
gaulislam edisi 928/tahun ke-18 (10 Safar 1447 H/ 4 Agustus 2025)
Gaza dibombardir. Dunia diem. Kita? Masih ada yang mikirin diskonan skincare sama notif dari crush yang nggak kunjung bales. Ya, setiap hari, kaum muslimin di Gaza diserang tanpa ampun. Rumah-rumah runtuh, anak-anak kehilangan orang tua, dan masjid berubah jadi puing. Tapi ajaibnya, iman mereka nggak ikut hancur. Kaum muslimin Gaza terus berjuang, bukan karena mereka punya senjata canggih, tapi karena mereka punya tauhid yang teguh.
Sementara itu, warga dunia sibuk dengan urusannya masing-masing. Negara-negara besar debat di forum, lalu pulang makan malam seperti biasa. Organisasi internasional cuma bisa bilang, “Kami prihatin.” Lah, Gaza udah luluh lantak, tapi yang dikasih cuma kalimat pasif?
Tulisan ini bukan buat bikin kamu sedih-sedihan doang. Tapi buat bikin kamu sadar, peduli, dan gerak. Karena selama Gaza terus bertahan, kita nggak boleh jadi hamba yang pasrah dan lelah cuma karena hidup nggak sesuai ekspektasi.
Ya, di tulisan ini, kita bakal bahas Gaza dengan cara yang nggak ngebosenin. Kita bakal ngelihat realitanya, mikir bareng, sambil ngebawa nilai-nilai Islam biar hati kita nggak makin kering. Karena semoga saja, ketika kita peduli, Allah Ta’ala juga lebih peduli sama hidup kita.
Kurang peduli?
Sobat gaulislam, mungkin kamu pernah scroll TikTok atau Instagram, terus nemu video reruntuhan bangunan, anak kecil nangis, dan suara sirene meraung-raung di latar belakang. Judulnya: “Situasi Terbaru di Gaza.” Terus kamu nonton 5 detik, lalu skip. Lanjut scroll ke video kucing nyanyi atau drama Korea potong-potong yang ending-nya digantungin.
Sekadar introspeksi aja, banyak dari kita yang udah kebal sama berita sedih. Saking seringnya lihat, jadi kayak “Oh, Gaza lagi ya, kasihan sih… btw, hari ini diskonan nggak, ya?” (langsung belok topik)
Ini bukan mau nyalahin kamu (atau kita). Tapi mau ngajak: coba pause sebentar. Kita tarik nafas, tarik layar ke atas, dan tarik perhatian kita ke satu fakta penting. Ya, di saat kamu baca ini, ada anak-anak seusia adik kamu, atau bahkan kamu sendiri, yang lagi kehilangan rumah, orang tua, bahkan harapan hidup.
Kita di sini ribut karena sinyal lemot, mereka di sana diam karena bom meledak. Kita panik karena tugas belum dikumpulin, mereka panik karena rudal udah keburu nyampe. Kita galau karena bastie nggak bales chat, mereka galau karena dunia nggak bales jeritan mereka.
Gaza itu bukan sekadar headline. Bukan cuma berita numpang lewat di FYP. Gaza itu luka yang terus menganga, tapi sering kita tutup pakai tisu humor dan scroll-scroll-an yang fana.
Kalo kita baca di media massa, data sampai awal Agustus 2025 aja, setidaknya 61.158 warga Palestina telah tewas dalam perang genosida Israel di Jalur Gaza sejak Oktober 2023, termasuk 193 orang yang meninggal karena kelaparan.
Sebuah pernyataan kementerian menyebutkan bahwa 138 jenazah telah dibawa ke rumah sakit dalam 24 jam terakhir, termasuk 25 jenazah korban kecelakaan truk bantuan di Gaza tengah. Sementara 771 orang terluka, sehingga jumlah korban luka menjadi 151.442 dalam serangan Israel tersebut. Lebih nyesek, lebih dari setengahnya adalah anak-anak dan perempuan. Iya, anak-anak yang harusnya main dan belajar serta dalam kasih sayang ortunya, malah dikafanin karena bom.
Hampir semua fasilitas umum hancur: rumah sakit roboh, sekolah jadi puing, masjid dibom. Bahkan ambulans pun kena serang. Kamu bayangin, itu kayak orang lagi nolongin yang kesakitan, tapi malah dibunuh juga. Dunia mana nih yang katanya “beradab”?
Lebih dari 70% warga Gaza sekarang pengungsi di negerinya sendiri. Dan bukan pengungsi yang dikasih tenda ber-AC, ya. Tapi tidur beralaskan tanah, beratapkan langit, dan kadang ditemani tangisan anak-anak yang kelaperan. Mereka udah nggak mikir soal gizi seimbang, yang penting bisa makan. Mereka nggak bisa milih menu. Nggak ada tuh drama “mau makan mie atau ayam geprek?” Mereka makan apa aja yang ada. Kadang cuma roti kering. Kadang nggak makan sama sekali. Ada satu keluarga yang makan nasi dicampur daun teh karena itu satu-satunya yang mereka punya. Nggak enak? Jelas. Tapi mereka nggak makan buat kenyang dan gaya hidup. Mereka makan buat bertahan.
Banyak anak-anak yang nggak cuma kehilangan orang tua, tapi juga rumah, sekolah, dan rasa aman. Sementara kita, kehilangan sinyal aja udah bikin stres. Kebayang kan perbedaan “masalah” antara kita dan mereka?
Dan anehnya warga dunia, negara-negara yang katanya “penjaga perdamaian” malah sibuk debat di forum, bikin statement, lalu… udah. Nggak ada yang bener-bener narik rem tangan agresor, atau kasih sanksi tegas. Bahkan, beberapa justru nyumbang peluru.
Sementara itu, warga Gaza tetap bertahan. Mereka shalat berjamaah di reruntuhan masjid sambil dengerin suara drone di atas kepala. Mereka ngajarin anak-anak ngaji di bawah tenda pengungsian. Dan mereka masih mengucapkan, “Hasbunallahu wa ni’mal wakil.”
Coba jujur, kapan terakhir kali kita ngucap kalimat itu dengan hati penuh yakin? Kita aja kadang udah panik duluan cuma gara-gara nggak masuk kampus impian. Mereka? Udah kehilangan semuanya, tapi tetap yakin sama Allah Ta’ala.
Pelajaran dari Gaza
Sobat gaulislam, Gaza memang jauh dari negeri kita. Tapi mereka nggak pernah jauh dari pandangan Allah Ta’ala. Pertanyaannya, “Apakah mereka juga dekat di hati kita, atau cuma sekilas di story lalu dilupakan?” Yuk, muhasabah untuk kita semua.
Gaza bukan cuma tentang tempat yang dibom dan warganya dibantai. Gaza adalah simbol keteguhan iman. Di saat dunia ninggalin, kaum muslimin di sana tetap ngejaga shalat. Di saat dunia diam, mereka tetap berdoa. Di saat dunia sibuk update konten, mereka sibuk update kesabaran dan keikhlasan.
Kita? Ya, banyak di antara kita kadang shalatnya bolong cuma gara-gara “lagi banyak tugas”. Kadang ngaji-nya absen karena “mood-nya belum dapet.” Sementara mereka, dalam gelap dan lapar, tetap inget Allah. Listrik mereka boleh mati, tapi cahaya iman mereka tetap nyala. Ya, warga Gaza ngajarin kita satu hal: iman itu nggak butuh kenyamanan. Justru di tengah penderitaan, mereka nunjukin keikhlasan yang bikin malu kita yang hidup enak.
Zaman sekarang tuh canggih. Semua serba digital, serba smart. Ada smartphone, smart TV, bahkan smart fridge. Tapi tahu nggak apa yang nggak smart? Penjajahan. Dan sayangnya, di Gaza, itu masih kejadian. Cuma bedanya sekarang, bentuknya udah upgrade versi kejam. Genosida. Rudal dikirim, terbangin drone, blokade semua akses, dan… boom, Gaza dikepung dari darat, laut, udara, dan… diamnya dunia.
Kamu bayangin ya, mereka hidup dalam kandang besar. Mau ke mana-mana harus lewat pos pemeriksaan, yang bisa bikin antri berjam-jam cuma buat jalan 5 kilometer. Boro-boro healing ke luar kota, ke rumah tetangga aja bisa kena tembak. Ini bukan metafora, Bro en Sis. Ini literal.
Dunia kena amnesia
Miris banget lihat kondisi kaum muslimin di Gaza. Sudahlah menderita, ditambah beban berat kehidupan lainnya. Ada yang peduli dan mau ngasih bantuan makanan, obat-obatan dan pakaian, malah dipersulit. Harus izin si penjajah. Mau pergi berobat? Harus izin si penjajah. Mau hidup tenang? Hmm… mimpi dulu, gih. Kasihan.
Dan ini bukan cuma konflik. Ini penjajahan. Udah dari lama tanah mereka direbutin, rumah mereka dihancurin, terus dibangun pemukiman ilegal buat “penghuni baru”. Coba aja dipikirkan, kamu lagi tidur di rumah, besoknya ada orang ngaku-ngaku itu rumah dia, terus kamu disuruh angkat kaki. Sakit nggak? Kalo orang yang waras pasti bisa mikir dan merasakan. Itu amat menyakitkan.
Kaum muslimin di Gaza hidup dalam realita yang nggak normal, tapi dipaksa buat tetap jalanin hidup seolah itu normal. Ini bukan cuma pelanggaran hukum internasional, tapi juga penghinaan terhadap akal sehat dan hati nurani.
Dan di tengah semua itu, mereka tetap bertahan. Kamu pikir kenapa? Karena mereka percaya bahwa tanah itu punya hak dihuni, dan hidup itu punya nilai, bukan sekadar napas. Dan karena mereka yakin, Allah tuh Maha Melihat, walau dunia pura-pura nggak tahu.
Mirisnya lagi, di sekolah kita diajarin bahwa semua orang punya hak yang sama. Nggak boleh sewenang-wenang. Harus adil. Di TV, kita sering denger bahwa pelanggaran HAM harus ditindak tegas!. Eh, tapi pas ngelihat Gaza kok semua lupa, ya? Amnesia massal, kah?
Padahal di buku hukum internasional, terutama Konvensi Jenewa, jelas banget aturannya: 1) Nggak boleh nyerang warga sipil; 2) Nggak boleh blokade makanan dan obat-obatan; 3) Nggak boleh ngancurin rumah ibadah, sekolah, dan rumah sakit. Tapi semua itu kayak tulisan di kertas ulangan yang dicontek tapi nggak dipraktikkan. Dunia diem. Organisasi gede cuma ngeluarin “kecaman keras”, terus lanjut ngopi.
Ini kalo Gaza yang nyerang balik pakai batu atau balon api, langsung heboh teriak: “Teroris! Barbar! Mengancam keamanan!” Lah, yang nyerang pake F-16, rudal, dan tank, dibilang “membela diri”. Logika siapa tuh?
Kalo kata netizen, “Plotnya jelek banget. Karakter jahatnya dipuja, karakter korban disalahin.” Dan ini bukan sinetron. Ini realita. Tragisnya, banyak negara besar yang katanya defender of justice, malah jadi sponsor utama penjajahan dan genosida. Nggak heran dunia makin kacau, karena keadilan udah bisa dibeli, dan kebenaran dikalahkan sama narasi culas.
Bagaimana kita?
Sobat gaulislam, warga dunia udah lupa hukum, negara kuat udah lupa nurani. Jangan sampai kita juga lupa bahwa diam itu bisa jadi dosa. Karena yang bakal Allah Ta’ala tanya di akhirat bukan cuma, “Apa yang kamu lakukan?” tapi juga, “Kenapa kamu diem saat saudara seimanmu dizalimi?”
Kamu mungkin pernah ngetik, “Ukhuwah Islamiyah selamanya”, atau “One Ummah”, atau pake tagar #PrayForGaza pas rame-rame. Tapi apakah itu beneran dari hati, atau cuma buat rame-ramean doang?
Jujur aja, banyak dari kita yang nganggep ukhuwah itu cuma status doang. Kayak “saudara seiman” tuh semacam bio di akun sosmed: ada, tapi nggak tahu artinya. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam udah wanti-wanti dalam sabdanya, “Perumpamaan sesama kaum mukminin dalam menjaga hubungan kasih sayang dan kebersamaan seperti satu tubuh, jika satu anggota merasakan sakit, maka akan membuat seluruh tubuhnya terjaga dan merasakan demam.” (HR Muslim No. 2586)
Lah kita? Warga Gaza lagi dibantai, sebagian dari kita malah asik nge-tweet receh sambil nonton konser. Padahal, saudara seiman itu bukan sekadar “ikut sedih” pas viral. Tapi ikut ngerasa kehilangan saat mereka kehilangan. Ikut ngerasa kesakitan saat mereka dihantam. Dan ikut ngerasa bersalah saat kita diem doang.
Tapi kita harus bagaimana? Minimal berdoa. Ini basic, tapi superpower. Doa bukan cuma “amin doang”, tapi serius minta kepada Allah Ta’ala buat nolong mereka. Bayangin, satu bumi isinya orang-orang shalih dan shalihah yang tiap malam nangis minta Gaza dibebaskan. Allah Ta’ala pasti denger.
Lalu apa lagi? Boleh banget untuk donasi. Kamu mungkin nggak bisa terbang ke Gaza. Tapi kamu bisa transfer donasi ke lembaga resmi yang amanah. Walau cuma sepuluh ribu rupiah, kalo dari hati, itu bisa jadi cahaya di tengah reruntuhan.
Kamu juga boleh melakukan edukasi dan advokasi buat kaum muslimin di Gaza. Gimana caranya? Suarakan! Jangan takut dianggap “terlalu vokal”. Gunakan sosial media kamu buat share info valid. Bukan buat nyebar hoaks atau posting sedih-sedihan tanpa solusi. Kamu bisa bantu jadi suara bagi yang bungkam.
Kita bisa juga suarakan bahwa persoalan ini adalah karena umat Islam jauh dari ajaran Islam dan tak memiliki negara dengan kekuatan besar ideologi Islam yang bisa melindungi mereka. Coba kamu lihat, para pemimpin negeri-negeri muslim yang terkotak-kotak dengan nasionalisme itu, terutama yang dekat dengan wilayah Gaza seperti Mesir, Libanon dan negeri lainnya di kawasan Timur Tengah, malah diam dan nggak berani melawan Zionis Israel. Nggak mau nolong saudara sesama kaum muslimin. Sungguh memalukan. Padahal dulu, di masa kejayaan Khilafah Islamiyah, bajingan tengik macam Theodor Herzl sang gembong gerakan Zionis ketika minta bagian dari tanah Palestina, respon Sultan Abdul Hamid II sang khalifah Turki Utsmani menghardiknya, “Selama aku masih hidup, tak akan kubiarkan siapapun merampas tanah kaum Muslimin!“.
Meski saat ini kita tidak berada dalam naungan Khilafah Islamiyah, tapi setidaknya kita tetap konsisten dan istiqamah berjuang dan mengedukasi kaum muslimin di sini dan di mana pun. Nggak usah nunggu serangan terbaru buat peduli. Jadikan peduli Gaza itu bukan event musiman, tapi bagian dari ajaran Islam dan bentuk keimanan kita. Karena saudara seiman itu bukan cuma hadir pas rame, tapi tetap bareng meski dunia sepi. Dan inget, bukan berarti harus jadi superhero. Cukup jadi manusia beriman yang nggak tega lihat saudaranya hancur dan nggak diem aja. Islam nggak ngajarin kita buat cuma duduk sambil bilang, “Kasihan ya mereka…” tapi ngajarin kita buat bangkit, bantu semampu kita, dan tetap yakin sama pertolongan Allah Ta’ala.
Akhir kata, yuk kita jadi bagian dari harapan, bukan dari kelupaan. Jangan cuma scroll dan sedih, tapi tulis doa, kirim bantuan, dan nyalain nurani. Warga Gaza kuat bukan karena senjata, tapi karena Allah Ta’ala masih jaga mereka. Sekarang tinggal kita, mau jadi penonton sejarah, atau jadi bagian dari kebangkitan umat? Hasbunallahu wa ni’mal wakil. Gaza terluka, tapi umat Islam jangan ikut mati rasa. [O. Solihin | Join WhatsApp Channel]