gaulislam edisi 884/tahun ke-17 (26 Rabiul Awal 1446 H/ 30 September 2024)
Politik itu ibarat sayur lodeh, begitu kata orang yang suka sayur lodeh. Bagi yang suka sayur lain, ya silakan dibuat perumpamaannya sendiri. Kamu tahu sayur lodeh? Jadi dalam pengibaratan sayur lodeh ini, di luar kelihatannya sederhana, campur-campur, tapi coba deh masuk lebih dalam, semua bahan ada perannya. Nah, masalahnya, banyak anak muda yang sering merasa jadi ‘terong’ di lodeh politik ini: cuma pelengkap, tapi nggak benar-benar di-notice. Padahal, kalo tanpa terong, rasanya pasti kurang gurih! Artinya, anak muda sebenarnya punya tempat istimewa di mangkuk besar politik Indonesia. Itu sebabnya, ada juga anak muda yang belum cukup umur sesuai peraturan undang-undang tapi udah kebelet (eh, karena disuruh bapaknya?) pengen jadi pemimpin di negeri ini, jabatan sebagai pejabat tinggi negara pula yang diincernya.
Di sisi lain, banyak dari para remaja yang merasa alergi sama politik. Alasan standarnya, “Politik itu kotor”, atau “Terlalu ribet”, atau “Bukan urusan gue”. Hmm, mari kita ungkap rahasianya. Apa tuh? Ya, politik bukan cuma debat berjam-jam di TV sambil tunjuk-tunjuk hidung, bukan juga kumpulan om-om berdasi yang senang bikin janji-janji ala sales produk perawatan rambut. Politik adalah kita! Politik ada di setiap keputusan yang kita buat, dari memilih kafe mana yang asyik buat nongkrong, sampai demo yang ramai-ramai kita ikuti buat nyuarain isu lingkungan atau hukum dan segala bentuk aspek kehidupan.
Sobat gaulislam, anak muda tuh punya energi, punya kreativitas, punya banyak ide liar yang nggak ada di kepala para politisi tua. Jangan salah, semangat demonstrasi, aksi protes, bahkan meme-meme di media sosial itu bisa lebih menggerakkan massa daripada pidato formal ala pemilu. Siapa lagi yang bakal ngubah politik jadi lebih relatable kalau bukan anak muda? Kan nggak mungkin nunggu Pak RT tiba-tiba main TikTok buat ngejelasin undang-undang. Eh, tapi siapa tahu di RT lain ada, ya.
Sebagaimana yang udah disinggung sedikit di awal tulisan ini, bahwa dunia politik di zaman now sebenarnya sudah mulai ‘melirik’ anak muda. Lihat aja, ada partai yang sekarang dipimpin anak muda, lalu bernafsu bikin program yang kedengerannya keren (walaupun kadang cuma gimmick kayak Kang Pisang yang satu itu). Intinya, mereka sadar, anak muda pun bisa menjadi kekuatan. Kalau anak muda bersatu, satu suara (tapi suara yang benar dan adil), mereka panik. Mau bukti? Coba ingat gerakan #ReformasiDikorupsi yang bikin petinggi-petinggi negeri gelisah dan akhirnya mengubah kebijakan.
So, masih ngerasa politik itu bukan urusan anak muda? Nggak asyik? Nggak gaul? Coba deh kita pikir lagi. Anak muda dan politik itu ibarat kopi susu, yakni dua hal yang kalau digabung, rasanya lebih mantap. Perlu dicatat bahwa kita nggak perlu masuk ke dunia politik dengan cara masuk partai atau terlibat secara langsung alias politik praktis. Nggak gitu juga. Mengkritisi kebijakan negara juga bagian dari aktivitas politik, lho. Bikinlah dengan cara kita, gaya kita, dan suara kita sendiri. Toh, siapa yang bilang ngomong politik harus selalu serius? Kadang, politik butuh sedikit tawa, campur tipis-tipis dengan meme, dan banyak sekali keberanian dari anak muda yang menyuarakan pendapat lewat karya. Sekarang udah banyak tuh video-video yang dibuat Gen Z yang mengkritisi kebijakan pejabat dan kroni-kroninya. Seru.
Kotor dan bohong
Politik dalam sistem sekuler itu kalau dibikin jadi serial TV, mungkin bisa bikin Game of Thrones kelihatan kayak acara anak-anak. Ada drama, ada pengkhianatan, dan tentu saja ada banyak bohong-bohong manisnya. Kalau kamu masih mikir politik itu cuma soal debat kusir di TV atau kampanye dengan spanduk segede dinosaurus, well, welcome to the dark side—politik kotor itu lebih kayak plot twist dari sinetron paling panjang!
Kamu udah sering denger kan bahwa para politisi itu suka bohong? Kalau disederhanakan, ini mirip dengan janji pacar yang bilang, “Aku nggak akan lupa tanggal jadian kita, kok”. Eh, pas tanggalnya tiba, dia malah ngajak nonton bola bareng teman-temannya. Nah, politisi juga begitu. Mereka bilang, “Kami akan memberantas korupsi!” atau “Kami peduli sama rakyat kecil!”, tapi ujung-ujungnya mereka sibuk bikin rapat khusus buat nambah gaji sendiri atau jalan-jalan ke luar negeri dengan alasan ‘kunker’ alias kunjungan kerja (padahal mungkin lebih banyak foto-foto di destinasi wisata daripada urus negara). Hayo, kamu ketahuan!
