Friday, 26 April 2024, 21:30

gaulislam edisi 529/tahun ke-11 (22 Rabiul Awwal 1439 H/ 11 Desember 2017)

 

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Tak terasa kita kembali berjumpa dengan tanggal 10 Desember. Ada apa dengan tanggal ini? Bagi kamu yang belum tahu, saya kasih tahu dulu ya, bahwa setiap tanggal 10 Desember biasanya diperingati sebagai hari HAM sedunia. Eh, tapi itu kan kemarin ya, sekarang udah tanggal 11 Desember. Nggak apa-apa, ini kita nangkep momennya aja.

Eh, apa itu HAM? Waduh, kok kamu belum tahu, atau malah belum pernah dengar? Hmm… gini, HAM itu singkatan dari Hak Asasi Manusia. Wah, apa pula hak asasi manusia itu?

Daripada pusing tujuh keliling, nih saya kutip saja definisi HAM langsung dari sumbernya ya. Definisi HAM menurut perundang-undangan, UU No. 39 Tahun 1999, tertulis: “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manausia”.

Seperangkat hak ini, misalnya hak untuk mendapatkan pengadilan yang adil, perlindungan terhadap perbudakan, larangan genosida, kebebasan berbicara, atau hak atas pendidikan.

Para pemikir HAM menyatakan bahwa awal mula HAM itu sendiri berawal dari Eropa era jadul alias jaman dulu. Katanya, raja-raja di Eropa jadul memiliki kekuasaan yang nggak terbatas, sehingga mereka dengan seenak perutnya bisa membuat hukum, namun raja-raja itu sendiri nggak terikat sama hukum yang dibuatnya. Istilah ngepopnya jaman sekarang adalah, kebal hukum.

Itu sebabnya, ketika ada rakyat, misalnya, membunuh, maka ia akan dikenakan hukuman. Akan tetapi jika raja yang melakukan pembantaian, maka karena raja kebal hukum, tentu dia nggak akan pernah dihukum atas kekejamannnya.

Empat abad kemudian, tepatnya pada 1689, lahir Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM) di Inggris. Kemudian, pada tanggal 10 Desember 1948, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi dan memproklamasikan Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia – DUHAM) pada tahun 1948. Inilah mengapa tiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari HAM sedunia, karena terkait deklarasi PBB itu.

 

Bagaimana faktanya di lapangan?

Namun Bro en Sis, dalam penerapannya di dunia nyata, HAM sungguh nggak semanis definisinya. Di zaman now, HAM tak ubahnya fatamorgana di tengah gersangnya gurun pasir. Fatamorgana, manakala dilihat dari jauh oleh seorang musafir yang kehausan, ia nampak hidup dan menjanjikan kehidupan. Seolah-olah di tengah keringnya gurun pasir itu ada oase yang menyegarkan. Namun pada kenyataannya ketika didekati, oase itu nggak ada.

Apalagi jika menyangkut kaum muslimin, para pejuang HAM tiba-tiba bungkam. Lihatlah, manakala Israel menyerang Jalur Gaza, melukai dan membunuh ribuan orang di sana, dunia pun seolah-olah diam. Di mana HAM? Nggak ada. Namun manakala hanya ada satu saja penduduk Israel terluka akibat serangan balasan pejuang Palestina, para pejuang HAM menampakkan batang hidungnya.

Terkait pula dengan penjajahan Israel atas Palestina selama ini. Mana suara pengusung HAM? Padahal jelas, nyata-nyata Israel secara sepihak dan beringas mencaplok tanah dan wilayah milik Palestina. Perilaku Israel ini jelas-jelas merupakan bentuk penjajahan. Mana suara pejuang HAM yang katanya anti penjajahan itu?

Mari kita ingat kembali perang yang terjadi di Irak dulu. Bahwa betapa sebuah negara utama pengusung HAM di dunia, Amerika Serikat, bahkan melanggar sendiri prinsip-prinsip HAM. Dengan alasan yang diada-adakan, yakni demi melucuti senjata pemusnah massal yang dimiliki Irak, AS melancarkan serangan militer ke negara berjuluk Negeri Seribu Satu Malam tersebut.

Irak pun hancur lebur. Ratusan ribu nyawa melayang. Orang-orang terpisah atau kehilangan anggota keluarga yang mereka cintai. Perekonomian hancur di tengah kondisi yang mencekam. Dan di atas semua itu, keberadaan senjata pemusnah massal itu hingga kini ngga pernah terbukti. Beredar kabar, bahwa sebenarnya bukan senjata pemusnah masal yang diincar AS, melainkan kekayaan minyak dari Irak itu sendiri. Lalu, di mana HAM? Dunia membisu. Terbukti lagi, bahwa jika berkaitan dengan kaum mislimin, para pengusung dan pengasong HAM tiba-tiba menjelma bak macan ompong.

Nggak hanya menimpa kaum muslimin Irak, Bro en Sis, AS sebagai ‘bapaknya’ HAM justru yang paling banyak menduduki atau mencampuri urusan negara lain. Terutama negeri-negeri muslim, baik secara terang-terangan maupun tertutup. Lalu di mana HAM? Boleh jadi, HAM memang digunakan sebagai alat untuk kepentingan Barat sendiri. Utamanya untuk memuluskan penjajahan negeri-negeri muslim untuk menguasai kekayaan alamnya dan mengkriminalisasi kaum muslimin.

 

Nilai-nilai HAM berbahaya

Sobat gaulislam, selain penerapan HAM yang bermuka dua, nilai-nilai yang ada di dalam HAM juga perlu kamu kritisi. Sekilas pandang, nilai-nilai yang terkandung di dalam HAM itu baik-baik dan indah-indah semua. Namun, aslinya, ada beberapa nilai yang sebenarnya ibarat candu. Seolah nikmat, tapi sebenarnya merusak. Misalnya nilai kebebasan. Baik itu kebebasan berbicara maupun kebebasan berperilaku.

Barapa banyak sudah remaja yang terjebak oleh nilai kebebasan yang membonceng HAM ini. Sebut salah satunya, Asa Firda Inayah alias Afi Nihaya Faradisa. Afi sontak jadi terkenal, diundang oleh orang-orang penting gara-gara tulisannya yang berjudul “Agama Warisan” menjadi viral di medsos (yang ternyata diketahui hasil plagiat). Eh, buletin gaulislam udah bahas juga lho waktu itu. Silakan cek arsipnya di website kami, ya.

Berlindung di balik hak asasi versi kebebasan berbicara, Afi hendak menyampaikan pemikiran liberal, bahwasanya semua agama itu benar dan memandang bahwa fanatisme keagamaan merupakan pangkal dari percekcokan dan mencerai-beraikan persatuan.

Bro en Sis yang dirahmati Allah Ta’ala, pembaca setia gaulislam. Bagi seorang muslim, memang penting atau bahkan harus meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar di muka bumi ini. Karena itu adalah konsekuensi dari keimanan. Why? Sebab keimanan itu memang harus 100 persen. Nggak boleh hanya sekedar 99 persen, apalagi 50 persen. Nah, dengan menganggap semua agama benar, itu sama saja dengan menunjukkan bahwa keimanan seseorang sedang berpenyakit. Nggak murni 100 persen lagi.

Islam mengajarkan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah. Maka bayangkan seandainya kamu menganggap bahwa semua agama sama, semua agama benar, secara nggak langsung, kamu juga mengakui, bahwa selain Allah, ada Tuhan lain, misalnya, Yesus, Dewa Siwa, Sang Hiyang Widi Wasa, dan lain semacamnya. Sesuatu yang sungguh nggak masuk di akal, karena salah satu ciri dari Tuhan adalah Maha Kuasa. Bayangin jika tuhannya banyak, pasti definisinya sudah nggak maha kuasa lagi, karena harus berbagi kekuasaan dengan tuhan-tuhan lain. Atau bisa jadi tuhan yang banyak itu berantem. Gara-gara beda visi dan misi. Lucu, hehe…

Afi juga menyoroti, bahwasanya fanatisme keagamaan merupakan sumber cekcok dan mencerai beraikan persatuan. Ini juga sebuah pernyataan yang nggak jelas. Justru, semakin taat seseorang terhadap ajaran agama, maka insya Allah, akan menambah kerukunan dan persatuan di tengah-tengah masyarakat.

Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam, nggak pernah mengajarkan merusak tempat ibadah agama lain. Bahkan beliau mengecam siapa saja yang menyakiti orang-orang kafir dzimmi, yakni orang-orang kafir yang mau hidup rukun, damai berdampingan dengan kaum muslimin di bawah naungan Khilafah Islamiyah. Islam juga terbukti, melalui fakta sejarah, telah berhasil mempersatukan umat manusia dari berbagai latar belakang, selama berabad-abad lamanya sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam.

Justru yang menjadi kekhawatiran adalah, ketika manusia sudah nggak peduli dengan ajaran agamanya. Nggak ada yang diajarkan Islam kecuali kebaikan. Nah, jika manusia sudah jauh dari agama, maka biasanya yang bersangkutan susah melakukan yang baik-baik. Alih-alih zakat atau sedekah, korupsi malah jadi hobi. Alih-alih memuliakan tetangga, boleh jadi ia malah merampas hak-hak tetangga. Mengapa? Karena semakin jauh orang dari agama, semakin jauh pula ia dari kebaikan dan perbaikan diri.

Sobat gaulislam, hak kebebasan ini juga sering digunakan remaja sebagai tameng untuk melampiaskan hawa nafsunya. Berdalih kebebasan adalah hak asasi, mereka pun bebas melakukan beragam perilaku terlarang, semisal pacaran, seks dan gaul bebas, kumpul kebo, dan lain sebagainya. Jika ada yang ngelarang, misalnya orangtua atau teman, mereka bersikeras bahwa ini adalah hak asasi yang nggak boleh diganggu gugat. Maka nggak heran di negara-negara dedengkotnya HAM, bahkan pernikahan sesama jenis diakui dan dilindungi. Eh, di negeri kita juga mulai banyak tuh yang minta dilegalkan pernikahan sejenis. Naudzubillah min dzalik.

Jadi jelas sudah, bahwa HAM yang diusung dan dipropagandakan negara-negara Barat ini sungguh mengandung racun yang tersamarkan. Racun yang sengaja mereka bubuhkan dalam rangka menyebarkan sekularisme dan liberalisme ke seluruh dunia. Maka sekarang terjawab sudah alasan mengapa HAM tak bersuara manakala Islam dan kaum muslimin yang menjadi korban. Alasannya adalah, karena Islam dapat menjadi musuh paling potensial dan akan menjadi penghalang misi HAM ala Barat dalam menyebarkan racun sekularisme dan liberalisme ke seluruh dunia. Sebab, sekularisme dan liberalisme memang bertentangan dengan Islam.

Maka nggak ada pilihan lain sebenarnya bagi seorang muslim sejati, selain kembali kepada ajaran Islam. Percayalah, jauh sebelum negara Barat menggaungkan HAM ala mereka, Islam sudah lebih dulu mengajarkan seperangkat ajaran guna melindungi hak-hak asasi umat manusia. Di mana ajaran Islam jauh lebih baik dan lebih membumi di dalam melindungi hak asasi yang melekat pada manusia jauh dari konsep HAM ala Barat. Jangankan hak asasi manusia, hak asasi hewan dan tumbuhan pun diperhatikan di dalam Islam. Ini jelas sekali, karena Islam diturunkan, tak lain adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam.

So, dari seluruh pemaparan di atas, apakah kamu masih mau menjadi remaja-remaja korban propaganda HAM ala Barat? Ih, nggak banget, ya. Semangat mengkaji dan dakwahkan Islam! [Farid Ab | Twitter @badiraf]