
gaulislam edisi 929/tahun ke-18 (17 Safar 1447 H/ 11 Agustus 2025)
Tanggal 17 Agustus nanti, Indonesia bakal masuk usia ke-80 sebagai bangsa yang merdeka dari penjajahan. Kalo manusia, udah masuk klub sepuh premium, yang biasanya punya koleksi jaket reuni yang unik dan pamer cerita masa muda tiap ada cucu mampir. Aktivitasnya? Nyiram kebun, ngerumpi di pos ronda, dan sesekali ikut senam lansia sambil bawa kipas (apa hubungannya?). Harusnya, di umur segini, udah banyak makan asam garam kehidupan, makin bijak, makin matang, dan makin ngerti arah hidup mau ke mana. Tapi kok malah makin ruwet? Ibarat kakek yang udah 80 tahun tapi masih main petasan di jalan raya. Nggak cuma bikin bising, tapi juga bikin orang lain kaget dan nyumpahin dalam hati: dasar bocah tua nakal!
Memang betul, kita udah merdeka dari penjajahan fisik sejak 1945. Nggak ada lagi tentara asing yang nyetop di jalan lalu teriak “Berhenti!” sambil nunjuk laras senapan ke arah kakek buyut kita. Tapi coba deh tanya pelan-pelan ke diri sendiri. Introspkesi. Kita ini udah merdeka beneran atau cuma ganti model penjajahnya? Dulu penjajahnya bawa senapan, sekarang penjajahnya bawa pasal hukum yang bisa dibolak-balik sesuai mood, kayak mie instan yang bisa dimasak pakai bumbu sesuai selera, tapi rasanya tetep bikin sakit perut.
Kalo dulu rakyat takut sama serdadu berseragam yang bawa senjata, sekarang banyak yang takut sama aparat berseragam yang bawa surat tilang, atau pejabat yang bawa aturan yang aneh-aneh. Dulu penjajahnya nyuruh kerja rodi bangun rel kereta, sekarang “penjajah modern” nyuruh rakyat kerja rodi bayar pajak, sementara hasilnya entah kemana. Kadang nyangkut di rekening oknum, kadang nyangkut di proyek yang mangkrak. Dulu yang menguasai negeri adalah bangsa asing, sekarang yang menguasai adalah sesama anak bangsa, tapi kelakuannya kadang bikin kita bertanya-tanya: ini musuh atau saudara?
Dan yang lebih miris, dulu penjajah terang-terangan nyebut kita “terjajah”, sekarang penjajahan dibungkus manis dengan istilah “demi pembangunan” atau “untuk kemajuan bangsa”. Padahal ujung-ujungnya, yang maju cuma rekening para elit, sementara rakyatnya maju kena mundur kena.
Problem negeri kita
Di umur segini, harusnya kita udah banyak belajar dari masa lalu. Harusnya, lho. Tapi kenyataannya, negeri ini kayak gamer yang tiap naik level malah dapet monster baru yang lebih OP (Overpowered). Bedanya, kalo di game kita bisa upgrade senjata buat ngalahin monster, di dunia nyata “senjatanya” malah dijualin sama temen satu tim.
Coba tengok soal hukum. Duh, udah kayak kaca spion. Cuma jelas kelihatan yang di belakang, yang di depan kabur. Orang yang bener bisa dipenjara cuma karena nyentil penguasa atau berbeda pandangan politik, sedangkan yang jelas-jelas maling uang rakyat malah disambut kayak pahlawan. Tebang pilih menghukum koruptor karena hukum dicampur politik. Pasal-pasal hukum sering kayak karet: fleksibel, bisa dioprek sesuai selera pemilik kepentingan, yang biasanya duduk di kursi empuk gedung tinggi kekuasaan.
Gimana dengan kasus korupsi? Hmm… dulu korupsi kayak nyolong kue di toples, malu kalo ketahuan (ini kalo yang nyadar dan tahu diri). Sekarang? Udah kayak lomba panjat pinang, semua rame-rame rebutan. Bahkan, korupsi sekarang bukan cuma numpang lewat, tapi udah jadi liga nasional yang rekornya rutin pecah tiap tahun. Dan yang bikin miris, ada aja yang bilang “Ya udah, yang penting bagi-bagi” seolah itu hal normal.
Belum lagi kelakuan para oknum pejabat di berbagai kementerian tertentu yang ketahuan (kalo yang nggak ketahuan, nggak tahu deh). Bukan cuma nggak nyelesain masalah, malah kadang jadi sumber masalah. Ada yang pernah viral karena statement aneh seorang menteri yang mendukung mahasiswa memanfaatkan pinjaman online (pinjol) untuk membayar uang kuliah tunggal (UKT) jika kesulitan ekonomi. Ada menkes (menteri kesehatan) yang komen ngawur, “Kalo dia enggak sehat dan pintar tidak mungkin gajinya Rp 15 juta, pasti Rp 5 juta”. Belum lagi yang studi banding di luar negeri sambil bilang “ini buat belajar”. Belajar apanya kalo pulangnya nggak ada yang berubah?
Eh, bagaimana dengan institusi kepolisian? Duh, kamu kayaknya udah kenyang dengan berita yang bejibun. Oknumnya banyak di berbagai persoalan. Harusnya jadi hero di film action, yang dateng di detik terakhir buat nyelamatin korban. Tapi kenyataannya, seringnya malah cameo di film penjahat. Bukan cuma karena oknum yang terlibat kejahatan, tapi juga karena banyak kasus yang “sengaja” di-slow motion biar nggak kelar-kelar. Kamu tahu sendiri deh lewat berita di media massa dan obrolan di media sosial. Istilah parcok dan sejenisnya, termasuk kasus aneh yang belum lama terjadi, menangkap pelaku judol yang mengakali dan merugikan bandar judol. Lah, ini yang lapor bandar lalu polisi membela bandar? Gimana konsepnya ini? Pantes aja judol nggak bisa diberantas.
Apalagi kalo ngomongin soal politik. Mumet dan ruwet. Udah jadi ajang arisan keluarga. Siapa dapat kursi, siapa dapat proyek, semua diatur rapi biar “rezeki” nggak keluar dari lingkaran. Kadang sampai bingung, ini negara atau grup WhatsApp keluarga besar yang isinya cuma saling kirim info lowongan jabatan buat sepupu dan keponakan. Politik dinasti itu nyata.
Kalo dilihat-lihat, negeri ini kayak rumah yang cat luarnya merah putih, benderanya gagah berkibar, musik marsnya bikin merinding. Tapi pondasinya bolong, atapnya bocor, dan di dalamnya–malingnya justru punya kunci utama. Lalu yang lebih nyesek, malingnya kadang jadi tamu kehormatan saat acara syukuran rumah.
Sobat gaulislam, katanya, remaja adalah penerus bangsa. Tapi kalo kelakuannya tawuran tiap malam minggu, balapan liar sambil live di Instagram, geng motor yang nongkrong sambil nyari masalah, pacaran bebas yang lebih mirip sinetron 1.000 episode, narkoba yang dijual kayak jajanan pasar, zina yang dianggap “bukti cinta”, sampai judi online yang promonya lebih sering nongol di HP daripada notifikasi saldo masuk. Wah, ini sih bukan “penerus bangsa” tapi “penerus masalah”.
Sekolah yang harusnya jadi tempat belajar adab malah sering berubah jadi panggung drama dan skandal. Ada guru yang nyambi jadi predator, modusnya pura-pura perhatian tapi ujung-ujungnya niatnya gelap. Ada bullying yang bukan cuma bikin korban trauma, tapi sampai nggak mau sekolah lagi, kehilangan percaya diri, bahkan ada yang nekat nyakitin diri sendiri dan malah bunuh diri.
Di level yang lebih “elit” kayak tentara dan polisi, kasus bully juga nggak kalah serem–mulai dari hukuman fisik yang kebangetan sampai kekerasan yang berakhir di meja autopsi.
Kalo penegak hukum aja hobi nyiksa juniornya, gimana rakyat mau percaya sama hukum? Kalo yang seharusnya jadi pelindung malah jadi pemukul, siapa yang bisa diteladani?
Dan jujur aja, ini bukan cuma masalah “anak nakal” doang. Banyak dari mereka yang sebenarnya korban. Ya, korban keluarga yang cuek, yang sibuk kerja atau main HP sampai lupa ngobrol sama anaknya. Korban lingkungan yang toxic, di mana teman sebaya jadi “mentor” dalam hal keburukan. Korban sistem yang cuma pinter bikin slogan keren kayak “Generasi Emas 2045” tapi lupa bikin program pembinaan yang serius, akhirnya kita khawatir malah jadi program “generasi cemas”.
Banyak remaja yang haus kasih sayang tapi malah dapat pelampiasan kekerasan. Banyak yang cari perhatian tapi malah dapat ejekan. Banyak yang ingin dianggap keren tapi salah jalan, karena nggak ada yang ngajarin cara jadi keren yang bener.
Angin perubahan?
Melihat kondisi kayak gini, ada juga rakyat yang mulai protes. Meski suaranya belum bisa ngalahin volume sound horeg, tapi udah mulai kelihatan. Ada yang nyindir di media sosial, bikin meme, atau ikut aksi damai di jalan. Bahkan ada yang kibarin bendera JollyRoger ala anime One Piece sebagai simbol perlawanan, seolah mau bilang, “Kami nggak takut sama bajak laut politik!”
Ada yang bilang keren buat foto profil dan update story di medsos. Apalagi kalo dikasih filter dramatis, caption panjang, plus tagar-tagar perjuangan. Tapi kalo perlawanan cuma berhenti di bendera dan postingan, itu sama aja kayak fans bola yang teriak-teriak di stadion, wajahnya dicat merah putih, tapi negaranya tetap kalah 8-0 di kandang sendiri. Ributnya doang yang kenceng, hasilnya nihil.
Perlawanan itu butuh aksi nyata. Minimal mulai dari nolak ikut-ikutan hal bobrok, walau kelihatannya “sepele”. Misalnya nolak disuap buat “memuluskan urusan”. Nggak ikutan nyebar hoaks demi memancing keributan. Nggak tutup mata saat liat temen atau saudara salah, cuma karena dia “orang dalam”.
Jangan cuma marah di medsos, tapi offline-nya tetep doyan nge-share link judi online di grup WA keluarga. Jangan teriak “turunkan koruptor” tapi di kehidupan nyata masih nyontek ujian atau mark-up harga saat bikin laporan pengadaan barang. Jangan bilang “lawan ketidakadilan” tapi dengan teman sendiri masih jadi pembully.
Perlawanan bukan cuma soal demo di jalan atau bendera di tiang, tapi soal konsistensi melawan keburukan di lingkungan terdekat. Mulai dari rumah, sekolah, tempat kerja, sampai lingkaran pertemanan. Sebab, kalo tiap orang udah merdeka dari kebiasaan buruknya sendiri, kekuatan itu bakal ngumpul jadi gerakan besar yang nggak cuma ribut di dunia maya, tapi juga kerasa nyata di dunia nyata.
Merdeka menurut Islam
Sobat gaulislam, kalo buka KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), “merdeka” itu artinya bebas dari perbudakan, penjajahan, dan sejenisnya. Tapi buat kaum muslimin, kemerdekaan itu bukan cuma soal nggak dijajah negara lain. Lebih dari itu, ini misi gede banget yang dibawa Islam, yakni ngebebasin manusia dari jadi “budak” sesama manusia, terus balik jadi hamba Allah Ta’ala. Jadi, bukan cuma bebas dari rantai besi, tapi juga dari “rantai” hawa nafsu dan aturan manusia yang nyeleneh.
Ini kelihatan banget dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau tulis dalam surat untuk penduduk Najran. Sebagian isinya gini nih: “Amma ba’du. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia)” (dalam al-Hafizh Ibnu Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, jilid 5, hlm. 553)
Itu sebabnya, kalo kita masih nyaman berbohong demi citra diri, masih gampang nyalahin orang lain biar aman dari masalah, dan masih hobi ngejar kesenangan dunia sampai nginjek-nginjek aturan Allah Ta’ala, itu tandanya kita belum merdeka, meski benderanya berkibar dan lagu kebangsaan dinyanyikan tiap minggu.
Jadi, merdeka itu bukan sekadar “gue bebas ngelakuin apa aja”. Merdeka yang hakiki justru “gue nggak akan nyakitin orang lain, karena gue nggak mau disakitin”, baik dengan tangan, mulut, maupun postingan di medsos.