Ada yang bilang bahwa di dunia politik istilah bohong itu bisa dikategorikan jadi dua jenis. Pertama, bohong yang sudah diduga, alias janji-janji manis pas kampanye. Ini seperti ketika politisi bilang, “Dalam 100 hari kerja, kami akan menyelesaikan semua masalah bangsa!” Wah, kalau denger yang begini, sebaiknya kita siapkan cemilan, karena masalah bangsa nggak bisa kelar dalam 100 hari, apalagi kalau mereka sibuk potong pita di peresmian proyek-proyek yang entah kapan selesai, dan kini kata beberapa pengamat, mulai tercium aroma “bangkai gajah” di proyek IKN.
Jenis kedua, bohong yang lebih licik, yakni bohong yang terbungkus kata-kata yang terdengar indah di telinga. “Kami akan berjuang untuk kesejahteraan rakyat!” Terdengar heroik, kan? Padahal, di balik kata ‘kesejahteraan’, ada upaya mensejahterakan keluarga pejabat dan para oligarki penyokong rezim yang anggarannya lebih besar dari biaya hidup warga desa selama setahun. Belum lagi kalau kita bicara soal politik uang—itu yang suka muncul pas pemilu. Politisi datang bagikan sembako, amplop, dan hanya karena rakyat sudah kebal dengan janji-janji kosong.
Sobat gaulislam, politik kotor juga ibarat pembersih wajah yang janji bisa menghilangkan semua jerawat dalam semalam—tapi yang ada, malah bikin muka makin berminyak atau malah rusak karena membersihkannya pake amplas besi. Semua teori, program, dan kebijakan yang dibuat dengan dalih demi rakyat, kadang hanya jadi alasan untuk menambah pundi-pundi pribadi. Rakyat dijadikan slogan, tapi yang menikmati hanya segelintir pejabat dan para oligarki.
Lucunya, para politisi ini sering kali merasa pintar dan licin. Mereka pikir rakyat itu lupa atau gampang dibodohi. Padahal, rakyat diam bukan karena nggak tahu, tapi karena capek ngeladenin kebohongan mereka. Namun, seperti pepatah mengatakan, “Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga.” Dan kadang, jatuhnya ke jeruji besi setelah dicokok KPK. Eh, tapi KPK sekarang di bawah kendali presiden, ya? Soalnya keluarganya yang dapat gratifikasi nggak disentuh hukum. Hadeuuh!
Jadi, di tengah drama politik yang kotor ini, ada satu hal yang perlu kita ingat: jangan pernah ambil popcorn terlalu cepat. Plot twist politik itu nggak ada habisnya, dan bohong-bohong para politisi? Well, itu adalah bagian dari skenario besar yang selalu bikin kita tepuk jidat. Buktinya, pemburuan terhadap pemilik akun fufufafa aja nggak juga berhasil. Coba kalo terduga pemiliknya itu bukan anak presiden, pasti aparat penegak hukum sudah sat set meringkus pemiliknya. Jadi, kayak pada pura-pura bego, gitu.
Aturan jadi hiasan dinding
Politikus yang melanggar aturan itu seperti orang yang main sepak bola, tapi tangan ikut main (selain kiper tentunya). Semua tahu aturannya, tapi mereka tetap ngotot: “Ah, yang penting gol, kan?” Nah, di dunia politik, ada juga yang mikir kayak gitu: “Yang penting menang dapatin jabatan!” Cuma bedanya, yang ketipu bukan wasit, tapi rakyat.
Kita sering dengar cerita politisi yang katanya bakal jadi pahlawan, tapi begitu naik jabatan, malah asik main di belakang layar. Aturan-aturan yang sudah dibuat? Ah, itu buat pajangan aja, kayak piagam penghargaan di ruang tamu. Dari mulai suap, nepotisme, sampai bikin proyek fiktif yang nggak jelas ujungnya. Politisi seperti ini bak ninja: licin, nggak kelihatan, dan tiba-tiba uang negara ‘menghilang’ begitu saja. Kalau ketahuan? Tinggal pasang senyum sok lugu, bilang, “Ini cuma salah paham”. Ah, Classic.
Belum lagi kalo bicara soal cacat moral. Ini level berikutnya. Pelanggaran aturan mungkin masih bisa kita tangani dengan hukum, tapi kalau sudah soal moral? Wah, berat. Politikus yang cacat moral itu ibarat pesulap: mereka pandai mengubah fakta jadi opini, kebohongan jadi visi, dan prinsip jadi fleksibel. Di depan publik, mereka seperti orang suci, seolah-olah bangun tidur langsung baca kitab suci, tapi di belakang layar, wah… mereka bisa jadi tokoh antagonis di film.
Contoh paling klasik? Mereka teriak keras soal taat konstitusi, tapi pas anak presiden yang nggak taat konsistensi, mendadak para pendukungnya (atau begundalnya?) jadi pemain catur yang lihai memikirkan langkah berikutnya. Atau yang teriak-teriak soal moral keluarga, tapi ketahuan selingkuh. Lucunya, mereka punya seribu alasan: “Ini jebakan politik!” atau “Ini fitnah keji!” Kita jadi berpikir, mungkin mereka cocok bikin drama, karena aktingnya udah jago banget.
Para politikus mestinya berpegang pada aturan, bukan sekadar pura-pura ngerti aturan. Dia itu ibarat pemain sepak bola yang selalu fair play, nggak nyikut lawan, nggak pura-pura jatuh minta penalti. Mestinya para politisi itu sadar kalau jabatan itu amanah, bukan karpet merah menuju kekayaan pribadi. Kalau ditanya soal kebijakan, mereka kasih solusi nyata, bukan retorika kosong yang isinya janji-janji palsu kayak brosur diskon oknum pengelola toko online yang sering curang.
Politikus sejati itu kayak tukang bangunan yang bagus dan terampil. Nggak usah banyak omong, tapi hasil kerjanya oke. Dia nggak takut kotor kena debu (alias kerja keras), tapi juga nggak bakal rela bangun fondasi yang miring. Kalau ada masalah, diselesaikan, bukan ditutup-tutupi. Dan yang paling penting, mereka nggak ngaku-ngaku hebat kalau nggak ada buktinya.
Idealnya, politisi itu bukan aktor yang pinter baca naskah atau berdiri di panggung sambil ngumbar janji. Politisi yang benar adalah yang bisa bikin kita, rakyat, tidur nyenyak karena tahu negara ini diurus dengan benar. Jadi, kapan ya kita bisa lihat lebih banyak politikus yang main jujur, bukan yang cuma cari panggung? Ah, semoga nggak cuma jadi mimpi! Eh, tapi faktanya selama kita hidup dalam negara yang menerapkan sistem Kapitalisme, rasa-rasanya masih jauh dari kata adil dan ideal.
Remaja peduli politik
Muhammad Muhammad Ismail dalam kitab al-Fikru al-Islamiy menyebutkan bahwa kesadaran politik (wa’yu siyasi) haruslah terdiri dari dua unsur. Pertama, kesadaran itu haruslah bersifat universal atau mendunia (internasional). Bukan kesadaran yang bersifat lokal semata. Kedua, kesadaran politik yang dimiliki harus berdasarkan sudut pandang yang khas (zawiyatun khashshah).
Kesadaran politik yang kita miliki kudu bisa melanglang buana. Artinya, kita kudu ngeh dengan urusan or peritiwa yang berkembang di belahan dunia lain. Sewaktu kaum muslimin masih berada di Mekkah dan belum memiliki kekuasaan, Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam membuat semacam ‘prediksi’ untuk peperangan antara Romawi dan Persia yang berada jauh dari Mekkah. Padahal, saat itu siapa pun yang memenangkan perang nggak bakal menguntungkan kaum muslimin yang tertindas di Mekkah.
Nah, ini membuktikan bahwa Abu Bakar radhiallahu ‘anhu memiliki kesadaran politik yang cukup tinggi. Tuh kan, Islam memang mampu mencerahkan pemikiran manusia. Jadi, kudu bangga dong menyandang predikat muslim? Siap!
Sobat gaulislam, sudut pandang yang kudu dimiliki juga harus berdasarkan Islam. Nggak boleh ideologi lain. Meski demikian tetap objektif, dong. Maksudnya jeli dalam ‘membaca’ peristiwa yang terjadi. Ketelitian dan keakuratan memahami peristiwa politik, mutlak harus kamu miliki.
Oya, kalo sekarang sepertinya nyaris nggak ada mahasiswa atau masyarakat yang demo menentang para pejabat korup dan praktik politik dinasti, kita kudu menyikapi dengan kesadaran politik yang oke. Jangan sampe kita memandang sepintas aja. Yakinlah bahwa ini buah dari diterapkannya sistem kapitalisme. Bisa jadi para mahasiswa dan masyarakat udah diancam supaya bungkam. Kalo bersuara protes akan dipermasalahkan. Nah, kalo nanti ada yang mau demo soal ini, minta negara supaya mengganti sistem kapitalisme dengan Islam.
Oke deh, jangan bengong aja. Sekarang berkemas untuk belajar. Perdalam ajaran Islam, dan tingkatkan terus kesadaran politik kamu. Belajar Islam kaaffah, ya. Supaya apa? Supaya kamu ngertinya mantap.
Oya, target sadar politik selain paham Islam secara kaaffah, juga supaya nggak gampang dikibulin para politisi busuk yang biasanya mendadak baik sama umat Islam kalo lagi ada maunya atau mereka yang bermanuver melakukan bekerjasama dengan musuh seolah-olah mewakili umat Islam. Jangan sampe tertipu, ya. Jadi, yuk memahami Islam bukan sebatas agama, tetapi juga sebagai ideologi. So, remaja sadar politik itu perlu banget! [O. Solihin | TikTok @osolihin_]