Friday, 29 March 2024, 00:34

Fenomena anarkhisme atau kekerasan massal merupakan salah satu ciri dari sebuah masyarakat yang sedang sakit. Dalam masyarakat yang sehat anarkisme massal tidak akan muncul, karena masyarakat paham bagaimana cara menyelesaikan setiap persoalan secara baik dan rasional. Mengapa masyarakat kita sekarang menjadi sakit? Apa yang menjadi penyebabnya? Setidaknya ada tiga faktor utama yang melatarbelakanginya.

Pertama, sistem hukum yang ada terbukti telah gagal melindungi masyarakat dan menghilangkan atau mengurangi kejahatan. Di tengah masyarakat sekarang bukan tidak ada sistem hukum yang berjalan. Hanya, sistem hukum itu dirasakan tidak mampu melindungi harta, jiwa dan kehormatan segenap anggota masyarakat, serta gagal menghilangkan berbagai bentuk kriminalitas dan tindak kejahatan.

Apa yang Anda pikirkan ketika seseorang, karena suatu persoalan sepele, begitu entengnya melakukan pembunuhan. Atau, perampok yang beraksi, kadang di siang hari bolong, lalu seketika itu harta milik kita berpindah secara paksa. Begitu pula pemerkosaan atas diri seorang wanita oleh sejumlah orang yang tak jarang berakhir dengan pembunuhan. Semua itu bermuara dari rusaknya sistem hukum yang secara nyata tidak mampu melindungi jiwa dan harta serta kehormatan manusia. Patut dipertanyakan juga, bila sekian lama masyarakat protes terhadap lokasi prostitusi, pusat-pusat hiburan seperti pub dan diskotek, tapi tetap saja kegiatan itu berjalan seolah kebal dari hukum? Padahal tempat-tempat seperti itu seringkali menjadi sarang kejahatan.

Kita akan merasa bahwa nyawa, harta dan kehormatan kita selalu dalam keadaan terancam. Kita juga akan merasa bahwa hukum yang ada tidak bisa menghilangkan segala bentuk kemungkaran yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Benar, ada pengadilan dan tidak sedikit penjahat yang sudah dihukum. Tapi apa manfaat peradilan dan hukuman itu bila semua itu kemudian ternyata tidak mampu menghilangkan atau paling tidak menekan angka tindak kejahatan. Buktinya, tindak kejahatan makin marak, bahkan dengan kualitas yang juga cenderung meningkat. Bukankah semua bentuk kemungkaran itu terus saja berkembang di tengah masyarakat?

Kedua, penegak hukum gagal menjalankan fungsinya secara benar. Dalam berbagai kejadian pembantaian dilakukan bukan karena tidak ada polisi. Pembantaian dan pembakaran empat kawanan yang semula akan menggasak sepeda motor di Bekasi, misalnya, dilakukan di hadapan sejumlah anggota polisi. Tapi mereka hanya bisa menonton. Tidak lebih dari itu, karena tak kuasa menahan amarah massa.

Kenyataan ini, juga kasus yang lain, menunjukkan bahwa telah terjadi ketidakpercayaan masyarakat yang sangat ekstrim terhadap aparat keamanan. Mengapa begitu? Ketidakpercayaan ini bukan terjadi begitu saja. Masyarakat sudah sering melihat atau mengalami, bagaimana penjahat yang diserahkan kepada polisi, esok atau lusa bebas begitu saja. Kalaupun ada proses hukum dan sanksi, tidak jarang tak sesuai dengan tingkat kejahatan yang dilakukan. Ditambah lagi dengan kenyataan, bahwa banyak orang berkedudukan atau berharta yang jelas-jelas melakukan kejahatan, tapi dengan berbagai dalih, polisi tidak melakukan tindakan yang semestinya. Para aparat penegak hukum telah terbeli.

Secara akumulatif, keadaan ini membuat hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap para aparat penegak hukum. Bukan hanya polisi, tapi juga jaksa dan para hakim. Orang kemudian membenarkan ungkapan, “di lembaga peradilan justru banyak terjadi ketidakadilan”.

Ketiga, berkembang suasana anarkhisme massal, yakni ketika terjadi kecenderungan, bahwa tiap persoalan yang ada di tengah masyarakat, penyelesainya ditempuh dengan cara kekerasan.

