Monday, 9 December 2024, 14:21

gaulislam edisi 657/tahun ke-13 (2 Syawal 1441 H/ 25 Mei 2020)

Kalo kamu disuruh sama ortu, suka pake nawar nggak? Misalnya, “Mau sih ke warung beli beras ama minyak goreng pesanan ibu, tapi boleh nggak aku nambah uang jajan?” Hehehe… ada maunya. Intinya pamrih. Padahal, kalo pun kita nggak minta begitu sama ortu, kalo emang kita tulus nurut sama apa yang diinginkan ortu, rasa-rasanya wajar ortu nantinya bakalan ngasih sesuatu yang berharga dan bermanfaat bagi kita. Walau mungkin sesuatu yang berharga itu bukan yang kita inginkan, tetapi ortu tahu apa yang kita butuhkan. Ortu udah senang kok kalo anaknya nurut. Iya, kan?

Nah, ngomongin soal takwa, dalam beberapa kasus saat dipraktikkan di lapangan bagi para remaja dan juga kaum muslimin secara umum ada fenomena semacam “mau, tapi…”. Jadi, pengen sih bertakwa, tapi gimana, ya?

Sobat gaulislam, insya Allah bakalan kita bahas lebih rinci dalam tulisan ini. So, baca ampe tuntas biar kagak gagal paham, ye. Dirunut, jangan diloncat-loncat bacanya. Lagian kalo baca sambil loncat-loncat kamu jadi capek. Eh!

Pengertian takwa

Sebelumn dibahas pengertian, saya sisipkan dulu keutamaan takwa, ya. Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS al-Hujurat [49]: 13)

Imam ath-Thabari rahimahullah berkata, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian –wahai manusia- adalah yang paling tinggi takwanya pada Allah, yaitu dengan menunaikan berbagai kewajiban dan menjauhi maksiat. Bukanlah yang paling mulia dilihat dari rumahnya yang megah atau berasal dari keturunan yang mulia.” (Tafsir ath Thabari, jilid 21, hlm. 386)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya kalian bisa mulia dengan takwa dan bukan dilihat dari keturunan kalian” (Tafsir al-Quran al-‘Azhim, jilid 13, hlm. 169)

Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Mulianya seseorang di dunia adalah karena kaya. Namun mulianya seseorang di akhirat karena takwanya.” Demikian dinukil dalam Tafsir al-Baghawi. (Ma’alimut Tanzil, jilid 7, hlm. 348)

Nah, jadi apa sih pengertian takwa itu? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah memberikan kita penjelasan menarik mengenai pengertian takwa. Beliau rahimahullah berkata, “Takwa adalah seseorang beramal ketaatan pada Allah atas cahaya (petunjuk) dari Allah karena mengharap rahmat-Nya dan ia meninggalkan maksiat karena cahaya (petunjuk) dari Allah karena takut akan siksa-Nya. Tidaklah seseorang dikatakan mendekatkan  diri pada Allah selain dengan menjalankan kewajiban yang Allah tetapkan dan menunaikan hal-hal yang sunnah.”

Beliau melanjutkan penjelasannya, “Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Aku cintai. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya.” Inilah hadits shahih yang disebut dengan hadits qudsi diriwayatkan oleh Imam Bukhari.” (al-Majmu’ al-Fatawa, jilid 10, hlm. 433)

Nah, jika mengikuti pendapat Imam Ibnu Taimiyyah tentang pengertian takwa ini, maka sebenarnya setiap muslim nggak ada pelung untuk mengatakan “tapi”. Sebab, menjadi takwa itu, suatu kewajiban. Sehingga nggak bisa nawar-nawar lagi. Mau nggak mau ya harus melaksanakan ketakwaan itu, dan hanya kepada Allah Ta’ala kita bertakwa.

Banyak remaja masih “nawar-nawar”

Bro en Sis rahimakunullah, pembaca setia gaulislam. Kalo beli barang atau makanan atau apa pun yang dijual, lalu kita belum cocok dengan harga yang dipatok penjual, maka kemungkinan kita akan nawar harga sesuai keinginan kita. Di sini memang memungkinkan. Namun, kalo urusannya keimanan dan ketakwaan, apa iya kamu tega masih nawar-nawar juga. Misalnya nih, “boleh nggak sih, shalatnya libur dulu barang sehari, dah! Kan udah kenyang Ramadhan kemarin”

Wuih, ngayal aja deh. Nggak mungkin deh ada yang berani begitu. Kalo ada yang berani bilang gitu, berarti bener-bener takwanya blong. Cuma ngaku-ngaku doang tanpa implementasi. Bahaya! Padahal, baru aja abis Ramadhan nih, sekarang pas edisi ini terbit baru tanggal 2 Syawal 144 H. Kok malah nggak nambah takwanya?

Oya, target kita melaksanakan shaum Ramadhan adalah untuk menjadi orang yang bertakwa. Kalo ternyata masih begini-begini aja, atau begono-begono doang, itu artinya nggak ada beda dengan sebelum Ramadhan, ya jadinya kagak ada peningkatan, yang ada pening beneran karena kok susah banget diajak jadi baik dan terus berbuat baik. Kan, itu bikin pening yang ngajak. Hehehe…

Ngakunya sih bertakwa, tetapi kok pacaran, ya? Nah, ini namanya pengen dibilang takwa tapi kelakuan masih sering berbuat maksiat. Takwanya belum sempurna, karena masih tergoda untuk melakukan kemaksiatan. Cobalah kamu berpikir jernih dan mendalam, ya. Jangan asal mangap aja tuh mulut bersuara or komen. Ketika kita menyatakan taat kepada Allah Ta’ala, maka konsekuensinya adalah tetap beribadah kepada Allah Ta’ala. Tetap melaksanakan perintah dan menjauhi larangan dari-Nya. Kalo masih mencari-cari celah untuk berbuat salah, itu sih cuma ngaku-ngaku takwa. Itu cuma bilang, “takwa”, lalu diiringi dengan “tapi…”.

Contoh keseharian yang bisa dilihat faktanya sehari-hari. Misalnya ngasih pernyataan di media sosial, “Pengen sih berjilbab, tapi gimana ya, aku belum siap.” ujar seoang remaja putri. Ternyata ketika dia tahu informasi tentang kewajiban menutup aurat bagi wanita, ia tidak langsung mengerjakan, tetapi masih berpikir dan menimbang-nimbang, apakah adakah celah untuk menolaknya. Sadarlah, Bro en Sis. Jika kamu berpikir demikian, maka sebenarnya kamu belum mantap bertakwa. Atau, malah takwanya rusak?

Ingat, ya. Orang yang bertakwa itu dia akan berprinsip: “sami’na wa atho’na”, yang artinya kami dengar dan kami taat. Kalo yang yang ketakwaannya belum mantep, termasuk yang malah nggak bertakwa, maka biasanya akan menggunakan pernyataan: “sami’na wa pikir-pikirna alias kami dengar dan kami pikir-pikir”.

Ya, itu sih dengar doang, tapi nggak langsung ditaati. Malah yang terjadi, masih berpikir-pikir atau masih menimbang-nimbang. Misalnya, “pengen sih dakwah, tapi gimana ya kalo ada orang yang nggak suka?” atau lainnya, “tahu sih riba itu haram, tapi kalo aku nggak kerja di bagian ini, gimana ngasih makan keluarga?”

Tuh, ada aja alasannya. Bila demikian, belum bertakwa yang sesungguhnya, tuh. So, upgrade takwamu, ya!

Awas, tipu daya setan!

Sobat gaulislam, setan nggak bakalan diam nyari celah dan cara untuk menjerumuskan manusia ke lembah kenistaan. Setan akan ngajak banyak manusia menjadi pengikutnya, sehingga manusia jadi tak bertakwa. Waspadalah!

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah, merunut enam langkah setan dalam menyesatkan manusia. Dimulai dari yang besar sampai yang kecil. Mulai dari perkara yang berat akibatnya, hingga yang dianggap remeh. Sebab, tujuan setan memang mengajak kepada keburukan. Apa saja enam langkah yang menjadi tahapan setan dalam menyesatkan manusia? Secara ringkas seperti ini:

Pertama, setan akan mengajak manusia untuk melakukan kekafiran, kesyirikan, serta memusuhi Allah dan Rasul-Nya. Jika langkah ini tidak berhasil, maka setan akan melakukan langkah kedua, yakni manusia akan diajak pada perbuatan bid’ah, yang bisa merusak agama, mengada-adakan amalan yang tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika ada orang yang tak mempan dengan langkah kedua, maka setan akan melakukan langkah ketiga, yakni mengajak manusia untuk melakukan dosa besar. Apa saja dosa besar itu?

