Sunday, 28 April 2024, 15:23

gaulislam edisi 844/tahun ke-17 (12 Jumadil Akhir 1445 H/ 25 Desember 2023)

Hidup memang pilihan, maka pastikan pilihan kita benar. Setiap pilihan juga ada risikonya, maka harus siap menghadapinya. Kalo kamu udah menetapkan pilihanmu, tetap fokus pada jalan yang kudu dilalui. Banyak pilihan hidup yang bisa diambil, ada yang wajib dipilih, ada yang boleh diambil. Pilihan hidup yang boleh biasanya dalam urusan dunia. Misalnya kamu pengen punya kehidupan di masa depan sebagai orang yang punya keterampilan di bidang kesehatan, maka fokus untuk meraihnya. Jalani prosesnya. Pelajari apa saja yang bisa menghantarkan pada keterampilan tersebut, sekolah di mana, kuliah jurusan apa dan sejenisnya. Fokus meraihnya, sabar menjalani prosesnya. Bidang lain yang masih urusan duniawi, prosesnya hampir sama. Ada niat, fokus pada tujuan, komitmen terhadap apa yang sudah diniatkan, Istiqamah dan sabar dalam menjalaninya.

Ada juga yang berbeda pilihan politik, terutama menjelang pilpres, nih. Berarti memang beda memilih jalan dalam kehidupannya. Jadi ini kembali soal preferensi. Nggak bisa disamain, tetapi konsekuensinya jelas. Nah, kalo soal ini, kamu pastinya udah sering mengamati dan bahkan bisa jadi ikut terlibat dalam ‘perang’ di medsos, ya. Perang kata-kata dan bahkan ujaran kebencian seperti jadi tradisi. Duh, apa nggak takut bakal diminta tanggung jawab di akhirat, ya? Apalagi ternyata nggak sedikit yang nyebar hoax demi mendukung paslon masing-masing. Ngeri. Padahal boleh beda pilihan politik, tetapi kudu tanggung jawab, dan jangan menyerang pilihan orang lain. Bersaing secara sehat aja. Jangan dibikin ruwet dengan saling serang kelemahan antar paslon. Urusan konsekuensi atas pilihan ya nanti akan ada pertanggungan jawabnya.  

Begitu pula dengan pilihan yang wajib, yakni urusan akhirat. Kita, udah memilih jalan hidup sebagai Muslim. Itu sebabnya, pertahankan pilihan kita walaupun risikonya berat. Tantangan dari dalam diri kita berupa rasa malas atau lelah dalam menjalankan berbagai perintah Allah Ta’ala dan menjauhi larangan-Nya, semestinya membuat kita siap dan sabar. Sebab, itu konsekuensinya, bagian dari mempertahankan pilihan hidup.

Itu baru dari faktor internal, tentu ada faktor eksternal yang juga harus kita perhitungkan risikonya. Tetap mempertahankan jati diri sebagai Muslim, meski banyak pihak yang mencela atau julid. Harus kuat dan sabar. Pegang keimanan dengan kuat, dan tetaplah menjadi muslim sejati. Di zaman sekarang memperjuangkan dan membela kebenaran Islam itu ibarat menggenggam bara api. Harus berani dan bertanggung jawab meski terluka atau menderita. Konsekuensi dari sebuah pilihan hidup, untuk kebahagiaan di akhirat kelak.

Jadi, untuk pilihan urusan dunia saja perlu diniatkan, direncanakan, dijalani prosesnya, butuh waktu, perlu kesabaran, dan menerima konsekuensinya. Apalagi kalo pilihan urusan akhirat. Hidup kita di dunia menjadi bagian yang harus diperjuangkan demi akhirat kita. Sebab, tujuan kita adalah surga, maka jangan melakukan amalan yang membuat kita mampir terlebih dahulu di neraka. Nauzubillahi min dzalik.

Menjadi muslim adalah pilihan tepat. Bersyukur dan berbahagialah. Itu sebabnya, tunjukkan jati diri sebagai muslim baik dalam pikiran dan tindakan. Berat sih, tetapi justru itu konsekuensinya. Kalo ada di antara kamu yang ngaku muslim tetapi doyan pacaran, berkata kasar jadi kebiasaan, melontarkan caci-maki jadi lumrah, suka mencuri, itu namanya merusak jati diri sebagai muslim. Malu, dong.

Beda pilihan politik, tapi…

Sobat gaulislam, beda pilihan politik boleh aja. Itu hal lumrah, dan tentu ada konsekuensinya. Namun, bukan berarti kamu harus berantem dengan temanmu yang berbeda pilihan politik. Nggak, lah. Masing-masing aja. Cuma, memang pada faktanya nggak bisa juga damai. Pasti ada aja gesekannya. Saling balas komentar dengan kata-kata yang argumentatif tentu ada, komentar yang asal njeplak juga banyak, bahkan isinya ujaran kebencian dan nyebar hoax juga nggak keitung jumlahnya. Jika demikian, siapa yang diuntungkan? Jelas bukan kita, sebab kalo kita-kita cuma penggembira. Beda ama influencer dan para pendengung (buzzer) bayaran jelas ada tarifnya. Mereka untung karena dapet duit, meski dengan cara yang haram karena menyebar kebencian dan hoax, termasuk di dalamnya membela, bahkan menjilat paslon jagoannya meskipun sang paslon secara fakta tak kapabel (mampu) atau malah berbuat salah. Jadi, sebenarnya hanya perlu fokus pada masing-masing tujuan, jangan malah berantem kayak anak kecil. Sory, ye!

Jadi, beda pilihan politik itu biasa, wajar. Walau tentu ada konsekuensinya masing-masing atas dukungan tersebut. Iya, dong. Aneh aja kalo paslon yang didukungnya melakukan kesalahan kok malah dibela atau menuliskan narasi pembenaran. Salah katakan salah, benar katakan benar. Jangan malah membiarkan kesalahan jagoannya dengan dalih pembenaran. Itu namanya menjerumuskan, bukan menolong atau membela.

Oya, meski beda pilihan politik adalah hak setiap orang, tetapi kita perlu cerdas dalam menjatuhkan pilihan dan dukungan. Sebab, ada konsekuensinya. Ini yang berat. Why? Ya, jelas dong. Kalo paslon itu membuat program yang bisa merugikan rakyat, lalu tak diingatkan dan malah memberikan dukungan atau membiarkan pura-pura nggak tahu, maka akan ada pertanggungan jawabnya. Jangan sampai membiarkan kesalahan.

Jadi, memang kudu jeli, kudu selektif dalam memberikan dukungan. Nggak asal aja apalagi membabi buta. Modalnya cuma slogan “maju tak gentar membela yang bayar”. Perkara yang dibelanya jahat atau nggak, sepertinya nggak ada urusan. Kalo kejadian kayak gini jelas bagian dari kerusakan. Jangan dibiarkan dan jangan diikuti. Jadi, pilihlah yang benar-benar memperjuangkan kebaikan. Meski tentu paslon dan programnya nggak sempurna, tetapi setidaknya ada lebih banyak kebaikannya. Nah, itu yang kudu kamu pilih. No debat.

Agamaku, agamamu
Sobat gaulislam, yang nggak boleh sama sekali campur-campur adalah keyakinan. Ini kudu dibatasi, dan jelas semestinya ada aturan masing-masing. Nggak boleh ada yang lompat pagar dengan cara mencampuri urusan ibadah agama lain, apalagi merasa sebagai pahlawan sinkretisme (mencampurkan aturan budaya atau agama yang berbeda yang kemudian dianggap sama) dan pluralisme agama (menganggap semua agama itu sama, karena menuju tuhan yang sama meski berbeda jalan). Mereka kemudian koar-koar bahwa itu bagian dari toleransi. Padahal sebenarnya justru sedang merusak semua agama. Itu bukan toleransi.

Ya, karena aturan setiap agama nggak bisa disamain, dong. Udah punya pakem sendiri-sendiri. Jangan dipaksa saling mengakui kepercayaan agama lain. Jadi, toleransi itu sebenarnya adalah membiarkan. Ya, membiarkan tanpa ikut campur urusan agama satu sama lain. Itu sebabnya, jangan paksa orang kafir untuk shalat bersama muslim di masjid. Jangan pula paksa kaum muslimin untuk mengakui sesuatu yang ngak diyakininya, semisal dipaksa atau diajak untuk mengucapkan selamat pada hari perayaan agama lain. Nggak gitu konsep dan aturan mainnya. Masing-masing aja sih menjalaninya. Jangan ngajak-ngajak apalagi maksa-maksa. Sebab ada aturan, batasan, dan konsekuensinya. Intinya, bagiku agamaku, bagimu agamamu. Selesai.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”.” (QS al-Kafirun [109]: 1-6)

Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata,

وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق ، مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم ، فيقول: عيد مبارك عليك ، أو تهْنأ بهذا العيد ونحوه

“Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (sebagaimana ucapan selamat natal), hukumnya adalah haram berdasarkan kesepakatan/ijma’ para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka, kemudian mengatakan, ‘Semoga hari raya ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” (dalam Ahkam Ahli Dzimmah, juz 1, hlm. 441)

Betul. Sebab bagi kita yang muslim, nggak boleh mencampuri urusan agama orang lain. Mengucapkan selamat pada perayaan hari besar mereka justru malah berdosa karena sama saja membenarkan keyakinan tersebut. Jangan berdalih “cuma ngucapin nggak bakal merusak iman”. Padahal, justru ucapan tersebut adalah bentuk pengakuan pada sesuatu yang seharusnya tidak diyakininya. Mungkin bakal klarifikasi, “itu kan sekadar ucapan biasa, tidak sungguh-sungguh”. Mestinya dia berpikir sih, kan nggak ngucapin juga nggak bakalan ada masalah. Justru kalo ngucapin malah jatuh konsekuensi atas ucapannya, jadi masalah tentunya.

Imam as-Suyuthi asy-Syafi’iy rahimahullah berpendapat,

واعلم أنه لم يكن على عهد السلف السابقين من المسلمين من يشاركهم في شيء من ذلك. فالمؤمن حقاً هو السالك طريق السلف الصالحين المقتفي لآثار نبيه سيد المرسلين.

“Dan ketahuilah bahwa tidak pernah ada seorang pun pada masa generasi salaf terdahulu dari Kaum Muslimin yang ikut serta dalam hal apapun dari perayaan mereka (orang-orang kafir). Maka seorang Mukmin yang benar (imannya) adalah seseorang yang menempuh jalan Salaf ash-Sholih yang mengikuti jejak sunnah Nabi-Nya, penghulu para Rasul (Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam).” (dalam as-Suyuthi, Haqiqat as-Sunnah wa al-Bid’ah, hlm. 125)

Jadi, memang kita kudu istiqamah di jalan kebenaran Islam, agama yang kita yakini. Agama yang diridhai oleh Allah Ta’ala. Satu-satunya. Nggak ada yang lain.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS Ali Imran [3]: 19)

Pada ayat lain, firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali Imran [3]: 85)

Itu sebabnya, pertahankan status kita sebagai muslim sampai akhir hayat kita. Semoga kita istiqamah dalam kebenaran Islam. Syaikh Muhammad Khalil Harras rahimahullah berkata,

ومن استقام على صراط الله الذي هو دينه الحق في الدنيا استقام على هذا الصراط

في الآخرة؛ وقد ورد في وصفه أنه أدق من الشعرة وأحد من السيف.

“Orang yang ketika di dunia bersungguh-sungguh untuk istiqamah di atas jalan Allah yaitu agama-Nya yang benar, niscaya dia akan istiqamah (melewati) shirath (jembatan yang terbentang di atas neraka) nanti di akhirat. Disebutkan tentang ciri shirath, bahwa ia lebih tipis daripada sehelai rambut dan lebih tajam daripada sebilah pedang.” (dalam Syarah Akidah al-Wasithiyyah, hlm. 111)

Yuk, kita kokohkan iman kita, kuatkan tauhid kita, tunjukkan adab sebagai muslim, kuatkan ilmu kita, dan buktikan pembelaan kita kepada Islam. Kudu berani juga menunjukkan izzah (kemuliaan) sebagai muslim. Ya, ini jalanku, itu jalanmu. Gituin aja kalo ada orang yang ngerecokin pilihan hidup kita, apalagi pilihan kita sebagai muslim. Semangat! [O. Solihin | IG @osolihin]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *