Thursday, 28 March 2024, 18:52

gaulislam edisi 647/tahun ke-13 (21 Rajab 1441 H/ 16 Maret 2020)

Sudah lebih dari tiga bulan sejak dilaporkan kasus pertama pasien yang terinfeksi virus corona. Saya membaca tulisan dr Makhyan Jibril A MSc MBiomed yang diimuat di kumparan.com (14/3). Isinya ini. Dunia telah dihebohkan oleh pandemi dari infeksi Coronavirus COVID19. Sampai hari ini 14 Maret 2020 terdapat 142,897 terinfeksi COVID19 dan kematian sebanyak 5,375 orang.

Di Indonesia, per 13 Maret 2020 telah dilaporkan terdapat 69 kasus infeksi COVID-19 dengan kematian sebanyak 4 orang. Angka ini melonjak drastis dari 34 kasus di tanggal 12 Maret 2020.

Nah, dengan penyebarannya yang begitu cepat dengan kecepatan ekponensial, bertahap dan tiba tiba, apabila kita tidak segera bertindak, maka hanya dalam beberapa minggu saja sistem kesehatan kita akan kewalahan dan babak belur.

Ketika hal tersebut terjadi, sistem kesehatan kita akan kacau balau, pasien akan dirawat di lorong-lorong karena kapasitas yang tidak memadai. Petugas kesehatan mulai kelelahan, bahkan ikut terinfeksi dan meninggal dunia.

Bisa jadi nanti ruangan ICU dan isolasi akan penuh, sehingga pasien lain tidak dapat terlayani karena kurangnya fasilitas sehingga berisiko lebih tinggi untuk meninggal dunia.

Data terbaru di hari buletin ini terbit, perkembangan penyebaran udah mencapai 150 negara hingga hari ini Senin, 16 Maret 2020 dan telah merenggut 6.443 jiwa.

Mengerikan, Bro en Sis. Ibarat bom waktu, menanti ledakan yang lebih dahsyat yang sudah bisa diperkirakan atau tiba-tiba saja meledak di luar perkiraan. Pilihannya cuma dua itu. Waduh!

Jadi ngeri mau nulis update jumlah orang di negeri kita yang terinfeksi. Apalagi tersebar di media sosial bahwa masih banyak orang yang PDP (Pasien Dalam Pengawasan) berkeliaran di jalanan. Bukan tanpa sebab. Memang sepertinya negeri ini tidak siap menghadapi pandemi global ini. Pasien Dalam Pengawasan masih dibiarkan bebas. Maksudnya, ketika dia berobat ke sebuah rumah sakit, ternyata oleh pihak rumah sakit diminta supaya ke rumah sakit besar yang hanya berjumlah 4 rumah sakit.

Catatan, ya. Pasien tersebut nggak dianter pake ambulan, atau diberikan prioritas. Pokoknya suruh jalan sendiri ke rumah sakit yang dituju sebagai rujukan. Gawatnya, kalo di jalan dia ketemu banyak orang, interaksi, kontak fisik dan sejenisnya. Bisa cepat nyebar, kan? Ngeri kuadrat! Belum lagi kalo PDP tersebut malah males ke rumah sakit yang dirujuk. Bahaya banget.

Tapi ya sudah lah. Segala macam informasi (yang valid maupun yang hoax) yang disebar di media massa maupun media sosial cukup membuktikan bahwa coronavirus sudah bikin keder banyak orang di banyak negara.

Sobat gaulislam, tulisan di buletin ini tidak hendak membahas segala bentuk terkait penanganan menghadapi serbuan coronavirus yang sifatnya teknis. Silakan kamu cari sendiri di media massa atau media sosial. Tulisan ini, saya buat untuk mengingatkan bahwa kita ini lemah, kecil, dan tak berdaya. Ya, menghadapi makhluk Allah lainnya bernama COVID-19. Bentuknya kecil banget, hanya bisa dilihat di mikroskop elektron, tapi bikin morat-marit manusia yang besarnya miliaran kali dari sang virus.

Apa yang harus kita lakukan?

Panik? Jangan. But, jangan pula anggap enteng masalah ini. Nggak boleh meremehkan. Berarti kita kudu waspada. Takut mati? Hmm… rasa-rasanya banyak orang yang takut akan kematian. Namun, bagi seorang mukmin, kematian bukan untuk ditakuti, tetapi harus disiapkan dari sekarang. Khususnya bekal amal shalih yang akan dibawa ke akhirat kelak. Meski demikian, siap tidak siap, ya kematian akan datang menjemput bila ajal kita sudah tiba waktunya, dengan atau tanpa coronavirus.

Jadi bagaimana? Ya, tetaplah taat kepada Allah Ta’ala. Tunjukkan dalam pendapat dan perilaku. Ucapan dan tindakan. Cara pandang dan penilaian. Sehingga bila tiba ajal kita, insya Allah sudah siap dengan segala pertanggunganjawabnya kelak. Semoga kita dimudahkan untuk tetap taat kepada-Nya.

