Thursday, 18 April 2024, 21:01

gaulislam edisi 802/tahun ke-16 (14 Sya’ban 1444 H/ 6 Maret 2023)

Saat digebukin secara fisik, ada orang yang tahan, bahkan kuat. Diem aja meski dihajar berkali-kali. But, sekalinya digempur dengan kata-kata yang bikin nyesek, dikata-katain berupa makian, ada lho yang malah langsung down. Istilah anak zaman sekarang, kena mental. Wajah ceria bisa berubah penampilannya kayak nasi uduk empat hari alias asem. Mukanya kusut kayak baju nggak pernah disetrika. Bisa jadi ada kondisi kena mental model gini kasusnya.

Selain itu, ada juga yang kena mental karena dia kalah mulu, main game nggak pernah menang. Diledekin dah, akhirnya kena mental. Down. Mewek. Marah iya, tapi nggak bisa lawan. Nggak sesuai ekspektasi, pengennya menang, malah kalah. Mungkin juga tuh kayak para pemain Manchester United yang kena mental usai digunduli punggawa Liverpool 7 gol tanpa balas di lanjutan Premier League akhir pekan lalu. David de Gea kudu bolak-balik mungut bola dari dalam gawangnya sendiri akibat gempuran Cody Gakpo, Darwin Nunez, dan Mohamed Salah yang menyarangkan masing-masing 2 gol. Roberto Firmino melengkapi penderitaan skuad Setan Merah dengan golnya di penghujung laga. Malu? Jelas banget. Kena mental? Sudah pasti. Lawannya Liverpool, pula. Kepercayaan diri runtuh. Hadeuuh, terkenang sepanjang sejarah sebagai kekalahan paling menyakitkan The Red Devils dari The Reds. Para pendukungnya bisa jadi kena mental juga, apalagi yang kalah taruhan. Duit ludes, mental lemes.

Sobat gaulislam, dua contoh tadi sebenarnya hanya bagian kecil dari beragam kondisi dimana seseorang bisa kena mental. Rapuh lalu rubuh. Nah, kesehatan jiwa jadinya mendapat perhatian deh. Sebab bagi remaja, potensi kena mental bisa lebih besar, lho. Kecewa berlebihan, takut, cemas, insecure, khawatir, overthinking, depresi, perilaku menyiksa diri sendiri, gangguan makan, termasuk yang terjerumus dalam alkohol dan narkoba, serta kasus lainnya. Intinya, itu bisa berpotensi mengganggu kesehatan mental.

Malah, bisa jadi mental gara-gara kena mental. Mentalnya jauh banget, malah ada yang nggak bisa balik lagi. Ada juga yang bertahan dari situ, lalu sadar diri dan memperbaiki kehidupannya. Ini perlu pendampingan orang tua atau orang-orang yang bisa mengawal remaja. Sebab, remaja memang mudah kena mental. Gara-gara urusan jerawat aja bisa repot seisi rumah. Mengurung diri karena takut di-bully temannya gara-gara wajah penuh jerawat. Kalo tahi lalat bisa jadi pemanis wajah (eh, tapi gimana kalo tahi lalatnya sekujur tubuh?). Bisa jadi ada juga yang malas makan karena kalo makan mulu body-nya jadi melar, dan itu merasa bakal di-bully sama teman-temannya. Aduh, kadang bingung. Gitu aja jadi masalah. Tapi, begitulah remaja. Eh, apa iya semua remaja begitu? Nggak juga sih.

Hadapi dengan sabar

Kenyaatan sering kali tak seindah harapan. Namun, kamu harus tetap bisa menerima kenyataan itu. Meski pahit, telan dan jalani saja. Sebab, memang tak bisa diubah. Diperbaiki di lain waktu, insya Allah masih ada kesempatan. Namun, secara fakta saat ini, itulah yang harus dihadapi. Memang menyakitkan, tetapi harus legowo. Miris juga sih, beberapa waktu lalu ada anak umur 11 tahun yang bundir, konon katanya gara-gara di-bully teman-temannya karena korban adalah anak yang yatim. Ngeri, ya. Bukannya di-support karena nggak punya ayah, malah di-bully. Aneh bin ajaib.

 Kesabaran kudu berlebih di zaman sekarang. Sebab, banyak orang yang udah nggak peduli sih sama nasib orang lain. Banyak yang fokus pada diri sendiri. Memang kehidupan setiap orang berbeda-beda, tetapi kepedulian terhadap sesama perlu ditumbuhkan. Saling menolong, saling mendukung, saling mendoakan. Kalo nggak bisa nolong, setidaknya jangan bikin beban. Kalo belum bisa berbuat baik buat orang lain, perbaiki diri sendiri. Jangan malah nyinyirin, nolong kagak. Minimal diam nggak usah komen kalo bikin nyakitin orang lain.

