Friday, 29 March 2024, 00:03

 gaulislam edisi 257/tahun ke-5 (8 Dzulqaidah 1433 H/ 24 September 2012)

 

Akankah kita hanya mampu diam seribu bahasa, tak bergerak untuk berubah, tetap bergeming meski kondisi terus membuat kita kian terpuruk? Jika hanya mampu diam, jelas itu adalah cara terburuk menghadapi masalah. Kamu tahu kan, ada pameo, “Semut saja kalo diinjek mati, eh ngelawan”? Nah, apalagi manusia? Tentu saja kalo manusianya nyadar dan punya pikiran bener, perasaannya nggak sedang terganggu. Tetapi kalo nggak nyadar dan lagi galau pikir dan rasanya ya bablas juga. Tetap nggak bakalan bisa merasakan kondisi dirinya, apakah sedang berjaya, atau malah sedang nyungsep terbenam dalam lumpur kesengsaraan.

Bro en Sis rahimakumullah pembaca setia gaulislam, ngomongin soal judul buletin gaulislam edisi 257 ini sebenarnya patut bikin renungan bagi kita. Sebab, yang sedang diceritakan dalam kisah buih di lautan itu adalah kondisi kita saat ini. Yup, kondisi kaum muslimin. Sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya: “Akan datang suatu masa, dalam waktu dekat, ketika bangsa-bangsa (musuh-musuh Islam) bersatu-padu mengalahkan (memperebutkan) kalian. Mereka seperti gerombolan orang rakus yang berkerumun untuk berebut hidangan makanan yang ada di sekitar mereka”. Salah seorang shahabat bertanya: “Apakah karena kami (kaum Muslimin) ketika itu sedikit?” Rasulullah menjawab: “Tidak! Bahkan kalian waktu itu sangat banyak jumlahnya. Tetapi kalian bagaikan buih di atas lautan (yang terombang-ambing). (Ketika itu) Allah telah mencabut rasa takut kepadamu dari hati musuh-musuh kalian, dan Allah telah menancapkan di dalam hati kalian ‘wahn’”. Seorang shahabat Rasulullah bertanya: “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan ‘wahn’ itu?” Dijawab oleh Rasulullah saw.: “Cinta kepada dunia dan takut (benci) kepada mati”. (dalam at-Tarikh al-Kabir, Imam Bukhari; Tartib Musnad Imam Ahmad XXIV/31-32; “Sunan Abu Daud”, hadis No. 4279)

Hadits ini pas dengan kondisi kita saat ini, atau bahkan sebenarnya sudah sejak ratusan tahun yang lalu secara turun temurun dari generasi ke generasi tanpa disadari. Astaghfirullah. Kita jumlahnya banyak Bro en Sis, lebih dari 1,5 miliar saat ini. Tetapi kita tercerai-berai dalam banyak negara, golongan, partai, organisasi dan bahkan kelompok-kelompok kecil. Sehingga kita tak mampu bersatu padu melawan musuh-musuh yang sudah jelas menginjak-injak kehormatan kita sebagai muslim.

Sobat muda muslim, kalo merenungkan kondisi beberapa pekan terakhir kita. Ya, beberapa pekan terakhir saja, nggak usah jauh-jauh hingga puluhan tahun yang lalu, kita seharusnya sadar dan merenung dalam-dalam. Gimana nggak Bro en Sis, tuduhan dalam isu dan kasus terorisme jelas-jelas diarahkan kepada Islam dan kaum muslimin. Buktinya, semua yang terduga teroris itu muslim—bahkan Direktur BNPT (Badan Nasional Penanggulan Terorisme), Ansyaad Mbai dalam sebuah pemberitaan di media menyebutnya teroris, bukan lagi terduga. Hal ini sengaja membangun persepsi bahwa pelaku sudah pasti teroris, padahal masih ada kemungkinan bukan. Sebabnya, bagaimana mungkin bisa mengklarifikasi kepada terduga teroris, wong banyak yang langsung di-dor mati.

