Saturday, 27 July 2024, 12:39

gaulislam edisi 777/tahun ke-15 (15 Shafar 1444 H/ 12 September 2022)

Aduh, ini bahasanya kok nyelekit amat, ya? Ah, biasa aja, sih. Tergantung siapa yang merespon. Kalo yang merespon judul ini adalah orang yang sedang hot pacaran, ya bisa jadi marah-marah bin sewot. Sebab, ketika dibilangin, “Pacarmu belum tentu jodohmu. Jadi jangan bangga bisa pacaran. Itu sebabnya jangan bodoh soal jodoh”, sangat boleh jadi makin senewen. Padahal, secara fakta ada benarnya ungkapan tersebut.

Jadi, tenang saja sobat. Nggak usah ngotot melakukan pacaran demi melepas status jomblo lalu merasa pacarmu adalah jodohmu. Nggak lah. Kalo istrimu atau suamimu jelas sudah jadi jodohmu. Jangan salah logikanya, ya. Lagian, jodoh sudah diatur sama Allah Ta’ala. Tugas kita hanya beriman kepada-Nya dan meyakini kekuasaan dan pertolongan-Nya. Termasuk bagi kamu yang udah putus ama pacarmu, lho. Jangan sampe malah kamu memilih melupakan mantanmu, tetapi tergesa pindah ke lain hati, lalu pacaran lagi. Itu sih bukan nyadar, cuma pindah kamar. Nggak baik. Lho, emangnya nggak boleh tergesa ungkapkan cinta?

Ah, jatuh cinta sih boleh aja. Nggak ada yang ngelarang, kok. Tapi kamu tetep cool, jangan keburu geer kalo ada lawan jenis yang membalas senyummu. Jangan pula tergesa ungkapkan cinta, karena jujur saja, tak selamanya manusia bisa mengendalikan cinta. Itu sebabnya, biasa aja kalo kamu kebetulan mendadak jadi suka sama teman kamu yang lawan jenis.

Umumnya sih, reaksi spontan saat orang yang kamu suka berpapasan denganmu, eh tanpa sadar biasanya kamu akan merapikan dandananmu. Tanpa perlu dikomando kayak tentara kamu akan langsung sumringah begitu bisa mencuri pandang inceranmu. Kamu jadi merasa paling bahagia di dunia ini. Sebabnya, karena bisa memiliki cinta. Bahkan kepengen banget teriak sama teman-temanmu: “Yes, aku bisa jatuh cinta!”

Oya, emang perasaan cinta itu nggak bisa ditahan-tahan. Nggak bisa dihalangi dengan kekuatan apa saja. Bahkan adakalanya nggak bisa digeser-geser en dipindah-pindah ke lain hati (emangnya pot bunga, digeser-geser?). Maka jangan heran kalo kita ingin rasanya buru-buru menuntaskan rindu kita kepada seseorang yang membuat kita nggak nyenyak tidur siang-malam. Kita ingin agar perasaan kita benar-benar saling berbalas. Kita ingin jadikan ia sebagai dermaga tempat cinta kita berlabuh. Sampai tanpa sadar bahwa kita dikendalikan oleh cinta.

Tapi saran saya, jangan keburu “geer” kalo tiba-tiba kamu punya rasa cinta kepada lawan jenis. Kenapa? Karena kalo kamu belum kuat menahan bebannya, bisa blunder. Kamu bisa sakit hati. Bayangin aja ketika kamu terlalu “geer” alias gede rasa, kamu nekatz menembak lawan jenismu. Kamu bisa dan siap ngincer lalu nembak lawan jenismu. Namun, seringkali di usia sepantaran kamu yang masih ABG dan “pensiunan” ABG sering nggak siap menerima kenyataan. Mungkin karena kurang pengalaman, jadinya pas ditolak, teroris bertindak (idih, serem banget).

Jadi intinya, boleh saja jatuh cinta. Nggak ada yang larang kok kalo kamu jatuh hati. Wajar aja lagi. Tapi, mbok ya jangan keburu geer gitu lho, hingga menafsirkan kalo cinta harus diwujudkan dengan bersatunya dua hati, lalu tergesa ungkapkan cinta. Padahal, seringkali di antara kamu yang masih bau kencur nggak siap dengan kenyataan. Dalam bayanganmu, cinta itu harus bersatu, cinta itu harus saling memiliki, itu sebabnya mau tidak mau cinta itu harus berbalas dan akhirnya pacaran. Padahal, banyak kasus berakhir dengan kecewa. Itu karena kamu ngotot cinta sama si dia, sementara si dia juga ngotot nolak kamu. Walah, itu namanya percintaan sepihak dong?

Yup, maka jangan tergesa ungkapkan cinta, apalagi jika itu dilakukan hanya untuk syarat agar bisa ngelakuin pacaran (termasuk manas-manasin pacarmu). Wedew, bahaya besar tuh. Sabar aja dulu, sampai suatu saat kamu udah siap segalanya dan udah dipertimbangkan dengan benar dan baik, maka ketika tiba masa itu, langsung aja khitbah lalu nikah. Ok? Kayaknya kamu mulai pada manggut-manggut ngerti ya. Semoga.

Misteri jodoh

Sobat gaulislam, kalo pun kini kamu udah bisa melupakan mantanmu, namun tetap saja soal jodoh masih belum tahu, kan? Masih misteri. Siapa tahu justru nanti jodohmu adalah mantanmu itu. Atau sebaliknya, mungkin juga mantanmu itu benar-benar bakalan ‘lenyap’ tak berbekas di hatimu walau kini kamu ngotot pengen balik lagi ke mantanmu. Allah Ta’ala sudah mengatur untuk pasanganmu kelak. So, realistis aja ya. Nggak usah ngotot pengen dapetin mantanmu, atau benar-benar melupakan mantanmu. Namun demikian, yang terpenting adalah cara mendapatkannya. Kalo kamu dapetinnya dengan cara halal, insya Allah bahagia dan tenang. Kalo dapetinnya dengan cara yang nggak syar’i, ya kamu juga pastinya nggak bakalan nyaman. Iya, kan? Semua ada aturan mainnya dan konsekuensinya.

Allah Ta’ala Maha Adil. Kalo kamu merasa nggak diberikan keadilan, bukan salah Allah Ta’ala, tetapi cobalah introspeksi. Sangat boleh jadi salahnya ada di kamu. Juga, harus dipahami bahwa dalam Islam ada konsep “ujian”. Meski kamu merasa bahwa kamu sudah baik, belum tentu dibiarkan begitu saja. Pasti akan diuji. Apakah benar kebaikan yang selama ini kita lakukan, atau sekadar topeng saja. Sebatas di bibir, belum menyentuh ke hati.

Urusan jodoh Allah Ta’ala yang mengaturnya, tugas kita adalah bagaimana merencanakan dan berupaya untuk menjadi lebih baik agar sesuai dengan kehendak Allah Ta’ala. Firman-Nya (yang artinya), “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).” (QS an-Nuur [24]: 26)

Ayat ini diturunkan untuk menunjukkan kesucian ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dan Shafwan bin al-Mu’attal radhiallahu ‘anhu dari segala tuduhan yang ditujukan kepada mereka. Pernah suatu ketika dalam suatu perjalanan kembali dari ekspedisi penaklukan Bani Musthaliq, ‘Aisyah terpisah tanpa sengaja dari rombongan karena mencari kalungnya yang hilang dan kemudian diantarkan pulang oleh Shafwan yang juga tertinggal dari rombongan karena ada suatu keperluan. Kemudian ‘Aisyah naik ke untanya dan dikawal oleh Shafwan menyusul rombongan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, akan tetapi rombongan tidak tersusul dan akhirnya mereka sampai di Madinah. Peristiwa ini akhirnya menjadi fitnah di kalangan kaum muslimin kala itu karena terhasut oleh isu dari golongan Yahudi dan munafik jika telah terjadi apa-apa antara ‘Aisyah dan Shafwan.

Masalah menjadi sangat pelik karena sempat terjadi perpecahan di antara kaum muslimin yang pro dan kontra atas isu tersebut. Sikap Nabi juga berubah terhadap ‘Aisyah, beliau menyuruh ‘Aisyah untuk segera bertaubat. Sementara ‘Aisyah tidak mau bertaubat karena tidak pernah melakukan dosa yang dituduhkan kepadanya. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha hanya menangis dan berdoa kepada Allah agar menunjukkan yang sebenarnya terjadi. Kemudian Allah menurunkan ayat ini yang juga satu paket dalam surat an-Nuur ayat 11-26.

Oya, memang ayat ini secara asbabul nuzul terkait peristiwa tersebut, tetapi bisa juga digunakan pada kondisi umum. Namun, ada semacam syarat dan ketentuan yang berlaku. Begini penjelasannya.