Oya, ngomongin kesabaran, memang kita kudu belajar bersabar supaya nggak mudah kecewa, nggak gampang marah, nggak langsung rapuh ketika menghadapi kenyataan yang jauh dari harapan. Hadapi musibah dengan kesabaran, lalu ridha bahwa kenyataan tersebut adalah takdir Allah Ta’ala, bahkan lebih keren lagi jika bisa bersyukur atas kenyataan yang nggak kamu inginkan. Beneran. Kok bisa?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan, “Sabar (menghadapi musibah) hukumnya wajib berdasarkan kesepakatan para ulama. Derajat yang lebih tinggi dari sabar adalah ridha terhadap ketetapan Allah. Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum ridha saat menghadapi musibah adalah wajib. Sementara itu, ulama yang lain berpendapat hukumnya sunah, dan inilah pendapat yang benar.

Berikutnya, tingkatan di atas ridha adalah bersyukur kepada Allah atas musibah tersebut. Dia justru menilai bahwa musibah tersebut termasuk bagian dari nikmat Allah atasnya. Sebab, Allah menjadikan musibah tersebut sebagai sebab terhapusnya kesalahan-kesalahannya, terangkatnya kedudukannya, kembalinya kepada Allah, ketundukkannya serta kepasrahannya kepada Allah, dan sebab keikhlasannya dalam tawakalnya kepada Allah semata, juga berharapnya hanya kepada Allah bukan kepada makhluk-Nya.” (dalam al-Furqan Baina Auliya ar-Rahman wa Auliya asy-Syaithan hlm. 143)

 Oya, kesabaran bukan saja dibutuhkan saat menghadapi kesulitan hidup, yang adakalanya bikin jadi kena mental. Namun, kesabaran juga diperlukan saat melaksanakan ibadah. Ini sekadar untuk menjelaskan saja, ya. Bahwa kesabaran itu luas. Bahkan yang saya dengar dari kajian-kajian yang pernah disampaikan beberapa ustaz, kita itu setidaknya kudu sabar dalam tiga keadaan: saat mendapatkan musibah, saat melaksanakan ketaatan, dan saat menjauhi maksiat. Semua itu butuh kesabaran. Kalo dipikir-pikir, ada benarnya juga memang.

Kalo kita kena musibah, jelas diperlukan kesabaran agar kita nggak mudah mengeluh, nggak putus asa, nggak cemas berlebihan dan perasaan sejenisnya yang bikin jadi lelah jiwa. Hadapi sebagai bagian dari ketentuan Allah Ta’ala. Nah, saat kita melaksanakan ketaatan, diperlukan juga kesabaran. Nggak mudah lho untuk bisa rutin bangun pagi lalu shalat Subuh berjamaah di masjid. Berat di awal. Tetapi dengan kesabaran insya Allah akan bisa dijalani. Ibadah lainnya juga sama. Perlu kesabaran. Termasuk nih, kudu sabar dalam menjauhi maksiat. Beneran. Kalo nggak sabar, wah bisa terus-terusan aja maksiatnya. Sabar diperlukan. Sehingga ketika ada godaan untuk berbuat maksiat, bisa ada remnya, ingat dosa, ingat aturan Allah Ta’ala. Sabar jadi pencegah dari berbuat maksiat.

Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah menjelaskan, “Pada amalan ibadah yang dilaksanakan, seorang hamba membutuhkan kesabaran pada tiga keadaan: 1) sabar sebelum memulainya dengan meluruskan niat ikhlas dan menjauhi segala hal yang berpotensi menumbuhkan riya’. Juga dengan membulatkan tekad untuk menyempurnakan ibadah semaksimal mungkin; 2) sabar selama beramal dengan senantiasa menjaganya dari hal-hal yang akan mengurangi kesempurnaannya. Senantiasa menjaga kelurusan niatnya. Selalu menghadirkan kalbunya agar dia mengingat Allah di dalam ibadahnya; 3) sabar setelah selesai dari ibadah.”

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah melanjutkan bahwa ada tiga poin yang harus diperhatikan: Pertama, hendaknya dia bersabar agar tidak melakukan sesuatu yang  menghancurkan pahala amalnya. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melenyapkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)”  (QS al-Baqarah [2]: 264)

Kedua, hendaknya bersabar agar tidak terkena penyakit ‘ujub (bangga diri). ‘Ujub lebih berbahaya dari sekian banyak bentuk kemaksiatan.