Jadi, merdeka itu adalah berani bilang “nggak” sama yang haram walau semua orang bilang “udah biasa”. Misalnya, nggak ikut nimbrung di grup gosip komunitas walau semua teman rame komentar. Selain itu, nggak tergoda uang haram walau di depan mata. Kalo kerja di kasir dan ada orang kelebihan bayar, kita balikin, bukan malah “disyukuri” sebagai rezeki nomplok. Nggak ikut nge-bully walau semua teman satu geng udah mulai. Entah itu bully di kelas, atau bully online yang sekarang lagi jadi “olahraga nasional” di kolom komentar. Selain itu, kudu tetap jujur walau konsekuensinya berat. Karena kejujuran itu bukan sekadar sifat baik, tapi bukti bahwa hati kita nggak dikuasai rasa takut kepada manusia. Terakhir, menahan diri dari pamer dan sombong walau punya kesempatan. Nggak semua hal yang kita punya harus diumbar, karena kadang yang kelihatan keren di mata manusia justru bikin celaka di hadapan Allah Ta’ala.
Itu artinya, merdeka menurut Islam adalah saat kita mampu berkata tidak pada yang salah, meski itu menguntungkan kita secara duniawi. Karena kadang “kebebasan” versi dunia justru rantai yang halus, mengikat kita tanpa sadar. Dan satu-satunya yang bisa memutus rantai itu adalah ketakwaan.
Negara nggak akan berubah cuma karena kita rajin komen di Instagram politikus sambil nyeruput kopi sachet. Serius, algoritma IG nggak punya tombol “ubah nasib bangsa”. Perubahan itu dimulai dari hal-hal kecil, konsisten, dan nggak gampang goyah cuma gara-gara trending topik baru.
Nah, kalo kamu remaja, maka kudu berani stop normalisasi maksiat. Jangan mentang-mentang semua orang di tongkrongan ngomongin hal nggak bener, kamu ikut ketawa-tawa. Kalo semua orang lompat ke jurang, bukan berarti kamu ikut lompat biar “nggak ketinggalan zaman”.
Lalu, jadikan media sosial tempat nyebar kebaikan, bukan keluhan. Upload tips belajar, sharing pengalaman hijrah, atau sekadar posting quotes hadits atau pendapat ulama yang nyentuh hati. Jangan sampai feed kamu isinya cuma “cape deh” atau “negara ini makin aneh” tapi nggak ada aksi nyata.
Intinya, perubahan itu bukan hasil dari teriak paling keras, tapi dari perbaikan diri yang konsisten. Kalo semua orang benerin diri sendiri, efeknya bakal nyebar kayak wifi gratis di mall–nggak kelihatan kabelnya, tapi manfaatnya sampai ke mana-mana. Apalagi kalo bareng-bareng bergerak untuk berjuang melakukan perubahan agar negeri ini menerapkan Islam sebagai ideologi negara, itu lebih hebat lagi.
80 tahun merdeka itu memang bukan waktu sebentar. Generasi udah berganti, teknologi makin canggih, jalan tol makin panjang, tapi kalo yang berubah cuma kalender dan desain logo HUT RI tiap tahun, ya… selamat, kita cuma pintar bikin acara, bukan bikin perubahan. Kita bisa dengan semangat kibarin bendera tiap 17 Agustus, upload foto di Instagram dengan caption puitis, bahkan hapal lagu-lagu perjuangan. Tapi kalo di kehidupan sehari-hari masih nyaman berbohong, masih biasa korupsi waktu di kerjaan, atau masih sering cuek sama ketidakadilan yang kita lihat di depan mata, berarti kemerdekaan kita masih sebatas di lirik lagu, belum masuk ke hati dan perilaku.
Merdeka sejati itu bukan cuma ketika penjajah pergi, tapi ketika kita benar-benar bebas dari jadi budak hawa nafsu, ego, dan dosa. Andai rakyatnya jujur, pemimpinnya amanah, remajanya semangat belajar dan berbuat baik–bukan semangat bikin konten prank receh. Kalo kita semua takut sama Allah, nggak cuma takut sama trending topic, maka negeri ini nggak cuma panjang umur di kalender kemerdekaan, tapi juga panjang keberkahan dalam hidup.
Mengapa? Karena percuma punya bendera yang tegak di tiang kalo hati rakyatnya masih tunduk sama keserakahan. Percuma punya lagu kebangsaan yang lantang kalo lisan rakyatnya (terutama juga pejabatnya) masih sibuk nyebar fitnah. Dan percuma juga teriak “Merdeka!” kalo masih nyaman dijajah oleh dosa dan aturan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab, kemerdekaan sejati itu bukan hanya soal bebas bergerak di tanah air, tapi bebas berjalan menuju ridha Allah Ta’ala tanpa rantai maksiat yang membelenggu. Jangan sampe cuma merdeka raga, tapi terjajah jiwa. [O. Solihin | Join WhatsApp Channel]