Thursday, 25 April 2024, 21:37

30 pakar Islam dari berbagai Negara menyoroti fenomena geliat politik umat Islam di Asia pasca 11 september 2001. Dimasa depan politik Islam akan berada di tangan kelompok non-liberal. Bukan kelompok radikal liberal

Oleh: Hamid Fahmy Zarkasyi *

Dalam tulisan kemarin penulis memprediksi, dimasa depan politik Islam akan berada di tangan kelompok non-liberal dan bukan kelompok radikal atau liberal

Angel Rabasa dari Rand Corporation Amerika Serikat,? memuji sistimatika paparan penulis hanya saja ia tidak setuju dengan kesimpulannya dan mempertanyakan klassifikasi liberal dan non-liberal. Penulis jelaskan bahwa? Liberal mendahulukan konteks, sedangkan non-liberal bervariasi ada yang mendahulukan teks, ada yang mendahulukan teks tapi menggunakan akal, ada yang seimbang antara teks dan konteks. Namun dari kelompok non-liberal terdapat kelompok yang tekstual yang diantaranya cenderung bersikap ekstrim dan radikal. Maka dari itu terdapat dua kutub ekstrim disini, pertama kelompok yang terlampau tekstual dan kelompok yang terlalu kontekstual yaitu liberal. Namun non-liberal masih dalam domain worldview Islam, sedangkan liberal telah dihegemoni oleh worldview Barat postmodern. Kondisinya kini kelompok liberal berhadapan dengan kelompok non-liberal yang tekstual maupun yang tekstual-rasional-kontektual. Konflik menjadi memanas ketika diketahui bahwa kelompok liberal mendapat dukungan dana besar dari Negara Amerika Serikat dan Negara Barat lainnya. Jika dukungan ini terus berlangsung dimasa depan, maka akan terjadi konflik yang berbahaya dan akan memunculkan kebencian umat Islam Indonesia terhadap Amerika Serikat.

Professor Hisae Nakanisihi dari Universitas Osaka mengejar dengan pertanyaan sejauh mana perbedaan liberal dan non-liberal sehingga saling berhadapan begitu serius. Penulis jawab dengan hanya satu contoh yang kini gencar di promosikan pejuang gender bahwa menurut penafsiran kelompok liberal homoseksualisme dan lesbianisme dibolehkan dalam Islam. Pandangan ekstrim yang tentu bertentangan dengan pendapat mayoritas umat Islam dan bahkan umat manusia. Jawaban ini ternyata cukup mengejutkan para peserta, khususnya dari utusan Negara-negara Islam.

Dari jawaban penulis ini akhirnya Sohail, Tamimi, Badoui dan Wan Mohd Nur menganggap masalah campur tangan AS kenegara-negara Islam sebagai sesuatu yang negatif. Persoalannya campur tangan AS bukan hanya masalah politik tapi sudah masuk dalam masalah pemikiran, khususnya dalam memahami konsep-konsep penting dalam bidang sosial, politik dan bahkan keagamaan. Kerancuan konsep akan mengakibatkan kesalah fahaman terhadap Islam. Hanya karena mendukung prinsip demokrasi, kata Wan Daud, Muslim didorong untuk mengakui kebenaran agama lain. Ini adalah suatu kesalah fahaman akibat kesalahan konsep yang tidak semestinya terjadi. Sedangkan bagi Tamimi karena kesalahan memahami standar moderasi telah mengakibatkan kesan pada orang Barat bahwa semua Muslim adalah radikal, fundamentalis dan teroris.

Pertanyaan penting yang jawabannya ditunggu pihak JIIA adalah di tangan kelompok manakah masa depan politik Islam?? Jawabannya hampir serempak ditangan kelompok moderat, yaitu kelompok Muslim mayoritas di negara-negara Islam. Tidak ditangan liberal ataupun ditangan radikal. Pertanyaan selanjutnya adalah mengenai konsep moderasi. Siapakah kelompok moderat itu?

Moderasi Muslim

Makna istilah moderat sebenarnya menjadi rebutan. Terdapat sedikit perbedaan dikalangan cendekiawan Muslim tentang istilah ini, namun terdapat perbedaan tajam antara cendekiawan Muslim kebanyakan dan peneliti Barat.? Diaa Rashwan, Direktur Program for the Study of “islamis” Movement al-Ahram Center for Politic and Strategic Studies, Kairo, membuat klassfikasi berdasarkan gerakan. Klasifikasinya juga sangat simple: “moderat vs ekstrim”, “radikal vs damai”.? Baginya gerakan-gerakan kelompok Islam yang oleh Barat disebut “islamis” itu sebenarnya adalah gerakan sosial politik Muslim yang menganggap kerja mereka berada dalam masyarakat Muslim yang memerlukan kebijakan politik berdasarkan platform syariah. Sedangkan gerakan keagamaan Muslim yang disebut “jihadi”, “salafi”, “takfiri” atau lainnya itu lebih fokus pada masalah keimanan dan kepercayaan, dan menganggap masyarakat dimana mereka hidup sebagai tidak Islami. Akhirnya kelompok ini berjuang untuk meng-Islamkan masyarakat baik melalui pengajaran ataupun usaha-usaha dakwah atau berperang. Bagi kelompok ini politik tidak penting, karena ia adalah sarana bukan tujuan.

Dengan klasifikasi ini Rashwan meletakkan gerakan Ikhwan Muslimum kedalam kategori gerakan sosial politik dengan platform Islam dan bukan gerakan keagamaan yang menekankan pada masalah keimanan. Maka dari itu gerakan ini tidak mempersoalkan keislaman individual atau masyarakat, tapi berjuang untuk menggerakkan masyarakat Muslim dan Negara Muslim sesuai dengan platform hukum Islam. Namun, Rashwan segera menggaris bawahi bahwa gerakan keagamaan seperti jihadi, salafi dan takfiri itu pada mulanya tidak radikal dalam pengertian Barat. Radikalisme hanyalah kelompok kecil dalam gerakan keagamaan seperti salafi atau lainnya dan bukan dalam semua gerakan keagamaan.? Sedangkan moderat dalam gerakan Islam tidak selalu berarti menerima ide-ide dari Barat, tapi lebih menempuh jalan hikmah.

Berbeda dari Dia Rashwan, Angel Rabasa membuat definisinya sendiri tentang makna moderat yang khas Barat. Sebelumnya ia membedakan antara “islamis” dan “moderat”. “Islamis” adalah gerakan politik Islam berdasarkan interpretasi salafi. Gerakan untuk memobilisasi kekuatan politik dan ideologi politik. Sedangkan moderat adalah gerakan yang tidak berusaha untuk merekonstruksi masyarakat agar sejalan dengan idealisme masa lalu yang diidamkan, tidak menyesatkan atau menindas suatu sistim kepercayaan yang berbeda atau merasionalisasikan penggunaan kekerasan terhadap mereka yang dianggap kafir. Yang lebih penting lagi menurut Rabasa moderat adalah mereka yang mendukung demokrasi, persamaan gender, HAM, kebebasan beragama, menghormati perbedaan, menerima sumber hukum yang tidak berasal dari agama atau mazhab tertentu, dan yang paling penting adalah menentang terrorisme dan kekerasan yang tidak mendasar.

Definisi Rabasa segera mendapat sanggahan dan karena itu Prof. Keiko Sakai dari Department of Foreign Studies, Tokyo University mempertanyakan siapa sebenarnya yang berhak menentukan definisi. Nampaknya ia melihat ada perebutan definisi moderat antara Islam dan Barat definisi moderat. Penulis segera merespon pertanyaan Sakai, bahwa moderat atau tidaknya suatu sikap dalam kaitannya dengan Islam harus dilihat dari bagaimana ia memperlakukan teks dan bersikap pada konteks. Moderasi adalah keseimbangan antara teks dan konteks. Masalahnya dalam standar politik definisi moderat terlalu berpihak pada konteks politik dan melupakan teks. Juga dalam bidang sosial keagamaan, seperti kasus Aminah Wadud sholat Jum’at di gereja bukan pengamalan dan pemahaman berdasarkan teks, tapi praktek keagamaan yang terlampau kontekstual hanya untuk merespon faham gender dan feminisme Barat sehingga melupakan teks.

Rashwan setuju dengan tolok ukur penulis dan ia menambahkan bahwa radikalisme baiknya dikaitkan dengan politik saja, ekstrimisme dikaitkan dengan keagamaan dan politik, sedang konservativisme adalah bersifat sosial dan lebih baik dikaitkan dengan masalah internal umat. Penulis juga mengkritik standar moderasi yang ditentukan oleh Rabasa, karena hanya merujuk kepada konteks gerakan politik masa kini dengan konsep-konsep yang didominasi Barat. Jika merujuk kepada konsep-konsep Islam pengertian moderat itu tentu akan berbeda. Sebab Islam memiliki definisinya sendiri mengenai HAM, kebebasan beragama, hak-hak wanita dan lain sebagainya.

Bagi Sohail, sifat moderat tidak perlu didefinisikan, karena ia adalah watak Islam itu sendiri yang dimasa lalu menyebar ke Asia Selatan dan Tenggara. Jika Islam yang tersebar waktu tidak moderat tentu tidak akan sampai ke kawasan itu.? Namun, Wan Mohd Nor menyela, definisi istilah penting harus merujuk kepada otoritas dimana masyarakat itu berada. Dan tidak wajar jika didefinisikan oleh outsider, al-Biruni contohnya, ketika dia menulis tentang agama Hindu, ia berkonsultasi kepada pemuka-pemuka Hindu tentang ajaran agama itu.

Secara kebetulan pendapat Prof. Wan sejalan dengan atau dikuatkan oleh pendapat Prof. Badoui Abdelmajid, guru besar Peradaban Arab-Islam pada Higher Training School di Tunis. Dalam makalahnya yang secara khusus mengkaji Islam dan moderasi itu ia menegaskan bahwa moderasi adalah esensi Islam itu sendiri. Moderasi dapat disifati dengan stablitas dan perubahan. Stabil dikaitkan dengan masalah keimanan sedangkan perubahan berkaitan dengan interaksi sosial yang memang terus berubah. Ajaran untuk bersikap moderat dalam Islam terdapat dalam hal keyakinan, ibadah, hubungan social dan dalam kehidupan nyata. Inilah yang menjadi tolok ukur moderasi dalam kaitannya dengan gerakan sosial dan politik Islam.

Radikalisme

Istilah dan gerakan yang memiliki daya tarik tinggi adalah radikalisme dan ekstrimisme. Sebenarnya radikalisme adalah fenomena global dan tidak hanya berkaitan dengan Islam. Dalam agama Kristen terdapat gerakan radikal, dalam agama Hindu perusak masjid Babri di India adalah Hindu radikal dan dalam agama Yahudi,? pembunuh Isaac Rabin adalah Yahudi radikal. Begitulah Seyed Rasoul Musavi memulai presentasinya.

Ia kemudian membagi pemahaman terhadap radikalisme kedalam tiga pendekatan: tekstual dan situasional. Pendekatan tekstual, menurutnya, adalah pemahaman terhadap teks Al-Quran secara tekstual sehingga mengakibatkan sikap radikal, dan ini merujuk kepada kelompok Salafi. Situasional maksudnya radikal yang disebabkan oleh situasi umat Islam karena pengaruh kondisi internal dan eksternal. Kondisi internal adalah kondisi politik Islam yang oppresif sedangkan eksternal adalah campur tangan Barat kedalam ranah politik Islam. Karena pengaruh ekternal inilah gerakan radikal yang bersumber pada nasionalisme, liberalisme maupun sosialisme yang kesemuanya sekuler wujud didunia Islam. Radikal dalam membela atau menolak Barat.

Kita dapat saja mengalahkan berbagai jenis gerakan radikal di atas, kata Mousavi tapi kemudian akan timbul gerakan lain yang serupa atau yang lebih berbahaya. Solusi yang ditawarkan Musavi cukup menarik, yaitu Barat, khususnya Amerika Serikat (AS), perlu merubah kebijakan, pola fikir dan perilaku mereka. Jadi, pendudukan, invasi, sanksi-sanksi dan intervensi harus diakhiri.

Sejalan dengan pandangan Mousavi, Prof. Wan Mohd Nor melacak sumber radikalisme dari faktor internal dan ekternal. Yang internal disebabkan oleh de-tradisionalisasi dan de-sufisasi dalam diskursus keislaman dan etika, serta hilangnya otoritas keagamaan dan politik, sedangkan yang eksternal dipicu oleh problem-problem umat Islam seperti masalah Palestina, Thailand Selatan, Filipina Selatan, Asia Tengah, Kashmir. Selain itu sikap double-standard dan Islamphobia Barat terhadap Islam juga memicu sikap radikal.

Solusi yang ditawarkan Prof.Wan lebih mendasar dari Mousavi yaitu perlunya reformasi internal pendidikan umat Islam. Ini dilakukan dengan re-tradisionalisasi pendidikan Islam dan menekankan pada penguasaan dan pengamalan nilai-nilai moralitas. Jadi bukan westernisasi atau liberalisasi pendidikan Islam, karena liberalisasi justru counter-productive. Selain itu perdamaian abadi di Timur Tengah perlu diciptakan, problem Muslim minoritas juga harus diselesaikan, Barat hendaknya mendukung pemerintah yang bersih, adil dan tidak korup, jika tidak maka masyarakat akan membenci Barat.

Nampaknya, keberatan Muslim secara keseluruhan untuk dikaitkan dengan radikalisme dan ekstrimisme dapat diterima peserta. Keiko Sakai setuju agar kita tidak selalu mengkaitkan ekstrimisme dengan Islam, kita perlu memahami kasus per kasus serta faktor-faktor yang memotivasi timbulnya tindak radikal dan ekstrim. Namun, Rabasa tanpa sungkan-sungkan menuding bahwa gerakan radikal dalam Islam disebabkan oleh adanya gerakan politik keagamaan dari Mesir, yaitu gerakan Jihadi. Tudingan ini dibantah Rashwan, sebab, alasannya, gerakan Jihad di Mesir itu asalnya tidak ada konotasi radikalisme atau ekstrimisme yang menjurus kepada kekerasan fisik. Namun, setelah adanya perang Afghanistan, gerakan Jihad berkembang menjadi gerakan radikal dan ekstrim, dan apa yang terjadi di Afghanistan adalah karena hasil strategi AS. Rabasa menolak tapi Rashwan tetap bertahan dan mengklaim bahwa dia tahu banyak tentang gerakan Islam di Mesir sebelum tahun 90an.

Kesimpulan

Diskusi dalam siymposium diatas sangat penting bagi mendudukkan berbagai posisi gerakan keagamaan dan politik Islam. Peninjauan kembali stigma yang dilabelkan kepada gerakan politik Islam diharapkan dapat mengoreksi pandangan negatif Barat terhadap Islam. Artinya sebelum menjelaskan tentang keadaan sosial dan politik umat Islam serta masa depannya para pengamat perlu memahami kedudukan masing-masing kelompok dalam peta hubungan Islam dan Barat. Symposium ini cukup berhasil melakukan hal itu. Simposium dianggap sukses oleh JIIA, karena semua partisipan aktif bertukar fikiran dalam suasana dialogis yang hidup.

Nampaknya, JIIA telah memperoleh gambaran bahwa mayoritas di berbagai negara Muslim adalah moderat. Yang tidak kalah penting adalah bahwa simposium telah memberi banyak masukan kepada RAND corporation dari AS. RAND adalah salah satu think tank pemerintah AS untuk mengatur strategi penyebaran liberalisme kenegara-negara Islam pasca tragedi 11 september.? Diantara masukan terpentingnya adalah bahwa AS ternyata tidak hanya menumpas teroris, tapi juga menumpas pemikiran umat Islam. Sebab? ekstrimis dan radikal hanyalah segelintir orang yang perlu diwaspadai bersama.

Sebenarnya, liberalisai yang ditebarkan AS tidak mampu meredam ekstrimis dan teroris, tapi malah menggilas keyakinan dan pemikiran umat Islam. Bagi Muslim bahaya teroris tidak sebesar bahaya intervensi AS dalam membantu kelompok ekstrim liberal. Sebab dengan program liberalisasi pemikiran keagamaan kebencian umat Islam terhadap AS menjadi semakin bertambah dan dapat mengakibatkan konflik yang lebih serius dimasa depan. [habis: www.hidayatullah.com]

Penulis Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS)