Monday, 12 May 2025, 20:05
cintaterlarang

gaulislam edisi 916/tahun ke-18 (14 Dzulqa’dah 1446 H/ 12 Mei 2025)

Nafsu itu kayak api. Kalo ditaruh di tungku halal, dia bisa jadi penghangat. Tapi kalo dilepas liar, bisa bakar rumah… bahkan keluarga. Jangan sampai yang katanya cinta, malah jadi dosa. Gairah itu fitrah. Tapi nggak semua yang bikin jantung deg-degan itu berkah. Ada kisah, tentang yang salah arah. Tentang dua manusia, sedarah, yang malah terjerumus dalam hubungan yang bikin marah dan menangis. Bukan sinetron. Bukan film. Ini nyata. Dan semua dimulai dari nafsu yang nggak dijaga. Gairah malah jadi musibah.

Kejadiannya di Medan, Sumatera Utara, ditemukan jasad bayi dalam tas yang dikirim pakai layanan ojek online. Polisi curiga, lalu dilakukan penyelidikan, langsung gercep dan ternyata pelakunya adalah kakak-adik: R (25) dan N (21). Lebih parahnya lagi, mereka diduga punya hubungan inses dan N adalah ibu dari bayi tersebut. Bayinya lahir prematur dan meninggal beberapa hari setelah dilahirkan, lalu jasadnya dikirim lewat ojol karena alasan ekonomi dan mungkin… rasa panik. Si ojol yang nganter curiga karena alamatnya zonk, dan akhirnya nemuin jasad bayi dalam selimut dan sajadah. Sekarang keduanya jadi tersangka dan polisi lagi dalami apakah ada kekerasan atau penelantaran yang bikin bayi itu meninggal.

Duh, ini skenario horor yang belum ada di Netflix, Bro en Sis, Ini bukan plot sinetron tengah malam atau video konten horor YouTube. Ini realita gelap yang kejadian di dunia nyata. Ini apaan coba? Kirim paket tuh biasanya baju atau makanan, bukan bayi! Bahkan kurirnya sampai trauma, bisa-bisa abangnya mendadak buka usaha “detektif ekspres” saking curiganya.

N mungkin panik, bingung, dan kepepet. Tapi semua keputusan absurd–melahirkan sendiri, nggak minta bantuan, lalu malah nitip jasad bayi ke ojol–itu fatal. Rasa malu, takut, dan tekanan bikin manusia bisa nekat.

Serius deh, edukasi dan kasih sayang itu penting banget. Masalah ini bukan cuma soal hukum. Ini tentang betapa pentingnya edukasi seksual, kesehatan mental, dan support system dari keluarga atau lingkungan. Kalo dari awal N dan R dapet perhatian, mungkin cerita ini bisa beda ending-nya. Jangan nunggu tragedi dulu baru sadar kita perlu ngobrolin hal-hal sensitif kayak hubungan, seks, dan tanggung jawab. Lebih keren lagi kalo dibarengi dengan edukasi seputar tuntunan syariat Islam. Beneran.

So, buat kalian yang masih muda dan masih bisa mikir lurus, kalo punya masalah, curhatlah ke orang yang bener, bukan ke orang yang “dekat tapi sesat”. Jangan sampe nyasar ke keputusan bodoh yang ngerugiin hidup banyak orang–apalagi anak kecil yang belum sempat lihat dunia.

Jadi manusia itu berat, tapi bukan berarti kita harus jadi gelap. Dunia ini udah cukup ribet tanpa harus ditambah kisah tragis kayak gini. Jadilah generasi yang berani ngomong, berani cari bantuan, dan berani bilang: “Ini salah, gue harus stop”. Kalo ngomong mendang-mending, kayaknya masih mending overthinking soal masa depan daripada overnekat yang akhirnya masuk bui. Ngeri.

Baca juga:  Kerudung Dusta

Apa sebabnya?

Sobat gaulislam, kasus inses alias hubungan sedarah bukan hal baru yang tiba-tiba jatuh dari langit kayak meteor. Ini udah lama ada. Kasus model gini seolah terus muncul kayak iklan YouTube yang nggak bisa di-skip.

Tapi pertanyaannya, “Kok bisa sih sampai kejadian lagi dan lagi? Apa keluarga tidur pas pelajaran agama? Masyarakat tutup mata? Pejabat negara sibuk ngatur kekuasaan tapi lupa ngatur moral?” Yuk, kita bahas satu-satu.

