Monday, 9 December 2024, 04:27

gaulislam edisi 730/tahun ke-15 (11 Rabiul Awwal 1443 H/ 18 Oktober 2021)

Kepengennya sih, mumpuni dalam ilmu agama, ya, faqih fiddiin. Paham dalam ilmu agama. Ortu pasti seneng kalo ada anaknya yang ngerti dan mengamalkan urusan agama. Namun saat ini, ketika permainan seolah menjadi hiburan wajib, malah jagonya, ya dalam urusan main-main. Muncullah istilah faqih fi-gim. Paham dan mumpuni soal gim, permainan yang berpotensi bikin lupa waktu. Duh, gimana jadinya kalo kayak gini?

Sobat gaulislam, beberapa hari lalu ada aksi demo mahasiswa di Tangerang, ya. Itu–masih ingat kan–yang di-smackdown ama polisi? Betul. Saya sih malah fokus baca komen-komen dan postingan foto para netizen dalam pemberitaan itu. Ada yang menggelitik, yakni komentar yang intinya, “sudahlah, mahasiswa jangan demo, jangan mikirin urusan rakyat dan negara, jadinya kayak gitu. Udah, sono balik lagi mabar Mobile Legends aja!”

Selain yang komen, ada juga yang posting foto yang menggambarkan dua orang lagi ngadep ke layar televisi. Difoto dari belakang, ada tulisan “polisi” di baju bagian belakang (dan emang itu baju seragam dinas, kok). Tangannya megang stik PS. Haduuh….

Malah tahun lalu sempat heboh juga sih, ada mahasiswa dan dosennya malah mabar (main bareng) Mobile Legends. Udah gitu, tanya jadwal perkuliahan via chat Mobile Legends pada saat mabar tersebut. Ini dosen ama mahasiswanya sama-sama gim-mania. Laman hitekno.com, 19 Maret 2020 menuliskan berita dengan judul: “Mabar Bareng, Mahasiswa Ini Tanya Jadwal Kuliah ke Dosen via Mobile Legends”. Lead dari berita tersebut: Mahasiswa ini bertanya ke dosennya via fitur chat mobile legends. Baca berita ini harus ketawa atau nangis, ya?

Keseharian di sekitar kita juga tak jauh beda. Apalagi tangan mereka udah sering juga megang hape. Usai pembelajaran online, sangat boleh jadi dilanjut dengan browsing dan juga gim online. Bukan tak mungkin itu juga terjadi di anak-anak dari level SD dan SMP. Gimana jadinya kalo semua level atau jenjang pendidikan udah kecanduan gim online. Saking seringnya main, bisa saja ada di antara mereka yang sudah sangat menguasai, sehingga ibaratnya udah faqih soal gim. Ngeri bener!

Mengapa hal ini bisa terjadi? Lalu bagaimana cara mengatasinya? Yuk, kita bahas bareng-bareng. Oya, sebenarnya udah pernah bahas juga di buletin ini soal gim, ya. Namun, nggak ada salahnya sih kalo kita bahas lagi. Mungkin aja ada info terbaru atau opini terkini yang bisa dibagikan.

Jadi candu dan bisnis

 Kalo udah ketagihan, pengennya main lagi dan lagi, berarti udah perlu segera dicari solusinya agar tak terus terjerumus. Sebenarnya sebelum kecanduan, kudu diantisipasi. Namun, jarang yang punya sistem pertahanan begini. Apalagi kejadiannya sekarang udah banyak banget. Merata dari level anak SD sampai mahasiswa perguruan tinggi. Malah kalo mau ditelusuri lebih jauh lagi, sangat mungkin gim online juga digemari mereka yang udah kategori pekerja, termasuk banyak yang udah berumah tangga dan punya anak. Aneh, ya? Tapi begitulah kenyataannya.

Pada 18 Juni 2018, Badan Kesehatan Dunia, WHO (World Health Organisation) menerbitkan dokumen ICD-11, yang merupakan revisi dari dokumen sebelumnya, ICD-10 terbitan pada 1990. Dokumen ini digunakan oleh para tenaga kesehatan untuk mengkategorisasi berbagai penyakit dan kondisi kesehatan, salah satunya soal kecanduan gim online (6C51 Gaming disorder).

  Edo S. Jaya, dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia pernah menulis di laman theconversation.com (4 Juli 2018), “Kami telah meneliti prevalensi kecanduan gim dengan mengambil sampel di sekolah-sekolah di Manado, Medan, Pontianak, dan Yogyakarta pada 2012. Kami menemukan bahwa ada 45,3% dari 3.264 siswa sekolah yang bermain gim online selama sebulan terakhir dan tidak berniat untuk berhenti.”

