Friday, 19 April 2024, 18:21

gaulislam edisi 622/tahun ke-12 (23 Muharram 1441 H/ 23 September 2019)

Lho, emang ada ya santri yang liberal? Eh, liberal itu apa sih? Waduh, kamu belum tahu istilah liberal? Kalo belum, nih penjelasan singkatnya. Liberal itu bebas. Maksudnya menggunakan asas kebebasan sebagai senjata untuk melakukan apa saja yang dimaui dan dikehendaki. Bebas dari aturan apapun, khususnya aturan agama. Termaasuk bebas menghina agama. Meski paham liberal ini mestinya menjadi musuh semua agama (dan tentu memusuhi semua agama), tapi anehnya yang kerap diserang adalah Islam dan kaum muslimin. Parahnya, justru yang menyerangnya adalah mereka yang ngaku muslim tapi berpaham liberal tadi.

Sobat gaulislam, film The Santri bikin gaduh. Ada yang pro dan banyak yang kontra, tak sedikit pula yang bikin meme kocak berupa plesetan dari judul film tersebut. Ada “Di Sentri”, pun “The Ngantri” (lengkap dengan foto para tersangka kasus korupsi yang ditetapkan KPK). Digambarkan dalam film The Santri, ada adegan lawan jenis yang saling tertarik melalui lirik-lirikan pandangan dalam suatu acara, ada jalan berdua santri cowok dan santri cewek, ada adegan santri bawa tumpeng ke gereja dan disambut para penghuni jamaah gereja. Setidaknya, kalo dilihat dari trailer-nya ya. Itu sebabnya, kemudian ditudingkan kepada pembuat film itu sebagai bagian dari proyek liberalisasi agama.

Oya, kalo di sini sih, adanya pro dan kontra justru sering jadi iklan gratis bagi sebuah produk atau jasa, tak terkecuali (mungkin) film ini. Bukannya dijauhi, biasanya masyarakat secara umum malah jadi penasaran pengen pada nonton. Begitulah. Tapi mudah-mudahan untuk kasus ini mulai pada sadar dan akhirnya boikot.

Terlepas dari kegaduhan itu, sejatinya kalo mau dilihat secara obyektif, memang betul adanya bahwa di pesantren pun, ada aja santri yang nakal, ada juga santri yang pacaran, ada juga praktek bullying, ada pula yang homoseksual, ada juga yang berpikiran sinkretis dan pluralisme. Tapi tunggu dulu, bedanya, kalo di pesantren pasti udah punya cara dalam mengantisipasi hal begituan. Jika pun kejadian, pesantren punya kebijakan yang tentu saja nggak mentolerir kejadian itu. Bisa dipulangkan santrinya, atau diberi sanksi lainnya. Tidak dibiarkan. Kalo ternyata ada fakta pesantren yang membiarkan kemaksiatan, berarti pengasuh pondoknya sudah menjadikan pesantren tersebut sebagai ajang merusak agamanya sendiri. Kalo ada lho, ya. Sejauh ini sih saya melihat nggak ada. Mudah-mudahan.

Maka, penggambaran dalam beberapa adegan di film The Santri tidak mencerminkan kehidupan santri di pondok secara umum dan malah dalam film itu terkesan dibiarkan kelakuan maksiat santrinya. Harusnya ada setting cerita yang menyatakan bahwa kejadian maksiat itu ada sanksinya, dan menyatakan itu tidak benar. Jika adegan maksiat dibiarkan begitu saja, berarti memang sengaja sedang propaganda liberalisasi agama lewat film. Tujuannya agar umat Islam bebas melakukan apapun dan jangan mempedulikan aturan agama. Bahaya tenan!

Liberal (mestinya) musuh semua agama

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Menurut ustaz saya, orang-orang di Jaringan Islam Liberal (JIL) itu bisa dikategorikan kaum munafik, lho. Sungguh ini sebuah label yang keras. Gimana nggak, sepak terjang mereka sering banget nyakitin hati umat Islam. Anehnya, mereka sendiri ngakunya masih muslim. Heran nggak sih, kalo ada orang yang menghina agama yang dianutnya sendiri, menghina sesama muslim? Jelas hal ini tak pantas dilakukan oleh seorang muslim. Benar, lebih tepatnya hal itu biasa dilakukan orang kafir, atau orang munafik.

Awalnya, paham sekularisme (memisahkan aturan agama dari aturan kehidupan), muncul saat Revolusi Perancis sebagai bentuk perlawanan rakyat terhadap kekuasaan dan doktrin gereja yang bersekongkol dengan kekuasaan. Pada peristiwa itu semboyan yang terkenal adalah, “Gantung raja terakhir dengan usus pendeta terakhir”.

Dr. Safar Al-Hawali berkata: “Revolusi itu melahirkan hasil yang sangat penting. Yaitu lahirnya pertama kali di dalam sejarah Eropa nasrani sebuah negara republik sekuler yang berfalsafat kekuasaan atas nama rakyat, dan bukan atas nama Alloh”, bebas beragama sebagai ganti doktrin katolik, kebebasan setiap orang sebagai ganti dari ikatan perilaku keagamaan dan undang-undang ciptaan manusia sebagai ganti dari ketetapan-ketetapan gereja”. Al-‘Ilmaniyah tulisan Dr. Safar Al-Hawali hlm. 178, terbitan Universitas Ummul Quro 1402 H.

Nah, yang jadi persoalan adalah kenapa paham sekularisme yang liberal itu masuk juga ke benak kaum muslimin? Orang yang ngaku cendekiawan muslim kok malah berusaha melepaskan aturan agama dari aturan kehidupan? Padahal, kalo dalam Islam, aturan agama dan aturan kehidupan (politik, ekonomi, pendidikan dsb) nggak bisa dipisah-pisah. Aturan Islam itu mencakup urusan dunia dan akhirat. Beda dengan agama lain. Meski demikian, sebenarnya liberalisme itu musuh semua agama. Cuma, memang kalo agama selain Islam sepertinya menikmati karena jadi bebas dari kungkungan doktrin agama. Tapi bagi umat Islam, bebas dari aturan agama malah jadi petaka. Urusannya bukan cuma di dunia, tapi juga di akhirat kelak. Itu sebabnya, paham liberalisme dan juga sekularisme itu wajib dilenyapkan. Bukan malah dipelajari, apalagi diamalkan. Bahaya bingit!

Sejarah singkat liberalisme

Oya, kayaknya kamu perlu tahu sedikit tentang sejarah liberalisme. Saya pernah nulis sih di gaulislam edisi 320 (hampir 6 tahun lalu). Sebagian saya kutip isinya di sini supaya inget lagi, ya.

Begini Bro en Sis, kebetulan saya punya buku Orientalis dan Diabolisme Pemikiran karya Dr Syamsuddin Arif. Dalam buku ini ditulis (di halaman 76, juga di halaman 78-79) bahwa dilihat dari asal-usulnya, istilah ‘liberalisme’ berasal dari bahasa Latin, liber, yang artinya ‘bebas’ atau ‘merdeka’. Hingga penghujung abad 18 M, istilah ini terkait erat dengan konsep manusia merdeka, baik merdeka semenjak lahir ataupun merdeka sesudah dibebaskan dari yang semula berstatus ‘budak’.

Para sejarawan Barat biasanya menunjuk moto revolusi Perancis 1789—kebebasan, kesetaraan, persaudaraan (liberte, egalite, fraternite) sebagai piagam agung (magna charta) liberalisme modern. Sebuah prinsip yang menyatakan bahwa tunduk kepada otoritas—apapun namanya—adalah bertentangan dengan hak azasi, kebebasan dan harga diri manusia. Liberalisme yang sudah dikampanyekan sejak abad 15 M oleh Locke, Hume (Inggris), Rousseau, Diderot (Perancis), Lessing dan Kant (Jerman) ini pada tahap selanjutnya menuntut kebebasan individu yang seluas-luasnya, menolak klaim pemegang otoritas Tuhan, dan menuntut penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja. Dalam catatan Dr Syamsuddin Arif, ideologi liberalisme yang kebablasan tersebut pada akhirnya menganjarkan tiga hal: pertama, kebebasan berpikir tanpa batas alias free thingking. Kedua, senantiasa meragukan dan menolak kebenaran alias sophisme. Ketiga, sikap longgar dan semena-mena dalam beragama. Lebih detilnya, silakan cek di buku tersebut yang diterbitkan Gema Insani.

Dalam literatur yang lain, sengaja saya ‘obral’ informasinya di sini supaya kamu ngeh ya. Nah, salah satunya adalah menurut Dr Adian Husaini. Apa pendapat beliau? Yup, munculnya liberalisme yang seperti itu di Barat tidak terlepas dari tiga faktor. Pertama, trauma sejarah, khususnya yang behubungan dengan dominasi agama (Kristen) di zaman pertengahan. Dalam perjalanan sejarahnya, peradaban Barat (western civilization) telah mengalami masa yang pahit, yang mereka sebut ‘zaman kegelapan’ (the dark ages). Mereka menyebutnya juga sebagai ‘zaman pertengahan’ (the medieval ages). Zaman itu dimulai ketika Imperium Romawi Barat runtuh pada tahun 476 dan mulai munculnya Gereja Kristen sebagai institusi dominan dalam masyarakat Kristen Barat. Gereja yang mengklaim sebagai institusi resmi wakil Tuhan di muka bumi melakukan hegemoni terhadap kehidupan masyarakat dan melakukan tindakan brutal yang sangat tidak manusiawi.