Banyak, Imam Dzahabi dalam Kitab al-Kabair, merinci ada 70 dosa besar. Beberapa di antaranya: syirik (menyekutukan Allah dengan sesuatu), membunuh, sihir, meninggalkan shalat, tidak mengeluarkan zakat, berbuka puasa di bulan Ramadhan tanpa uzur, meninggalkan haji di saat mampu, dan durhaka kepada kedua orang tua. Selain itu, yang termasuk dosa besar adalah bermusuhan dengan sanak saudara, berzina, melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis (homoseksual dan lesbian), riba, memakan harta anak yatim dan menzaliminya, berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya, lari dari perang (jihad), melakukan penipuan dan kezaliman kepada rakyat, sombong, bersaksi palsu, meminum khamar, berjudi, menuduh wanita baik-baik berbuat zina, dan curang dalam melakukan pembagian harta rampasan perang. Selengkapnya, silakan bisa membaca Kitab al-Kabair, ya. Bagus kok.

Lalu apa langkah setan yang keempat jika langkah ketiga tadi tidak berhasil? Setan akan mengajak melakukan dosa kecil. Padahal, dosa kecil ini juga berbahaya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “Jauhilah oleh kalian dosa-dosa kecil. (Karena perumpamaan hal tersebut adalah) seperti satu kaum yang singgah di satu lembah, lalu datanglah seorang demi seorang membawa kayu sehingga masaklah roti mereka dengan itu. Sesungguhnya dosa-dosa kecil itu ketika akan diambil pemiliknya, maka ia akan membinasakannya.” (HR Ahmad, no. 22860)

Maksud hadits ini, jika dosa kecil terus dilakukan dan tidak terhapus karena tidak bertaubat, maka akan membinasakan pelakunya. Imam al-Ghazali memberikan penjelasan bahwa dosa kecil akan berubah jadi dosa besar karena dua hal: pertama pelakunya menganggap remeh dosa kecil tersebut dan kedua karena terus menerus dalam berbuat dosa.

Jika langkah keempat tak juga mempan, maka setan akan melakukan langkah yang kelima, yakni membuat manusia sibuk dengan hal-hal yang mubah (tidak ada pahala dan dosa ketika melakukannya). Nah, untuk poin ini, biasanya manusia akan dilalaikan dengan waktu. Padahal, perbuatan mubah juga bisa berubah jadi maksiat jika melalaikan kewajiban. Misalnya nih, sejak Coronavirus mewabah pemerintah menghimbau (bukan memaksa) warga agar stay di rumah. Nggak boleh ngelayap. Jadinya, waktu kita lebih banyak digunakan di rumah. Namun, kalo di rumah cuma bengong binti ngelamun dan membentuk pasukan rebahan, ya nggak produktif. Malah bahaya. Why?

Sebab, dalam hal ini setan sangat lihai untuk melalaikan. Banyak manusia tertipu dengan waktu luang, sehingga malah melakukan kegiatan yang tak bermanfaat, bahkan ada yang maksiat.

Apa langkah keenam? Ini langkah setan yang terakhir dalam menggoda manusia, yakni setan akan mengajak manusia melakukan amalan yang kurang afdhol (utama). Sehingga manusia tidak melakukan amalan yang afdhol (utama).

Dari Abu Abdirrahman Abdulah bin Masud radhiyallahu anhu, “Aku bertanya kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentang amal-amal paling utama dan dicintai Allah. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Pertama, shalat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal waktunya). Kedua, berbakti kepada dua orang tua. Ketiga, jihad di jalan Allah.” (HR Bukhari I/134, Muslim No. 85, Fathul Baari 2/9)

So, hati-hati, Bro en Sis. Sebab, bujuk rayu dan tipu daya setan itulah yang bikin takwa kita cacat kalo ngikuti jejak langkah setan. Jadinya, banyak “tapi” ketika akan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Kemudian ujung-ujungnya nggak mau taat. Kan, bahaya. Padahal, takwa itu ya harus totalitas, bukan setengah-setengah atau ragu-ragu dan kebanyak “tapi” ketika hendak melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah Ta’ala.

Ok? Udah paham, kan ya? Sip! [O. Solihin | IG @osolihin]