Friday, 8 November 2024, 18:12

gaulislam edisi 211/tahun ke-5 (11 Dzulhijjah 1432 H/ 7 November 2011)

 

Hari gini masih maen FB dan twitteran? Masih suka galau? Atau malah pengen nyiptain “sesuatu” dalam hidup kamu? Sebenernya masih banyak seabrek pertanyan lain yang bakal kagak ada habisnya ditulis di sini. Banyak organisasi/orang yang dianggap (atau lebih tepatnya “merasa”) sukses dengan menerapkan social (baca sok-sial) network, sebagai salah satu channel komunikasi mereka, walapun ternyata tidak demikian adanya. Karena memang sangat susah untuk bisa menilai keberhasilan suatu kondisi sosial (dalam hal ini komunikasi), mengingat dinamika yang ada di dalamnya yang sangat fluktuatif. Terus kenapa social network jadi “#sesuatu” yang ngetren abis?

 

Apa sih social network itu?

Berdasarkan penjelasan dari wikipedia, social network adalah sebuah konsep/teori dimana seorang individu merupakan titik (node) yang terhubung dengan titik yang lain karena satu alasan tertentu (mis: keluarga, temen, kesamaan interest/hobby, tinggal di wilayah yang sama, bekerja di tempat yang sama, hingga dari agama yang sama). Hubungan antar titik ini bisa divisualisasikan menjadi menjadi semacam peta hubungan antar individu berdasar pada alasan tertentu untuk kemudian dianalisis untuk berbagai macam keperluan.

Guna memfasilitasi terwujudnya sosial network dalam satu bentuk yang bisa dipahami dan dirasakan manfaatnya, beberapa perusahaan menghadirkan yang disebut sebagai social network service, alias penyedia jasa jejaring sosial, dimana jumlahnya sangat banyak sebenernya, cuma beberapa yang terkenal dan umum dipake saat ini, yaitu facebook en twitter. Perusahaan jejaring sosial ini memperoleh keuntungan utamanya dengan menjual iklan, dan data yang mereka peroleh dari para membernya untuk keperluan analisis tertentu. So, semakin banyak data yang berhasil mereka peroleh, akan semakin tinggi pula akurasi informasinya dan semakin banyak pula analisis yang bisa dilakukan, yang pada akhirnya akan semakin banyak dolar yang bisa diperoleh oleh para penyedia jasa sosial tersebut.

Dengan melihat besarnya potensi penggunaan jejaring sosial ini, kemudian muncul berbagai ide penggunaan jejaring sosial bagi para user aktifnya. Umumnya di Indonesia mereka sering disebut sebagai situs pertemanan, dimana mereka “berasumsi” dengan menggunakan situs pertemanan atau jejaring sosial ini, mereka sudah bersosialisasi dan eksis banget di dunia dan akherat. Sementara bagi para pedagang, begitu mereka tahu potensi yang tersimpan pada situs pertemanan atau jejaring sossial ini begitu besar, spontan saja intuisi dagang mereka tumbuh subur bak jamur di musim duren, eh musim hujan, tanpa perlu banyak cingcong mereka membombardir jejaring sosial dengan iklan dagangan mereka. Sementara bagi mereka yang “gila popularitas”, jejaring sosial ini merupakan surga bagi para narsis-mania untuk menyalurkan hasrat narsis mereka yang menggelora dengan afdol bin toyib. Oya, masih banyak kelompok lainnya yang menggunakan jejaring sosial ini untuk keperluan mereka masing-masing. Karena saking banyaknya kemungkinan penggunaan jejaring sosial ini, in the end, gue ngerasa jejaring sosial adalah tempat sampah informasi saja.