Eh, emang nggak ada cara pencegahan yang sifatnya ikhtiar semampu yang kita lakukan? Selalu ada kok. Ikhtiar dengan tujuan untuk mendapatkan keridhoan Allah Ta’ala. Bersih diri dan bersih lingkungan adalah bagian dari upaya ikhtiar itu. Menjaga kesehatan dengan mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal, thayyib, dan ramuan herbal.

Menghindari kerumunan banyak orang di tempat umum. Jangan sampe kontak fisik dengan orang yang belum dikenal. Sediakan hand sanitizer, sapu tangan sendiri dan sejenisnya. Semua ikhtiar tetap kita lakukan, dan jangan panik. Apalagi panik nggak jelas bin ngawur seperti memborong masker dan menimbun bahan pangan.

Oya, sebenarnya sejak dulu Islam sudah punya tuntunan jika terjadi wabah. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan dari Amir bin Saad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhuma, dari ayahnya bahwa ia pernah mendengar sang ayah bertanya kepada Usamah bin Zaid, ?pa hadits yang pernah engkau dengar dari Rasulullah berkaitan dengan wabah thaun?”

Usamah menjawab, “Rasulullah pernah bersabda: Wabah thaun adalah kotoran yang dikirimkan oleh Allah terhadap sebagian kalangan Bani Israil dan juga orang-orang sebelum kalian. Kalau kalian mendengar ada wabah thaun di suatu negeri, janganlah kalian memasuki negeri tersebut. Namun bila wabah thaun itu menyebar di negeri kalian, janganlah kalian keluar dari negeri kalian menghindar dari penyakit itu.” (HR Bukhari-Muslim)

Dalam Shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan dari Hafshah binti Sirin bahwa ia menceritakan, Anas bin Malik berkata, “Rasulullah bersabda: Orang yang mati karena wabah thaun adalah mati syahid.”

Oya, kalo wabah penyakit thaun sih ada hubungannya dengan musuh kita dari kalangan bangsa jin. Itu sebabnya, yang wafat karena penyakit thaun dikategorikan mati syahid. Adapun hadits tentang keterlibatan bangsa jin dalam mengembangkan wabah thaun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kemusnahan ummatku dengan sebab penikaman (pembunuhan) dan at-Thaun. Maka ada yang bertanya; “Ya Rasulallah, tikaman ini kami sungguh telah mengetahuinya, maka apakah Thaun itu?” Beliau bersabda; “Tusukan musuh-musuhmu dari bangsa jin, dan dalam setiap kematian karena keduanya adalah Syahadah (mati syahid).”

Hadits ini dikeluarkan Ahmad, Abu Ya’la, dan al-Bazzar, dan al-Thabraniy dari Abu Musa al-Asy’ariy. Hadits ini dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathulbari (13/133) dan dinilai Shahih juga oleh Al-Albaniy dalam Irwa’ul Ghalil (1637).

Bagaimana dengan coronavirus? Allahu a’lam. Hanya Allah yang Tahu. Entahlah, tapi yang jelas, selain kita waspada dan ikhtiar maksimal sesuai kemampuan kita dalam menjaga kesehatan diri (termasuk di dalamnya menghindari potensi penularan virus di keramaian atau berkumpulnya banyak orang, intinya dikarantina atau isolasi), berdzikir (khususnya dzikir rutin pagi dan sore sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam), berdoa, dan tentu bersabar. Ya, bersabar.

Bersabar dengan kondisi saat ini. Bahkan jika kemudian kita terpapar wabah ini, tetap bersabar. Semoga menjadi bagian dari penggugur dosa kita. Apa pun, insya Allah yang terbaik bagi kita dari yang ditetapkan Allah Ta’ala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Thaun merupakan azab yang ditimpakan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Kemudian Dia jadikan rahmat kepada kaum mukminin. Maka, tidaklah seorang hamba yang dilanda wabah lalu ia menetap di kampungnya dengan penuh kesabaran dan mengetahui bahwa tidak akan menimpanya kecuali apa yang Allah Ta’ala tetapkan, baginya pahala orang yang mati syahid” (HR Bukhari dan Ahmad)

Selain itu, juga ada doa yang bisa kita amalkan. Silakan dibaca dan dihafal, ya. Ini doanya:

Allahumma inna hadzal maradha jundun min junuudi-Ka, tushiibu bihii man tasyaa-u wa tashrifuhuu ‘an man tasayaa-u,

Allahumma fashrifhu’ annaa wa ‘an buyutina wa’ an ahliina wa azwaajina wa dzararina wa biladina wa biladil muslimin, wahfazhna mimma nakhafu wa nahdzar, fa Anta khairun haafizha wa Anta Arhamur rahimin.

“Ya Allah, penyakit ini adalah tentara di antara tentara-Mu. Engkau palingkan penyakit ini kepada siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau tempatkan kepada siapa yang Engkau kehendaki.”

