Sunday, 28 April 2024, 20:02

gaulislam edisi 841/tahun ke-17 (20 Jumadal Awwal 1445 H/ 4 Desember 2023)

Dunia dikejar bak bayangan tak bertepi. Kita diem, bayangan diem. Kita bergerak bayangan diri kita ikut bergerak. Begitulah. Dunia memang menyilaukan dan membuat penasaran, banyak orang tergoda ingin meraihnya. Tak salah sebenarnya, jika sesuai tuntunan. Namun bisa berbahaya bila menabrak aturan. Pengen punya duit, cari dengan cara halal. Jangan nyuri, jangan korupsi. Pengen punya jabatan, berusahalah untuk memiliki keterampilan yang diperlukan. Tunjukkan kemampuan dengan cara yang benar dan baik. Bukan malah nginjek orang, ngambil hak orang lain, dan berlaku curang. Jangan sampai dunia membuatmu lupa diri, lupa kondisi, bahkan melupakan akhirat.

Sobat gaulislam, kalo diperhatikan dalam kehidupan sehari-hari, manusia memang suka terhadap dunia. Nggak bisa dipungkiri. Itu fitrahnya. Menyukai sesuatu yang menyenangkan bagi dirinya. Kita nggak bisa mematikan keinginan itu, hanya bisa mengendalikan. Kita membutuhkan makanan, tetapi nggak semua makanan kita makan. Ada yang suka, ada yang nggak kita suka. Ada yang boleh dimakan, ada yang haram dimakan. Jadi, ada aturannya. Jangan sampe mentang-mentang kita suka terhadap suatu makanan, lalu membuat kita lupa diri dan menabrak aturan. Kalo itu makanan punya orang, ya jangan diambil, jangan dicuri. Kalo itu haram, ya jangan memaksa memakannya. Ada aturan, ada batasan.

Manusia dibekali potensi hidup berupa gharizah (naluri) dan hajatul udhowiyah (kebutuhan jasmani). Manusia memiliki naluri mempertahankan diri (gharizatul baqa). Perwujudannya, ingin dihargai, dihormati. Nggak sekadar dianggap bilangan, tetapi juga ingin diperhitungkan. Itu sebabnya, dia ingin tetap eksis, pengen punya kedudukan, dan ingin tetap hidup. Kalo ada ancaman dia akan bereaksi menghindar atau melawan. Punya rasa takut. Takut cedera, takut dikhianati, takut ditinggalkan, takut dikorbankan, takut mati. Intinya, gimana caranya agar bisa mempertahankan diri. Silakan kamu bisa eksplor contoh-contohnya.  

Naluri berikutnya yang dimiliki setiap manusia adalah naluri melestarikan jenis (gharizatun nau’). Perwujudannya dengan rasa cinta. Ya, setiap manusia punya rasa cinta. Cinta kepada lawan jenis, cinta kepada orang tua, cinta kepada sesama muslim, dan cinta kepada sesama manusia. 

Terakhir, naluri mensucikan sesuatu (gharizatut tadayyun). Manusia itu lemah, membutuhkan pertolongan. Itu sebabnya, ada saling membantu, saling menolong. Butuh juga zat yang Maha segalanya. Sesama manusia bisa saling menolong, tetapi jika di antara manusia udah nggak bisa saling menolong, seperti ketika terombang-ambing di atas kapal di lautan lepas akibat badai, maka pasti meminta pertolongan kepada yang bisa melebihi pertolongan manusia, yakni kepada pencipta manusia. Allah Ta’ala.

Beragama itu fitrah asasi manusia, lho. Kenapa ini fitrah? Karena sesuai dengan potensi hidup manusia. Jadi manusia tuh memiliki yang namanya potensi hidup. Nah, potensi hidup inilah yang akan mendorong manusia untuk melakukan kegiatan dan menuntut pemuasan. Potensi ini terwujud dalam dua manifestasi alias penampakan atau bentuk. Pertama, menuntut pemenuhan yang bersifat pasti. Artinya nih, kalo nggak terpenuhi manusia akan binasa. Nah, ini yang dinamakan dengan kebutuhan jasmaniyah (hajatul ‘udhowiyah) seperti makan, minum dan buang hajat. Kedua, menuntut adanya pemenuhan saja dan jika nggak terpenuhi, manusia nggak bakalan mati, hanya saja akan merasa gelisah hingga terpenuhinya kebutuhan tersebut. Hmm.. inilah yang dinamakan dengan naluri (gharizah).