Kedua, problem teks Bible. Masyarakat Kristen Barat menghadapi problem otentisitas teks dengan kitabnya. Perjanjian Lama (Hebrew Bible) sampai saat ini tidak diketahui siapa penulisnya. Padahal tidak ada satu ayat pun yang menyebutkan bahwa Moses penulisnya. Sementara itu di dalam teksnya terdapat banyak kontradiksi. Demikian halnya dengan Perjanjian Baru (The New Testament). Ada dua problem terkait dengan keberadaannya, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bible yang orisinal saat ini, dan (2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini bermacam-macam, berbeda satu dengan yang lainnya. Tidak kurang dari sekitar 5000 manuskrip teks Bible dalam bahasa Greek (Yunani), yang berbeda satu dengan yang lainnya.

Ketiga, problem teologi Kristen. Sebuah kenyataan di Barat yang sulit dielakkan adalah, Tuhan menjadi sesuatu yang problem. Menjelaskan bahwa Tuhan itu 1 dalam 3, 3 dalam 1, dan menjelaskan apa sebenarnya hakikat Yesus, telah membuat seorang cendekiawan seperti Dr. C. Greonen Ofm “lelah” dan “menyerah”. Ia lalu sampai pada kesimpulan bahwa Yesus memang misterius. (Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat. Jakarta: Gema Insani, 2005, hlm. 28-51.)

Sebagai kesimpulan dari sejarah singkat liberalisme, saya kutipkan pendapatnya Dr Hamid Fahmy Zarkasyi. Menurut beliau, dari latar belakang seperti itu maka tidak heran jika kemudian masyarakat Barat cenderung beragama tanpa berkeyakinan. Dalam artian, mereka beragama Kristen tapi mereka kemudian tidak sepenuhnya meyakini doktrin-doktrin Kristen. Mereka meragukan eksistensi Tuhan yang bisa mengetahui segala sesuatu, doktrin Trinitas, dan Bible sebagai wahyu Tuhan. Akibatnya mereka menerima secara mutlak pemisahan Gereja dan Negara, dan mempercayai penuh doktrin kebebasan dan toleransi agama. Kebebasan yang juga termasuk kebebasan untuk tidak beragama dan toleransi yang sampai meyakini kebenaran agama lain atau pluralisme agama. (Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam; Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis, dan Kolonilias. Ponorogo: CIOS-ISID, 2007, hlm. 33-35.)

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Semoga kamu nggak spaneng ya baca istilah-istilah yang saya tulis di atas. Saya sih insya Allah ngerti. Cuma problem saya adalah bagaimana menyederhanakan istilah itu supaya kamu ngerti. Hehehe.. ngeles. Tetapi insya Allah bisa dipahami, kan? Ya, seharusnya bisa paham karena faktanya udah sejelas siang hari. Kita sebenarnya patut prihatin karena liberalisme juga pada akhirnya melanda kaum muslimin. Banyak kaum muslimin yang nggak percaya dengan ajaran agamanya sendiri. Tak sedikit yang jauh dari ulama, tetapi dekat dengan para penjahat pemikiran dan berteman dengan mereka yang berperilaku liar, dengan alasan kebebasan berlabel hak asasi manusia. Salah satunya, adanya media film untuk mempropagandakan liberalisme, pluralisme, dan sekularisme. Waspadalah!     

Santri liberal, ada?

Kalo dibilang ada, memang ada faktanya, kayak di film The Santri. Alumni pesantren yang akhirnya jadi pengusung liberalisme juga ada. Nggak usah disebutin nama orangnya, nanti dia ge-er. Mungkin saja mereka juga ikut mempropagandakan liberalisasi agama di film The Santri saat ini. Tapi insya Allah santri model gitu nggak banyak.

Semoga masih banyak santri yang baik dan benar. Lurus dengan akidah dan syariat Islam. Kalo ditanya, adakah santri yang pacaran seperti di film The Santri, ya ada saja. Tetapi mereka akan ngumpet-ngumpet takut ketahuan. Sebab, kalo ketahuan sanksinya jelas, berat. Bisa dikeluarkan. Kalo di film itu kan dibiarkan saja sebagai sebuah realitas. Kalo dalam kenyataannya di kehidupan pesantren, pasti akan ditegur, dinasihati, dan bahkan diberi sanksi. Itu bedanya kehidupan pondok dengan sekolah umum. Itu sebabnya, banyak yang protes pada film ini, karena nggak sesuai kenyataan. Bahkan ada yang mengatakan, bahwa pembuat film jelas sedang mempropagandakan liberalisasi agama. Hati-hati.

Terus kalo santri ada yang liberal diapain? Ya ditegur, dinasihati, dan diberi sanksi (kalo nggak jua sadar). Kalo udah jadi alumni? Nah, ini yang seringkali repot. Sebab, pihak pondok tak bisa menjangkau kegiatan mereka sepenuhnya. Fokus pondok bisa jadi hanya kepada santri, bukan alumni. So, nggak usah nyoba jadi liberal. Kalo mau coba-coba, cobalah jadi santri yang bener, yang berjuang untuk Islam. Semoga meski awalnya nyoba, akhirya jadi beneran pejuang sejati pembela Islam dan umatnya. Insya Allah. [O. Solihin | IG @osolihin]