Saturday, 27 April 2024, 01:44

gaulislam edisi 761/tahun ke-15 (22 Syawal 1443 H/ 23 Mei 2022)

Sering banget ini diobrolin, bahkan dibahas sampe berbusa-busa. Why? Sebab, ini penting, tetapi sering pula terlupa. Idealnya memang adab mulia, ilmu tinggi. Namun, yang sering terjadi, ilmunya mumpuni tetapi adabnya minim, bahkan lost adab. Bahaya.

Belum lama rame banget netizen mengomentari video yang beredar viral di media sosial. Dalam video tersebut, terlihat sosok lelaki yang kayaknya masih usia muda yang mengenakan peci sambil merokok pula. Di hadapannya ada seorang yang sudah sepuh, dikabarkan bahwa itu adalah seorang habib. Habib terlihat sangat  menghormati anak muda tersebut dengan cara mencium tangan anak muda berpeci yang sambil merokok itu, yang konon kabarnya adalah anak dan cucu dari ulama besar. Persoalannya di mana? Pro-kontranya di mana? Netizen menganggap anak muda kurang adab.

Saya pribadi juga pertama melihat video tersebut memang nggak sreg juga. Sejak kecil saya udah diajarkan bagaimana berhadapan dengan orang yang lebih tua, yakni menghormati. Jika pun kita sendiri dari segi ilmu lebih tinggi atau strata sosial lebih bagus, tetap aja kalo kita berhadapan dengan orang tua, guru, atau siapa pun yang lebih tua usianya, kita harus menghormati mereka. Jadi, pas lihat video ini juga rasanya nggak sreg dengan perilaku anak muda tersebut (meskipun konon kabarnya) anak dan cucu dari ulama besar.

Pro dan kontra komentar para netizen bisa dimaklumi, sih. Sebab, di masyarakat kita, ada hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan tetapi dinilai baik dan ada yang dinilai kurang baik, bahkan ada pula dinilai buruk. Namun, untuk hal adab sepertinya hampir semua sepakat dalam penilaian. Tidak lagi memaklumi bahwa si fulan anak ulama atau bukan. Justru kalo dia anak ulama ya mestinya adabnya lebih bagus. Begitu kira-kira suara netizen yang berkomentar di lini masa twitter maupun facebook dan instagram.

Apa itu adab?

Sobat gaulislam, mungkin kita sering dengar ya istilah ini. Kita bisa memahami istilah ini dengan melihat faktanya langsung, tetapi secara definisi mungkin ada yang belum tahu. Misalnya di awal tulisan ini, adab kepada yang lebih tua secara usia baik itu orang tua, guru atau siapa pun yang usianya lebih tua dari kita, maka kita harus menunjukkan adab yang baik dengan cara menghormati dan beperilaku baik di hadapannya.

Orang dikatakan beradab misalnya dalam berpakaian. Tentu saja kalo ke masjid ya pakaian yang bukan saja menutup aurat, tetapi juga dianjurkan yang baik dan pas dengan kondisi tempat. Ketika berbicara dengan orang tua atau guru, juga dengan perkataan yang benar dan baik. Nggak berbohong dan nggak berusaha menutupi kebenaran. Selain itu, juga dengan menjaga agar tidak meninggikan suara atau terkesan melecehkan.

Ketika makan juga ada adabnya. Nggak boleh ambil makanan sebanyak kita suka, lalu nggak dihabiskan. Sebelum makan harus baca doa terlebih dahulu, mencuci tangan dan mengambil bagian yang terdekat dan lain sebagainya. Itu semua ada aturannya, ada adabnya.

Nah, berarti adab itu apa secara definisi? Baik, saya nukil penjelasannya dari laman republika.co.id, ya. Jadi begini, dalam bahasa Arab, kata adab merupakan bentuk kata benda dari kata kerja adaba yang berarti kesopanan, sopan santun, tata krama, moral, nilai-nilai, yang dianggap baik oleh masyarakat.

Mengutip pernyataan Abu Isma’il al-Harawi, pengarang kitab Manazil as-Sa’irin, yang dimaksud dengan adab adalah menjaga batas antara berlebihan dan meremehkan serta mengetahui bahaya pelanggaran. Keberhasilan seseorang biasanya ditentukan oleh adab yang dimiliki.