“Ya Allah, jauhkanlah (penyakit) ini dari kami, dari rumah-rumah kami, dari keluarga kami, dari pasangan-pasangan kami, dari anak cucu kami, dari negeri kami, dan dari negeri-negeri kaum muslimin.”

“Dan jagalah kami dari yang kami takuti dan dari apa yang kami waspadai. Engkaulah sebaik-baik Penjaga dan Engkaulah yang paling Maha Penyayang dari semua yang Penyayang.”

Tetap istiqamah di jalan Islam

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Banyak informasi dan pendapat di media sosial maupun di media massa terkait penyikapan terhadap penyebaran coronavirus. Ada yang benar, ada yang salah, ada yang bikin ragu-ragu, ada pula yang mengkhawatirkan sesuatu yang belum pasti.

Nah, terkait pelaksanaan ibadah shalat Jumat dan shalat berjamaah di masjid bagi kaum laki-laki, mestinya tetap dilakukan. Jangan sampai gara-gara informasi tersebarnya coronavirus malah bikin jauh dari masjid.

Saya memilih mengikuti pendapat Syaikh Ahmad al-Kury dari Mauritania yang dishare seorang sahabat di grup WhatsApp. Isinya bagus dan memberikan semangat untuk beribadah. Saya kutipkan terjemahannya dengan beberapa perubahan kata, perbaikan ejaan, dan tambahan informasi terkait.

Beliau menjelaskan bahwa kewajiban shalat berjamaah dan shalat Jumat tidak gugur dalam kondisi perang militer yang sangat mencekam. Bagaimana mungkin kewajiban itu bisa gugur hanya karena kekhawatiran yang belum pasti.

Syaikh Ahmad al-Kury berpendapat bahwa virus ini datang karena kemaksiatan hamba-Nya. Maka solusinya adalah taubat, shalat, istighfar. Bukan sebaliknya malah meninggalkan shalat Jumat dan shalat berjamaah. Kita beriman kepada qadha dan qadar. Itu sebabnya, keimanan itu tidak bisa dijadikan alasan untuk meninggalkan perintah dan kewajiban shalat Jumat dan shalat berjamaah.

Menurut beliau, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk meninggalkan shalat Jumat dan shalat jamaah akibat wabah penyakit, termasuk virus, yang melanda sebuah negeri.

Oya, Khaifah Umar bin Khattab radhiallaahu ‘anhu juga tidak pernah mengambil kebijakan untuk meniadakan shalat Jumat dan shalat jamaah saat wabah virus (thaun) melanda Damaskus di masa kekhilafahannya.

Lebih lanjut Syaikh Ahmad al-Kury menjelaskan bahwa dalam menghadapi sebuah musibah, Allah Ta’ala memberi petunjuk untuk bersabar dan perbanyak shalat, bukan sebaliknya, malah meninggalkan shalat jamaah.

Dijelaskan dalam hadits bahwa orang yang shalat Subuh berjamaah di masjid akan mendapat perlindungan Allah Ta’ala. Dari Jundab bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang shalat Subuh berjamaah, maka ia berada dalam jaminan Allah. Oleh karena itu, janganlah menyakiti orang yang shalat Subuh tanpa jalan yang benar.  Jika tidak, Allah akan menyiksanya dengan menelungkupkannya di atas wajahnya dalam neraka jahannam.” (HR Muslim, no 657)

Apakah kita nggak lagi percaya dengan jaminan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam tidak mengizinkan bagi orang buta untuk meninggalkan shalat berjamaah, padahal risiko bahaya sangat tinggi. Bagaimana mungkin shalat berjamaah bisa ditinggalkan dengan risiko yang masih belum pasti (seperti dalam kasus coronavirus ini).

Teladan Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam dalam menghadapi musibah adalah justru dengan memperbanyak melaksanakan shalat. Dahulu di kota Madinah hanya ada satu masjid yaitu Masjid Nabawi. Wabah penyakit pun sering muncul. Namun tidak pernah muncul fatwa untuk meninggalkan shalat Jumat dan shalat berjamaah.

Sobat gaulislam, tetaplah istiqamah di jalan Islam. Tetap beriman kepada Allah Ta’ala dan menunjukkan ketaatan kepada-Nya. Allah Ta’ala akan menolong hamba-Nya yang dekat dengan-Nya. Itu pasti. Semoga kita semua diberikan kemudahan untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Ikhtiar yang terbaik, berdzikir, dan berdoa.

Yuk, meski Covid-19 melanda dunia, kita tetap sabar dan ikhtiar, serta semakin meningkatkan ketataan kita kepada Allah dan istiqamah dalam kebenaran Islam. Ibadah jangan melemah meski coronavirus merajalela. Semangat ibadahnya, kuat takwanya, dan getol dakwahnya untuk tegaknya syariat Islam di muka bumi ini. Kuy! [O. Solihin | IG @osolihin]