Pertama, minus pengetahuan agama itu ibarat jalan tol menuju kesesatan. Kita harus sepakat bahwa inses tuh haram banget. Bukan cuma dilarang agama Islam, tapi juga semua agama, budaya, dan logika sehat manusia. Hubungan sedarah itu udah kayak makan nasi tapi ditaburin pasir, nggak cuma salah, tapi juga nyakitin dan menghancurkan.

Kalo orang ngerti agama, paham batas pergaulan, tahu adab lawan jenis termasuk di dalam keluarga, insya Allah inses nggak akan kejadian. Tapi faktanya, banyak yang belajar agama cuma buat lulus ujian PAI, bukan buat dipakai hidup. Jadilah aturan syar’i cuma jadi dekorasi di buku, bukan kompas di hati.

Kedua, maraknya pergaulan bebas. Pacaran contohnya. Ya, dari pacaran, turun ke zina, terperosok ke inses. Astagfirullah. Sering banget kita lihat, pacaran dianggap wajar. Bahkan ada ortu yang dukung dengan ngasih komen, “Anak saya udah gede, masa nggak boleh punya pacar?” Ibu… itu bukan prestasi, itu potensi musibah!

Pacaran itu pintu gerbang. Iya, pintu masuk ke dunia perzinahan. Dan saat pintu itu udah dibuka lebar, godaan syetan kayak diskon 99%–nggak bisa ditolak. Dan saat orang nggak bisa nyari pasangan di luar (entah karena takut ketahuan, atau udah ketagihan), mulailah mikir aneh: “Ya udah sama yang deket aja”. Keluarga sendiri. Gila? Iya. Bejat? Banget. Tapi ini fakta. Sedih campur kesal.

Ketiga, soal aturan pergaulan yang longgar banget. Ya, tata pergaulan longgar sama artinya lubang neraka menganga. Duh. Makin ke sini, banyak keluarga ngerasa santai aja lihat anak cewek bawa cowok ke kamar, atau sebaliknya. Ada yang bilang, “Yang penting tanggung jawab.”

Halloowww! Ini bukan tentang bertanggung jawab, ini tentang melanggar syariat dan nyungsep ke jurang dosa. Kok gitu ya mikirnya? Aneh bin ajaib.

Dari situ, muncul tuh efek domino. Apa? Awalnya pacaran, nggak tahan lalu berzina. Ada akibatnya, yang cewek hamil. Malu atau belum siap, akhirnya milih saran setan, yakni aborsi. Atau cara lain, kalo aborsi nggak mau atau nggak berhasil, yakni buang bayi pas begitu lahir. Kalo buang bayi nggak jadi opsi, malah bunuh bayinya, anaknya sendiri. Duh, ngeri banget, dah! Dan semuanya udah sering terjadi. Di berita. Di sekitar kita. Bahkan mungkin… di lingkungan kamu sendiri. Speechless.

Keempat, ini soal budaya porno yang lebih menular dari virus, lebih garang dari debat politik di platform X (dulu Twitter). Coba hitung deh, berapa kali kamu lihat konten “menjerumuskan” dalam sehari? Film, sinetron, web series, video pendek di youtube yang… aduh, setting-nya kamar mulu. Plotnya? Nggak jauh-jauh dari “cinta terlarang” atau “dilema nafsu”.

Baca juga:  Ayo, Berani Tinggalkan Maksiat!

Belum lagi yang hobi scroll ke tempat terlarang. Awalnya iseng, lama-lama keterusan. Iman jadi keropos, akhlak bocor, otak ngelantur. Dan yang kayak gini bukan cuma remaja labil, mereka yang udah tua juga bisa terjerat. Itu sebabnya, jangan GR kalo kamu merasa “nggak bakal kejebak”. Semua orang bisa jatuh kalo nggak jaga iman dan nggak punya benteng ilmu. Semoga kita terhindar dari hal yang sedemikian. Naudzubillahi min dzalik.

Hentikan, jangan bablas!

Sobat gaulislam, kalo rem blong truk atau bis aja bikin bahaya, apalagi iman yang blong. Ruginya di dunia dan di akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu kampung maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri.” (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani)

Zina itu sekarang kayak mie instan. Cepat, praktis, tapi ngasih efek jangka panjang yang nggak sehat. Bedanya, kalo mie cuma bikin kolesterol, zina bisa bikin hidup berantakan dan dosa setinggi langit. Rasulullah udah ngasih warning keras sebagaimana dalam hadits tersebut. Intinya, kalo zina dan riba udah menyebar, jangan salahin Allah Ta’ala kalo keberkahan dicabut dan azab turun kayak hujan badai.

Ngeri. Sebab zina udah kayak tren. Dulu disembunyiin, sekarang malah disorakin. Hamil di luar nikah bukan lagi bikin orang malu, tapi jadi alasan update story: “Alhamdulillah, calon baby boy“. Ya Allah… kita butuh istighfar, bukan gender reveal alias sebuah pesta kejutan yang diselenggarakan oleh pasangan suami istri untuk mengungkapkan jenis kelamin bayi mereka kepada keluarga dan teman-teman. Masalahnya, kalian bukan pasangan suami istri. Paham?

Padahal, efek zina tuh bukan cuma dosa pribadi. Ini dosa sosial. Nasab jadi kabur alias nggak jelas (apalagi yang inses), penyakit seksual merajalela, HIV-AIDS naik daun (bukan naik pangkat, ya), dan martabat manusia makin tenggelam dalam lautan syahwat tanpa kendali syariat.

Itu sebabnya, jangan cuma dijauhi. Zina tuh nggak boleh dideketin. Nggak boleh diajak say hi, ngintip, bahkan sekadar ‘kepo’. Bener-bener harus pasang tembok tangguh berlapis iman dan akhlak. Why? Karena menjaga diri dari zina itu bukan sok suci. Itu bentuk menghargai diri. Menghargai masa depan. Bentuk rasa syukur kepada Allah Ta’ala yang udah ngasih aturan bukan buat nyusahin, tapi buat nyelametin.

So, kalo hari ini zina jadi biasa, bisa jadi besok azab jadi nyata. Jangan tunggu dunia ini kebanjiran aib dulu, baru kita belajar nutup aurat dan jaga pergaulan. Mulai dari sekarang. Mulai dari diri sendiri. Sebab, iman itu kayak sinyal–kalo jauh dari sumbernya, ya lemah. Itu artinya, jangan biarin sinyal iman kamu no service. Deketin al-Quran. Sambung sama Allah Ta’ala. Biar hidupmu bukan cuma selamat, tapi juga bermartabat. Ada keberkahan.

Baca juga:  Sambut Ramadhan dengan Cinta

Yahya bin Abi Katsir rahimahullahu berkata, “Tiga perkara, yang tidaklah perkara tersebut ada pada sebuah rumah kecuali akan dicabut darinya barokah; 1) Sikap berlebihan (melampaui batas); 2) Zina; dan 3) Khianat.” (dalam Hilyatul Aulia, jilid 2, hlm. 348)

Apa langkah selanjutnya?

Sobat gaulislam, ini perlu penyelesaian. Iya, solusi. Apa solusinya? Harus barengan alias kerjasama, mulai dari keluarga, masyarakat, dan negara. Keluarga harus balik jadi madrasah pertama dan utama. Nggak cuma ngajarin anak baca Iqra’, tapi juga ngajarin cara jaga diri, jaga batas, dan jaga akhlak. Tahu aturan syariat: mana yang boleh mana yang dilarang, mana yang benar dan mana yang baik, mana yang terpuji dan mana yang tercela, juga diajarkan mana yang halal dan mana yang haram.

Masyarakat pun nggak boleh cuek. Jangan diem kalo lihat anak-anak nongkrong jam 11 malam bawa motor berdua-duaan. Jangan bilang “bukan urusan saya”. Kalo bukan urusan kita, terus urusan siapa? Jadilah bagian dari masyarakat yang memiliki kontrol ketat. Jangan malah dukung maksiat.

Selain itu, negara wajib pasang badan. Hilangkan konten porno, sensor sinetron mesum, berantas konten vulgar dan porno di medsos, dan bikin regulasi yang tegas tapi mendidik. Jangan cuma sibuk nyari buzzer untuk melanggengkan kekuasaan. Beneran. Ini udah bahaya.

Akhir kata, kita bukan generasi loyo, kita generasi tahu aturan. Jangan mau jadi korban zaman. Zaman emang makin bebas, tapi bukan berarti kita harus ikut bebas sebebas-bebasnya sampai hilang arah. Agama bukan pembatas, tapi penyelamat. Jaga iman, jaga akhlak, jaga diri. Kalo nggak dimulai dari kita, terus siapa?

Inget, ya. Jangan sampai orang yang harusnya jadi pelindung malah jadi predator. Jangan biarkan keluarga yang harusnya jadi surga malah berubah jadi neraka. [O. Solihin | Join Channel WhatsApp]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *