tidak ridha, dia akan celaka dan akan kembali binasa.” (HR Bukhari) 

Dinukil dalam laman rumaysho.com, dijelaskan bahwa qathifah adalah sejenis pakaian yang memiliki beludru. Sedangkan khamishah adalah pakaian yang berwarna hitam dan memiliki bintik-bintik merah. (I’aanatul Mustafid, 2/93)

Kenapa dinamakan hamba dinar, dirham dan pakaian yang mewah? Karena mereka yang disebutkan dalam hadits tersebut beramal untuk menggapai harta-harta tadi, bukan untuk mengharap wajah Allah. Demikianlah sehingga mereka disebut hamba dinar, dirham dan seterusnya. Adapun orang yang beramal karena ingin mengharap wajah Allah semata, mereka itulah yang disebut hamba Allah (sejati).

Di antara tanda bahwa mereka beramal untuk menggapai harta-harta tadi atau ingin menggapai dunia disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya: “Jika diberi, dia pun ridha. Namun jika tidak diberi, dia pun tidak ridha (murka), dia akan celaka dan kembali binasa”. Hal ini juga yang dikatakan kepada orang-orang munafik sebagaimana dalam firman Allah (yang artinya), “Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (QS at-Taubah [9]: 58)

Itulah tanda seseorang dalam beramal hanya ingin menggapai tujuan dunia. Jika dia diberi kenikmatan dunia, dia ridha. Namun, jika kenikmatan dunia tersebut tidak kunjung datang, dia akan murka dan marah. Dalam hatinya seraya berujar, “Sudah sebulan saya merutinkan shalat malam, namun rezeki dan usaha belum juga lancar. Sedekah banyak, tetapi mana yang dijanjikan sepuluh kali lipat itu?” Inilah tanda orang yang selalu berharap dunia dengan amalan shalihnya.

Adapun seorang mukmin, jika diberi nikmat, dia akan bersyukur. Sebaliknya, jika tidak diberi, dia pun akan selalu sabar. Karena orang mukmin, dia akan beramal bukan untuk mencapai tujuan dunia. Jadi, beramal itu kudu ikhlas karena Allah Ta’ala, bukan karena yang lain, apalagi urusan dunia semata.

Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (QS asy-Syuraa [42]: 20)

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Barangsiapa yang mencari keuntungan di akhirat, maka Kami akan menambahkan keuntungan itu baginya, yaitu Kami akan kuatkan, beri nikmat padanya karena tujuan akhirat yang dia harapkan. Kami pun akan menambahkan nikmat padanya dengan Kami balas setiap kebaikan dengan sepuluh kebaikan hingga 700 kali lipat hingga kelipatan yang begitu banyak sesuai dengan kehendak Allah. … Namun jika yang ingin dicapai adalah dunia dan dia tidak punya keinginan menggapai akhirat sama sekali, maka balasan akhirat tidak akan Allah beri dan dunia pun akan diberi sesuai dengan yang Allah kehendaki. Dan jika Allah kehendaki, dunia dan akhirat sekaligus tidak akan dia peroleh. Orang seperti ini hanya merasa senang dengan keinginannya saja, namun barangkali akhirat dan dunia akan lenyap seluruhnya dari dirinya.”

Semoga dalam bersedekah kita niatkan untuk mengharap keridhaan Allah Ta’ala semata. Bukan yang lain. Bahwa ketika bersedekah akan dibalas dengan pahala, betul. Namun, jangan menghitung dengan “matematika sedekah” seperti yang sudah dijelaskan di awal tulisan ini, yang orientasinya dunia semata.

Sebuah teladan

Sobat gaulislam, infak yang ikhlas akan memberikan nilai yang baik bagi amal shalih kita. Ada contoh yang benar-benar membuat kita seharusnya berpikir dan merenung. Kisah tentang para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar-benar beramal shalih karena terdorong janji Allah Ta’ala. Mereka ikhlas karena ingin mendapat ridha dari Allah Ta’ala.

Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat (yang artinya): “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepadaNya lah kamu dikembalikan.” (QS al-Baqarah [2]: 245). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakannya kepada para sahabat.

Tiba-tiba Abu Dahdah radhiallahu ‘anhu berdiri. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, benarkah Allah meminta pinjaman kepada kita?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, benar.” Abu Dahdah kembali berkata, “Wahai Rasulullah, apakah Dia akan mengembalikannya kepadaku dengan pengembalian yang berlipat-lipat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, benar.”

“Wahai Rasulullah, ulurkanlah kedua tangan Anda,” pinta Abu Dahdah radhiallahu ‘anhu tiba-tiba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam balik bertanya, “Untuk apa?” Lalu Abu Dahdah menjelaskan, “Aku memiliki kebun, dan tidak ada seorang pun yang memiliki kebun yang menyamai kebunku. Kebun itu akan aku pinjamkan kepada Allah.” “Engkau pasti akan mendapatkan tujuh ratus lipat kebun yang serupa, wahai Abu Dahdah,” kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Abu Dahdah mengucapkan takbir, “Allahu Akbar, Allahu Akbar!” Lantas ia segera pergi ke kebunnya. Ia mendapati istri dan anaknya sedang berada di dalam kebun itu. Saat itu anaknya sedang memegang sebutir kurma yang sedang dimakannya.

“Wahai Ummu Dahdah, wahai Ummu Dahdah! Keluarlah dari kebun itu. Cepat. Karena kita telah meminjamkan kebun itu kepada Allah!” teriak Abu Dahdah.

Istrinya paham betul maksud perkataan suaminya. Maklum, ia seorang muslimah yang dididik langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Segera ia beranjak dari posisinya. Ia keluarkan kurma yang ada di dalam mulut anaknya. “Muntahkan, muntahkan. Karena kebun ini sudah menjadi milik Allah Ta’ala. Ladang ini sudah menjadi milik Allah Ta’ala,” ujarnya kepada sang anak.

MasyaAllah! Begitulah Ummu Dahdah, seorang wanita yang begitu yakin rezeki datang dari Allah Ta’ala dan bersuamikan seorang sahabat Nabi yang begitu yakin akan janji Allah Ta’ala.

Sobat gaulislam, kisah ini (yang saya kutip dari laman dakwatuna.com) udah ngasih gambaran betapa kalo kita mengharap ridha Allah Ta’ala, materi bukan segalanya. Kekayaan dan kebun akan habis, tetapi nikmat dari Allah (karena kita akan dapetin keridhaan-Nya), insya Allah akan membawa kita kepada kemuliaan dan berlimpah pahala. Keren banget, kan? Dan, masih banyak kisah menarik lainnya tentang bersedekah yang dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya, dan para ulama sepanjang zaman. Silakan kamu bisa searching sendiri, ya.

Menyimak kisah ini, mungkin kamu  akan berkomentar, “keren abis euy”. Sdebab, kita mah kadang berlomba-lomba nyari harta buat diri kita sendiri, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dan para sahabatnya berlomba dalam memberi infak dan sedekah di jalan Allah. MasyaAllah. Tabarakallah. Yuk, mumpung di bulan Ramadhan, kita bisa mengamalkan sedekah sebanyak yang kita bisa. Tentu, ikhlas dan berharap balasan yang besar di akhirat kelak. Jadi, jangan salah niat dalam sedekah, ya. Semoga Allah Ta’ala memudahkan dan memberkahi. [O. Solihin | IG @osolihin]