Menurut Ensiklopedia Tasawuf Imam al-Ghazali karya Luqman Junaedi, adab menurut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pendidikan tentang kebajikan yang merupakan bagian dari keimanan.

Masih di buku yang sama, al-Hujwiri berpendapat, adab merupakan keindahan dan kepatutan suatu urusan agama atau dunia. Kesemuanya itu dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Itu sebabnya, pendidikan memiliki nilai kemanusiaan yang tinggi.

Nilai-nilai ketaatan kepada Allah Ta’ala dan cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya berdasar pada pendidikan moral. Seseorang yang tidak peduli dengan pendidikan moral, ia tidak akan mampu mencapai derajat kesalihan.

Begitu Bro en Sis. Penjelasan ini semoga bisa membantu untuk memahami definisi adab secara istilah. Kalo prakteknya insya Allah kita udah terbiasa tahu.

Adab sebelum ilmu

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Ulama salaf sangat perhatian sekali pada masalah adab dan akhlak. Mereka mengarahkan murid-muridnya mempelajari adab sebelum menggeluti suatu bidang ilmu dan menemukan berbagai macam khilaf ulama. Imam Darul Hijrah, Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy, “Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”

Ibnul Mubarak rahimahullah berkata, “Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”

Ibnu Sirin rahimahullah juga berkata, “Mereka -para ulama- dahulu mempelajari petunjuk (adab) sebagaimana mereka menguasai suatu ilmu.”

Makhlad bin al-Husain berkata pada Ibnul Mubarok, “Kami lebih butuh dalam mempelajari adab daripada banyak menguasai hadits.”

Imam Malik juga pernah berkata, “Dulu ibuku menyuruhku untuk duduk bermajelis dengan Rabi’ah Ibnu Abi ‘Abdirrahman–seorang fakih di kota Madinah di masanya. Ibuku berkata, “Pelajarilah adab darinya sebelum mengambil ilmunya.” (dikutip dari laman rumaysho.com)

Jadi, kamu mesti piknik bacaan juga, ya. Jauh ke masa lalu, mencari wawasan tentang bagaimana para ulama terdahulu memperhatikan adab sebelum ilmu. Pelajaran adab bisa didapatkan dari kisah-kisah nyata para ulama. Bukan kisah khayalan.

Kamu perlu tahu bahwa Imam Abu Hanifah lebih senang mempelajari kisah-kisah para ulama dibanding menguasai bab fiqih. Karena dari situ beliau banyak mempelajari adab, itulah yang kurang dari kita saat ini. Imam Abu Hanifah berkata, “Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlaq luhur mereka.” (al-Madkhal, jilid 1, hlm 164)

Di antara yang mesti kita perhatikan adalah dalam hal pembicaraan, yaitu menjaga lisan. Luruskanlah lisan kita untuk berkata yang baik, santun dan bermanfaat. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata, “Siapa yang menghitung-hitung perkataannya dibanding amalnya, tentu ia akan sedikit bicara kecuali dalam hal yang bermanfaat” Kata Ibnu Rajab, “Benarlah kata beliau. Kebanyakan manusia tidak menghitung perkataannya dari amalannya” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, jilid 1, hlm. 291)

Memang sih, manusia nggak ada yang sempurna, dalam artian ilmunya tinggi dan adabnya atau akhlaknya mulia. Apalagi di zaman sekarang di era kemunduran umat Islam. Namun demikian, bukan berarti kita pasrah alias hopeless nggak mau berbuat sesuatu agar memiliki adab yang mulia. Nggak gitu juga, lah. Kita tetap berusaha untuk mendapatkan keutamaan memiliki adab mulia. Meski di tengah kehidupan yang nggak islami. Tertatih-tatih untuk mendapatkannya, berpayah-payah dalam meraihnya. Nggak apa-apa, yang penting udah berusaha dengan niat ikhlas menggapai ridha Allah Ta’ala dan berusaha semaksimal yang bisa kita upayakan untuk mendapatkan kemuliaan adab. Berproses. Sebab, sulit banget kalo langsung mantep.

Waktu kecil saya pernah diajarkan sama ibu saya, bahwa berbuat baik itu harus menjadi tujuan kita dalam bergaul dengan orang lain. Meski nantinya orang tak melakukan kebaikan kepada kita, tetap aja kita berbuat baik. Berat sih bagi saya. Apalagi masih anak-anak. Namun, pelan-pelan menyadarkan saya dan membentuk karakter saya agar tetap berbuat baik kepada teman bergaul. Jika mencari teman baik itu sulit, setidaknya saya berusaha terlebih dahulu untuk menjadi teman yang baik bagi teman saya.

Pengalaman waktu kecil, kalo saya bertengkar dengan teman saya, lalu saya mengadu ke ibu saya, justru ibu saya malah memarahi saya. Why? Sebab, ibu saya nggak suka anaknya jadi manja dengan cara mengadukan masalah kepada orang lain, termasuk orang tua. Ibu saya mengajarkan, hadapi saja sendiri, selesaikan sendiri masalah saya dengan teman saya. Kalo nggak mau repot, ya jadilah orang yang baik. Jangan orang yang suka cari masalah, apalagi dengan teman sepergaulan. Bagi saya pribadi, ini adalah pelajaran mahal tentang bagaimana kita bersikap kepada teman. Mungkin dalam pembahasan sekarang, kita perlu punya adab dalam bergaul dengan teman kita.

Jangan lupa berdoa

Sobat gaulislam, menutup obrolan di edisi kali ini, karena masalah adab ini penting dan kita berusaha untuk meraih adab yang baik dan mulia, maka jangan lupakan doa kepada Allah Ta’ala agar diberikan kemudahan untuk mendapatkannya. Kita ini manusia. Lemah dan terbatas kemampuannya. Maka, berharap dan berdoa adalah bagian penting untuk membersamai ikhtiar kita.

Dari Ziyad bin ‘Ilaqah dari pamannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca doa, “Allahumma inni a’udzu bika min munkarotil akhlaaqi wal a’maali wal ahwaa’ [artinya: Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari akhlaq, amal dan hawa nafsu yang mungkar].” (HR Tirmidzi no. 3591, shahih)

Doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lainnya, “Allahummahdinii li ahsanil akhlaaqi laa yahdi li-ahsanihaa illa anta, washrif ‘anni sayyi-ahaa, laa yashrif ‘anni sayyi-ahaa illa anta [artinya: Ya Allah, tunjukilah padaku akhlak yang baik, tidak ada yang dapat menunjukinya kecuali Engkau. Dan palingkanlah kejelekan akhlak dariku, tidak ada yang memalinggkannya kecuali Engkau].” (HR Muslim no. 771, dari ‘Ali bin Abi Thalib)

Oya, sedikit aja saya menyampaikan penilaian dari seorang teman di media sosial yang mengomentari viralnya video yang terkait contoh di awal tulisan ini. Komentar teman saya ini bagus juga. Saya kutip langsung aja, ya. Sesuai dengan apa yang ditulisnya, terutama di paragraf terakhir dari beberapa paragraf yang memuat komentarnya: “Saya tidak tertarik ikut mempermasalahkan. Hanya sempat mengerutkan dahi. Tidak sreg. Sebab tanpa mempermasalahkan pun tidak ada ruginya bagi saya. Hanya saja dalam hati kecil saya kasihan dengan Gus Thuba. Ia seperti terbiasa dengan kondisi itu. Kondisi seperti anak-anak. Disayang dan dimanja. Khawatir terbawa menjadi pembenaran bahwa di setiap tempat bisa berlaku seperti itu. Menjadi sosok yang, secara adat, tidak bisa menjadi teladan. Melainkan menjadi sosok yang hanya siap menerima kasih sayang dan istimewanya perlakuan.”

Ada benarnya juga. Oke deh. Intinya, tunjukkan adab dan akhlak mulia dalam pergaulan kita. Jika harus memilih, pengennya sih adab mulia, ilmu juga istimewa. Namun, jika itu tak mungkin, maka fokus pada mengutamakan adab. Setuju, ya. [O. Solihin | IG @osolihin]