Ayat ini bersifat umum, bahwa wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, begitu juga sebaliknya. Namun yang perlu dipahami adalah ayat ini sebuah kondisi atau memang anjuran, sebab para ulama banyak mengemukakan pendapat tentang hal ini. Syaikh Muhammad Mutawalli as-Sya’rawi, ulama Mesir pernah berkata: ada dua macam kalam (kalimat sempurna) dalam bahasa Arab. Pertama; kalam yang mengabarkan kondisi atau suasana yang ada. Kedua, kalam yang bermaksud ingin menciptakan kondisi dan suasana.

Kalam seperti ini bisa ditemukan dalam Quran. Seperti firman Allah dalam al-Quran surah Ali-Imran ayat 97: “Barangsiapa yang memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia.” Ayat itu kalau dipahami, bahwa Allah sedang mengabarkan kondisi dan suasana kota Mekah sesuai kenyataan yang ada, maka tentu tidak akan terjadi hal-hal yang bertolak belakang dengan kondisi itu. Akan tetapi, kalau ayat itu dipahami, sebagai bentuk pengkondisian suasana, maka Allah Ta’ala sesungguhnya tengah menyuruh manusia, untuk menciptakan kondisi aman di kota Mekah. Kalaupun kenyataan banyak terjadi, bahwa kota Mekah kadang tidak aman, maka hal itu artinya, manusia tidak mengejawantahkan alias tidak melaksanakan perintah Allah.

Pemahaman yang sama juga bisa ditelaah pada surah an-Nuur ayat 26 ini, “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).”

Pada kenyataan yang terjadi, justru ada pula laki-laki yang baik malah mendapatkan istri yang keji, begitu pula sebaliknya. Maka memahami ayat tersebut sebagai sebuah perintah, untuk menciptakan kondisi yang baik-baik untuk yang baik-baik, adalah sebuah keharusan. Kalau tidak, maka kondisi terbalik malah yang akan terjadi. Jangan sampe, deh.

Kalau kita bandingkan dengan firman Allah Ta’ala pada ayat ini, dimana kalimat digunakan untuk umum, “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” (QS an-Nuur [24]: 3)

Di ayat ini lebih tegas mengandung “unsur perintah” untuk mencari pasangan yang sepadan. Sehingga ayat 26 bisa dimengerti sebagai sebuah motivasi atau anjuran untuk mengondisikan dan bukan sebagai ketetapan bahwa yang baik “otomatis” akan mendapatkan pasangan yang baik. Hal ini tentu memerlukan usaha untuk memperbaiki diri lebih baik.

Ayat tersebut bukanlah merupakan janji Allah kepada manusia yang baik akan ditakdirkan dengan pasangan yang baik. Sebaliknya ayat tersebut merupakan peringatan agar kaum muslimin memilih manusia yang baik untuk dijadikan pasangan hidup. Itu sebabnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang anjuran memilih pasangan, yaitu lazimnya dengan empat pertimbangan, dan terserah yang mana saja. Namun yang agamanya baik tentu sangat dianjurkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Wanita itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, kemuliaan nasabnya, kecantikannya, dan karena agamanya. Maka nikahilah wanita yang baik agamanya niscaya kamu beruntung.” (HR Bukhari)

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Begitulah penjelasannya. Jadi, soal jodoh ini Allah Ta’ala yang mengatur. Kita hanya bisa merencanakan dan mengupayakan. Namun demikian, rencanakan agar bisa mendapatkan pasangan yang baik.

Apa upayanya? Tentu saja, kalo kita ingin dapetin yang baik, maka kita juga kudu baik. Malu dong, pengen dapetin yang baik, kitanya sendiri nggak berusaha untuk menjadi baik. Itu sih sama aja, kita pengen jadi juara umum di sekolah, tetapi syarat untuk mendapatkannya nggak kita upayakan. Itu namanya bagai pungguk merindukan bulan. Yuk, berbenah jadi baik, agar kita diberikan kemudahan oleh Allah Ta’ala untuk mendapatkan jodoh pasangan hidup yang baik pula. Deal ya? Sip!

Eh, tapi kan kamu masih sekolah, ya? Ehm.. ampir lupa. Ya udah deh, tulisan ini jadi bekal kamu di kemudian hari aja. Saya juga sudah tahu soal beginian ketika masih remaja. Tahan dulu, jangan pacaran. Mending siapkan diri untuk menikah kelak. Sebab, pacarmu belum tentu jodohmu, bahkan bisa jadi bukan jodohmu. Kalo kamu memilih pacaran, udah jelas dosanya. Tiap hari dosa karena pacaran, padahal pacarmu belum tentu jadi jodohmu. Jangan sampe kamu rugi. Stop bodoh soal jodoh! [O. Solihin | IG @osolihin]