Kecenderungan ini jelas sekali dipicu oleh faktor yang pertama dan kedua tadi. Ketika masyarakat menilai bahwa hukum yang ada tidak lagi bisa diandalkan, demikian adanya dengan para aparat penegak hukumnya, maka mereka akan terdorong untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya dengan nalurinya sendiri. Yakni cara yang dinilainya lebih memuaskan hasilnya. Maka, di sini otak tidak diperankan semestinya dan emosilah yang mengedepan. Jadilah kekerasan itu sebagai pilihan yang digandrungi masyarakat ketika menghadapi persoalan. Diskusi, musyawarah atau perundingan akan dirasakan hanya memperpanjang cerita yang mendatangkan kekecewaan

Adanya keterbukaan dan kebebasan pers yang terjadi dua tahun terakhir ini turut pula memberi andil. Berita-berita amuk massal diekspos besar-besaran. Saking seringnya, lama kelamaan masyarakat akan merasa bahwa anarkhisme sebagai sesuatu yang biasa saja. Bukan hal yang seharusnya dihindari dan dijauhi. Kekerasan akan dipandang sebagai suatu yang biasa, bukan penyimpangan.

Solusi Fundamental
Persoalan yang sudah demikian gawat ini jelas harus segera diselesaikan. Sekali pun bukan perkara yang gampang.

Yang utama adalah harus diberlakukan segera sistem hukum yang mampu mencegah terjadinya kejahatan sekaligus mampu melindungi masyarakat. Persoalannya, sistem hukum yang bagaimana dan dari mana? Pilihannya ada dua: hukum Islam dan hukum sekuler. Setelah hukum sekuler yang sejauh ini berlaku terbukti gagal, maka pilihannya tinggallah pada hukum Islam.

Aqidah di dada setiap muslim memang mewajibkan untuk terikat hanya kepada hukum Islam saja. Penerapan hukum sekuler, bukan saja telah terbukti memberikan dampak buruk sebagaimana telah kita saksikan dan rasakan sekarang, melainkan juga bertentangan dengan aqidah Islam. Menerapkan hukum itu bukan saja berdosa, bahkan dapat mendatangkan kerusakan dan masyarakat yang sakit.

Hukuman dalam Islam bisa saja dipandang keras, yang sebagian orang menyebutnya kejam. Pencurian yang bernilai lebih dari seperempat dinar (sekitar 4 1/16 gram emas), misalnya, akan dipotong tangannya. Pezina yang sudah pernah kawin (mukhson) dihukum rajam sampai mati, pezina yang belum menikah dijilid 100 kali. Orang yang meminum minuman keras dicambuk 80 kali. Orang juga tidak boleh begitu saja meninggalkan shalat, puasa, zakat, atau tidak menutup aurat, karena pasti akan dikenai sanksi untuk mendidik mereka agar senantiasa tunduk kepada tertib hukum Allah SWT. Dan sebagainya.

Tapi hukuman yang tampak keras itu sesungguhnya mengandung daya prevensi yang sangat besar sebagai hikmah di baliknya. Justru inilah yang tengah dicari dan dibutuhkan oleh masyarakat. Yakni kemampuan mencegah mewabahnya kejahatan berikutnya, setelah hukuman dijatuhkan kepada sang pelaku. Inilah, yang oleh Syekh Muhammad Muhammad Ismail dalam kitab al-Fikru al-Islamy, disebut sebagai zawajir (pencegah). Dalam ayat 179 surah al-Baqarah, Allah berfirman:

Dan dalam qishash itu ada jaminan kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal agar kamu sekalian bertakwa.”

Qishash adalah hukuman balas bunuh yang dituntut oleh ahli waris korban pembunuhan terhadap pelaku pembunuhan. Dengan demikian, jelas qishash adalah kematian bagi terdakwa. Tapi mengapa Allah menyebut dalam qishash itu ada kehidupan?

Tentu yang dimaksud dalam ayat itu bukan kehidupan pelaku kejahatan, karena ia pasti akan mati. Melainkan kehidupan masyarakat luas. Artinya, dengan dilaksanakannya hukuman qishash, masyarakat luas menjadi tahu, akibat kejahatan membunuh. Prevensinya, orang yang sehat akalnya akan berpikir seribu kali untuk melakukan kejahatan itu.

Bukan hanya pembunuhan, bila masyarakat luas tahu bahwa hukuman buat pelaku kejahatan, dilakukan setimbang dengan kadar kejahatannya, tentu akan menjadi terapi sosial bagi mereka yang akan melakukan tindak kejahatan itu. Orang menjadi tidak mudah melakukan kejahatan. Pada akhirnya, bisa diharapkan tercipta kehidupan masyarakat yang aman dan tenteram.

Kemudian harus dihadirkan pula para aparat penegak hukum yang terpercaya. Mereka harus memiliki iman yang tangguh, secara finansial hidup tercukupi sehingga tidak mudah tergoda dan memiliki rasa tanggungjawab yang besar. Mereka harus sadar, bahwa mereka memegang posisi kunci sebagai benteng penegak hukum Islam. Rasa tanggung jawab ini terutama dimotivasi oleh niatan untuk beribadah. Bahwa Allah lah yang mengawasi dan memberikan imbalan pahala yang besar di akhirat kelak.

Dengan karakter seperti ini, aparat penegak hukum diharapkan tidak mudah melakukan penyimpangan. Penyimpangan akan dirasakan sebagai perbuatan dosa. Bukan hanya itu, dia juga sadar bahwa penyimpangan yang dilakukan itu akan berdampak sangat buruk bagi masyarakat. Tanpa penerapan hukum yang benar, masyarakat yang aman dan tenteram menjadi hanya sekadar impian.

Terakhir, harus dicegah berkembangnya anarkhisme massal. Pertama, dengan cara membatasi atau mengatur pemberitaan media massa menyangkut tindakan brutal. Kebebasan pers, terutama untuk kepentingan amar ma’ruf nahi mungkar, jelas sangat diperlukan. Tapi bila kebebasan itu akan menyemai kekerasan akibat pemberitaan yang bertubi-tubi dan cenderung vulgar atas berbagai kasus kekerasan massal di tengah masyarakat, jelas harus dicegah. Karena hal itu akan berdampak negatif dan merupakan pendidikan yang buruk terhadap masyarakat.

Juga harus diwaspadai kemungkinan adanya konspirasi internasional yang memang bertujuan untuk menghancurkan citra umat Islam Indonesia. Kita masih ingat bagaimana kerusuhan Mei 1997 dimana dikatakan terdapat sejumlah tindak pemerkosaan atas wanita etnis Cina. Dicitrakan seolah-olah dilakukan oleh orang Islam yang sebelum memperkosa berteriak “Allahu Akbar”. Kita pantas meragukan kebenaran tudingan itu, oleh karena hingga kini tidak ada bukti dan tidak ada satu pun korban yang melapor. Tapi citra umat Islam Indonesia di dunia internasional telah terlanjur ternoda dengan pemberitaan itu.

Khatimah
Fenomena anarkhisme massal adalah fenomena dari sebuah masyarakat yang tengah sakit. Ini menjadi bukti, bahwa tatanan masyarakat yang sekuler bukan membangun tapi malah menghancurkan masyarakat itu sendiri.

Kini, berpulang kepada kita, apakah kita akan terus berkutat dengan perbagai persoalan dengan menggunakan tatanan hukum sekuler atau segera beranjak menyongsong syariat Islam. Tidak cukupkah berbagai peristiwa kekerasan, kerusuhan, pembantaian yang melengkapi krisis ekonomi yang telah berlangsung tiga tahun ini menyadarkan kita?

Dengan akal sehat kita, apalagi dengan iman di dada, semestinya kita merasa, bahwa tidak ada pilihan selain hukum Islam. Apakah sistem hukum kufur itu yang kalian agungkan? Sungguh tidak ada kemuliaan hidup kecuali dengan menerapkan sistem hukum Islam (la izzata illa bi al-Islam). Wallahua’lam bi al-shawab.

1 thought on “Ciri Masyarakat Sakit

  1. Wah jadi bingung nich…
    Pada awal tulisan disebutkan kalau kekerasan massal dan anarkisme adalah ciri alias symptom masyarakat sakit.
    Tapi kemudian di tengah penulis mengatakan kalau kekerasan massa adalah latar belakang masyarakat sakit. Gimana nich? Mana yang sebab mana akibat?

    Terlepas daripada itu, saya mo menambahkan pendapat saya sendiri. Boleh khan?
    Kalau menurut saya ada lagi faktor lain yang memberi bensin kepada bara api penyakit masyarakat. Ada golongan tertentu yang memang punya strategi membuat suatu pergolakan guna memajukan agenda mereka. Mereka ini pura-pura jadi pembela rakyat padahal mereka hanya memperalat rakyat miskin dan mudah tertipu itu. Mereka gak perduli kalau korban berjatuhan dipihak rakyat yang diperalat maupun pihak yang hendak diserangnya. Mereka membodohi rakyat dengan ide-ide absurd seperti menanamkan rasa bangga akan kemiskinan orang kota (nah tau khan golongan yang saya maksud). Sebenarnya mereka ini mengusung ide-ide daluwarsa, tapi dasar orang indonesia, mereka memunguti lagi remah-remah yang sudah diludahkan orang lain dan kembali dukunyah-kunyah.

    Pihak lain adalah media. Media yang sok suci, sok pintar, sok pembela rakyat. Padalah mereka tidak lepas dari semangat partisan. Mereka adalah corong bagi kepentingan pemiliknya dan selalu dipergunakan demi kepentingan politik mereka. Tidak ada satupun media di dunia ini yang mampu berkelit dari itu. Tapi di Indonesia terlebih lagi. Media yang merasa pintar tapi bodoh telah menyeret masyarakat untuk menjadi lebih bodoh lagi. Katanya mereka menganut kebebasan berpendapat. Tapi apa yang ada adalah suatu persekongkolan untuk menyeragamkan suara tak ubahknya koor MPR/DPR jaman Soeharto yang mereka pura-pura benci.
    Ketika ada yang melontarkan jargon politukus busuk media lantas membaiat frasa itu sebagai suatu agung dan indah. Lantas dimamah biak tanpa ujung pangkal, tanpa ada usaha mendefinisikan apa itu politikus busuk. Lihat pula istilah ‘rasa keadilan masyarakat’ yang selalu dijadikan palu godam untuk memukul pihak lawan. Apa itu rasa keadilan masyarakat? Bukankah masing-masing orang cenderung menyukai opini yang menguntungkan dirinya? Jadinya masyarakat dididik untuk memupuk kepercayaan/belief kalau dasar paling luhur dari kebenaran hukum adalah ‘rasa keadilan’, yakni pandangan subyektif masing-masing.
    Tidak heran kemudian semua berbondong-bondong membawa parang, linggis, pentungan, bom molotov bila rasa keadilan mereka terusik, meskipun itu berarti melanggar rasa keadilan piha lain.

    Menurut hemat saya, bukan pemberitaan media tentang kekerasan yang mendorong terjadinya lebih banyak kekerasan lagi, melainkan pemberitaan yang menampilkan kekerasan itu sebagai fokus kajian tanpa ada sejarah awal serta akhir dari masalah yang menimbulkan kekerasan. Juga kebiasaan media yang cenderung berat sebelah (berpihak) sehingga menimbulkan kesan legitimasi alias memaklumi perilaku pelaku kekerasan massa.

    Ujung-ujung dari semua itu adalah masyarakat jadi mumet, sedih, frustasi, akhirnya putus asa, kehilangan jati diri, luturnya kehormatan, menipisnya moral, Ini yang kemudian mengejawantah menjadi kebringasan yang semakin menggejala.

    Solusinya, ya harus diusahan supaya masyarakat kembali merasa memiliki hari depan, harga diri. Kembali merasa bangga menjadi warga lingkungan dan bangsa Indonesia. Bagaimana caranya? Salah satunya yang suka kita lupakan adalah: mengujat sistem dan birokrat dengan kemarahan sedikit banyak memercikkan air ludah ke muka sendiri. Hasilnya hanyalah semakin meperparah luka yang ada. Akan mengalienasi kita dan bukan tidak mungkin akan menimbulkan apatisme. Sebaliknya menghujat dengan kesedihan/keprihatinan akan mendorong kita untuk aktif memperbaiki. Marilah kita bangun persepsi bahwa sistem negara, pemerintah dan birokrat adalah produk rakyat. Rakyat berkuasa untuk memanipulasi bentuknya bila mana tidak sesuai dengan keinginan semula. Tapi kalau begitu kita lihat ada cacat lantas kita lempar ke got lantas mengelantungkan diri pada tali-tali yang tidak jelas dimana bertumpunya (mis. lsm-lsm), maka lahirlah chaos.

    Ya..gitu deh pendapat saya.
    N.B.: Saya gak anti semua LSM lho. Hanya LSM yang dengan pongah merasa memegang mandat kedaulatan dari rakyat, persis seperti MPR dulu.

Comments are closed.