Itu baru soal terorisme Bro en Sis. Berikutnya kita dibawa pada pemberitaan yang masih terkait tetapi lebih spesifik soal kegiatan Rohis (Kerohanian Islam) di sekolah. Metro TV pada 5 September 2012 menayangkan dialog di program Metro Hari Ini bersama narasumber Guru Besar Universitas Islam Negeri Jakarta Profesor Bambang Pranowo, mantan Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono dan pengamat terorisme Taufik Andri.

Dalam dialog tersebut Profesor Bambang Pranowo menyampaikan hasil penelitiannya bahwa ada lima pola rekrutmen teroris muda. Salah satunya melalui ekstrakurikuler di masjid-masjid sekolah. Dalam dialog itu dijelaskan, bahwa sasaran “teroris”  adalah siswa SMP akhir – SMA dari sekolah-sekolah umum, mereka juga masuk melalui program ekstrakurikuler di masjid-masjid sekolah. Siswa-siswi yang terlihat tertarik kemudian diajak diskusi di luar sekolah dan mereka dijejali berbagai kondisi sosial yang buruk, penguasa korup, keadilan tidak seimbang. Yang tidak kalah penting, katanya,  mereka didoktrin bahwa penguasa adalah thogut/kafir/musuh. (hidayatullah.com)

Setelah isu terorisme dan tuduhan bahwa rohis sarang teroris mereda muncullah berita seputar film Innocence of Muslims yang memicu gelombang unjuk rasa di berbagai negara, termasuk di negeri kita. Saya pernah melihat trailer film itu, dan kebetulan murid-murid saya di Pesantren Media menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia sehingga masyarakat umum bisa tahu isi propaganda dari film itu. Film ini pun secara khusus sempat menjadi topik diskusi aktual pekanan di Pesantren Media untuk menambah informasi dan opini yang berkembang dari kemunculan film tersebut. Wajar, bila kaum muslimin marah. Sebab, dalam film itu memang digambarkan sosok yang disebut-sebut sebagai Rasulullah Muhammad saw. Nabi kita dilecehkan dengan sebutan-sebutan hina (yang tak pantas saya tulis lagi di sini). Sungguh terlalu.

Film yang berisi pelecehan terhadap Islam dan Nabi Muhammad saw. ini pertama kali ditayangkan di wilayah California, AS dalam bahasa Arab awal tahun ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Mesir. Film ini konon kabarnya disutradarai seorang zionis berkewarganegaraan Amerika, Sam Bacile (54), namun berita yang muncul diberbagai media mengungkapkan bahwa otak di belakang pembuatan film ini ternyata seorang penganut Kristen koptik bernama Nakoula Basseley, lahir tahun 1957 di Mesir dan kemudian menetap di California, Amerika Serikat.

Saat kita masih marah atas pelecehan terhadap Nabi Muhammad saw. dalam film Innocence of Muslims, muncul pula kartun Nabi Muhammad saw. di surat kabar Charlie Hebdo, Perancis. Nggak tanggung-tanggung, 20 kartun sekaligus! Alasan yang dikemukakan adalah kebebasan pers. Hadeeuh, bebas sih bebas, tapi giliran melecehkan Islam dan kaum muslimin malah paling semangat. Ini namanya menabur kebencian.

Bro en Sis pembaca gaulislam, atas semua ini. Ya, atas semua kondisi ini, astaghfirullah, kita hanya mampu teriak, marah, unjuk rasa lalu padam semangatnya. Meski yang bereaksi ini tentu masih mendingan ketimbang kaum muslimin yang sama sekali diam dan cuek alias nggak mau mikirin.

 

Ayo bangun dari tidurmu!

Pernah lihat buih di lautan? Ya, terombang-ambing di tengah gelombang. Perumpamaan yang masuk akal dari Rasulullah saw. Kita, jumlahnya banyak. Tetapi kita mudah dilecehkan, dihina, dipermainkan hingga dibantai musuh-musuh Islam. Kaum muslimin tercerai-berai dalam lebih dari 50 negara. Kehebatan dan kemuliaannya terborgol dalam kotak-kotak sempit bernama nasionalisme, golongan, kelompok, partai, komunitas. Sungguh tak nampak kehebatannya sebagai ‘mantan’ negara adidaya yang memimpin dunia lebih dari seribu tahun lamanya.

Kisah kita, yang seperti buih di lautan memang menyedihkan, memilukan, mengenaskan. Umat Islam saat ini bagaikan buih di lautan yang terombang-ambing gelombang. Siap dimangsa kapan saja dan di mana saja oleh musuh-musuhnya. Meski banyak, namun nggak ubahnya gerombolan domba yang siap saja ketika harus digiring ke tempat pen­jagalan. Rentetan kisah tragis tengah terjadi di dunia Islam. Nasib tragis kaum muslimin di Palestina, Afghanistan, Irak, Rohingya, dan negeri-negeri lainnya, membuktikan ternyata kita nggak mampu meredamnya sedikit pun. Darah dan air mata kaum muslimin begitu saja ditumpahkan, tanpa ada perlawanan berarti dari kaum muslimin yang lain. Menyedihkan memang.

Sobat muda muslim, dikisahkan ketika terjadi penyerbuan tentara Tartar dari Mongo­lia. Betapa konyol dan pasrahnya kaum muslimin saat itu, digam­barkan oleh ahli sejarah, se­orang tentara Tar­tar yang menemukan tempat persembunyian kaum muslimin (lelaki, wanita dan anak-anak). Ia berkata: “Sayang sekali, aku tidak membawa senjata untuk membunuh kalian. Awas, jangan bergerak. Tunggu sampai aku kembali membawa pedangku.” Nggak lama kemudian ia kembali dengan membawa pedangnya dan menjagal satu per­satu kaum muslimin tersebut. Nggak ada sedikit pun usaha kaum muslimin untuk mening­galkan tempat itu, misalnya dengan melarikan diri. Menyedihkan! (lebih rinci tentang kekejian dan kejahatan pasukan Tartar dalam buku al-Bidayah wan Nihayah, oleh Ibnu Kathir jilid 13, Hlm. 83-88 dan buku al-Kamil fit Tarikh, oleh Ibnul Athir, jilid 9, hlm. 329-386).

Sobat gaulislam, para penguasa negeri-negeri kaum muslimin nggak kuasa menghadapi berbagai intimidasi yang berujung kepada penyerahan diri secara menghinakan. Benturan-benturan ekonomi, politik, sosial bahkan hukum dan pemerintahan, telah meng­antarkan mereka kepada penghambaan terhadap bangsa-bangsa Barat yang kufur dan jelas-jelas memerangi Islam dan kaum muslimin. Waduh, bahaya banget dah!

Melihat kenyataan ini tentu saja harus menghentikan diam kita, Bro en Sis. Jangan bengong, apalagi planga-plongo nggak jelas kayak orang bingung abis dipindahin tempat tidurnya ama jin. Berasa lagi tidur di kasur empuk ternyata pas bangun sudah ada di bis jurusan Surabaya, lalu ditagih ongkosnya ama kondektur bis. Pasti bingung banget kan? Hehehe.. ngasal banget nih gue nulis!

Yuk, kita seharusnya bangga dengan Islam dan ribuan ulama yang senantiasa menjaga Islam agar sampe kepada kita dari sumber yang asli. Itu sebabnya, meski telah lebih dari seribu tahun sejak masa kenabian Muhammad saw., tapi kita tetap mengenal Islam. Al-Quran menemani kita sebagai penunjuk jalan hidup, dan ribuan kitab yang ditulis oleh ribuan ulama, bahkan mungkin jutaan ulama sebagai pewaris nabi yang siap mengenalkan Islam lebih detil. Semua itu menuntun kita untuk mengetahui syariat Islam, akidah Islam, dakwah Islam, dan keilmuan Islam lainnya, serta sejarah kedigdayaan Islam seperti di masa kekhilafahan. Kita, siap kembali mewujudkan diterapkannya syariat Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyah. Insya Allah. [solihin | Twitter @osolihin]

1 thought on “Kisah Buih di Lautan

Comments are closed.