
gaulislam edisi 920/tahun ke-18 (13 Zulhijjah 1446 H/ 9 Juni 2025)
Coba deh kita ingat-ingat. Seberapa sering kita asal ngomong, becandain temen pake kata-kata kasar, atau ngetik komen pedas di medsos cuma buat dapet like dan tawa? Padahal, yang keluar dari mulut itu nggak pernah “gratis”. Ada jejak yang ditinggalin di hati orang lain, dan di catatan malaikat. Mungkin kita nganggep itu cuma kata, cuma canda, cuma iseng. Tapi gimana kalo ternyata itu semua berbuah dosa? Gimana kalo tiap umpatan “anj*r”, “go*lok”, atau “beg*” yang keluar dari lisan kita, ada pahala yang bocor atau nguap, ada hati yang remuk, dan ada murka Allah yang diam-diam mendekat?
Kata-kata bukan sekadar suara. Kata adalah cermin dari hati, dan bisa jadi timbangan di akhirat nanti. Maka sebelum lisan jadi senjata makan tuan, yuk kita bahas lebih dalam, kenapa cara kita ngomong hari ini perlu diwaspadai dan bagaimana Islam ngajarin kita untuk menjadikan lisan sebagai sumber kebaikan, bukan celaka.
Fenomena yang bikin miris udah sering kita lihat or saksikan, bisa langsung di sekitar kita, bisa juga di medsos. Misalnya suasana istirahat di sekolah. Meja-meja didorong rapat, anak-anak ngumpul sambil ngakak bareng. Tapi tunggu dulu. Coba dengerin baik-baik.
“Gobl*k banget sih lu!”
“Anj*r, lo kayak kambing nyasar!”
“Lu sih, b*go dari lahir!”
Seremnya, ini bukan adegan sinetron atau sketsa komedi. Ini realita yang sering banget terjadi di sekolah, di tongkrongan, bahkan di kolom komentar medsos. Kata-kata kasar, hinaan, dan plesetan makian udah jadi ‘bahasa gaul’ yang dianggap lucu, akrab, bahkan keren. Dan yang lebih nyesek? Mereka yang ngomong gitu bukan cuma anak random–banyak juga dari kita, remaja Muslim. Duh, miris banget deh.
Padahal dalam Islam, apa yang keluar dari mulut tuh bukan hal sepele. Kata-kata adalah cerminan hati, dan hati yang bersih nggak mungkin gampang maki-maki. Lisan itu bagian dari akhlak, dan akhlak adalah tanda kualitas iman. Jadi kalo lisannya udah brutal, harusnya jadi alarm: “Ada yang salah, nih”.
Itu sebabnya, kita perlu banget bahas perkara ini. Karena ini bukan sekadar soal ngomong kasar. Ini soal identitas, soal adab, dan soal tanggung jawab kita sebagai remaja Muslim. Kita bukan cuma dilihat dari outfit atau postingan IG, tapi juga dari gimana kita ngobrol sama orang lain, baik secara lisan maupun tulisan di kolom komentar medsos. Iya, kan?
Kasar yang jadi budaya
Sobat gaulislam, ngomong jujur aja ya, hari gini siapa sih yang nggak pernah dengar kata “anj*ng” dipakai dalam obrolan sehari-hari? Bukan buat nyeritain hewan peliharaan, tapi dipakai buat ngatain temen sendiri. Parahnya lagi, kata itu udah dianggap “biasa”. Udah kayak sambel di nasi padang–kalo nggak ada, kurang greget katanya. Ngeri.
Nah, nama hewan yang sering dijadikan “makian” adalah: “Anj*ng!”, “Mony*t lu!”, “Dasar b*bi lo!” dan lain sebagainya dan sejenisnya.
Itu semua bukan suara dari kebun binatang, tapi suara dari tongkrongan. Serem kan? Kata-kata yang seharusnya netral (karena hewan juga ciptaan Allah Ta’ala), malah jadi alat penghinaan. Nama-nama hewan dipakai buat nyakitin, buat merendahkan orang, bahkan teman sendiri. Lucu? Nggak sama sekali. Justru ini menunjukkan betapa rusaknya cara kita memaknai kata dan memperlakukan orang lain.
Oya, ada juga bahasa kasar tapi katanya diperhalus. Emang ada? Nah, karena ada yang mulai risih dan sadar kalo ngomong kasar itu nggak oke, muncullah solusi aneh: ngeganti kata kasar dengan versi “imut-imut”. “Anj*ng” jadi “Anjir” atau “Anjay” yang katanya sih biar sopan. Padahal ya sama aja. Intinya tetep menghina, tetep kasar, cuma dibungkus kayak permen biar kelihatan lucu. Kok bisa punya ide kayak gitu?