Ia melanjutkan, “Saat itu belum ada kesepakatan mengenai kriteria kecanduan gim, sehingga kami membuat kriteria sendiri untuk Indonesia berdasarkan teori kecanduan gim dan kriteria diagnosis dari kecanduan judi. Kami juga menggelar focus group discussion dengan tiga psikolog klinis terlisensi dan kami menyimpulkan bahwa orang yang bermain gim selama 4-5 hari per minggu dan setiap harinya bermain lebih dari 4 jam maka mungkin terindikasi adiksi.”

Lalu bagaimana tingkat prevalensinya? Oya, prevalensi itu artinya jumlah keseluruhan kasus penyakit yang terjadi pada suatu waktu tertentu di suatu wilayah. Wah, jadi kecanduan dikategorikan sebagai penyakit, ya. Ngeri!

“Dengan kriteria tersebut, kami menemukan 150 siswa (10,2%) dari 1477 siswa yang mungkin mengalami adiksi. Lalu, dengan analisis statistik, kami dapatkan 89 (59,3%) dari 150 siswa yang mungkin mengalami adiksi tersebut dapat dikategorikan mengalami adiksi parah, dan sisanya mungkin dapat masuk kategori adiksi ringan. Maka, dapat diperkirakan prevalensi orang yang mengalami kecanduan gim di antara pemain gim adalah sekitar 6,1% di Indonesia,” paparnya dalam tulisan tersebut.

Sekadar tahu aja, menurut ICD-11, kecanduan gim adalah pola perilaku bermain gim (online maupun offline, gim digital maupun video gim) dengan beberapa pertanda berikut: 1) Tidak dapat mengendalikan keinginan bermain gim; 2) Lebih memprioritaskan bermain gim dibandingkan minat terhadap kegiatan lainnya; 3) Seseorang terus bermain gim meski ada konsekuensi negatif yang jelas terlihat.

Laman tek.id pada 17 Oktober 2018 pernah menurunkan tulisan yang intinya, jumlah gamer di Indonesia diperkirakan akan meningkat signifikan. Pokkt, Decision Lab dan Mobile Marketing Association (MMA) yang melakukan studi terkait gim di Indonesia menyebutkan, jumlah gamer mobile di Tanah Air mencapai 60 juta. Jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 100 juta pada 2020.

Pada 23 Desember 2020, laman inews.id juga menurunkan berita dengan judul: “Survei: 16,5 Persen Masyarakat Habiskan Waktu Main Game Online selama Pandemi Covid-19”.

Apa isinya? Secara singkat dituliskan bahwa Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat salah satu bentuk hiburan yang banyak dipilih masyarakat di masa pandemi Covid-19 adalah bermain gim online sebesar 16,5 persen. Sementera musik online 15,3 persen. Bahkan, berdasarkan data yang didapatkan dari Newzoo Global Games Market Report 2020 jumlah pendapatan dari mobile gaming secara global pada 2020 bertambah sebesar 13 persen dan untuk pemain gim online sendiri melebihi 3 miliar pemain hingga 2023.

Penggemar gim online yang terus meningkat membuat Indonesia menjadi pasar potensial industri gim dunia. Terutama gim mobile atau permainan piranti bergerak, yakni permainan video yang dimainkan pada telepon seluler, komputer tablet, konsol, kalkulator, atau jam digital.

We are Social dan Hootsuite mencatat pengguna internet di Indonesia sebanyak 202,6 juta orang per Januari 2021. Sementara jaringan mobile aktif mencapai 345,3 juta, atau 125,6% dari total populasi. Angka yang lebih tinggi lantaran ada penduduk yang menggunakan lebih dari satu gawai saat beraktivitas di internet.

Mayoritas pengguna internet memang memanfaatkan gawainya untuk melakukan percakapan atau bermedia sosial. Namun, bermain gim adalah salah satu yang sering dilakukan. Sekitar 60,2% pengguna internet menggunakan aplikasi gim di gawainya. Mayoritas gawai yang mereka pakai adalah telepon pintar (smartphone) sebanyak 88,9%. (katadata.co.id, 8 Juni 2021)

Kalo membaca datanya, kok rasa-rasanya bikin miris, ya. Gimana nggak, berarti ini menunjukkan bahwa generasi pemain gim ini sudah banyak banget. Kalo untuk produsen gim tentu bisnis yang menggiurkan, tetapi bagi kita (termasuk para orang tua), fakta ini bikin ketar-ketir. Apalagi sekarang sepertinya dikampanyekan gim model e-sport. Diperkirakan yang biasa main model gini ada 44,2 juta orang. Makin runyam deh urusan nih.

Lalu harus bagaimana?

Sobat gaulislam, tentu aja perlu ada penyelesaiannya. Nggak mungkin juga dibiarin gitu aja. Harus ada kerjasama semua pihak terkait: pemain gim (terutama anak-anak dan remaja), orang tua, masyarakat sekitar (guru, psikolog, tokoh agama dan lainnya), juga penerapan aturan dan bila perlu sanksi oleh negara. Kerjasama harus dijalin dan menghasilkan kesepakatan dalam menilai dan bila memungkinkan ada produk hukum.