Terus nih, ditinjau dari segi munculnya dorongan (tuntutan pemuasan), naluri berbeda lho dengan kebutuhan jasmaniyah. Karena apa? Karena dorongan kebutuhan jasmani bersifat internal. Misalnya aja nih, kita kepengen makan karena lapar. Kalo perut udah kenyang mah, ada makanan lezat juga nggak nafsu, dah. Jadi emang nggak perlu dorongan dari luar. Belum ada ceritanya orang tiba-tiba merasa lapar karena udah ngeliat wajah temennya yang kayak pecel lele (waaah sadis banget!). Nggak ada dari sononya orang jadi tiba-tiba lapar (padahal perutnya udah full tank) setelah melihat ada gambar sepotong ayam goreng yang renyah.

Beda ama naluri, lho. Why? Karena lahirnya perasaan yang menuntut pemenuhan pada naluri didorong oleh pemikiran-pemikiran tentang sesuatu yang dapat memengaruhi perasaan, atau suatu kenyataan yang dapat diindera. Misalnya nih, naluri untuk mengembangkan keturunan/melestarikan jenis, bisa terangsang karena seseorang memikirkan atau melihat wanita (termasuk kalo cewek, ya melihat cowok) atau segala sesuatu yang berkaitan dengan seks.

Oya, kalo rangsangan-rangsangan itu nggak ada, maka naluri pun nggak muncul. Karena emang rangsangannya dari luar bukan dari dalam tubuh manusia. Termasuk dalam naluri ini adalah naluri beragama. Naluri ini bisa muncul dengan adanya pemikiran-pemikiran mengenai informasi-informasi seputar “sesuatu” yang bisa disembah. Kalo untuk kaum Muslimin, yakni dengan memikirkan ayat-ayat (tanda-tanda kebesaran ciptaan) Allah Ta’ala.

Dunia bukan segalanya  

Sobat gaulislam, mungkin di antara kamu ada yang masih bingung ya, kok bahas dunia malah nyerempet ke naluri dan kebutuhan jasmani. Jadi gini, manusia itu makhluk, Allah Ta’ala itu pencipta. Kita, manusia, adalah hamba Allah Ta’ala. Maka, wajib bagi kita hanya beribadah kepada Allah Ta’ala dan meminta pertolongan juga kepada-Nya. Itu artinya pula, kita wajib mengikuti aturan-Nya. Taat kepada syariat-Nya. Maka, dalam mengejar dunia pun kita kudu tahu batasan dan aturannya. Nggak ngasal. Jangan sampe lelah mengejar dunia tetapi nggak dapat apa-apa alias sia-sia. Atau bahkan rugi karena melanggar aturan Allah Ta’ala. Lebih celaka lagi jika dunia lelah dikejar nggak dapet, kebahagiaan akhirat tak bisa diraih. Aduh, jangan sampe, deh!

Kalo kamu ingin meraih kedudukan atau jabatan di dunia sebagai bagian dari fitrah manusia yang ingin memenuhi eksistensi diri dengan kedudukan dan jabatan yang dimiliki, carilah dengan cara yang halal, benar, dan baik. Agar barokah. Jangan pake cara salah, jangan curang, jangan ngambil hak orang lain. 

Begitu juga kalo kamu punya rasa suka dan rasa cinta, pastinya sesuai tuntunan syariat. Jangan salah menyukai dan mencintai. Naluri melestarikan jenis berarti normalnya adalah menyukai dan mencintai lawan jenis, bukan sejenis. Itu sebabnya, LGBT dilarang dalam Islam. Kalo pun melampiaskan kepada lawan jenis, pastikan sesuai tuntunan syariat Islam. Jangan pacaran, jangan berzina. Harus melalui ikatan pernikahan yang sah.

Jadi nih, kalo kamu mencari kedudukan dunia dengan jabatan atau pangkat agar bisa dihormati dan disegani demi eksistensi diri, dan ini adalah urusan dunia, maka wajib mengikuti aturan. Jangan tabrak aturan. Jangan menghalalkan segala cara sekehendak nafsumu. 

Begitu pun dalam urusan cinta dan syahwat juga kudu ngerti aturan dan batasan. Jangan bergaul bebas dengan lawan jenis, jangan menyimpang dalam perilaku seksual (LGBT), jangan pacaran, jangan umbar aurat di dunia maya dan di dunia nyata, jaga kesucian diri. Apalagi kalo sampe mengorbankan harga diri dan kehormatan diri untuk tujuan duniawi yang fana, misalnya menjadi pelacur. Jangan. Bahaya. Itu namanya, lelah mengejar dunia, akhirat dilepas. Apalagi dunia tak didapat, akhirat sudah terlanjur ditinggalkan. Ngeri.

Dalam beragama juga sama. Ada aturan dan batasannya. Jangan asal nyembah sesuatu, jangan syirik. Jangan punya pemikiran yang liberal dengan mengatakan semua agama sama. Itu salah. Sebab, hanya Islam yang benar, yang lain salah. Ini akidah, lho. Harus bener. Jangan sampai ngejar dunia malah akhirat dilepas karena mengamalkan pemahaman agama dengan cara yang salah.

Jadi, karena dunia bukan segalanya, maka bijaklah dalam mengejarnya. Jangan sampe lelah, tetapi rugi bertambah. Maka, ikuti syariat agar selamat di dunia dan juga di akhirat.

Dunia sejatinya hina, jika…

Sobat gaulislam, Ibnu Abdil Bar rahimahullah mengatakan, “(Fokus hanya) mencari dunia dapat menghalangi untuk mengambil faidah ilmu (agama). Semakin seorang rakus dalam mencari dunia maka dia akan semakin bodoh terhadap agama dan semakin sedikit amalnya.” (dalam at-Tamhid lima fi al-Muwaththa’ min al-Ma’ani wa al-Asanid, jilid 3, hlm. 202)

Berarti kalo seseorang hanya fokus mengejar dunia, biasanya akan kesulitan untuk mengambil faidah ilmu agama. Hari-harinya disibukkan dengan mengejar harta dan urusan pekerjaan. Tak ada waktu lagi untuk belajar ilmu agama. Bahkan sekadar untuk membaca al-Quran. Sungguh menyedihkan.

Nasihat menarik dari al-Allamah Abu Muhammad Ibnu Hazm rahimahullah yang berkata, “Seseorang yang mengorbankan jiwanya demi mengejar harta dunia, bagaikan pedagang yang menukar permata dengan kerikil.” (dalam al-Akhlak wa Siyar fi Mudawah an-Nufus, hlm. 21)

Itu sebabnya, jangan rakus dan hanya fokus untuk mengejar dunia. Itu bisa melalaikan kewajibanmu terhadap akhiratmu. Seperti peribahasa “Mengharapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan”. Artinya mengharapkan keuntungan yang besar yang belum pasti, yang sudah dimiliki dibuang-buang/disia-siakan, sehingga akhirnya tidak punya apa-apa.

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Engkau tidak akan menjumpai manusia yang paling lelah daripada orang yang dunia menjadi keinginan terbesarnya, dan dia berambisi dengan mengerahkan segenap kemampuan untuk mendapatkan dunia.” (dalam Ighatsatul Lahfan, jilid 1, hlm. 36)

Sungguh lelah nian rasanya, karena mengejar dunia itu bak mengejar bayangan tak bertepi. Lalu bagaimana sebaiknya menyikapi dunia? Imam Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Semoga Allah merahmati suatu kaum yang menganggap dunia yang ada pada mereka sebagai titipan, hingga mereka mengembalikannya kepada Dzat yang mengamanahkannya. Kemudian, mereka dapat beristirahat dengan tenang, tidak ada beban berat. Sungguh, aku menjumpai suatu kaum yang dunia datang kepada salah seorang mereka. Dia dipaksa menerimanya. Namun, dia meninggalkannya seperti seseorang yang takut kepada hari kiamat. (dalam Adab al-Hasan al-Bashri wa Zuhduhu wa Mawaizhuhu, hlm. 65)

Singkatnya begini. Dunia tetap dicari, diupayakan. Semaksimal kemampuan kita. Seperlunya, sewajarnya. Ikuti aturan dalam mendapatkannya, dan ikuti tuntunan dalam menyalurkannya. Dunia yang kita raih berupa harta benda dan uang, maka jadikan sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. Menunjang ibadah. Kalo punya duit banyak kita bisa ibadah umroh atau ibadah haji, bisa sedekah dalam jumlah besar, bisa wakaf, bisa memberi kebaikan lainnya. Inilah dunia yang datang kepadanya, tetapi dia salurkan lagi di jalan kebaikan sesuai tuntunan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. 

Jadi, dunia memang sejatinya tak ada apa-apanya, bahkan ada ulama yang mengatakan dunia itu rendah dan hina. Ya, hina, jika dikejar dengan sekuat tenaga tetapi melupakan akhirat. Jangankan begitu, ketika kematian datang, dunia yang sudah diraihnya pun, tak ikut serta ke dalam liang kubur. Berarti tidak ada harganya. Itu sebabnya, Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Kematian telah menyingkap hakikat dunia. Karena itu, seorang hamba yang cerdas, ia (kematian) tidak menyisakan kebahagiaan di sana. Tidaklah hati seorang hamba selalu mengingat kematian, melainkan dunia ini akan terasa rendah baginya, serta akan hina segala yang ada di atasnya.” (dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 353)

Itu sebabnya, supaya jangan lelah mengejar dunia, maka pastikan berbekal iman, takwa, dan ilmu. Jangan fokus dan rakus mengejar dunia, apalagi malah melupakan akhirat. Namun, jika kita mengejar dunia demi kepentingan akhirat, maka itu yang akan membuat selamat. Meski lelah kita dapat, tetapi bahagia karena Allah Ta’ala ridha. [O. Solihin | IG @osolihin] 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *