
gaulislam edisi 917/tahun ke-18 (21 Dzulqa’dah 1446 H/ 19 Mei 2025)
Nakal itu bukan vonis, tapi ibarat salah satu bab dalam buku hidup yang masih bisa disunting. Tapi sayangnya, di zaman sekarang, anak yang berulah langsung dicap rusak, dicemplungin ke barak militer, seolah yang dibutuhkan cuma push-up dan teriakan komando. Bukan pelukan, pemahaman, atau bimbingan dari hati ke hati. Padahal, kalo kita jujur dalam logika iman, manusia itu tempat salah–tapi juga tempat harapan. Nabi pun ngajarin, orang kuat itu bukan yang bisa menaklukkan orang lain, tapi yang bisa menaklukkan dirinya sendiri. Jadi, gimana kalo kita berhenti nge-judge anak-anak ‘nakal’ sebagai produk gagal, dan mulai lihat mereka sebagai ladang amal, bukan ladang hukuman?
Masih jadi bahan obrolan hingga hari ini, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, bikin gebrakan yang membuat publik kejungkel, yakni ngirim anak-anak yang dianggap “bermasalah” ke barak militer! Bukan buat jadi tentara, tapi katanya biar mereka belajar disiplin ala-ala militer. Hasilnya? Pro kontra langsung berseliweran di linimasa medsos.
Di satu sisi, ada yang ngasih jempol. Beberapa orangtua bilang anaknya yang dulunya kayak ‘berandalan’–susah diatur, doyan ngelawan–sekarang jadi anteng, sopan, dan siap nurut tanpa disuruh dua kali. Tapi di sisi lain, ada juga orangtua yang langsung kirim laporan ke Komnas HAM. Mereka khawatir barak itu bukan solusi, malah bisa nyiksa mental anak. Nah, tuh!
Anggota DPR yang juga seleb, Verrel Bramasta, ikut nimbrung. Dia nyindir halus kebijakan ini sambil lempar kode (kalo kita bahasakan bebas, cuma nangkep esensinya), “Eh, jangan asal kirim ke barak dong, ngobrol dulu sama anaknya.” KPAI dan para pengamat pun rame-rame kasih warning, jangan sampai niat baik malah ngilangin hak-hak anak.
Pengamat pendidikan Andreas Tambah, yang juga Direktur Rumah Literasi 45, ngasih pendapatnya. Menurutnya, anak yang udah “nggak bisa dinasihatin pake cara biasa” emang perlu pembinaan khusus. Tapi, tetep ya, harus ada SOP-nya. Jangan asal kirim kaya paket COD. Harus ada izin orangtua, pendamping psikolog, dan yang paling penting: jangan labelin anak kayak dia penjahat kelas kakap.
Andreas juga ngajak semua pihak buat nggak cuma nyinyir, tapi bantu cari solusi bareng. Sebab, anak-anak yang bandel itu bukan musuh negara. Mereka cuma butuh pendekatan yang lebih manusiawi dan penuh pengertian (plus mungkin wifi yang kenceng), eh kok ke sini?
Kritik
Sobat gaulislam, soal kebijakan Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, yang ngirim anak-anak ‘nakal’ ke barak militer, ternyata nggak semua orang setuju.
Terbaru, suara kritis datang dari dr. Gamal Albinsaid, politisi PKS yang juga anggota DPR RI. Dia nggak cuma ngasih komentar asal-asalan. Dia datang bawa riset, studi, dan data! Catet.
“Militer? Efektif? Emang iya?”, kira-kira begitulah pertanyaanya. Ia mempertanyakan kebijakan tersebut karena berdasarkan riset internasional, pendidikan ala militer buat remaja itu… yaaa, kurang works. Bukan cuma nggak ngurangin kenakalan, malah bisa nambahin peluang anak-anak jadi makin lihai dalam hal negatif!
Ada studi dari University of South Carolina (2010) dan laporan dari Inggris (2021) yang bilang, bootcamp justru bisa bikin anak-anak makin rawan ngelakuin pelanggaran. Bahkan ada temuan yang bilang, mereka bisa jadi lebih kuat, lebih disiplin tapi dalam berbuat nakal. Hmmm… upgrade skill yang salah, dong?
Menurut Gamal, anak-anak yang disebut ‘nakal’ itu nggak tiba-tiba jadi begitu. Bisa karena masalah di rumah, broken home, kurang perhatian, trauma masa kecil, pergaulan toxic, sampai sistem sekolah yang nggak suportif.
Dan, apa pendidikan ala militer bisa nyembuhin itu semua? Belum tentu, sih. Itu kayak ngasih obat flu buat yang lagi patah hati. Jadinya salah diagnosis, salah treatment.
Menurut Gamal, “Mereka butuh perlindungan, bukan hukuman”.
Sebab, menurutnya ngirim anak ke barak militer terkategori melanggar hak-hak anak. Selain itu, bikin mereka dapat stigma negatif, berpotensi ngerusak psikologis anak, dan, yang paling serem, itu malah menyederhanakan masalah yang kompleks.
Apalagi kalo anaknya dijemput ala-ala militer, dibawa ke barak, terus dijuluki “anak bandel barak” sama teman sekomplek. Duh, mental siapa yang nggak kena?
Jadi, solusinya apa? Menurut Gamal, “Gunakan pendekatan berbasis bukti (evidence-based), jangan cuma pakai feeling. Bangun ekosistem dukungan yang memulihkan, bukan menghukum. Lalu, fokus pada psikologi, keluarga, komunitas, dan pendidikan karakter. Selanjutnya, hindari stigma, diskriminasi, dan pendekatan satu untuk semua. Dan, yang paling penting: beri anak ruang tumbuh dengan kasih, bukan tekanan.
Gimana tanggapan Dedi Mulyadi? Gaskeun Terus! Di sisi lain, Dedi Mulyadi tetap santai nanggepin semua kritik. Di Instagram, ia bilang, “Terima kasih atas kritik, saran, tuduhan, bahkan pelaporan…”
Menurutnya, program ini adalah bentuk perhatian terhadap remaja yang “berperilaku khusus”. Tapi kayaknya diskusinya masih bakal panjang, nih. Why? Sebab, urusan anak-anak tuh bukan urusan itu aja. Maksudnya, bukan yang nakal bin berandal. Tapi juga soal pergaulan, miras, narkoba, juga kesehatan mental.
Secara ringkasnya atau poin pentingnya yang disampaikan dr. Gamal Albinsaid adalah soal efektivitas pendidikan militer untuk anak nakal. Selain itu, riset menunjukkan bootcamp militer tidak menurunkan kenakalan, bahkan bisa memperburuk. Lalu, anak nakal bukan karena iseng, tapi karena masalah yang lebih dalam seperti urusan keluarga, psikologis, atau lingkungan.
Selain itu, pendidikan militer bisa langgar hak anak, stigmatisasi, dan salah pendekatan. Lalu seperti apa solusinya? Pendidikan empatik, pendekatan psikososial, dan ekosistem yang suportif. Begitu kata Gamal.
Setiap anak butuh perlindungan, bukan hukuman. As simple as that. Kalo anak-anak nakal itu seperti benih, jangan dikasih barak, tapi kasih tanah yang subur, air yang cukup, dan sinar matahari berupa kasih sayang. Catet!
Bekali dengan ilmu agama
Sobat gaulislam, sebelum kita buru-buru ngecap anak “nakal” terus langsung kirim ke barak, coba deh tarik napas dulu, lalu tarik kesimpulan pakai akal dan hati.
Masalah anak ‘bermasalah’ itu nggak sesimpel rambut kribo acak-acakan dan nilai ulangan jeblok karena dapat angka 8 ngakak (alias angka 3). Bisa jadi karena rumahnya berantakan, ortu sibuk duniawi sampai lupa dunia anaknya, atau lingkungan yang toxic parah. Bahkan bisa juga karena negara ini, yang kadang rajin bikin aturan (eh, malah aturannya belum ada, sih) tapi mager pas disuruh ngejalanin sanksi dengan adil.
Jadi, jangan buru-buru ngomong: “Didik aja kayak tentara, biar disiplin!” Loh, emangnya militer itu jaminan akhlak mulia? Belum tentu, sih.
Jujur aja ya, ada juga loh yang masuk pendidikan militer, lulus, keliatannya gagah berani, tapi di lapangan malah perang dingin (sesekali panas) antar aparat. Bukan sinetron, ini fakta. Tentara vs polisi. Epic battle? Nope. Tragedi moral itu mah.
Katanya sih masih muda, baru lulus, darah masih panas. Tapi tetap aja, kalo agama dan akhlaknya belum dibangun, hasilnya ya bisa meledak kayak granat dilempar ke hati nurani.
Islam ngajarin bahwa “pendidikan akhlak lebih penting dari sekadar disiplin fisik”. Dari Abu Hurairah ra?iyall?hu ‘anhu, bahwa Rasulullah ?allall?hu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Orang yang kuat bukanlah orang jago dalam bergulat dan berkelahi, namun orang yang kuat adalah orang mampu mengendalikan dirinya ketika sedang marah.’” (HR Bukhari dan Muslim)
Jadi? Ya, kita butuh ‘barak’ hati, tempat anak-anak bisa istirahat dari kerasnya dunia, belajar mengenal diri, dan dekat dengan Ilahi. Kita butuh pendekatan yang ngajak mereka murojaah, bukan push-up. Bukan berarti push-up itu haram, ya. Tapi jangan sampe lupa bahwa yang lemah bukan cuma otot, tapi juga iman dan tujuan hidupnya.
Sebabnya apa? Anak bukan batu. Mereka nggak keras dari sananya. Tapi bisa membatu kalo disikapi dengan keras kepala. Benar kalo dikatakan bahwa disiplin itu penting, tapi tanpa iman, disiplin bisa jadi senjata yang nyasar. Bahkan belajar agama pun kudu bertahap sesuai usianya. Jangan memaksa, tapi berikan motivasi. Kalo didik dengan gaya militer seperti di masa sekarang, bisa jadi mereka akan nurut, tapi khawatirnya nurut karena takut. Bukan kesadaran. Waspadalah!
Ada kisah terkait mendidik anak, yang sepertinya nyambung dengan fakta ini. Pada suatu hari, Imam Syafi’i masuk ke salah satu ruang kamar Khalifah Harun ar-Rasyid. Sedianya beliau hendak meminta izin. Di sana ada Siraj, pelayan khalifah. Dia pun mempersilakan Imam Syafi’i duduk di dekat Abdu Abdus Shamad, guru anak-anak Khalifah Harun ar-Rasyid.
Siraj berkata kepada Imam Syafi’i, “Wahai Abu Abdillah, mereka ini adalah putra-putra Amirul Mukminin, dan dia adalah guru mereka. Alangkah baik, jika engkau bersedia menyampaikan wasiat kepadanya berkaitan dengan anak-anak itu.”
Kemudian Imam Syafi’i menoleh ke arah Abu Abdus Shamad. Beliau berkata kepadanya, “Hendaklah hal pertama yang engkau lakukan sebelum mendidik putra-putra Amirul Mukminin adalah memperbaiki dirimu sendiri, karena penglihatan mereka akan selalu terpaut dengan penglihatanmu. Baik menurut mereka adalah apa yang engkau anggap baik, dan buruk di mata mereka adalah apa yang engkau tidak sukai.”
Kemudian beliau melanjutkan, “Ajarkanlah al-Quran kepada mereka. Jangan memaksa mereka dalam pengajaranmu sehingga mereka menjadi bosan dan jemu pada al-Quran, dan jangan pula membiarkan mereka tanpa al-Quran sehingga mereka akan mengabaikannya. Riwayatkan kepada mereka syair-syair yang beradab dan hadits-hadits yang mulia. Jangan menyuruh mereka berpindah mempelajari satu ilmu ke ilmu lain sebelum mereka betul-betul menguasainya, karena kata-kata yang berjejalan di telinga akan menyesatkan pemahaman.” (dalam Shifah ash-Shafwah, jilid 2, hlm. 169 dan Hilyah al-Auliya, jilid 9, hlm. 147)
Jadi, bekali anak-anak dengan ilmu agama. Mungkin sebagai tahap awal bisa saja dididik ala militer dengan target disiplin dan punya integritas khusus buat anak yang susah diatur. But, tetap kudu diberikan pemikiran Islam terkait akidah dan syariat. Jangan dibiarkan nyari ilmu sendiri agar tak tersesat jalan.
Yuk, kita bareng-bareng ubah. Bapak dan ibu yang di rumah, para orang tua yang di masyarakat, juga pemimpin negara kudu bekerjasama erat menumbuhkan takwa individu, kontrol masyarakat serta penerapan aturan dan sanksi oleh negara. Nah, terkait masalah ini, para ortu dan para pemimpin, jadilah dewasa yang meneduhkan, bukan yang menakutkan. Solusi untuk problem ini memang kudu menyeluruh dengan menyentuh akar masalahnya (yakni karena jauh dari ajaran Islam). Dan, tentu saja hanya Islam satu-satunya syariat yang bisa menyelamatkan di dunia dan akhirat. Jadi, solusi tuntasnya adalah menerapkan Islam sebagai ideologi negara.
Ini butuh waktu dan tenaga, serta ilmu plus kerjasama semua pihak terkait. Jadi, anak nakal bukan kabar final, tapi masih bisa disunting alias ‘diedit’ dan diperbaiki. Idealnya, tentu diperbaiki dengan Islam. Semoga bisa mewujudkannya. [O. Solihin | Join WhatsApp Channel]