Ibaratnya, kita nutupin bau sampah pakai parfum. Sepertinya wangi, padahal tetep busuk. Dan yang serem, versi halus ini justru lebih nempel di kepala karena sering viral, sering dijadiin bahan becandaan, bahkan muncul di lagu atau video berbagai platform media sosial.
Nah, nggak kalah ngawur adalah merendahkan harga diri teman sendiri. Misalnya nih, udah salah jawab, eh malah dikatain “gobl*k”. Nggak ngerti tugas, langsung dibilang “beg*”. Lemot dikit? “Otak udang banget, lo!” Hadeuuh… something wrong di cara berpikirnya. Parah, sih.
Malah kadang yang ngatain sambil ketawa-ketawa, dan yang dikatain cuma bisa ikut ketawa biar nggak keliatan sakit hati. Tapi dalam hati? Luka, Bro en Sis. Dalam banget. Ini udah masuk wilayah verbal bullying, cuma sering ditutupin pakai label “canda doang”. Padahal, banyak orang sebenarnya bisa bedain mana bercanda dan mana penghinaan terselubung.
Begitulah. Bercanda yang nyakitin malah jadi tren, walau jelas salah. Ya, di zaman sekarang, makin savage katanya makin keren. Tapi kenyataannya, banyak orang yang ketawa sambil nahan tangis. Banyak yang merasa direndahkan tapi nggak bisa protes karena takut dikatain “baperan”. Dan ini udah jadi budaya, saling ngata-ngatain dianggap bonding, bukan bullying. Duh, fix ada yang salah dalam cara pandang sebagian masyarakat kita.
Padahal, Islam ngajarin kita buat menghibur, bukan melukai. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu kadang bercanda, tapi bercandanya beliau nggak pernah menghina. Nggak pernah bikin orang malu. Apalagi sampai bikin orang kepikiran seminggu cuma karena satu kata. Beda banget ama kita-kita. Astaghfirullah.
Mengapa bisa terjadi?
Sobat gaulislam, fenomena lisan brutal ini nggak muncul tiba-tiba kayak iklan pop-up. Ada sebab, ada pemicunya. Dan kalo kita mau jujur, penyebabnya datang dari berbagai arah, bisa dari layar HP sampai meja makan di rumah, termasuk obrolan di circle pergaulan kita.
Beneran. Pengaruh lingkungan dan media sosial tuh cukup besar. TikTok, YouTube, dan game online hari ini udah kayak guru keempat setelah orang tua, guru sekolah, dan teman. Bedanya, guru yang ini ngajarnya 24 jam nonstop. Coba scroll FYP aja, pasti nemu konten dengan kata-kata nyeleneh, celetukan kasar, atau skenario ngatain temen yang katanya lucu padahal menghina dan merendahkan.
Influencer ngata-ngatain? Dibilangnya savage. Komentar toxic? Disebut “jujur tapi pedas”. Streamer game maki-maki? Malah dibilang seru dan real. Lama-lama, telinga kita jadi kebal. Bahkan, lidah mulai ikut-ikutan. Dari yang awalnya cuma nonton, jadi niru. Dari yang awalnya cuma ngetik, jadi ngomong. Sungguh membahayakan. Jadi, tayangan di layar hape dan sepaket dengan pergaulan di medsos, menjadi alasan pertama penyebab lost adab dalam berbicara.
Kedua, kurangnya keteladanan dalam adab berbicara. Orang bilang anak itu peniru ulung. Tapi apa yang mau ditiru kalo di rumah, yang kedengeran cuma bentak-bentakan? Di sekolah, ada juga guru yang gagal menjadi teladan. Di televisi atau podcast Youtube, publik figur lebih suka nyinyir daripada ngajarin adab.
Ya, kita hidup di zaman yang krisis panutan. Figur-figur yang mestinya ngajarin santun malah ikut jadi konten creator gaya barbar. Gimana lisan anak-anak mau jinak, kalo lingkungannya justru ngajarin liar? Kamu bisa menilai sendiri bakal kayak gimana akibatnya.
Ketiga, ini tentang salah kaprah dalam menilai keakraban. Banyak yang berpikir bahwa “kalo udah akrab, ya bebas lah ngomong apaan aja”. Jadi kalo kamu belum pernah dipanggil “anj*ng” sama sahabatmu, katanya berarti belum sah bersahabat. Wait… what?
Ini logika yang ngaco tapi banyak dipercaya. Kayak “bilang gobl*k = tandanya udah deket” atau “memaki itu bonding”, juga katanya, “kasar itu cara kita menunjukkan perhatian”. Duh, ini jelas ngawur cara berpikirnya. Ngeri, ah!
Padahal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salalm itu orang paling akrab dan hangat ke sahabat-sahabatnya. Tapi coba cari, pernah nggak beliau manggil sahabat-sahabatnya dengan ejekan? Pernah nggak beliau bercanda sambil merendahkan? Nggak ada. Karena dalam Islam, akrab itu nggak harus nyakitin. Catet.
Keempat, penyebabnya bisa karena faktor krisis adab, khususnya dalam berbicara. Betul, apa yang kita bilang pasti ada pertangggungan jawabnya. Ya, ini bagian yang paling ngeri, ketika seseorang udah merasa kata-katanya nggak punya dampak. Padahal, setiap kata yang keluar dari mulut itu tercatat. Di dunia, bisa melukai. Di akhirat, akan dihisab.
Allah Ta’ala berfirman, “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS Qaf [50]: 18)
Kita mungkin lupa apa yang kita ucapkan seminggu lalu. Tapi malaikat pencatat amal nggak pernah lupa. Dan luka di hati orang lain, bisa jauh lebih lama sembuhnya dibanding luka fisiknya.
Inilah krisis adab sesungguhnya. Ya, ketika manusia merasa bebas bicara, tanpa mikir efeknya. Ketika kita lebih takut nggak lucu daripada takut nyakitin. Ketika mulut jadi senjata yang dipakai sembarangan, tanpa sadar bisa nancep ke hati siapa pun, bahkan ke diri sendiri.
Jaga lisan, dong!
Sobat gaulislam, dalam pandangan Islam, jaga lisan itu wajib banget. Kalo dunia ini panggung drama, maka mulut adalah mikrofonnya. Suara dari dalam hati keluar lewat lisan. Dan dalam Islam, ‘mikrofon’ ini nggak bisa sembarangan dipakai. Ada aturannya. Ada etikanya. Bahkan, jelas ada hisabnya di hari akhir nanti.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau diam.” (HR Bukhari dan Muslim)
Ini bukan cuma pesan, ini peringatan. Kalo kita ngaku beriman, tapi lisan kita isinya makian, hinaan, dan sindiran tajam kayak silet, maka iman kita perlu dipertanyakan. Kadang, diam itu lebih mulia daripada ngomong tapi nyakitin. Apalagi di zaman sekarang, mulut bisa dalam bentuk jari. Chat, komen, caption, semuanya dihitung. Jadi, bukan cuma lisan di dunia nyata, “lisan digital” juga kena aturan yang sama.
Oya, Islam udah ngasih aturan bahwa ada larangan menghina dan mencela sesama muslim. Dalam pergaulan sehari-hari mungkin kamu pernah dengar juga ya, kata-kata kayak: “Beg* lu.”, “Apaan sih, tol*l amat.”, “Atuh, mony*t banget!”
Padahal Allah Ta’ala udah jelas banget berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS al-Hujuraat [49]: 11)
Ayat ini peringatan dari Allah Ta’ala. Sebab, ketika kita menghina saudara kita, kita nggak cuma bikin mereka sakit hati, tapi kita juga sedang menghapus kehormatan diri kita sendiri di sisi Allah Ta’ala.
Padahal, Islam udah ngajarin kita untuk lembut dan santun dalam berbicara. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu selain sebagai pemimpin terbaik, beliau juga komunikator paling elegan. Bicaranya lembut, kalimatnya ringkas, tapi ngena di hati. Bahkan ke orang yang nyakitin beliau pun, balasannya bukan makian, tapi doa dan senyum.
Islam ngajarin kita buat ngomong dengan adab yang baik. Maka, pilih kata yang baik. Hindari kata keji dan kasar. Sampaikan dengan tenang, nggak nyolot. Kalo pun berbeda pendapat, jangan serang pribadi, tapi serang argumennya. Jadi, kalo hari ini kita merasa keren karena bisa “ngomong pedes” atau “jawaban savage”, coba tanya diri sendiri, “Kalo ini bukan ajaran Islam, berarti ini tuntunan setan, dong?”
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Lisan itu cermin hati dan iman. Lisan itu kayak jendela. Apa yang keluar dari mulut, nunjukin isi dalam hati. Kalo hatinya bersih, maka lisannya juga jernih. Tapi kalo lisannya penuh racun, bisa jadi ada yang keruh di dalam dada. Jadi, waspadalah. Salah lisan, bisa membahayakan.
Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Gerakan anggota tubuh yang paling ringan adalah gerakan lisan, namun itu adalah yang paling membahayakan seorang hamba.” (dalam al-Jawabul Kafi, hlm. 281)
Itu sebabnya, menjaga lisan itu bukan sekadar soal sopan-santun. Ini soal keimanan. Sebab, bisa jadi satu kata yang kita ucapkan, akan mengantarkan kita ke surga. Atau karena satu kata juga, jadi sebab kita tergelincir ke neraka. Na’udzubillah.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah manusia tersungkur di neraka di atas wajah mereka atau di atas hidung mereka melainkan dengan sebab lisan mereka.” (HR at-Tirmidzi)
Oke, setelah kita bahas fakta dan betapa seriusnya masalah ini, sekarang saatnya move on ke bagian paling penting, yakni solusi. Sebab, kalo cuma bisa nyinyir tanpa nyari jalan keluar, kita cuma nambah polusi, bukan kontribusi. So, here we go–cara-cara islami buat memperbaiki cara kita ngomong.
Ayo dong, berubah jadi baik
Sobat gaulislam, yuk muhasabah alias introspeksi diri. Sadar diri, bertaubat, lalu beramal shalih. Berubah jadi lebih baik. Mulailah dari menahan diri dari ucapan yang akan disampaikan ke orang. Dipikir dulu sebelum disampaikan. Coba pause 2 detik dan tanya ke diri sendiri, “Kalo aku ngomong ini, manfaatnya apa?”, “Kalo aku diem, apakah lebih selamat?”
Mulai biasain muhasabah kecil. Misalnya, setelah ngobrol seharian, coba review, “Ada kata kasar nggak yang keucap?”, “Ada yang tersinggung karena omongan kita?”, “Udah cukup ramah belum gaya bicara kita?” Nah, insya Allah, refleksi harian kayak gini lama-lama bikin hati lebih peka dan lisan lebih terjaga.
Oya, cari juga teman yang saling jaga dalam kebaikan, bukan saling sebar keburukan. Kalo temen kita toxic dan doyan ngatain, lama-lama kita juga kebawa. Tapi kalo temen kita suka ngingetin, kalo pun ngajak becanda tapi sehat, dan peduli sama adab, itu hidden blessing yang wajib dijaga.
Itu sebabnya kalo pengen berubah jadi lebih baik, mulai deh cari circle yang ngomong sopan tapi tetep seru, mau saling negur kalo ada yang kebablasan. Kalo pun bercanda, tapi nggak bikin sakit hati. Bener. Sebab, temen yang baik itu bukan yang selalu sefrekuensi, tapi yang ngajak kita naikin frekuensi ke arah yang lebih Allah ridhai. Catet, ya!
Eh, perlu juga nih ngingetin orang-orang dewasa di sekitar kita dan mereka kudu jadi teladan dalam kebaikan. Apalagi sebagai influencer atau para konten kreator, kudu mengedukasi dalam kebaikan, khususnya dalam hal ini tentang lisan. Mengapa? Anak-anak niru, bukan nyimak ceramah. Jadi kalo orang tua ngomong sambil bentak, guru yang justru nggak jadi teladan, atau selebgram hobi ngata-ngatain, ya jangan heran kalo remaja sekarang mikir “kasar itu normal”. Iya, kan?
Nah, peran mereka yang dewasa bukan cuma nyuruh anak-anak sopan, tapi menjadi role model. Karena adab itu bukan diajarin dengan teori doang, tapi dipraktekkan dan ditularkan lewat perbuatan.
Terakhir dan paling penting, yuk kembalikan cara kita berbicara ke tuntunan al-Quran. Dalam al-Quran kita dianjurkan untuk bicara dengan qaulan ma’rufa (perkataan yang baik), qaulan layyina (lembut), qaulan karima (mulia), qaulan sadida (jelas, tepat), dan qaulan baligha (mudah dipamahi, berkesan).
Keren banget kan kalo semua anak muda Muslim bisa ngomong dengan gaya begitu? Nggak cuma adem, tapi bisa jadi syiar dakwah. Lisan kita bukan lagi sumber luka, tapi jadi sumber cahaya kebaikan.
Ya, sebab remaja keren itu bukan yang paling savage, paling cepat ngebales omongan orang, atau paling lucu dalam ngehina. Remaja keren itu yang lisannya bersih, tapi tetap bisa jadi asik, yang humornya sehat, bukan menjatuhkan, yang doanya pelan-pelan membuka pintu langit, bukan kata-katanya yang merobek hati orang. Dan perlu diingat, ada dosa di balik kata. Waspadalah!
Ayo jangan jadi generasi nyakitin, tapi generasi yang ngajak kebaikan. Bukan generasi sarkas, tapi generasi yang berkelas dengan adab. Sebab, lisanmu bisa jadi sebab Allah ridha atau justru murka. Pilih yang mana? Muslim cerdas, pasti pilih kebaikan, dong. [O. Solihin | Join WhatsApp Channel]