Loh kok tempat sampah? Iya, karena tidak mudah untuk bisa memanfaatkan informasi yang kita peroleh dari sana. Memang selalu ada informasi bermanfaat yang bisa kita ambil, namun yang model kayak gini sangat sedikit sekali jumlahnya. Coba aja kalo kamu lagi online misal selama 30 menit, hitung deh berapa banyak “sesuatu” yang bener-bener bermanfaat bagi kamu? Kondisi ini mirip banget dengan keranjang sampah, dimana selalu aja ada “sesuatu” yang bisa dimanfaatkan di dalamnya, tapi ya sedikit banget, dan seringnya untuk memperoleh yang sedikit ini, harus dengan susah payah karena kudu diproses dulu, sementara 30 menit tersebut kalo kita gunakan untuk membaca al-Quran, lumayan banget gitu looh, yah bisa kurang lebih dapet 1 juz lah.

 

Bersosialisasi dan permasalahannya

Back to the fact, kita meluangkan waktu untuk aktivitas yang tidak penting, seperti sharing foto, saling poking, update status dan sebagainya. Dalam kenyataan yang sebenernya (realita) kita bisa memperoleh kesenangan yang jauh lebih asyik daripada melakukan hal tidak bermanfaat itu, misal pergi bareng temen-temen kamu, sharing foto dengan metode kuno, alias tukeran album foto, dan kemudian jelasin satu persatu foto yang ada dalam album tersebut secara langsung, nikmati setiap candaan spontan temen-temen kita dan masih banyak kesenangan lainnya yang nggak bakalan bisa kamu dapetin di jejaring sosial. Menurut kamu, temen yang kamu pergauli dengan cara chat via BBM/FB/Twit, video call via Skype, nyoret-nyoret wall mereka lebih seneng diperlakukan seperti itu daripada interaksi sosial secara langsung? Kalo jawabannya ‘Ya”, artinya kamu ato temen kamu sakit!

Selain memberikan ilusi akan sosialisasi yang palsu, jejaring sosial juga memiliki seabrek permasalahan lainnya, beberapa di antaranya adalah: Pertama, jejaring sosial sering menjadi ajang “childish” alias kekanak-kanakan. Sebagian merupakan efek dari narsisme, dimana doi pengen banget dapet perhatian orang lain. Pastinya sudah sering denger orang complain di jejaring sosial hanya karena hal sepele, kayak laper, pusing, dingin, nggak dibeliin Ipad, engga diijinin kawin ama ortunya (loh?) dan sebagainya. Apa untungnya memposting permasalahan yang sedang kita hadapi? Supaya seluruh dunia ngebacanya? Ngebuka aib sendiri? Atau kesulitan menerima kenyataan yang sedang kamu hadapi? Come On Grow Up Guys!

Kedua, penyimpangan penggunaan jejaring sosial untuk tujuan jahat, sudah sering kita denger orang tertipu dari jejaring sosial, mulai ketipu dari hal yang kecil sampai ketipu jenis kelamin pasangannya yang dikenal via jejaring sosial, karena data jenis kelaminnya di jejaring sosial dimanipulasi. Sangat susah untuk bisa kita cerna dengan logika kita: sad, but it’s true (**sambil nyanyi lagunya Metallica!)

Ketiga, sumber berbagai permasalahan interpersonal. Mulai dari sindir-sindiran via status update, kesinggung karena salah baca updetan temen, Ge-er ama status temen (dikira dirinya, padahal bukan), sampai yang berujung perceraian juga sudah terjadi, udah wasting time nambah masalah pula, rugi bener.

Keempat, alat marketing yang digunakan terlalu berlebihan. Udah jamak jaman sekarang berbagai produk dicantumkan, follow us on fb or twitter. Banyak perusahaan mengganggap jejaring sosial adalah alat marketing murah meriah yang cukup populer, coba deh kamu tanya diri kamu sendiri, buat apa sih follow sebuah produk gitu loh? Masih lumayan follow seorang pakar di bidang tertentu, karena kita berharap bisa belajar banyak dari informasi yang dia share di jejaring sosial, nah ini follow produk? Misal kita follow produk popok bayi, ngapain kita (manusia) “mengikuti” popok bayi? Apa engga lebih baik kita mengikuti Nabi Muhammad saw.? Nyadar dong kalo kita udah dijadikan obyek marketing gratisan!

Kelima, permasalahan klasik, yakni soal privasi. Data apapun itu bentuknya, ketika kita pengen ngehapus (bener-bener hilang, bukan nonaktif) ternyata terlalu berharga bagi para penyedia jasa jejaring sosial. Sebab, bagi mereka setiap data ada harganya. Data yang sudah mereka peroleh dengan mudah dari para usernya yang susah payah mendaftar dengan suka rela, tidak serta merta hilang ketika kita seorang user menutup akun-nya. Ini memunculkan pertanyaan mendasar, data-data tersebut sebenernya punya siapa? Kalo kemudian ada yang nyari duit dari data-data kita tersebut, mestinya kita berhak memperoleh bagian dari penjualannya dong. Tul nggak?

 

Bijak gunakan jejaring sosial

Menimbang kemudhorotan dan manfaat dari jejaring sosial, mestinya kita bisa dengan mudah menentukan kudu gimana kita dengan kondisi jejaring sosial saat ini. Yang jelas sikap idealnya adalah meninggalkannya jika tak mampu memanfaatkan dengan benar dan baik. Namun bila hal itu ada niat dan mampu untuk menyampaikan dakwah dan menunjang tersebarnya dakwah via internet, silakan saja. Buletin gaulislam juga punya kok akun di fb dan twitter untuk menunjang penyebaran informasi dakwah. Ya, sebatas keperluan itu saja.

Memang hukum dasarnya adalah mubah untuk penggunaan teknologi semacam ini, dari sudut pandang usul fiqih, mubah adalah kondisi hukum yang berupa pilihan yang diserahkan pada manusia, yang dimaksud dengan pilihan di sini adalah pilihan untuk melakukan maupun tidak melakukan aktivitas tersebut, tentunya harus ditimbang dengan standard syar’i. Jadi kita musti menimbang permasalahan penggunaan jejaring sosial ini sesuai dengan kondisi yang kita hadapi.

Fenomena maraknya jejaring sosial di Indonesia ini juga mengindikasikan bagaimana kualitas umat Islam di negeri kita, karena sebagai seorang muslim kita kudu bisa menghargai waktu dengan baik dengan cara memanfaatkannya sesuai dengan hadis daro Abu Hurairah r.a.: “Nabi bersabda, salah satu ciri baiknya keislaman seseorang adalah ketika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat (bagi dunia dan akhiratnya)”. Dari hadis tersebut bisa kita tarik kesimpulan kalo emang keislaman umat di Indonesia ini baik, sudah pasti hal-hal yang tidak bermanfaat pasti nggak akan laku, bukan malah sebaliknya.

Get Real, Bro! Kalo kamu emang punya pemikiran jenius tiada taranya, tuangkan pemikiran kamu dalam amalan yang “Real”, supaya orang lain merasakan hebatnya kontribusi pemikiran jenius kamu! Buat apa kamu tuangkan pemikiran jenius kamu di jejaring ‘soksial’ dan kemudian ngerasa “besar” di FB/Twit karena banyak temenya atau follower-nya yang ngerespon pemikiran-pemikiran kamu, tapi kehidupan nyata, you’re nothing!

Kita kudu kembali bersosialisasi dengan “real”! Sosialisai itu gampang kok dan mengasyikan, nggak perlu media-mediaan, and so pasti sangat manusia banget dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Hiduplah lebih banyak di dunia nyata, buatlah “sesuatu” in real life, Islam masih memerlukan banyak banget pejuang-pejuang tangguh dan jenius seperti kamu untuk menegakkan kembali kekhalifahan di muka bumi ini. So, banyak-banyaklah bersyukur terhadap apa yang sudah kamu dapet saat ini, semoga bermanfaat. [aribowo]

ا! بل إعداد العدة و موا صلة الكفاح المسلح حثى ثحرير اخر شبر

2 thoughts on “Get Real, Bro!

  1. setuju banget tuh ama artikelnya,,
    get real….kerjakan apa yang bisa kita kerjakan di dunia ini agar bisa bermanfaat dan maslahah untuk sekitar….

Comments are closed.