Ketiga, menjaga kerahasiaan amalannya, jangan dia sebarluaskan. (dalam ‘Uddatus Shabirin, hlm. 52)

Ada juga lho, ulama yang memilih cara untuk selamat dari keburukan orang lain, yakni dengan kesabaran. Al-Imam Ahmad rahimahullah bertanya kepada Hatim al-Asham, “Bagaimana cara selamat dari manusia?!”

Hatim menjawab, “Engkau berikan hartamu kepada mereka dan jangan mengambil harta mereka, engkau penuhi hak-hak mereka dan jangan menuntut hakmu kepada seorang pun, engkau sabar menghadapi hal yang tidak engkau sukai dari mereka dan tidak memaksakan apapun kepada mereka, mudah-mudahan dengan cara itu engkau akan selamat.” (dalam Siyar A’lamin Nubala’, jilid 11, hlm. 487)

Wah, kayaknya di zaman sekarang nggak ada yang model begitu. Eh, mungkin aja ada, tetapi kurang terekspos. Langka.

Jangan sedih, tetap ada bagiannya

Sobat gaulislam, adakalanya seseorang merasa sedih kalo nggak bisa mendapatkan apa yang diinginkannya. Lalu kecewa secara berlebihan, akhirnya melupakan kenikmatan yang sebenarnya sudah didapatkan. Nggak bersyukur, tetapi malah menginginkan sesuatu yang bukan miliknya, hanya karena diberikan kepada orang lain oleh Allah Ta’ala, bukan kita yang dapetin. Mestinya jangan begitu. Menerima takdir dan senantiasa berbaik sangka kepada Allah Ta’ala. Sedih itu manusiawi, tetapi jangan berlebihan, dan jangan pula sekadar urusan duniawi.

Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah menjelaskan, “Seorang mukmin hendaknya merasa sedih saat kebaikan agama terlewat darinya. Karena itu, dia dianjurkan untuk melihat kepada orang yang lebih baik keagamaannya dan menyainginya dalam kebaikan semaksimal kemampuannya.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Dan pada yang demikianlah (kebaikan) hendaknya manusia saling berlomba.’ (QS al-Muthaffifin: 26).”

“Dan janganlah seorang mukmin merasa benci ketika ada orang lain yang menyainginya. Justru seharusnya senang ketika semua orang berlomba dalam kebaikan, bahkan menyemangati mereka.” (dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, syarah hadits ke-13)

Sedih yang utama itu ketika mengingat dosa yang pernah kita lakukan. Lalu bertaubat dan nggak bakalan ngulangi lagi. Al-Imam Ibnu Rajab al-Hanbaly rahimahullah berkata, “Jika seseorang merasa sedih karena dosanya dan dia beramal saleh untuk menghapusnya, maka itu merupakan bukti atas keimanannya.” (dalam Fathul Bary, jilid 3, hlm. 28)

Sedih dan takut berlebihan dalam urusan dunia, lalu kamu jadi kena mental gara-gara tak bisa meraihnya? Ah, jangan dibiasakan begitu. Nggak usah manja, apalagi cengeng. Jangan sampe kamu mental gara-gara kena mental (eh, ini kamu bisa bedain kan cara bacanya?)

Sedih dan takut boleh aja, asalkan hal itu terkait urusan akhirat. Sedih dan takut kalo berbuat dosa. Betul, sebab dosa itu kesusahan dan bikin ribet. Maka pantas kalo kita sedih dan takut. Syaikh Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Kosongkan hatimu untuk sedih dan takut, sampai keduanya dapat bersarang. Apabila sedih dan takut bersarang di hatimu, maka keduanya akan membentengimu dari melakukan maksiat dan menjauhkan dirimu dari api neraka.” (dalam Siyar A’lam an-Nubala, jilid 8, hlm. 438)

Jadi, nggak usah sedih kalo kamu nggak kebagian jatah bahagia saat ini. Nggak usah pula ngiri atas kebahagiaan yang Allah Ta’ala berikan kepada saudaramu, kepada temanmu. Bersyukurlah masih diberikan kehidupan dan kenikmatan hidup. Badan sehat, meski harta kekurangan. Bisa mencari ilmu dan mendapatkan ilmu, meski uang tak berjejal di saku baju. Berbahagialah dan besyukurlah dengan apa yang saat ini Allah Ta’ala berikan kepada kita. Jika mendapat musibah bersabar, kalo dapet kebahagiaan bersyukur. Selesai. Ini rumus agar tak kena mental. Gimana? Siap bersabar dan bersyukur, ya! [O. Solihin | IG @osolihin]