Islam, sebagai agama yang mengatur urusan dunia dan juga akhirat punya solusi atas berbagai permasalahan, termasuk urusan gim ini. Sebagai seorang muslim, tentu saja hidup ini bukan cuma untuk mencari hiburan semata. Kita harus bisa memilih dan memilah setiap perbuatan yang bakal kita lakukan. Jangan sampai kita melakukan aktivitas yang tak banyak manfaatnya. Apalagi kalo harus melakukan perbuatan yang dilarang Allah dan Rasul-Nya.

Bermain gim online atau offline memang tak sampai jatuh kepada perbuatan haram. Alias nggak berdosa main gim melalui gawai atau konsol gim itu. Hanya saja, bila hal itu dilakukan sampai melupakan aktivitas yang lain. Terlebih bila main gim itu menyedot perhatian kita dari kewajiban. Bisa berabe! Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” (HR Tirmidzi no. 2317; Ibnu Majah no. 3976)

Jangan sampai kita diganjar dosa oleh Allah Ta’ala gara-gara asyik main gim sampai lupa sholat, misalkan. Atau kita betah berjam-jam sampai lupa sekolah. Wuih, keterlaluan banget! Itu sebabnya, perlu kesadaran dalam diri kita dalam menyikapi persoalan ini. Nggak bisa main-main.

Kesadaran seperti apa? Nah, ini baru pertanyaan. Begini Bro en Sis. Sebagai seorang remaja muslim kamu dituntut untuk selalu menjadi yang terbaik dalam hidup ini. Berperilaku sopan, menjaga kehormatan dan kesucian diri.

Memang, bukan hanya remaja yang dituntut kesadaran tinggi, tapi semua orang. Kita pribadi, orang tua, masyarakat (termasuk produsen gim dan penyedia jasa gim online), dan negara harus bekerja sama untuk menciptakan kondisi yang baik. Bukan malah menciptakan situasi yang bikin nggak karu-karuan. Soalnya, kalo ini terjadi secara massal alias mengglobal, maka akibatnya juga lebih besar dan lebih gawat. Kita menjadi masyarakat malas dan tidak produktif! Ih, serem amat!

Main gim, baik lewat konsol, smartphone, maupun komputer dikategorikan sebagai permainan atau lahwun dalam bahasa Arab. Kata lahwun diartikan dalam bahasa Indonesia dengan hiburan dan permainan. Penjelasan dalam al-Quran dan as-Sunnah telah menggunakan kata lahwun. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Hendaklah kalian senantiasa berlatih memanah, karena ia sebaik-baik lahwun.” (HR al-Bazzar dan ath-Thabarani dari Sa’ad)

Saya pernah menulis di buku saya yang diterbitkan tahun 2002 lalu, judulnya Jangan Jadi Bebek. Ada pembahasan tentang gim dari sudut pandang Islam dengan mengutip beberapa pendapat ulama. Nah, penjelasan singkatnya begini:

Arti lahwun di sini adalah permainan. Dan arti yang mencakup seluruh makna lahwun di dalam al-Quran dan al-Hadis adalah: Menyibukan diri dalam mengerjakan sesuatu yang dilarang (haram/makruh) atau melakukan permainan yang mubah yang mengakibatkan seseorang menjauh dari aktivitas melakukan perkara yang wajib dan sunnah.

Sementara itu Imam asy-Syathibi menyatakan: “Hiburan, permainan, dan bersantai adalah mubah atau boleh asal tidak terdapat suatu hal yang terlarang.”

Selanjutnya beliau menambahkan, “Namun demikian hal tersebut tercela dan tidak disukai oleh para ulama. Bahkan mereka tidak menyukai seorang lelaki yang dipandang tidak berusaha untuk memperbaiki kehidupannya di dunia dan tempat kembalinya di akhirat kelak, karena ia telah menghabiskan waktunya dengan berbagai macam kegiatan yang tidak mendatangkan suatu hasil duniawi dan ukhrawi.”

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim dengan sanad shahih: Setiap permainan di dunia ini adalah bathil, kecuali tiga hal; memanah, menjinakkan kuda, dan bermain dengan istri. Catatan: yang dimaksud bathil di sini adalah sia-sia atau yang semisalnya, yang tidak berguna dan serta tidak menghasilkan buah yang dapat dipetik.” (dalam al-Muwâfaqât, jilid I, hlm, 84)

Jadi, bagi para game-mania, selain perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa kamu sebagai seorang muslim yang harus bergaya hidup islami, juga wajib disadari bahwa meski permainan dan hiburan tersebut hukumnya mubah alias boleh, namun jangan sampai lupa diri. Apalagi kalo sampe menjerumuskan diri ke dalam kemaksiatan karena meninggalkan kewajiban. Selain itu, daripada faqih fi-gim, tentu lebih baik jadi faqih fiddin, paham dalam ilmu agama dan mengamalkannya. Catet, ya! [O. Solihin | IG @osolihin]